Satu bulan sudah, usia pernikahan Jani dan Arga. Lelaki itu masih belum berani memberi tahu Marisa jika ia sudah menikah dengan Jani.
Jani melihat foto-foto di gallery yang masih ia simpan beberapa fotonya bersama sang suami. “Hari ini, tepat dua tahun kamu meninggalkan aku, Mas. Kamu sudah pergi selamanya, atau masih di sini? Kenapa feeling aku selalu berkata jika kamu masih hidup? Jika memang kamu masih hidup, aku mohon kembalilah.” Jani mengusapi wajah Rayhan di layar ponselnya seraya mengulas senyum lirih. “Sekali pun kamu tidak pernah hadir di mimpiku, Mas. Apakah kamu sudah tenang, di alam sana?” ucapnya lalu menarik napasnya dalam-dalam.Jani kemudian melajukan mobilnya menuju jalan di mana Rayhan mengalami kecelakaan. Membawa satu bucket bunga dan menaruhnya di sana. “Selamat jalan, Mas. Sepertinya kamu memang tidak akan pernah kembali padaku. Aku akan mendoakanmu setiap hari. Semoga di akhirat nanti kita akan bertemu lagi,” ucapnya lalu membuang bunga itu ke dasar jurang.“Aku sering melihat kamu ke sini.” Jani terperanjat kaget mendengar suara bariton di sampingnya. Ia lalu menoleh dan menghela napasnya dengan panjang. “Kalau tidak salah, dua tahun yang lalu ada yang kecelakaan di sini. Mobilnya terbakar dan jasadnya tidak ditemukan.” Jani menunduk kemudian mengangguk dengan pelan. “Ya. Itu suamiku. Kamu tinggal di sini? Kenapa sering melihatku di sini?” tanyanya ingin tahu. Lelaki itu menghela napasnya. “Namaku Tirta. Ya. Aku tinggal tak jauh dari sini. Nama kamu siapa kalau boleh tahu?” Jani menoleh pada lelaki tampan mengenakan kemeja putih polos dengan celana hitam di sampingnya. Lalu menatap ke depan lagi seraya menelan salivanya dengan pelan.“Anjani. Panggil saja Jani. Aku tinggal cukup jauh dari sini. Kedatanganku ke sini karena sedang merindukan suamiku. Dan hari ini, adalah tepat dua tahun dia pergi meninggalkanku untuk selamanya. Meski aku belum pernah melihat jasadnya sekali pun. Kuburannya tidak ada. Itulah yang membuatku merasa jika suamiku masih hidup.” Tirta manggut-manggut dengan pelan. “Aku turut berduka cita atas kepergian suami kamu. Semoga jasadnya segera ditemukan meski mungkin sudah hanya tinggal tengkorak. Karena sudah dua tahun dia meninggal.”Jani tersenyum tipis. “Yang aku inginkan dia masih lengkap, Tirta. Tubuhnya masih bernyawa. Di mana pun dia berada kini, aku harap dia masih mengingatku.”“Dia ada. Tapi, bukan di sini. Melainkan di hati kamu. Dia hidup di sana. Jangan terlalu larut dalam duka, Jani. Kamu masih memiliki kesempatan untuk bahagia.”Jani tersenyum getir. “Harusnya aku bahagia. Hanya saja, aku terjebak dalam pernikahan dengan kakak iparku.”Tirta mengerutkan keningnya. “Kenapa begitu? Jadi, kamu sudah menikah lagi dan dengan kakak iparmu? Naik ranjang?” “Ya. Bisa dikatakan seperti itu.” Ia lalu mengambil ponselnya karena sedari tadi berdering.“Kenapa lagi sih, Kak?” “Aku di seberang jalan di mana kamu berdiri dengan seorang pria. Jangan sampai fotomu kukirim pada suami baru kamu, Arga! Kamu pikir aku tidak tahu, kalau kamu telah menikah dengannya?” Jani menolehkan kepalanya kepada sang kakak yang tengah berdiri di seberang sana. Ia lalu menghela napasnya dengan panjang. “Aku ke sana,” ucapnya lalu menutup panggilan tersebut. “Tirta. Aku pamit dulu. Kakakku ada di seberang sana. Salam kenal.” Jani kemudian meninggalkan lelaki itu. Tirta kemudian mengambil ponselny hendak menghubungi seseorang. “Jani sudah menikah, dengan kakak iparnya. Dia bilang, dia dijebak dan tidak menginginkan pernikahan itu. Sepertinya niat busuk Arga sudah terlaksana. Mengambil Jani dari Rayhan,” ucapnya lalu menutup panggilan tersebut. Sementara di seberang sana. Jani menatap datar wajah kakaknya. “Aku tahu Kakak baru saja menipu Mas Arga. Dia harus menutupi kerugian karena ulah Kakak. Belum puas, uang yang sudah Kakak ambil itu, huh?” Samuel—pria berusia tiga puluh lima tahun itu menghela napasnya dengan panjang. Ia lalu menunjuk ke arah seberang tadi dengan mata menatap lekat wajah Jani. “Kamu tahu, orang yang sedang kamu ajak bicara itu musuh Arga? Teman baik Rayhan yang selama ini selalu memperhatikan kamu jika kamu datang ke sini. Aku datang ke sini karena ingin memperingatimu, Jani!” Jani menghela napasnya. “Teman baik Mas Rayhan Kakak bilang? Aku kenal banyak teman-temannya Mas Rayhan, Kak. Dan dia, orang yang baru ini aku temui. Kakak ini sudah banyak bohong! Mana mungkin aku percaya sama pembohong kayak Kakak! Orang yang udah membuat bangkrut perusahaan Papa.”Samuel mengusap wajahnya pelan. “Aku memang sudah membuat bangkrut perusahaan Papa. Tapi, itu semua karena bukan karena aku. Melainkan campur tangan Arga, suami kamu!” “Ya. Kalian memang brengsek! Sama-sama brengsek nggak punya hati! Aku ingin keluar dari rumah itu dan sekarang malah terjebak karena harus menikah dengan Arga.” Jani menitikan air matanya menatap nanar wajah Samuel. “Kakak tahu kan, aku hanya mencintai Mas Rayhan? Aku hanya menunggunya meski belum tentu dia masih hidup. Andai nanti mereka menemukan jasadnya meski hanya tulang belulang, detik itu juga aku akan menyusulnya!” Samuel tersenyum miring mendengar ucapan dari adiknya itu. “Kamu tidak harus pergi, Jani.” “Biar uang terus mengalir ke rekening Kakak? Mengorbankan kebahagiaan aku demi kepuasan Kakak sendiri!”Samuel menghela napasnya dengan panjang. “Kamu akan tahu semuanya setelah Rayhan kembali!” ucapnya kemudian masuk ke dalam mobilnya. Jani membolakan matanya kemudian menggedor-gedor kaca mobil Samuel. “Kak! Maksud Kaka kapa? Kak! Jangan pergi dulu ….” Jani berteriak sembari berlari mengejar Samuel yang sudah melajukan mobilnya dengan cepat. “KAK SAMUEEELLLL!!” teriaknya kemudian terjatuh di aspal sembari menangis. Terisak lirih seraya menundukan kepalanya.“Mas Rayhan. Kamu di mana, Mas?” ucapnya lirih memanggil nama sang suami. Seketika gemuruh datang dan hujan yang sudah tak sabar ingin turun akhirnya turun dengan derasnya. Mengguyur tubuh Jani yang masih terduduk lemah sembari menunduk dan menangis. Menyesal karena tidak menunggu Rayhan yang ia yakini masih hidup. Dengan ucapan Samuel yang membuatnya semakin membuatnya yakin jika suaminya masih hidup. Hanya saja, ia tidak tahu di mana lelaki itu berada saat ini. “Mas. Aku mohon pulang lah. Aku butuh kamu, Mas.” Uluran tangan kekar dengan payung yang ia bawa membuat Jani mengadahkan kepalanya ke atas.Di Rumah Sakit Permata. Perempuan itu dibawa oleh orang yang menolongnya. Kemudian pergi setelah pihak rumah sakit menghubungi kedua orang tua Arga. “Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Maya tampak cemas. Melihat tubuh Jani yang basah kuyup karena kehujanan dan kini sudah diganti oleh baju rumah sakit.“Selamat. Anak Anda sedang mengandung. Usianya sudah menginjak tiga minggu.” Maya menutup mulutnya terkejut. Pun dengan Indra—sang suami yang juga ikut ke rumah sakit setelah pihak rumah sakit menghubungi mereka. “Ha—hamil?” tanya Maya memastikan jika ia tidak salah dengar. “Betul, Bu. Anak Anda sedang hamil. Tolong sampaikan kepada suaminya ya, Bu. Agar lebih memperhatikan kondisi istrinya yang kini sedang mengandung.” Maya mengangguk sembari tersenyum tipis. “Baik, Dok. Terima kasih.” Ia kembali menatap Jani yang kini sudah membuka matanya. Menatap bergantian Maya dan Indra. “Aku di mana ini?” tanyanya dengan pelan.“Di rumah sakit. Kamu pingsan di jalan dan ada orang yang
‘Untuk Jani, istriku ….’ ‘Maaf. Jika aku tidak bisa memberikan banyak bahagia untuk kamu. Aku buat surat ini karena mungkin kita tidak akan bisa bertemu lagi. Jaga diri kamu baik-baik ya, Sayang. Cepat atau lambat, aku akan kembali dengan semua masalah yang sudah aku selesaikan. ‘Aku tidak akan melupakan kamu sampai kapan pun. Kita harus berpisah dan mungkin ini adalah jalan terbaik agar kamu tetap selamat, sehat dan bahagia. Aku harap kamu tetap bahagia setelah aku pergi. Jaga hati, jaga diri ya, Sayang. Kamu adalah wanita hebat, wanita kuat yang aku temui. ‘Aku pergi bukan berarti aku tidak menyayangi kamu. Hanya saja, ini semua demi kebaikan kita suatu saat nanti. Doakan aku semoga selamat. Dan kita bisa berkumpul kembali. Tapi, jika aku harus meninggalkanmu untuk selamanya, semoga ada lelaki yang bisa mencintai kamu lebih dari aku.’Deras air mata turun di pipi Jani ketika membaca sepucuk surat usang dua tahun yang lalu dari sang suami yang baru sampai ke tangannya. “Mas Rayha
“Oh, Jani. Aku pikir siapa. Kamu sudah siuman?” tanyanya di seberang sana. “Sudah, Tirta. Aku ingin menanyakan keberadaan suamiku. Dia masih hidup, kan?”Tirta terdiam di seberang sana. Ia kemudian menghela napasnya dengan panjang seraya tersenyum lirih. “Aku tidak tahu di mana dia berada sekarang, Jani. Sampai saat ini aku pun masih mencari keberadaannya yang dibawa oleh pamannya, adik dari papanya. Dia yang tahu semuanya dan dia juga yang menolong Rayhan saat terjadi kecelakaan itu.”Jani menutup mulutnya seraya menitikan air matanya. “Ma—maksud kamu, Om Fadly yang telah membawa Mas Rayhan?” “Sepertinya begitu. Bahkan anaknya saja, Vanesha tidak tahu papanya membawa Rayhan ke mana. Yang jelas, bukan di kota ini. Dia tidak mau keponakannya mengalami hal seperti itu lagi jika dia memberi tahu di mana sebenarnya Rayhan berada.” Jani terdiam sesaat. Ia kemudian mengusap air matanya seraya menyusut hidungnya dengan pelan. “Kalau kamu tahu soal ini, kenapa tadi kamu tidak bicara pada
Maya kemudian mengusapi sisian wajah perempuan itu dengan mata menatapnya lekat. “Sayang. Jika kamu menggugurkan kandungan itu, Mama tidak yakin hidupmu akan baik-baik saja. Kebanyakan wanita setelah aborsi mengalami gangguan kejiwaan karena rasa bersalahnya.”Jani menghela napasnya dengan panjang. “Kenapa kamu ingin menggugurkan kandungan kamu, huh? Masih berharap Rayhan masih hidup?” Arga menyunggingkan senyum liciknya.Rasanya tangan Jani sudah gatal ingin menampar wajah Arga. Matanya memicing tajam menatap ke arah suaminya itu. “Ma. Aku ingin tidur pisah kamar dengannya!”Maya menoleh cepat ke arah menantunya itu. “Heuh?” tanyanya seolah tak paham dengan ucapan Jani tadi. Jani menghela napas kasar. “Aku tidak mau tidur satu kamar lagi dengannya. Aku sudah hamil, kan? Ini, yang kamu mau, kan? Untuk itu, jangan pernah sentuh aku lagi. Dan satu lagi.”Jani menatap lekat wajah Maya. “Dia masih menjalin hubungan dengan Marisa. Dan setiap hari perempuan itu datang ke kantor Mas Arga.
Seketika dering ponselnya berbunyi. Panggilan dari Marisa yang rupanya sudah beberapa kali ia menghubunginya. “Ada apa?” tanyanya datar.“Di mana kamu? Aku ingin bicara sama kamu. Aku tunggu di apartemenku sekarang juga!”“Mau ke mana kamu, Arga?” tanya Maya datar. Arga menghela napasnya dengan pelan. “Keluar sebentar. Lagi pula, Jani sedang tidak ingin diganggu olehku. Untuk apa aku di sini?” Maya hanya diam. Kemudian membuang muka tanpa menjawab apa pun lagi dan membiarkan Arga pergi yang entah siapa yang hendak ia temui. “Sudah pasti Marisa,” tebaknya setelah Arga pergi dari rumah itu. Ia lalu menoleh pada Jani yang sudah rapi mengenakan celana panjang dan kemeja biru polosnya. “Kamu juga mau ke mana, Jani?” tanya Maya ingin tahu. Jani menoleh pada sang mama. “Aku ada urusan di luar, Ma. Mau ketemu sama Kyra dan Ellena di café milik Ellena.”“Baiklah. Jangan kebut-kebut, jangan lama-lama.”“Iya, Ma. Aku pamit dulu.” Jani melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu. Maya kemud
Jani sudah tidak sabar menunggu Tirta datang menjemputnya. Sedari tadi jantungnya terus berdetak tak karuan dengan rasa senang dalam dirinya begitu nyata. Tak lama setelahnya, Tirta datang dan Jani langsung masuk ke dalam mobilnya bersama dengan lelaki itu. “Kamu nggak bohongin aku, kan?” tanya Jani memastikan jika Tirta tidak menipunya.Lelaki itu terkekeh pelan sembari melajukan mobilnya. “Mana mungkin aku membohongimu. Aku hanya kasihan padamu karena selalu menanyakan kabar Rayhan.” Jani menatap lekat wajah Tirta. “Itu artinya, kamu sudah tahu di mana Mas Rayhan berada selama ini?” Tirta menghela napas panjang. “Tidak perlu aku jawab, kan?” Jani tersenyum getir. Ia hanya mengangguk kemudian menatap ke depan. Memainkan jarinya dengan rasa yang tak karuan seolah akan bertemu dengan pria yang baru saja ia temui. Rayhan, pria yang selama ini ia yakini masih hidup dan kini ia akan melihatnya lagi setelah dua tahun lamanya dianggap telah meninggal dunia. Dan kini, Jani akan memasti
Jani dibawa pulang kembali oleh Tirta dengan sakit di relung hatinya mendengar keputusan Fadly yang tidak mau Jani menemui suaminya setiap hari.“Kenapa Om Fadly jahat sekali. Apa salahku, sampai dia memisahkan aku dengan suamiku sendiri,” ucapnya lirih sembari terisak-isak. Tirta menghela napasnya dengan panjang. “Sabar. Papa hanya tidak ingin keluarganya tahu Rayhan masih hidup. Meski aku tahu, yang tidak menginginkan Rayhan hidup itu hanya Arga. Tapi, orang tuanya telah gagal menjaga Rayhan dari jahatnya Arga.”Jani menundukkan kepalanya dengan bahu bergetar karena masih menangisi ucapan Fadly tadi yang memintanya agar jangan kembali ke rumah sakit di mana Rayhan dirawat. “Padahal tadi Mas Rayhan sudah meresponku. Kenapa Om Fadly egois sekali,” ucapnya lirih. Tirta terdiam. Jika dia berada di posisi Jani pun pasti akan sedih harus dipisahkan dengan orang yang dicintai. Namun, karena satu hal yang membuat Fadly terpaksa menjauhkan Jani sampai lelaki itu siuman. “Sudah jam tiga p
Jani menginjak kaki Arga kemudian segera berlari ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamar itu agar Arga tidak bisa masuk ke dalam.“Arrggh! Jani!” pekik Arga sembari mengusapi kakinya karena ulah Jani yang menginjaknya dengan sangat kuat. Di dalam kamar. Jani lantas mengemasi semua barang-barangnya karena tidak ingin dibawa oleh Arga ke rumah baru mereka. Sebab ia tidak bisa ke mana-mana jika sudah berada di bawah kurungan Arga. Arga menggedor pintu kamar Jani agar perempuan itu keluar dari kamarnya. “Buka pintunya, Jani!” pekiknya terus menggedor pintu kamar itu. Namun, Jani tak mengubris lelaki itu. Ia kembali memasukan semua pakaiannya ke dalam koper. Tangannya berhenti ketika melihat beberapa pakaian milik suaminya. Ia lalu mengambilnya dan memasukannya ke dalam koper. “Suamiku masih hidup. Sebaiknya aku pergi ke kota itu saja agar bisa melihat suamiku setiap hari meski harus sembunyi-sembunyi.” Jani akhirnya memutuskan untuk menyusul suaminya yang kini tengah berada di Band
Usia kandungan Jani sudah memasuki usia sembilan bulan. Sudah sangat buncit dan kini tengah memeriksa kandungannya dan melihat kondisinya di monitor USG.“Posisi bayinya sudah sangat baik. Perkiraan melahirkannya sekitar dua sampai empat hari lagi,” ucap dr. Mira memberi tahu.Jani menerbitkan senyumnya. “Syukurlah kalau posisinya sudah baik. Saya lega mendengarnya, Dok. Dua sampai empat hari lagi ya, Dok?”“Betul, Ibu. Dua sampai empat hari lagi Anda akan melahirkan.”Jani menghela napasnya kemudian menoleh pada Rayhan yang tengah mengusapi punggung tangannya itu sembari menatap layar monitor USG yang tengah menampilkan wajah calon anaknya itu.Sepulang dari rumah sakit, Jani dan Rayhan mampir ke restoran dulu untuk makan siang bersama.“Mas. Dua sampai empat hari ke depan kamu nggak ke mana-mana, kan?” tanya Jani memastikan kalau Rayhan akan ada saat dia melahirkan nan
Malam harinya. Samuel teringat akan wajah perempuan lugu yang tengah mencari pekerjaan tadi pagi di rumah sakit.Kini, ia tak perlu memikirkan kondisi Rayhan kembali karena lelaki itu sudah sembuh dari obat yang sudah dia berikan pada Rayhan dulu.“Kenapa itu cewek nggak bisa hilang dari pikiran gue, sih? Kasihan banget ya, mimik mukanya. Kayak tertekan gitu.”Samuel menghela napasnya dengan panjang. “Semoga aja dia bisa menguasai kerjaannya di kantor nanti. Paling, gue yang harus sabar kalau nanti banyak yang salah.”Samuel kemudian menutup matanya sebab jam sudah menunjuk angka satu pagi. Ia harus ke kantor untuk interview Vira yang sudah ia tunjuk sebagai calon pengganti Tata.Pukul 07.00 WIB.Jani merasa perutnya seperti ini memuntahkan sesuatu. Baru saja ia bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa pahit. Ia pun segera masuk ke dalam kamar mandi dan memuntahkan cairan kuni
Keesokan harinya, Jani dan sang suami pergi ke rumah sakit bersama-sama. Pun dengan Samuel yang dari jam sembilan sudah ada di rumah hendak ikut dengan adik dan iparnya itu.Bahkan Samuel juga yang menggendong Elvan saat tiba di rumah sakit. Dan kini tengah menunggu Jani dan Rayhan yang sudah masuk ke dalam ruangan dokter.“Elvan mau makan apa? Biar Om belikan,” tanya Samuel kepada keponakannya itu.Elvan menggelengkan kepalanya. “Udah makan, Om. Nggak lapel.”“Ooh!” Samuel menyunggingkan senyumnya menatap keponakannya itu. “Elvan, sayang nggak, sama Om?”Elvan mengangguk. “Sayang, Om.”“Bagus. Anak pintar. Kalau sama Mama dan Papa?”“Sayang banget.”Samuel lantas tertawa mendengarnya. “Lucu banget sih, kamu ini. Nggak pantes rasanya kalau bapak kamu itu si Arga. Nggak ada pantes-pantesnya sumpah, dah!”
Satu minggu berlalu. Keluarga kecil yang tengah liburan itu sekarang sudah kembali ke Jakarta.Pun dengan Samuel. Lelaki itu juga ikut cuti selama satu minggu itu. Sebab terlalu penat dirinya dengan pekerjaan yang setiap hari tak pernah ada habisnya.Di sebuah taman di halaman depan rumah. Jani dan Elvan tengah bermain bersama dengan anak dari dua sahabatnya yang sedang berkunjung ke sana."Jani. Gue mau nanya tentang Rayhan ke elo."Jani menolehkan kepalanya kepada Ellena. "Kenapa El?" tanyanya kemudian.Ellena menghela napasnya dengan panjang seraya menatap Jani dengan lekat. "Elo pernah bilang kalau Rayhan akan sembuh dari cacat kesuburannya karena ulah kakak elo waktu itu."Jadi menganggukkan kepalanya. "Iya. So?" tanyanya kembali."Yaa ... sekarang kan, udah lima tahun. Kalian udah periksa lagi ke dokternya?""Oh, itu. Iyaa. Gue dan Mas Rayhan rencana besok mau ke rumah sakit untuk periksa lagi. Semoga
Pukul 20.00 WIB.Kejutan yang akan diberikan oleh Rayhan kepada Jani sebentar lagi akan dimulai. Lelaki itu tengah menunggu Janu yang masih menidurkan anaknya."Woy!"Rayhan menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat Samuel ada di sana."Kok kamu ada di sini?" tanya Rayhan bingung.Samuel menyunggingkan senyumnya. "Gue nanya sekretaris elo, katanya elo cuti selama seminggu karena mau liburan ke Bali. Ya udah, gue susul aja ke sini. Emangnya Jani nggak bilang, kalau gue tadi telepon dia?"Rayhan menggeleng dengan pelan. Ia kemudian menerbitkan senyumnya dengan lebar. Punya ide untuk menjaga Elvan selama dia dan Jani dinner."Kebetulan kamu datang ke sini, aku mau minta tolong sama kamu buat jagain Elvan di sini. Nanti jam sembilan aku dan Jani mau dinner."Samuel lantas menyunggingkan bibirnya. "Beber aja dugaan gue. Pasti, bakalan disuruh jagain Elvan." Ia pun mendengus kasar.Rayh
Sudah tiba di Bali ….Suasana yang indah, yang akhirnya bisa Jani rasakan lagi setelah sekian lama tak pernah mengunjungi tempat itu. Betapa bahagianya ia akhirnya bisa liburan bersama keluarga kecilnya.“Bagus banget pemandangannya. Udah lama banget nggak pernah ke sini. Banyak perubahan juga,” ucap Jani sembari memandang pantai yang indah dan bersih di depan matanya.Tangan Rayhan kemudian melingkar di pinggang Jani, menghampiri perempuan itu setelah menidurkan Elvan di kamar sebab anak itu masih tidur dengan lelapnya.“Makasih ya, Mas. Udah bawa aku dan Elvan ke sini. Seneng banget akhirnya bisa liburan lagi,” ucap Jani berterima kasih kepada suaminya itu.Cup!Rayhan mencium pipi Jani. “Sama-sama. Aku juga sama, seneng akhirnya bisa bawa kamu dan Elvan liburan ke tempat yang cukup jauh. Biasanya keliling mall atau taman saja. Maafin, karena terlalu sibuk dan lupa liburan.”
Jani membuka sendiri lingerie yang ia kenakan di depan Rayhan yang sudah tak sabar ingin mendekap tubuh perempuan itu.“Eits!” Jani menahan tangan Rayhan yang hendak menyentuh dirinya.Rayhan mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa lagi, hm?” tanyanya kemudian.Jani hanya tersenyum. Ia kemudian memiringkan kepalanya lalu duduk di atas paha Rayhan. Melingkarkan tangannya di ceruk leher Rayhan dan memulai lebih dulu ciumannya bersama dengan suaminya itu.Tangan Rayhan mengusap sensual punggung Jani yang sudah telanjang. Membuat perempuan itu menggeliat hangat merasakan sentuhan yang dibuat oleh Rayhan kepadanya.“Eumh ….” Jani mendesah lirih. Ia kemudian melepaskan ciuamannya itu lalu menatap penuh wajah Rayhan dengan mata yang sudah gelap oleh kabut gairah.Rayhan kemudian meraup pucuk merah muda milik perempuan itu dan meremasnya bagian yang menganggur.“Ough
Dua hari kemudian, Rayhan sudah kembali ke Jakarta. Membawakan banyak oleh-oleh untuk anak dan istrinya.Cup!Jani lantas terkejut karena Rayhan datang dengan tiba-tiba lalu mencium pipinya. “Mas Rayhan! Aku pikir siapa tadi, astaga! Bikin aku kaget aja.”Jani memukul pelan lengan suaminya karena kesal dan juga terkejut. Bila ia tengah memegang sesuatu, mungkin benda itu akan melayang ke kepala Rayhan. Beruntung, perempuan itu hanya sedang duduk sembari menonton televisi.Rayhan lantas terkekeh pelan. “Aku pikir kamu lagi tidur. Makanya aku cium biar bangun.”Jani mengerucutkan bibirnya. “Mana ada tidur sambil duduk. Kecuali di dalam kendaraan.”Rayhan kembali terkekeh. Ia kemudian memberikan lima paper bag kepada perempuan itu. “Semua yang aneh-aneh yang belum pernah kamu temui, aku beli.”Jani terperangah kemudian membuka satu persatu paper bag tersebut. “Woah! Banyak b
Dua tahun kemudian …. Tidak terasa, usia Elvan pun sudah memasuki dua tahun. Sudah pintar bicara meski masih tak jelas bicara apa akan tetapi orang-orang terdekatnya paham apa yang dikatakan oleh anak kecil itu. “Elvan sudah besar, sudah pintar. Berhenti ASI pun sangat pintar ya, Nak.” Anak kecil itu memang sudah disapih sebelum usianya dua tahun. Hanya sampai dua puluh bulan saja, Elvan sudah berhenti menyusui. Jani sangat lega, karean Elvan tidak terlalu rewel saat berhenti menyusui. “Morning,” sapa Rayhan kemudian mencium pipi Jani dan menerbitkan senyumnya. “Pagi. Mau berangkat sekarang, Mas?” tanya Jani kepada suaminya itu. Rayhan melihat jam yang melingkar di tangannya lalu mengangguk. “Hanya dua hari kok. Nggak akan lama. Atau mau ikut aja?” Jani menggelengkan kepalanya. “Nggak deh, Mas. Aku sama Elvan nunggu di rumah aja.” Rayhan harus pergi ke Malang selama dua hari di sana untuk menyelesaikan program yang sudah ia selesaikan dan perlu diinstalasi ulang agar bisa bero