Pukul 20.00 WIB.
Kejutan yang akan diberikan oleh Rayhan kepada Jani sebentar lagi akan dimulai. Lelaki itu tengah menunggu Janu yang masih menidurkan anaknya. "Woy!" Rayhan menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat Samuel ada di sana. "Kok kamu ada di sini?" tanya Rayhan bingung. Samuel menyunggingkan senyumnya. "Gue nanya sekretaris elo, katanya elo cuti selama seminggu karena mau liburan ke Bali. Ya udah, gue susul aja ke sini. Emangnya Jani nggak bilang, kalau gue tadi telepon dia?" Rayhan menggeleng dengan pelan. Ia kemudian menerbitkan senyumnya dengan lebar. Punya ide untuk menjaga Elvan selama dia dan Jani dinner. "Kebetulan kamu datang ke sini, aku mau minta tolong sama kamu buat jagain Elvan di sini. Nanti jam sembilan aku dan Jani mau dinner." Samuel lantas menyunggingkan bibirnya. "Beber aja dugaan gue. Pasti, bakalan disuruh jagain Elvan." Ia pun mendengus kasar. RayhSatu minggu berlalu. Keluarga kecil yang tengah liburan itu sekarang sudah kembali ke Jakarta.Pun dengan Samuel. Lelaki itu juga ikut cuti selama satu minggu itu. Sebab terlalu penat dirinya dengan pekerjaan yang setiap hari tak pernah ada habisnya.Di sebuah taman di halaman depan rumah. Jani dan Elvan tengah bermain bersama dengan anak dari dua sahabatnya yang sedang berkunjung ke sana."Jani. Gue mau nanya tentang Rayhan ke elo."Jani menolehkan kepalanya kepada Ellena. "Kenapa El?" tanyanya kemudian.Ellena menghela napasnya dengan panjang seraya menatap Jani dengan lekat. "Elo pernah bilang kalau Rayhan akan sembuh dari cacat kesuburannya karena ulah kakak elo waktu itu."Jadi menganggukkan kepalanya. "Iya. So?" tanyanya kembali."Yaa ... sekarang kan, udah lima tahun. Kalian udah periksa lagi ke dokternya?""Oh, itu. Iyaa. Gue dan Mas Rayhan rencana besok mau ke rumah sakit untuk periksa lagi. Semoga
Keesokan harinya, Jani dan sang suami pergi ke rumah sakit bersama-sama. Pun dengan Samuel yang dari jam sembilan sudah ada di rumah hendak ikut dengan adik dan iparnya itu.Bahkan Samuel juga yang menggendong Elvan saat tiba di rumah sakit. Dan kini tengah menunggu Jani dan Rayhan yang sudah masuk ke dalam ruangan dokter.“Elvan mau makan apa? Biar Om belikan,” tanya Samuel kepada keponakannya itu.Elvan menggelengkan kepalanya. “Udah makan, Om. Nggak lapel.”“Ooh!” Samuel menyunggingkan senyumnya menatap keponakannya itu. “Elvan, sayang nggak, sama Om?”Elvan mengangguk. “Sayang, Om.”“Bagus. Anak pintar. Kalau sama Mama dan Papa?”“Sayang banget.”Samuel lantas tertawa mendengarnya. “Lucu banget sih, kamu ini. Nggak pantes rasanya kalau bapak kamu itu si Arga. Nggak ada pantes-pantesnya sumpah, dah!”
Malam harinya. Samuel teringat akan wajah perempuan lugu yang tengah mencari pekerjaan tadi pagi di rumah sakit.Kini, ia tak perlu memikirkan kondisi Rayhan kembali karena lelaki itu sudah sembuh dari obat yang sudah dia berikan pada Rayhan dulu.“Kenapa itu cewek nggak bisa hilang dari pikiran gue, sih? Kasihan banget ya, mimik mukanya. Kayak tertekan gitu.”Samuel menghela napasnya dengan panjang. “Semoga aja dia bisa menguasai kerjaannya di kantor nanti. Paling, gue yang harus sabar kalau nanti banyak yang salah.”Samuel kemudian menutup matanya sebab jam sudah menunjuk angka satu pagi. Ia harus ke kantor untuk interview Vira yang sudah ia tunjuk sebagai calon pengganti Tata.Pukul 07.00 WIB.Jani merasa perutnya seperti ini memuntahkan sesuatu. Baru saja ia bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa pahit. Ia pun segera masuk ke dalam kamar mandi dan memuntahkan cairan kuni
Usia kandungan Jani sudah memasuki usia sembilan bulan. Sudah sangat buncit dan kini tengah memeriksa kandungannya dan melihat kondisinya di monitor USG.“Posisi bayinya sudah sangat baik. Perkiraan melahirkannya sekitar dua sampai empat hari lagi,” ucap dr. Mira memberi tahu.Jani menerbitkan senyumnya. “Syukurlah kalau posisinya sudah baik. Saya lega mendengarnya, Dok. Dua sampai empat hari lagi ya, Dok?”“Betul, Ibu. Dua sampai empat hari lagi Anda akan melahirkan.”Jani menghela napasnya kemudian menoleh pada Rayhan yang tengah mengusapi punggung tangannya itu sembari menatap layar monitor USG yang tengah menampilkan wajah calon anaknya itu.Sepulang dari rumah sakit, Jani dan Rayhan mampir ke restoran dulu untuk makan siang bersama.“Mas. Dua sampai empat hari ke depan kamu nggak ke mana-mana, kan?” tanya Jani memastikan kalau Rayhan akan ada saat dia melahirkan nan
Dalam kegelapan kamar yang hening, terdengarlah seruan putus asa dari seorang wanita yang terperangkap dalam belitan ketakutan."Lepaskan aku, Mas! Pergi!" pekik Jani seraya berusaha keras melepaskan diri dari cengkeraman tangan pria yang dikenalnya sebagai Argapura Mahendra, kakak iparnya.Tetapi suara berat dari pria itu merespons, "Eum! Aromamu selalu membuatku candu, Sayang." Nafasnya mengendus aroma tubuh Anjani Kharisma, istri dari mendiang adiknya yang jasadnya masih belum ditemukan hingga kini."Aku menginginkanmu malam ini, Sayang. Layani aku dan jangan membantah!" ucap Arga dengan nada yang mendesak, sambil menyerbu bibir Jani dengan ganas.Jeritan putus asa terdengar dari mulut Jani yang terkekang, sementara tangannya berusaha memukul-mukul dada bidang Arga dalam usaha putus asa untuk melepaskan diri. "Aku mohon, lepaskan aku! Aku bukan pacarmu!" teriaknya dengan suara gemetar, berusaha menahan serangan lanjutan dari pria itu.Namun Arga hanya menjawab dengan dingin, "Diaml
Arga tersenyum sinis, tatapan matanya penuh dengan keangkuhan saat ia berbicara. “Kamu pikir, aku juga mau, tidur satu kamar denganmu? Tidak sama sekali! Tapi, Mama dan Papa pasti memaksa kita untuk tidur dalam satu kamar.”Jani menatap Arga dengan tatapan tajam, mencoba menunjukkan ketegasannya. “Mama dan Papa bukan alasan untuk kita tidur dalam satu kamar. Lagi pula, kamu belum mengakhiri hubunganmu dengan Marisa, kan?”“Tentu saja aku tidak akan pernah mengakhiri hubunganku dengan Marisa. Pernikahan kita hanya sampai bulan depan. Semoga saja kamu tidak hamil. Minum obat yang dapat menggugurkan kandunganmu, Jani!” Balas Arga dengan nada sinis, tanpa rasa belas kasihan.Jani menatap Arga dengan mata nanar, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Aku tidak menginginkan pernikahan ini, bukan berarti aku tega membunuh anakku sendiri, Mas! Lagi pula, belum tentu aku hamil.”“Ya!” jawab Arga dengan singkat, lalu ia memutuskan untuk memasuki kamar Jani.“Mas!” pekik Jani, langk
Seketika itu juga, mata Arga membulat sempurna, terkejut dan kesal mencampur baur dalam ekspresinya. “Ma!” pekiknya kemudian, suaranya terdengar penuh dengan keputusasaan. “Ini tidak adil! Aku tidak bersalah—”“Kamu masih terus menyangkal hal ini, Arga. Kamu tahu kan, kenapa papa kamu menutup kasus kecelakaan adikmu? Karena dia masih memliki hati untuk tidak menjebloskan kamu ke penjara! Bukti ada di tangan kami. Dan jika kamu berulah dan tidak mau mengakhiri hubunganmu dengan Marisa, jangan harap kamu masih duduk di bangku kebanggaanmu itu!” potong Maya dengan suara tegas, tatapannya menembus kedalaman hati Arga.Jani, yang mendengar percakapan itu dari balik pintu, hanya bisa menitikkan air mata. Ia telah menikah dengan pria yang, menurut kata ibu mertuanya sendiri, telah membunuh suaminya. Rasanya dunia seakan runtuh di hadapannya, keputusasaan memenuhi setiap serat jiwanya.Tanpa berpikir panjang, Jani berlari menuju mobilnya, hatinya berdegup kencang di dalam dadanya. Entah keman
Jani menundukkan kepalanya, terisak lirih mendengar ucapan dari Maya. “Maafkan aku, Ma. Aku terlalu menyalahkan diri aku sendiri karena tidak bisa menepati janjiku untuk menunggu Mas Ray—”“Jani. Berhenti mengharapkan Rayhan. Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu. Andai pun masih hidup, seharusnya dia sudah kembali pada kamu, pada kita semua,” ucap Maya dengan suara lembut, sambil memegang pundak menantunya dengan penuh kelembutan.Jani kembali terisak. “Tapi, jasad Mas Rayhan belum juga ditemukan, Ma. Mana mungkin aku bisa percaya jika dia telah pergi. Aku masih berharap penuh jika dia masih hidup dan menolongku dari pernikahan ini.”Maya tersenyum lirih. “Ya. Andai itu terjadi. Tapi, semuanya mustahil. Mobil Rayhan terbakar, hancur berkeping-keping, jatuh ke dalam jurang yang curam. Mungkin jasadnya sudah terbawa arus sungai yang saat itu sedang meluap.”Menghela napas dengan panjang, Maya melanjutkan, “Jangan terlalu larut dalam duka atas kepergian dia, Sayang. Mama juga sedih. T