Anjani yakin suami yang ia cintai masih hidup meski tak tahu di mana. Sayangnya, satu malam mengubah kehidupan Jani seketika. Wanita itu terpaksa menikahi Arga, sang kakak ipar! Lantas, apa yang harus Jani lakukan? Haruskah dia kabur atau ... bertahan sembari mengungkap kebenaran yang tersembunyi tentang kecelakaan sang suami?
View MoreDalam kegelapan kamar yang hening, terdengarlah seruan putus asa dari seorang wanita yang terperangkap dalam belitan ketakutan.
"Lepaskan aku, Mas! Pergi!" pekik Jani seraya berusaha keras melepaskan diri dari cengkeraman tangan pria yang dikenalnya sebagai Argapura Mahendra, kakak iparnya.
Tetapi suara berat dari pria itu merespons, "Eum! Aromamu selalu membuatku candu, Sayang." Nafasnya mengendus aroma tubuh Anjani Kharisma, istri dari mendiang adiknya yang jasadnya masih belum ditemukan hingga kini.
"Aku menginginkanmu malam ini, Sayang. Layani aku dan jangan membantah!" ucap Arga dengan nada yang mendesak, sambil menyerbu bibir Jani dengan ganas.
Jeritan putus asa terdengar dari mulut Jani yang terkekang, sementara tangannya berusaha memukul-mukul dada bidang Arga dalam usaha putus asa untuk melepaskan diri. "Aku mohon, lepaskan aku! Aku bukan pacarmu!" teriaknya dengan suara gemetar, berusaha menahan serangan lanjutan dari pria itu.
Namun Arga hanya menjawab dengan dingin, "Diamlah, Sayang. Kamu tidak pernah menolakku seperti ini. Aku sudah ingin menikmatimu," ucapnya dengan suara berat, matanya masih samar-samar menyadari siapa yang sebenarnya ia serang.
Perlawanan Jani mulai luntur seiring dengan kekuatan fisiknya yang mulai menurun. Lelaki itu berhasil membenamkan dirinya di dalam tubuhnya tanpa ampun, menyebabkan tangis histeris terlepas dari bibirnya.
Namun, tangisnya bukanlah karena kehilangan keperawanannya, melainkan karena kesakitan dan perasaan terhimpit dalam situasi yang tak terduga ini.
Tubuhnya terus didesak dengan ganas, menyerupai serangan yang lebih mirip penyiksaan daripada hubungan yang penuh kasih sayang.
Jani merintih kesakitan, mengalami perih yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Air mata tak henti mengalir di pipinya, mencerminkan rasa sakit dan ketakutan yang terus menghantui di tengah ketidakpastian hidupnya.
Tiga puluh menit berlalu sejak kejadian mengerikan itu. Tubuh Jani terbaring remuk di atas ranjang, merasakan rasa sakit yang melilit setiap serat ototnya. Dia memekik hebat, suara tangisnya menggelegar di ruangan yang sunyi.
Setelah lelaki itu mencapai puncak kenikmatannya dengan kekejaman yang tak terbayangkan, Jani terdorong ke ambang batas kehancuran fisik dan mental. Dia merasakan tubuhnya hancur, seperti tertimpa beban berat yang tak terlalu bisa dia tanggung. Terisak lirih, dia memungut pakaiannya yang berserakan di lantai.
“Biadab kamu, Mas! Kenapa hal ini harus terjadi?” bisiknya dengan suara yang gemetar, sementara dia meraih pakaiannya dengan gemetar. Setelah menatap lama ke arah lelaki yang tidur pulas di sampingnya, rasa marah dan keputusasaan melanda hatinya.
Hari semakin larut, tetapi kesedihan Jani semakin dalam. Dia terduduk lemah di lantai, memeluk kedua lututnya sambil menangis tersedu-sedu. Setiap serpihan kehormatan dan martabatnya terasa hancur, ditinggalkan oleh perasaan terluka yang begitu dalam.
“Lelaki brengsek!” umpatnya dengan amarah yang membara, berusaha menarik paksa tubuh lelaki itu keluar dari kamarnya. Namun, sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, Arga tiba-tiba bangun dari tidurnya dengan kebingungan yang terpancar dari matanya yang sayu.
“Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di kamarmu?” tanya Arga, mencengkram erat bahu Jani dengan tatapan yang penuh kebingungan.
Jani menatap lelaki itu dengan ekspresi datar, lalu menghela napas panjang. “Kamu pikir sendiri, kenapa kamu ada di sini, Mas. Kamu ini terlalu banyak minum. Sampai tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan padaku! Kamu telah memperkosaku, Mas!” pekiknya dengan suara yang penuh dengan rasa sakit dan kemarahan.
Arga mengusap wajahnya dengan gemetar, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. “Apa? Memperkosa kamu? Mana mungkin, aku melakukan itu, Jani. Kamu jangan menuduhku seperti itu. Yang selama ini kesepian itu justru kamu. Karena ditinggal mati oleh suami tercinta kamu!” desisnya, mencoba membalikkan tuduhan.
Jani merasa hinaan yang dilontarkan oleh Arga kepadanya seperti semburat angin yang melewati telinga. Dia tersenyum campah, mengisyaratkan kehinaan tersebut tak lebih dari debu di atas bahu. "Terserah kamu saja. Yang jelas, kamu sudah menodaiku," jawabnya dengan suara dingin, namun penuh dengan keberanian.
Arga menggelengkan kepalanya, menyangkal tuduhan yang dilemparkan oleh Jani. Dia masih berdiri teguh pada pendiriannya, seolah-olah tak terpengaruh oleh kebenaran yang tersirat dalam kata-kata perempuan itu.
Namun, dalam waktu singkat, kehadiran Maya, ibu Arga, merubah dinamika percakapan mereka. Maya berdiri di depan Jani dengan wajah serius, menelan ludahnya dengan pelan sebelum mulai berbicara. "Mama sudah melihat semuanya. Kalian telah melakukan hubungan itu dan sepertinya kalian harus menikah. Jangan sampai benih yang Arga tinggalkan di rahim kamu itu tumbuh," ucapnya dengan nada tegas dan tanpa kompromi.
Arga memalingkan wajahnya dengan cepat ke arah ibunya, matanya terpana oleh apa yang baru saja didengarnya. "Ta—tapi, Ma…," dia terbata-bata mencoba membantah, tetapi Maya tak memberinya kesempatan untuk berbicara lebih jauh.
“Jangan membantah! Kamu yang telah masuk ke dalam kamar Jani, menidurinya. Kamu pikir yang kamu lakukan itu tidak berbahaya? Bagaimana jika nanti Jani hamil? Kamu harus menikahinya!” tegur Maya dengan tegas, memotong kata-kata Arga dengan sikap yang keras dan tegas.
Jani hanya bisa menatap kedua orang itu dengan perasaan campur aduk. Dia merasa terpukul oleh semua yang terjadi, tetapi juga merasakan kelegaan karena kebenaran akhirnya terungkap.
Tetapi, di tengah kekacauan emosional itu, dia mempertahankan kekuatan di dalam dirinya, siap menghadapi konsekuensi apa pun dari keputusan yang akan diambil.
Jani menggelengkan kepala dengan tegas, tatapannya mantap saat ia berbicara pada Maya. “Ma, aku tidak mau menikah dengannya. Aku yakin, Mas Ray—”
“Berhenti mengharapkan orang yang telah pergi untuk selamanya, Jani. Orang tuamu telah menitipkan kamu kepada kami. Dan Arga telah memperkosamu,” potong Maya dengan suara tegas, tanpa memberikan celah untuk pembelaan.
“Ma! Kami tidak sengaja melakukannya. Lagi pula, Jani belum tentu hamil. Mama tahu kan, kalau aku sudah punya pacar. Kami akan menikah!” seru Arga, menolak keras atas perintah yang diberikan oleh ibunya.
“Tidak, Arga. Kamu harus mempertanggungjawabkan semua yang telah kamu lakukan kepada Jani. Meski tidak sengaja, kamu telah melakukan hal itu!” tegas Maya, memastikan bahwa putranya menyadari kesalahan yang telah ia lakukan.
Jani dan Arga menggelengkan kepala dengan frustrasi. Keduanya sama-sama tidak ingin menikah, tetapi situasi telah memaksa mereka untuk berada dalam kondisi ini. Hanya saja, Maya tidak ingin Jani mengalami konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti hamil di luar nikah.
“Kalian akan bercerai lagi jika kamu tidak hamil, Jani,” lanjut Maya, menoleh pada Arga dengan tatapan yang penuh makna. “Dan kamu, Arga. Mama tidak ingin membuat aibmu jelek jika Jani hamil olehmu. Akhiri hubunganmu dengan kekasihmu itu.”
Maya menatap tajam wajah anaknya, mengutus pesan diam yang tak terucap. ‘Tidak perlu lagi mencari cara untuk memisahkan kamu dengan Marisa. Meski Jani tak menginginkan pernikahan ini, setidaknya Arga batal menikahi wanita itu,’ ucapnya dalam hati, memutuskan untuk bertindak demi kebaikan mereka.
Satu minggu kemudian, keduanya akhirnya ‘terpaksa’ menikah. Mengikat janji suci tanpa diketahui oleh banyak orang, hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan beberapa teman terdekat Arga dan Jani.
“Aku tidak ingin tidur satu kamar denganmu,” ucap Jani dengan suara dingin setelah melaksanakan pernikahan, kini mereka telah tiba di rumah mereka. Rasa ketidaknyamanan dan kebingungan masih terasa kental di udara.
Usia kandungan Jani sudah memasuki usia sembilan bulan. Sudah sangat buncit dan kini tengah memeriksa kandungannya dan melihat kondisinya di monitor USG.“Posisi bayinya sudah sangat baik. Perkiraan melahirkannya sekitar dua sampai empat hari lagi,” ucap dr. Mira memberi tahu.Jani menerbitkan senyumnya. “Syukurlah kalau posisinya sudah baik. Saya lega mendengarnya, Dok. Dua sampai empat hari lagi ya, Dok?”“Betul, Ibu. Dua sampai empat hari lagi Anda akan melahirkan.”Jani menghela napasnya kemudian menoleh pada Rayhan yang tengah mengusapi punggung tangannya itu sembari menatap layar monitor USG yang tengah menampilkan wajah calon anaknya itu.Sepulang dari rumah sakit, Jani dan Rayhan mampir ke restoran dulu untuk makan siang bersama.“Mas. Dua sampai empat hari ke depan kamu nggak ke mana-mana, kan?” tanya Jani memastikan kalau Rayhan akan ada saat dia melahirkan nan
Malam harinya. Samuel teringat akan wajah perempuan lugu yang tengah mencari pekerjaan tadi pagi di rumah sakit.Kini, ia tak perlu memikirkan kondisi Rayhan kembali karena lelaki itu sudah sembuh dari obat yang sudah dia berikan pada Rayhan dulu.“Kenapa itu cewek nggak bisa hilang dari pikiran gue, sih? Kasihan banget ya, mimik mukanya. Kayak tertekan gitu.”Samuel menghela napasnya dengan panjang. “Semoga aja dia bisa menguasai kerjaannya di kantor nanti. Paling, gue yang harus sabar kalau nanti banyak yang salah.”Samuel kemudian menutup matanya sebab jam sudah menunjuk angka satu pagi. Ia harus ke kantor untuk interview Vira yang sudah ia tunjuk sebagai calon pengganti Tata.Pukul 07.00 WIB.Jani merasa perutnya seperti ini memuntahkan sesuatu. Baru saja ia bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa pahit. Ia pun segera masuk ke dalam kamar mandi dan memuntahkan cairan kuni
Keesokan harinya, Jani dan sang suami pergi ke rumah sakit bersama-sama. Pun dengan Samuel yang dari jam sembilan sudah ada di rumah hendak ikut dengan adik dan iparnya itu.Bahkan Samuel juga yang menggendong Elvan saat tiba di rumah sakit. Dan kini tengah menunggu Jani dan Rayhan yang sudah masuk ke dalam ruangan dokter.“Elvan mau makan apa? Biar Om belikan,” tanya Samuel kepada keponakannya itu.Elvan menggelengkan kepalanya. “Udah makan, Om. Nggak lapel.”“Ooh!” Samuel menyunggingkan senyumnya menatap keponakannya itu. “Elvan, sayang nggak, sama Om?”Elvan mengangguk. “Sayang, Om.”“Bagus. Anak pintar. Kalau sama Mama dan Papa?”“Sayang banget.”Samuel lantas tertawa mendengarnya. “Lucu banget sih, kamu ini. Nggak pantes rasanya kalau bapak kamu itu si Arga. Nggak ada pantes-pantesnya sumpah, dah!”
Satu minggu berlalu. Keluarga kecil yang tengah liburan itu sekarang sudah kembali ke Jakarta.Pun dengan Samuel. Lelaki itu juga ikut cuti selama satu minggu itu. Sebab terlalu penat dirinya dengan pekerjaan yang setiap hari tak pernah ada habisnya.Di sebuah taman di halaman depan rumah. Jani dan Elvan tengah bermain bersama dengan anak dari dua sahabatnya yang sedang berkunjung ke sana."Jani. Gue mau nanya tentang Rayhan ke elo."Jani menolehkan kepalanya kepada Ellena. "Kenapa El?" tanyanya kemudian.Ellena menghela napasnya dengan panjang seraya menatap Jani dengan lekat. "Elo pernah bilang kalau Rayhan akan sembuh dari cacat kesuburannya karena ulah kakak elo waktu itu."Jadi menganggukkan kepalanya. "Iya. So?" tanyanya kembali."Yaa ... sekarang kan, udah lima tahun. Kalian udah periksa lagi ke dokternya?""Oh, itu. Iyaa. Gue dan Mas Rayhan rencana besok mau ke rumah sakit untuk periksa lagi. Semoga
Pukul 20.00 WIB.Kejutan yang akan diberikan oleh Rayhan kepada Jani sebentar lagi akan dimulai. Lelaki itu tengah menunggu Janu yang masih menidurkan anaknya."Woy!"Rayhan menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat Samuel ada di sana."Kok kamu ada di sini?" tanya Rayhan bingung.Samuel menyunggingkan senyumnya. "Gue nanya sekretaris elo, katanya elo cuti selama seminggu karena mau liburan ke Bali. Ya udah, gue susul aja ke sini. Emangnya Jani nggak bilang, kalau gue tadi telepon dia?"Rayhan menggeleng dengan pelan. Ia kemudian menerbitkan senyumnya dengan lebar. Punya ide untuk menjaga Elvan selama dia dan Jani dinner."Kebetulan kamu datang ke sini, aku mau minta tolong sama kamu buat jagain Elvan di sini. Nanti jam sembilan aku dan Jani mau dinner."Samuel lantas menyunggingkan bibirnya. "Beber aja dugaan gue. Pasti, bakalan disuruh jagain Elvan." Ia pun mendengus kasar.Rayh
Sudah tiba di Bali ….Suasana yang indah, yang akhirnya bisa Jani rasakan lagi setelah sekian lama tak pernah mengunjungi tempat itu. Betapa bahagianya ia akhirnya bisa liburan bersama keluarga kecilnya.“Bagus banget pemandangannya. Udah lama banget nggak pernah ke sini. Banyak perubahan juga,” ucap Jani sembari memandang pantai yang indah dan bersih di depan matanya.Tangan Rayhan kemudian melingkar di pinggang Jani, menghampiri perempuan itu setelah menidurkan Elvan di kamar sebab anak itu masih tidur dengan lelapnya.“Makasih ya, Mas. Udah bawa aku dan Elvan ke sini. Seneng banget akhirnya bisa liburan lagi,” ucap Jani berterima kasih kepada suaminya itu.Cup!Rayhan mencium pipi Jani. “Sama-sama. Aku juga sama, seneng akhirnya bisa bawa kamu dan Elvan liburan ke tempat yang cukup jauh. Biasanya keliling mall atau taman saja. Maafin, karena terlalu sibuk dan lupa liburan.”
Jani membuka sendiri lingerie yang ia kenakan di depan Rayhan yang sudah tak sabar ingin mendekap tubuh perempuan itu.“Eits!” Jani menahan tangan Rayhan yang hendak menyentuh dirinya.Rayhan mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa lagi, hm?” tanyanya kemudian.Jani hanya tersenyum. Ia kemudian memiringkan kepalanya lalu duduk di atas paha Rayhan. Melingkarkan tangannya di ceruk leher Rayhan dan memulai lebih dulu ciumannya bersama dengan suaminya itu.Tangan Rayhan mengusap sensual punggung Jani yang sudah telanjang. Membuat perempuan itu menggeliat hangat merasakan sentuhan yang dibuat oleh Rayhan kepadanya.“Eumh ….” Jani mendesah lirih. Ia kemudian melepaskan ciuamannya itu lalu menatap penuh wajah Rayhan dengan mata yang sudah gelap oleh kabut gairah.Rayhan kemudian meraup pucuk merah muda milik perempuan itu dan meremasnya bagian yang menganggur.“Ough
Dua hari kemudian, Rayhan sudah kembali ke Jakarta. Membawakan banyak oleh-oleh untuk anak dan istrinya.Cup!Jani lantas terkejut karena Rayhan datang dengan tiba-tiba lalu mencium pipinya. “Mas Rayhan! Aku pikir siapa tadi, astaga! Bikin aku kaget aja.”Jani memukul pelan lengan suaminya karena kesal dan juga terkejut. Bila ia tengah memegang sesuatu, mungkin benda itu akan melayang ke kepala Rayhan. Beruntung, perempuan itu hanya sedang duduk sembari menonton televisi.Rayhan lantas terkekeh pelan. “Aku pikir kamu lagi tidur. Makanya aku cium biar bangun.”Jani mengerucutkan bibirnya. “Mana ada tidur sambil duduk. Kecuali di dalam kendaraan.”Rayhan kembali terkekeh. Ia kemudian memberikan lima paper bag kepada perempuan itu. “Semua yang aneh-aneh yang belum pernah kamu temui, aku beli.”Jani terperangah kemudian membuka satu persatu paper bag tersebut. “Woah! Banyak b
Dua tahun kemudian …. Tidak terasa, usia Elvan pun sudah memasuki dua tahun. Sudah pintar bicara meski masih tak jelas bicara apa akan tetapi orang-orang terdekatnya paham apa yang dikatakan oleh anak kecil itu. “Elvan sudah besar, sudah pintar. Berhenti ASI pun sangat pintar ya, Nak.” Anak kecil itu memang sudah disapih sebelum usianya dua tahun. Hanya sampai dua puluh bulan saja, Elvan sudah berhenti menyusui. Jani sangat lega, karean Elvan tidak terlalu rewel saat berhenti menyusui. “Morning,” sapa Rayhan kemudian mencium pipi Jani dan menerbitkan senyumnya. “Pagi. Mau berangkat sekarang, Mas?” tanya Jani kepada suaminya itu. Rayhan melihat jam yang melingkar di tangannya lalu mengangguk. “Hanya dua hari kok. Nggak akan lama. Atau mau ikut aja?” Jani menggelengkan kepalanya. “Nggak deh, Mas. Aku sama Elvan nunggu di rumah aja.” Rayhan harus pergi ke Malang selama dua hari di sana untuk menyelesaikan program yang sudah ia selesaikan dan perlu diinstalasi ulang agar bisa bero
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments