Arga tersenyum sinis, tatapan matanya penuh dengan keangkuhan saat ia berbicara. “Kamu pikir, aku juga mau, tidur satu kamar denganmu? Tidak sama sekali! Tapi, Mama dan Papa pasti memaksa kita untuk tidur dalam satu kamar.”
Jani menatap Arga dengan tatapan tajam, mencoba menunjukkan ketegasannya. “Mama dan Papa bukan alasan untuk kita tidur dalam satu kamar. Lagi pula, kamu belum mengakhiri hubunganmu dengan Marisa, kan?”
“Tentu saja aku tidak akan pernah mengakhiri hubunganku dengan Marisa. Pernikahan kita hanya sampai bulan depan. Semoga saja kamu tidak hamil. Minum obat yang dapat menggugurkan kandunganmu, Jani!” Balas Arga dengan nada sinis, tanpa rasa belas kasihan.
Jani menatap Arga dengan mata nanar, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Aku tidak menginginkan pernikahan ini, bukan berarti aku tega membunuh anakku sendiri, Mas! Lagi pula, belum tentu aku hamil.”
“Ya!” jawab Arga dengan singkat, lalu ia memutuskan untuk memasuki kamar Jani.
“Mas!” pekik Jani, langkahnya cepat menyusul Arga yang sudah memasuki kamar. “Sudah aku katakan jangan tidur satu kamar denganku,” keluhnya dengan nada kesal.
“Jani! Aku bilang apa tadi pada kamu, huh? Mama dan Papa yang meminta kita untuk tidur dalam satu kamar! Semua orang tahu, jika kita sudah menikah. Termasuk semua rekan kerja di kantor,” sahut Arga dengan suara yang keras, matanya menatap Jani dengan tajam, mencoba menekankan bahwa keputusan ini tidak bisa dibantah.
Jani hanya menghela napas panjang, merasakan kelelahan yang menghimpitnya. Tanpa kata-kata lagi, dia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi, membutuhkan waktu sendiri untuk membersihkan diri sebelum akhirnya tidur, mengubur kekecewaannya dalam diam.
Keesokan harinya, langkah-langkah kecil menuju kehidupan baru pun dimulai bagi Jani. Status janda yang sudah melekat di dalam dirinya kini berubah menjadi istri dari kakak iparnya sendiri, sebuah perubahan yang diwarnai oleh kebingungan dan ketidakpastian. Akibat kesalahan fatal yang dibuat oleh Arga kepadanya, mereka berdua terjebak dalam ikatan pernikahan tanpa cinta.
“Hari ini kamu masih cuti. Mama ingin bicara dengan kamu setelah selesai sarapan,” ucap Maya dengan serius, matanya menatap tajam pada Arga yang hanya diam membalas.
Arga mengangkat kepalanya dengan malas, terlihat kesal dengan kehadiran ibunya yang selalu memberikan instruksi. “Mau bicara apa lagi? Aku sudah menuruti perintah Mama. Masih ada lagi, yang Mama perintahkan kepadaku?” tanyanya dengan nada yang agak sinis.
Maya mengangguk, tidak terpengaruh oleh sikap Arga. “Dan banyak!” jawabnya tegas, tatapannya menembus wajah Arga dengan serius.
Arga hanya memutar bola matanya dengan kesal, mengambil segelas air putih untuk menenangkan diri. Sementara itu, Jani hanya menundukkan kepala dengan diam, tidak tertarik untuk ikut campur dalam percakapan mereka. Pikirannya sudah terlalu penuh dengan ketidakpastian dan kerinduan akan suaminya yang masih hilang, Rayhan.
Dalam keheningan, suara bisikan dalam hati Jani bergema. ‘Mas, kamu di mana? Aku tahu kamu masih ada di sini. Tolong aku, Mas. Aku tidak mau menjadi istri dari pria bengis tak punya hati seperti kakakmu ini.’
Dalam diam, doa-doa Jani tersirat dalam bisikan yang tak terdengar oleh siapapun. Ia hanya bisa berharap, bahwa suaminya yang sejati akan datang menyelamatkannya dari belenggu pernikahan yang tidak diinginkannya.
Jani merenungi keadaannya dengan hati yang berat, berusaha menahan air mata yang ingin keluar dari pipinya. Tak ada jalan keluar yang terlihat, kecuali terus menjalani kehidupan yang terikat dengan pernikahan yang tidak diinginkannya bersama Arga. Pria itu, yang tak pernah menganggapnya sebagai adik ipar setelah Rayhan, suaminya, pergi untuk selamanya, menjadi sosok yang semakin menakutkan baginya.
Setelah sarapan, Arga mendapati Maya tengah berdiri di depan jendela, tangannya terlipat di dadanya, matanya menatap ke arah luar dengan serius. "Ada apa, Ma?" tanya Arga, mendekati ibunya dengan langkah hati-hati.
Maya membalikan tubuhnya, menatap lekat wajah Arga dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kamu tidak sengaja kan, memperkosa Jani?” tanyanya tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh dengan tegas.
Arga terkesiap mendengar pertanyaan itu, dan ekspresinya berubah menjadi campuran antara keheranan dan pembelaan. “Ma, sumpah demi Tuhan aku tidak sengaja masuk kamar Jani dan melakukan itu! Aku lagi mabuk gara-gara project aku diambil oleh orang baru,” jawabnya dengan suara yang bergetar.
Maya tersenyum tipis, seakan tidak terkesan oleh penjelasan anaknya. “Kalau begitu, berhenti minum-minum. Kamu sudah melakukan kesalahan yang cukup bes—”
“Semua ini tidak akan terjadi kalau Mama mengusir Jani dari rumah ini. Kenapa sih Ma, Mama masih merawat perempuan sombong tidak tahu diri itu?” potong Arga dengan nada yang penuh kemarahan.
“Jaga mulut kamu, Arga. Dia anak teman Mama. Orang tuanya sudah meninggal dan Mama harus tanggung jawab karena dia adalah menantu Mama. Istri dari mendiang adik kamu! Gara-gara kamu juga, Rayhan harus meninggal!” bentak Maya dengan suara yang memenuhi ruangan, ekspresinya penuh dengan penyesalan dan amarah yang tersimpan.
Arga menatap tajam wajah sang mama, keberanian yang sedikit tersisa tercermin dalam matanya. “Selalu saja aku yang disalahkan!” serunya dengan nada penuh keberatan.
“Memang itu kenyataannya. Andai Jani tahu apa yang telah kamu lakukan pada adikmu itu, sampai mati pun dia tidak akan pernah memaafkan kamu! Sebagai balasannya, kamu harus menjadi suaminya. Menggantikan posisi Rayhan yang sudah kamu bunuh!” Maya menyampaikan kata-katanya dengan suara yang tegas, tatapannya menembus kedalaman jiwa Arga.
“Aku tidak membunuhnya!” sanggah Arga dengan suara yang hampir tercekik oleh emosi yang memenuhi dirinya.
Maya menutup matanya, mencoba menahan sabar dalam menghadapi anaknya yang keras kepala ini. Arga memang sangat berbeda dengan adiknya yang lemah lembut dan baik hati.
“Kalau begitu, sudah kamu akhiri, hubungan kamu dengan Marisa?” tanya Maya dengan suara yang masih tenang, namun terdengar tajam.
Arga tersenyum miring, seolah merasa telah menemukan celah untuk menolak permintaan ibunya. “Tidak akan pernah aku lakukan sampai kapan pun! Karena belum tentu Jani hamil,” jawabnya dengan nada yang penuh keyakinan.
“Oh, yaa? Seyakin itu? Jika itu maumu, baiklah. Mama beri dua pilihan untukmu kalau begitu,” kata Maya dengan suara yang tetap tenang, namun terdengar sangat berat.
“Apa?” tanya Arga, penasarannya semakin memuncak.
Maya kembali melipat tangan di dadanya, tatapannya tetap tajam. “Akhiri hubunganmu dengan Marisa, atau masuk penjara?” ucapnya dengan tegas, menunjukkan bahwa tidak ada jalan tengah dalam keputusannya.
Seketika itu juga, mata Arga membulat sempurna, terkejut dan kesal mencampur baur dalam ekspresinya. “Ma!” pekiknya kemudian, suaranya terdengar penuh dengan keputusasaan. “Ini tidak adil! Aku tidak bersalah—”“Kamu masih terus menyangkal hal ini, Arga. Kamu tahu kan, kenapa papa kamu menutup kasus kecelakaan adikmu? Karena dia masih memliki hati untuk tidak menjebloskan kamu ke penjara! Bukti ada di tangan kami. Dan jika kamu berulah dan tidak mau mengakhiri hubunganmu dengan Marisa, jangan harap kamu masih duduk di bangku kebanggaanmu itu!” potong Maya dengan suara tegas, tatapannya menembus kedalaman hati Arga.Jani, yang mendengar percakapan itu dari balik pintu, hanya bisa menitikkan air mata. Ia telah menikah dengan pria yang, menurut kata ibu mertuanya sendiri, telah membunuh suaminya. Rasanya dunia seakan runtuh di hadapannya, keputusasaan memenuhi setiap serat jiwanya.Tanpa berpikir panjang, Jani berlari menuju mobilnya, hatinya berdegup kencang di dalam dadanya. Entah keman
Jani menundukkan kepalanya, terisak lirih mendengar ucapan dari Maya. “Maafkan aku, Ma. Aku terlalu menyalahkan diri aku sendiri karena tidak bisa menepati janjiku untuk menunggu Mas Ray—”“Jani. Berhenti mengharapkan Rayhan. Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu. Andai pun masih hidup, seharusnya dia sudah kembali pada kamu, pada kita semua,” ucap Maya dengan suara lembut, sambil memegang pundak menantunya dengan penuh kelembutan.Jani kembali terisak. “Tapi, jasad Mas Rayhan belum juga ditemukan, Ma. Mana mungkin aku bisa percaya jika dia telah pergi. Aku masih berharap penuh jika dia masih hidup dan menolongku dari pernikahan ini.”Maya tersenyum lirih. “Ya. Andai itu terjadi. Tapi, semuanya mustahil. Mobil Rayhan terbakar, hancur berkeping-keping, jatuh ke dalam jurang yang curam. Mungkin jasadnya sudah terbawa arus sungai yang saat itu sedang meluap.”Menghela napas dengan panjang, Maya melanjutkan, “Jangan terlalu larut dalam duka atas kepergian dia, Sayang. Mama juga sedih. T
Namun, bukannya berhenti, ia malah semakin menjadi. Menyesapnya dengan sangat kencang dan liar. Penuh nafsu. Membuat Jani memekik hebat, kesakitan karena ulahnya.“Bajingan!” umpat Jani semakin membenci lelaki itu.Sorot mata tajam menatap Arga yang masih sibuk menyesap gundukan itu. Sepertinya ia tak peduli dengan umpatan yang dikeluarkan oleh Jani untuknya. Ia memilih melanjutkan aksinya menggerayangi tubuh indah nan mulus milik Jani.Puas bermain di atas dua gundukan yang padat berisi itu, Arga melorotkan celana dalam milik Jani.Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Merapatkan kakinya agar Arga tak dapat menyentuhnya.“Buka!” titah Arga dengan suara beratnya.“Nggak! Aku nggak mau memberikan ini lagi kepada kamu!” ucapnya sembari menangis.Arga kemudian menyunggingkan senyum. Seringaian itu semakin membuat Jani takut.Mengambil sesuatu di dalam laci yang sudah dia siapkan itu. Mata Jani lantas membola kala melihat dua buah borgol di tangan Arga.“Aku yakin, Rayhan pasti tidak per
Jani mengusap wajahnya kemudian menangis histeris. Ingin rasanya ia mengakhiri hidupnya saat ini juga. Memotong urat nadinya dan pergi untuk selamanya dari dunia ini. Namun, semuanya tak mudah seperti membalikan tangan.Ia tidak ingin mati konyol. Ada harapan yang belum tersampaikan. Masih berharap Rayhan kembali dan menolongnya.Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Jani pamit kepada sang mama jika ia hendak pergi menemui teman-temannya di sebuah café.“Jani?” Maya memanggil menantunya yang sudah melangkah keluar. Namun, harus berhenti kembali setelah Maya memanggilnya.“Iya, Ma?”Maya menghela napasnya dengan panjang. “Apa yang telah Arga lakukan pada kamu? Mengapa wajahmu pucat sekali, Nak? Dia, telah melakukan itu lagi padamu?”Jani tersenyum lirih. “Bukankah dia sudah menjadi suamiku, Ma? Dia memang munafik. Pria paling munafik yang pernah aku kenal. Bilangnya tidak mau menikah denganku, tapi malah menikmati tubuhku.”Maya menghela napasnya. “Maaf, Jani. Sudah membawa kamu ke dal
Satu bulan sudah, usia pernikahan Jani dan Arga. Lelaki itu masih belum berani memberi tahu Marisa jika ia sudah menikah dengan Jani. Jani melihat foto-foto di gallery yang masih ia simpan beberapa fotonya bersama sang suami. “Hari ini, tepat dua tahun kamu meninggalkan aku, Mas. Kamu sudah pergi selamanya, atau masih di sini? Kenapa feeling aku selalu berkata jika kamu masih hidup? Jika memang kamu masih hidup, aku mohon kembalilah.” Jani mengusapi wajah Rayhan di layar ponselnya seraya mengulas senyum lirih. “Sekali pun kamu tidak pernah hadir di mimpiku, Mas. Apakah kamu sudah tenang, di alam sana?” ucapnya lalu menarik napasnya dalam-dalam.Jani kemudian melajukan mobilnya menuju jalan di mana Rayhan mengalami kecelakaan. Membawa satu bucket bunga dan menaruhnya di sana. “Selamat jalan, Mas. Sepertinya kamu memang tidak akan pernah kembali padaku. Aku akan mendoakanmu setiap hari. Semoga di akhirat nanti kita akan bertemu lagi,” ucapnya lalu membuang bunga itu ke dasar jurang.
Di Rumah Sakit Permata. Perempuan itu dibawa oleh orang yang menolongnya. Kemudian pergi setelah pihak rumah sakit menghubungi kedua orang tua Arga. “Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Maya tampak cemas. Melihat tubuh Jani yang basah kuyup karena kehujanan dan kini sudah diganti oleh baju rumah sakit.“Selamat. Anak Anda sedang mengandung. Usianya sudah menginjak tiga minggu.” Maya menutup mulutnya terkejut. Pun dengan Indra—sang suami yang juga ikut ke rumah sakit setelah pihak rumah sakit menghubungi mereka. “Ha—hamil?” tanya Maya memastikan jika ia tidak salah dengar. “Betul, Bu. Anak Anda sedang hamil. Tolong sampaikan kepada suaminya ya, Bu. Agar lebih memperhatikan kondisi istrinya yang kini sedang mengandung.” Maya mengangguk sembari tersenyum tipis. “Baik, Dok. Terima kasih.” Ia kembali menatap Jani yang kini sudah membuka matanya. Menatap bergantian Maya dan Indra. “Aku di mana ini?” tanyanya dengan pelan.“Di rumah sakit. Kamu pingsan di jalan dan ada orang yang
‘Untuk Jani, istriku ….’ ‘Maaf. Jika aku tidak bisa memberikan banyak bahagia untuk kamu. Aku buat surat ini karena mungkin kita tidak akan bisa bertemu lagi. Jaga diri kamu baik-baik ya, Sayang. Cepat atau lambat, aku akan kembali dengan semua masalah yang sudah aku selesaikan. ‘Aku tidak akan melupakan kamu sampai kapan pun. Kita harus berpisah dan mungkin ini adalah jalan terbaik agar kamu tetap selamat, sehat dan bahagia. Aku harap kamu tetap bahagia setelah aku pergi. Jaga hati, jaga diri ya, Sayang. Kamu adalah wanita hebat, wanita kuat yang aku temui. ‘Aku pergi bukan berarti aku tidak menyayangi kamu. Hanya saja, ini semua demi kebaikan kita suatu saat nanti. Doakan aku semoga selamat. Dan kita bisa berkumpul kembali. Tapi, jika aku harus meninggalkanmu untuk selamanya, semoga ada lelaki yang bisa mencintai kamu lebih dari aku.’Deras air mata turun di pipi Jani ketika membaca sepucuk surat usang dua tahun yang lalu dari sang suami yang baru sampai ke tangannya. “Mas Rayha
“Oh, Jani. Aku pikir siapa. Kamu sudah siuman?” tanyanya di seberang sana. “Sudah, Tirta. Aku ingin menanyakan keberadaan suamiku. Dia masih hidup, kan?”Tirta terdiam di seberang sana. Ia kemudian menghela napasnya dengan panjang seraya tersenyum lirih. “Aku tidak tahu di mana dia berada sekarang, Jani. Sampai saat ini aku pun masih mencari keberadaannya yang dibawa oleh pamannya, adik dari papanya. Dia yang tahu semuanya dan dia juga yang menolong Rayhan saat terjadi kecelakaan itu.”Jani menutup mulutnya seraya menitikan air matanya. “Ma—maksud kamu, Om Fadly yang telah membawa Mas Rayhan?” “Sepertinya begitu. Bahkan anaknya saja, Vanesha tidak tahu papanya membawa Rayhan ke mana. Yang jelas, bukan di kota ini. Dia tidak mau keponakannya mengalami hal seperti itu lagi jika dia memberi tahu di mana sebenarnya Rayhan berada.” Jani terdiam sesaat. Ia kemudian mengusap air matanya seraya menyusut hidungnya dengan pelan. “Kalau kamu tahu soal ini, kenapa tadi kamu tidak bicara pada