Jani menundukkan kepalanya, terisak lirih mendengar ucapan dari Maya. “Maafkan aku, Ma. Aku terlalu menyalahkan diri aku sendiri karena tidak bisa menepati janjiku untuk menunggu Mas Ray—”
“Jani. Berhenti mengharapkan Rayhan. Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu. Andai pun masih hidup, seharusnya dia sudah kembali pada kamu, pada kita semua,” ucap Maya dengan suara lembut, sambil memegang pundak menantunya dengan penuh kelembutan.
Jani kembali terisak. “Tapi, jasad Mas Rayhan belum juga ditemukan, Ma. Mana mungkin aku bisa percaya jika dia telah pergi. Aku masih berharap penuh jika dia masih hidup dan menolongku dari pernikahan ini.”
Maya tersenyum lirih. “Ya. Andai itu terjadi. Tapi, semuanya mustahil. Mobil Rayhan terbakar, hancur berkeping-keping, jatuh ke dalam jurang yang curam. Mungkin jasadnya sudah terbawa arus sungai yang saat itu sedang meluap.”
Menghela napas dengan panjang, Maya melanjutkan, “Jangan terlalu larut dalam duka atas kepergian dia, Sayang. Mama juga sedih. Tapi, mau bagaimana lagi. Semuanya sudah terjadi. Kita tidak bisa memutar waktu dan memperbaiki keadaan di masa itu.”
Jani mengadahkan kepalanya dan menatap wajah ibu mertuanya dengan tatapan penuh keraguan. “Ma. Apa benar, yang Mama katakan pada Mas Arga tadi?”
Maya mengerutkan keningnya. “Yang mana?” tanyanya, terlihat sedikit bingung.
Jani menghela napas dengan panjang, lalu menelan saliva dengan pelan. “Maaf, jika aku sudah lancang mendengar obrolan Mama dengan Mas Arga. Tapi, apa benar … Mama dan Papa memiliki bukti jika Mas Arga lah yang telah membunuh Mas Rayhan? Jika memang benar begitu, apa motif dia membunuh adik kandungnya sendiri, Ma?”
Maya tersenyum tipis. “Kamu tidak perlu tahu alasan di balik itu semua. Karena nasi sudah menjadi bubur. Rayhan sudah meninggal, Mama dan Papa tidak cepat mencegahnya.”
Setelah mengatakan itu, Maya langsung pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Seolah ia tengah menghindar dari pertanyaan dari Jani. Seolah ia tidak ingin memberi tahu apa pun kepada perempuan itu tentang kematian Rayhan yang cukup mengenaskan itu.
Jani menelan saliva dengan pelan, merenungi kata-kata Maya. “Sepertinya hanya aku, yang tidak tahu apa pun tentang semua ini. Semuanya menutupi kasus ini bahkan Papa enggan memasukan dia ke penjara. Harusnya, nyawa dibayar dengan nyawa. Bukankah ini tidak adil?” ujarnya dalam hati, merasa semakin terjerat dalam teka-teki yang tak kunjung terpecahkan.
Jani merasakan ketakutan menghampirinya saat Arga mendekapnya dengan kasar. Matanya mencari jalan keluar, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak dari cengkeraman suaminya yang kuat.
“Mas! Kamu gila, huh?! Aku tidak mau! Lepaskan aku!” pekik Jani meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari dekapan Arga yang semakin erat.
Arga hanya menggelengkan kepala, mengabaikan permohonan Jani. “Kamu tidak mengerti, Jani. Aku memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik untukmu.”
Jani bisa merasakan napas Arga yang berat di lehernya. Panik mulai merayap di dalam dirinya. “Kamu tidak boleh melakukan ini, Mas! Lepaskan aku!” Desakannya terdengar putus asa.
Tetapi Arga tidak mendengarkan. Sebaliknya, cengkeramannya semakin kuat. “Kamu tidak bisa kabur dariku, Jani. Kamu adalah istriku sekarang. Kamu milikku.”
Jani mencoba membebaskan diri, tetapi sia-sia. Dengan putus asa, dia mencoba memukul Arga, tapi tangannya dicegah oleh lengan suaminya yang kuat.
“Jangan mencoba melawan aku, Jani,” desis Arga, wajahnya penuh dengan kemarahan.
Jani merasakan dirinya terjebak dalam situasi yang mencekam. Tak ada yang bisa dia lakukan selain berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman Arga yang semakin mengencang. Tetapi dia tidak bisa melawan sendirian.
Kedua belah tangan Jani berusaha keras mencari jalan keluar dari dekapan Arga. Dalam kepanikan, dia berteriak minta tolong, berharap ada yang mendengar dan menyelamatkannya dari nasib yang mengerikan.
Namun, ruangan tetap sunyi. Hanya suara mereka berdua yang terdengar, teriakan Jani yang putus asa dan suara desakan Arga yang penuh dengan keinginan untuk mengontrolnya.
Rasa takut melanda Jani saat Arga menunjukkan wajah gelapnya yang penuh dengan nafsu. Tubuhnya gemetar ketika dia melihat senyuman seram di wajah suaminya.
“Dosa, jika kamu menolaknya, Jani! Lagi pula, tidak akan ada yang memarahi kita jika melakukan ini. Kamu sudah berani bermain-main denganku! Itu artinya, kamu harus menerima semua yang akan kulakukan padamu.”
Senyum menyeringai menyeramkan membuat tubuh Jani bergidik ngeri. “Aku tidak mau! Meskipun kamu suamiku, bukan berarti seenaknya kamu menyentuhku!” pekiknya lagi.
Namun, Arga tak peduli. Didorongnya tubuh perempuan itu kemudian menarik paksa dress yang dikenakan oleh Jani hingga membuat perempuan itu kini hanya mengenakan bra dan celana dalam saja.
“Aku mohon jangan sentuh aku lagi! Aku tidak mau,” ucapnya lirih.
Arga tersenyum miring. “Sudah lama sekali aku mendambakan tubuh indah kamu ini, Jani. Dan sekarang, kamu tidak akan bisa lari dariku!” ucapnya lalu meraup bibir perempuan itu dengan ganas.
Jani menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pikiran tak karuan. Ucapan dari lelaki itu membuatnya bingung. Apa maksud dari ucapan lelaki itu padanya. Bukankah selama ini Arga tampak tak menyukainya.
Ciumannya turun ke bawah. Meninggalkan jejaknya di ceruk leher putih nan halus milik istrinya itu.
Tangan Jani terus meronta. Namun, tidak bisa. Tubuh atletis Arga yang tegap dan tinggi itu tak bisa digerakan oleh tangan mungil Jani.
Ia hanya pasrah, hanya bisa menangis dalam gerayangan yang dilakukan oleh Arga kepadanya.
Bra berwarna hitam itu dilepas begitu saja oleh Arga. Lalu menenggelamkan bibirnya di atas pucuk merah muda dan menikmatinya dengan penuh.
“Eumph! Mas … hentikan!” lirih Jani sembari menitikan air matanya.
Namun, bukannya berhenti, ia malah semakin menjadi. Menyesapnya dengan sangat kencang dan liar. Penuh nafsu. Membuat Jani memekik hebat, kesakitan karena ulahnya.“Bajingan!” umpat Jani semakin membenci lelaki itu.Sorot mata tajam menatap Arga yang masih sibuk menyesap gundukan itu. Sepertinya ia tak peduli dengan umpatan yang dikeluarkan oleh Jani untuknya. Ia memilih melanjutkan aksinya menggerayangi tubuh indah nan mulus milik Jani.Puas bermain di atas dua gundukan yang padat berisi itu, Arga melorotkan celana dalam milik Jani.Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Merapatkan kakinya agar Arga tak dapat menyentuhnya.“Buka!” titah Arga dengan suara beratnya.“Nggak! Aku nggak mau memberikan ini lagi kepada kamu!” ucapnya sembari menangis.Arga kemudian menyunggingkan senyum. Seringaian itu semakin membuat Jani takut.Mengambil sesuatu di dalam laci yang sudah dia siapkan itu. Mata Jani lantas membola kala melihat dua buah borgol di tangan Arga.“Aku yakin, Rayhan pasti tidak per
Jani mengusap wajahnya kemudian menangis histeris. Ingin rasanya ia mengakhiri hidupnya saat ini juga. Memotong urat nadinya dan pergi untuk selamanya dari dunia ini. Namun, semuanya tak mudah seperti membalikan tangan.Ia tidak ingin mati konyol. Ada harapan yang belum tersampaikan. Masih berharap Rayhan kembali dan menolongnya.Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Jani pamit kepada sang mama jika ia hendak pergi menemui teman-temannya di sebuah café.“Jani?” Maya memanggil menantunya yang sudah melangkah keluar. Namun, harus berhenti kembali setelah Maya memanggilnya.“Iya, Ma?”Maya menghela napasnya dengan panjang. “Apa yang telah Arga lakukan pada kamu? Mengapa wajahmu pucat sekali, Nak? Dia, telah melakukan itu lagi padamu?”Jani tersenyum lirih. “Bukankah dia sudah menjadi suamiku, Ma? Dia memang munafik. Pria paling munafik yang pernah aku kenal. Bilangnya tidak mau menikah denganku, tapi malah menikmati tubuhku.”Maya menghela napasnya. “Maaf, Jani. Sudah membawa kamu ke dal
Satu bulan sudah, usia pernikahan Jani dan Arga. Lelaki itu masih belum berani memberi tahu Marisa jika ia sudah menikah dengan Jani. Jani melihat foto-foto di gallery yang masih ia simpan beberapa fotonya bersama sang suami. “Hari ini, tepat dua tahun kamu meninggalkan aku, Mas. Kamu sudah pergi selamanya, atau masih di sini? Kenapa feeling aku selalu berkata jika kamu masih hidup? Jika memang kamu masih hidup, aku mohon kembalilah.” Jani mengusapi wajah Rayhan di layar ponselnya seraya mengulas senyum lirih. “Sekali pun kamu tidak pernah hadir di mimpiku, Mas. Apakah kamu sudah tenang, di alam sana?” ucapnya lalu menarik napasnya dalam-dalam.Jani kemudian melajukan mobilnya menuju jalan di mana Rayhan mengalami kecelakaan. Membawa satu bucket bunga dan menaruhnya di sana. “Selamat jalan, Mas. Sepertinya kamu memang tidak akan pernah kembali padaku. Aku akan mendoakanmu setiap hari. Semoga di akhirat nanti kita akan bertemu lagi,” ucapnya lalu membuang bunga itu ke dasar jurang.
Di Rumah Sakit Permata. Perempuan itu dibawa oleh orang yang menolongnya. Kemudian pergi setelah pihak rumah sakit menghubungi kedua orang tua Arga. “Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Maya tampak cemas. Melihat tubuh Jani yang basah kuyup karena kehujanan dan kini sudah diganti oleh baju rumah sakit.“Selamat. Anak Anda sedang mengandung. Usianya sudah menginjak tiga minggu.” Maya menutup mulutnya terkejut. Pun dengan Indra—sang suami yang juga ikut ke rumah sakit setelah pihak rumah sakit menghubungi mereka. “Ha—hamil?” tanya Maya memastikan jika ia tidak salah dengar. “Betul, Bu. Anak Anda sedang hamil. Tolong sampaikan kepada suaminya ya, Bu. Agar lebih memperhatikan kondisi istrinya yang kini sedang mengandung.” Maya mengangguk sembari tersenyum tipis. “Baik, Dok. Terima kasih.” Ia kembali menatap Jani yang kini sudah membuka matanya. Menatap bergantian Maya dan Indra. “Aku di mana ini?” tanyanya dengan pelan.“Di rumah sakit. Kamu pingsan di jalan dan ada orang yang
‘Untuk Jani, istriku ….’ ‘Maaf. Jika aku tidak bisa memberikan banyak bahagia untuk kamu. Aku buat surat ini karena mungkin kita tidak akan bisa bertemu lagi. Jaga diri kamu baik-baik ya, Sayang. Cepat atau lambat, aku akan kembali dengan semua masalah yang sudah aku selesaikan. ‘Aku tidak akan melupakan kamu sampai kapan pun. Kita harus berpisah dan mungkin ini adalah jalan terbaik agar kamu tetap selamat, sehat dan bahagia. Aku harap kamu tetap bahagia setelah aku pergi. Jaga hati, jaga diri ya, Sayang. Kamu adalah wanita hebat, wanita kuat yang aku temui. ‘Aku pergi bukan berarti aku tidak menyayangi kamu. Hanya saja, ini semua demi kebaikan kita suatu saat nanti. Doakan aku semoga selamat. Dan kita bisa berkumpul kembali. Tapi, jika aku harus meninggalkanmu untuk selamanya, semoga ada lelaki yang bisa mencintai kamu lebih dari aku.’Deras air mata turun di pipi Jani ketika membaca sepucuk surat usang dua tahun yang lalu dari sang suami yang baru sampai ke tangannya. “Mas Rayha
“Oh, Jani. Aku pikir siapa. Kamu sudah siuman?” tanyanya di seberang sana. “Sudah, Tirta. Aku ingin menanyakan keberadaan suamiku. Dia masih hidup, kan?”Tirta terdiam di seberang sana. Ia kemudian menghela napasnya dengan panjang seraya tersenyum lirih. “Aku tidak tahu di mana dia berada sekarang, Jani. Sampai saat ini aku pun masih mencari keberadaannya yang dibawa oleh pamannya, adik dari papanya. Dia yang tahu semuanya dan dia juga yang menolong Rayhan saat terjadi kecelakaan itu.”Jani menutup mulutnya seraya menitikan air matanya. “Ma—maksud kamu, Om Fadly yang telah membawa Mas Rayhan?” “Sepertinya begitu. Bahkan anaknya saja, Vanesha tidak tahu papanya membawa Rayhan ke mana. Yang jelas, bukan di kota ini. Dia tidak mau keponakannya mengalami hal seperti itu lagi jika dia memberi tahu di mana sebenarnya Rayhan berada.” Jani terdiam sesaat. Ia kemudian mengusap air matanya seraya menyusut hidungnya dengan pelan. “Kalau kamu tahu soal ini, kenapa tadi kamu tidak bicara pada
Maya kemudian mengusapi sisian wajah perempuan itu dengan mata menatapnya lekat. “Sayang. Jika kamu menggugurkan kandungan itu, Mama tidak yakin hidupmu akan baik-baik saja. Kebanyakan wanita setelah aborsi mengalami gangguan kejiwaan karena rasa bersalahnya.”Jani menghela napasnya dengan panjang. “Kenapa kamu ingin menggugurkan kandungan kamu, huh? Masih berharap Rayhan masih hidup?” Arga menyunggingkan senyum liciknya.Rasanya tangan Jani sudah gatal ingin menampar wajah Arga. Matanya memicing tajam menatap ke arah suaminya itu. “Ma. Aku ingin tidur pisah kamar dengannya!”Maya menoleh cepat ke arah menantunya itu. “Heuh?” tanyanya seolah tak paham dengan ucapan Jani tadi. Jani menghela napas kasar. “Aku tidak mau tidur satu kamar lagi dengannya. Aku sudah hamil, kan? Ini, yang kamu mau, kan? Untuk itu, jangan pernah sentuh aku lagi. Dan satu lagi.”Jani menatap lekat wajah Maya. “Dia masih menjalin hubungan dengan Marisa. Dan setiap hari perempuan itu datang ke kantor Mas Arga.
Seketika dering ponselnya berbunyi. Panggilan dari Marisa yang rupanya sudah beberapa kali ia menghubunginya. “Ada apa?” tanyanya datar.“Di mana kamu? Aku ingin bicara sama kamu. Aku tunggu di apartemenku sekarang juga!”“Mau ke mana kamu, Arga?” tanya Maya datar. Arga menghela napasnya dengan pelan. “Keluar sebentar. Lagi pula, Jani sedang tidak ingin diganggu olehku. Untuk apa aku di sini?” Maya hanya diam. Kemudian membuang muka tanpa menjawab apa pun lagi dan membiarkan Arga pergi yang entah siapa yang hendak ia temui. “Sudah pasti Marisa,” tebaknya setelah Arga pergi dari rumah itu. Ia lalu menoleh pada Jani yang sudah rapi mengenakan celana panjang dan kemeja biru polosnya. “Kamu juga mau ke mana, Jani?” tanya Maya ingin tahu. Jani menoleh pada sang mama. “Aku ada urusan di luar, Ma. Mau ketemu sama Kyra dan Ellena di café milik Ellena.”“Baiklah. Jangan kebut-kebut, jangan lama-lama.”“Iya, Ma. Aku pamit dulu.” Jani melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu. Maya kemud
Usia kandungan Jani sudah memasuki usia sembilan bulan. Sudah sangat buncit dan kini tengah memeriksa kandungannya dan melihat kondisinya di monitor USG.“Posisi bayinya sudah sangat baik. Perkiraan melahirkannya sekitar dua sampai empat hari lagi,” ucap dr. Mira memberi tahu.Jani menerbitkan senyumnya. “Syukurlah kalau posisinya sudah baik. Saya lega mendengarnya, Dok. Dua sampai empat hari lagi ya, Dok?”“Betul, Ibu. Dua sampai empat hari lagi Anda akan melahirkan.”Jani menghela napasnya kemudian menoleh pada Rayhan yang tengah mengusapi punggung tangannya itu sembari menatap layar monitor USG yang tengah menampilkan wajah calon anaknya itu.Sepulang dari rumah sakit, Jani dan Rayhan mampir ke restoran dulu untuk makan siang bersama.“Mas. Dua sampai empat hari ke depan kamu nggak ke mana-mana, kan?” tanya Jani memastikan kalau Rayhan akan ada saat dia melahirkan nan
Malam harinya. Samuel teringat akan wajah perempuan lugu yang tengah mencari pekerjaan tadi pagi di rumah sakit.Kini, ia tak perlu memikirkan kondisi Rayhan kembali karena lelaki itu sudah sembuh dari obat yang sudah dia berikan pada Rayhan dulu.“Kenapa itu cewek nggak bisa hilang dari pikiran gue, sih? Kasihan banget ya, mimik mukanya. Kayak tertekan gitu.”Samuel menghela napasnya dengan panjang. “Semoga aja dia bisa menguasai kerjaannya di kantor nanti. Paling, gue yang harus sabar kalau nanti banyak yang salah.”Samuel kemudian menutup matanya sebab jam sudah menunjuk angka satu pagi. Ia harus ke kantor untuk interview Vira yang sudah ia tunjuk sebagai calon pengganti Tata.Pukul 07.00 WIB.Jani merasa perutnya seperti ini memuntahkan sesuatu. Baru saja ia bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa pahit. Ia pun segera masuk ke dalam kamar mandi dan memuntahkan cairan kuni
Keesokan harinya, Jani dan sang suami pergi ke rumah sakit bersama-sama. Pun dengan Samuel yang dari jam sembilan sudah ada di rumah hendak ikut dengan adik dan iparnya itu.Bahkan Samuel juga yang menggendong Elvan saat tiba di rumah sakit. Dan kini tengah menunggu Jani dan Rayhan yang sudah masuk ke dalam ruangan dokter.“Elvan mau makan apa? Biar Om belikan,” tanya Samuel kepada keponakannya itu.Elvan menggelengkan kepalanya. “Udah makan, Om. Nggak lapel.”“Ooh!” Samuel menyunggingkan senyumnya menatap keponakannya itu. “Elvan, sayang nggak, sama Om?”Elvan mengangguk. “Sayang, Om.”“Bagus. Anak pintar. Kalau sama Mama dan Papa?”“Sayang banget.”Samuel lantas tertawa mendengarnya. “Lucu banget sih, kamu ini. Nggak pantes rasanya kalau bapak kamu itu si Arga. Nggak ada pantes-pantesnya sumpah, dah!”
Satu minggu berlalu. Keluarga kecil yang tengah liburan itu sekarang sudah kembali ke Jakarta.Pun dengan Samuel. Lelaki itu juga ikut cuti selama satu minggu itu. Sebab terlalu penat dirinya dengan pekerjaan yang setiap hari tak pernah ada habisnya.Di sebuah taman di halaman depan rumah. Jani dan Elvan tengah bermain bersama dengan anak dari dua sahabatnya yang sedang berkunjung ke sana."Jani. Gue mau nanya tentang Rayhan ke elo."Jani menolehkan kepalanya kepada Ellena. "Kenapa El?" tanyanya kemudian.Ellena menghela napasnya dengan panjang seraya menatap Jani dengan lekat. "Elo pernah bilang kalau Rayhan akan sembuh dari cacat kesuburannya karena ulah kakak elo waktu itu."Jadi menganggukkan kepalanya. "Iya. So?" tanyanya kembali."Yaa ... sekarang kan, udah lima tahun. Kalian udah periksa lagi ke dokternya?""Oh, itu. Iyaa. Gue dan Mas Rayhan rencana besok mau ke rumah sakit untuk periksa lagi. Semoga
Pukul 20.00 WIB.Kejutan yang akan diberikan oleh Rayhan kepada Jani sebentar lagi akan dimulai. Lelaki itu tengah menunggu Janu yang masih menidurkan anaknya."Woy!"Rayhan menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat Samuel ada di sana."Kok kamu ada di sini?" tanya Rayhan bingung.Samuel menyunggingkan senyumnya. "Gue nanya sekretaris elo, katanya elo cuti selama seminggu karena mau liburan ke Bali. Ya udah, gue susul aja ke sini. Emangnya Jani nggak bilang, kalau gue tadi telepon dia?"Rayhan menggeleng dengan pelan. Ia kemudian menerbitkan senyumnya dengan lebar. Punya ide untuk menjaga Elvan selama dia dan Jani dinner."Kebetulan kamu datang ke sini, aku mau minta tolong sama kamu buat jagain Elvan di sini. Nanti jam sembilan aku dan Jani mau dinner."Samuel lantas menyunggingkan bibirnya. "Beber aja dugaan gue. Pasti, bakalan disuruh jagain Elvan." Ia pun mendengus kasar.Rayh
Sudah tiba di Bali ….Suasana yang indah, yang akhirnya bisa Jani rasakan lagi setelah sekian lama tak pernah mengunjungi tempat itu. Betapa bahagianya ia akhirnya bisa liburan bersama keluarga kecilnya.“Bagus banget pemandangannya. Udah lama banget nggak pernah ke sini. Banyak perubahan juga,” ucap Jani sembari memandang pantai yang indah dan bersih di depan matanya.Tangan Rayhan kemudian melingkar di pinggang Jani, menghampiri perempuan itu setelah menidurkan Elvan di kamar sebab anak itu masih tidur dengan lelapnya.“Makasih ya, Mas. Udah bawa aku dan Elvan ke sini. Seneng banget akhirnya bisa liburan lagi,” ucap Jani berterima kasih kepada suaminya itu.Cup!Rayhan mencium pipi Jani. “Sama-sama. Aku juga sama, seneng akhirnya bisa bawa kamu dan Elvan liburan ke tempat yang cukup jauh. Biasanya keliling mall atau taman saja. Maafin, karena terlalu sibuk dan lupa liburan.”
Jani membuka sendiri lingerie yang ia kenakan di depan Rayhan yang sudah tak sabar ingin mendekap tubuh perempuan itu.“Eits!” Jani menahan tangan Rayhan yang hendak menyentuh dirinya.Rayhan mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa lagi, hm?” tanyanya kemudian.Jani hanya tersenyum. Ia kemudian memiringkan kepalanya lalu duduk di atas paha Rayhan. Melingkarkan tangannya di ceruk leher Rayhan dan memulai lebih dulu ciumannya bersama dengan suaminya itu.Tangan Rayhan mengusap sensual punggung Jani yang sudah telanjang. Membuat perempuan itu menggeliat hangat merasakan sentuhan yang dibuat oleh Rayhan kepadanya.“Eumh ….” Jani mendesah lirih. Ia kemudian melepaskan ciuamannya itu lalu menatap penuh wajah Rayhan dengan mata yang sudah gelap oleh kabut gairah.Rayhan kemudian meraup pucuk merah muda milik perempuan itu dan meremasnya bagian yang menganggur.“Ough
Dua hari kemudian, Rayhan sudah kembali ke Jakarta. Membawakan banyak oleh-oleh untuk anak dan istrinya.Cup!Jani lantas terkejut karena Rayhan datang dengan tiba-tiba lalu mencium pipinya. “Mas Rayhan! Aku pikir siapa tadi, astaga! Bikin aku kaget aja.”Jani memukul pelan lengan suaminya karena kesal dan juga terkejut. Bila ia tengah memegang sesuatu, mungkin benda itu akan melayang ke kepala Rayhan. Beruntung, perempuan itu hanya sedang duduk sembari menonton televisi.Rayhan lantas terkekeh pelan. “Aku pikir kamu lagi tidur. Makanya aku cium biar bangun.”Jani mengerucutkan bibirnya. “Mana ada tidur sambil duduk. Kecuali di dalam kendaraan.”Rayhan kembali terkekeh. Ia kemudian memberikan lima paper bag kepada perempuan itu. “Semua yang aneh-aneh yang belum pernah kamu temui, aku beli.”Jani terperangah kemudian membuka satu persatu paper bag tersebut. “Woah! Banyak b
Dua tahun kemudian …. Tidak terasa, usia Elvan pun sudah memasuki dua tahun. Sudah pintar bicara meski masih tak jelas bicara apa akan tetapi orang-orang terdekatnya paham apa yang dikatakan oleh anak kecil itu. “Elvan sudah besar, sudah pintar. Berhenti ASI pun sangat pintar ya, Nak.” Anak kecil itu memang sudah disapih sebelum usianya dua tahun. Hanya sampai dua puluh bulan saja, Elvan sudah berhenti menyusui. Jani sangat lega, karean Elvan tidak terlalu rewel saat berhenti menyusui. “Morning,” sapa Rayhan kemudian mencium pipi Jani dan menerbitkan senyumnya. “Pagi. Mau berangkat sekarang, Mas?” tanya Jani kepada suaminya itu. Rayhan melihat jam yang melingkar di tangannya lalu mengangguk. “Hanya dua hari kok. Nggak akan lama. Atau mau ikut aja?” Jani menggelengkan kepalanya. “Nggak deh, Mas. Aku sama Elvan nunggu di rumah aja.” Rayhan harus pergi ke Malang selama dua hari di sana untuk menyelesaikan program yang sudah ia selesaikan dan perlu diinstalasi ulang agar bisa bero