Namun, bukannya berhenti, ia malah semakin menjadi. Menyesapnya dengan sangat kencang dan liar. Penuh nafsu. Membuat Jani memekik hebat, kesakitan karena ulahnya.
“Bajingan!” umpat Jani semakin membenci lelaki itu.
Sorot mata tajam menatap Arga yang masih sibuk menyesap gundukan itu. Sepertinya ia tak peduli dengan umpatan yang dikeluarkan oleh Jani untuknya. Ia memilih melanjutkan aksinya menggerayangi tubuh indah nan mulus milik Jani.
Puas bermain di atas dua gundukan yang padat berisi itu, Arga melorotkan celana dalam milik Jani.
Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Merapatkan kakinya agar Arga tak dapat menyentuhnya.
“Buka!” titah Arga dengan suara beratnya.
“Nggak! Aku nggak mau memberikan ini lagi kepada kamu!” ucapnya sembari menangis.
Arga kemudian menyunggingkan senyum. Seringaian itu semakin membuat Jani takut.
Mengambil sesuatu di dalam laci yang sudah dia siapkan itu. Mata Jani lantas membola kala melihat dua buah borgol di tangan Arga.
“Aku yakin, Rayhan pasti tidak pernah memberimu sensasi bercinta layaknya di red room. Dan aku akan memberikanmu sensasi itu,” ucapnya kemudian menarik kedua tangan Jani dan membawanya pada tiang tempat tidur.
“Berengsek! Aku tidak mau, Arga!” pekiknya bahkan kini ia hanya memanggil nama saja.
Arga kembali menyunggingkan senyumnya. Ia lalu melebarkan kaki perempuan itu sembari menciumi pangkal pahanya.
“Arrgghhh!” Jani menggeram dengan kepala mengadah ke atas. Tak ingin melihat aksi yang tengah dilakukan oleh suaminya itu kepadanya.
“Lepaskan aku!” pekiknya sekali lagi.
“Aku akan memuaskanmu, Jani. Dan aku yakin, kamu pasti akan ketagihan bahkan mungkin kamu sendiri yang akan memintanya.”
Jani tersenyum miring. “Dalam mimpimu!” ucapnya tegas.
Plak!
Tangan itu lantas menampar pipi Jani. Ia lalu memegang dagu perempuan itu dan menatapnya dengan tatapan lekatnya.
“Jangan sok jual mahal kamu, Jani! Kamu tahu, Rayhan tidak mencintaimu. Dia terpaksa menikah denganmu karena harus tanggung jawab atas semua yang telah Mama dan Papa lakukan pada orang tuamu!”
Jani lantas menatap nanar wajah suaminya itu. “Apa maksud kamu bicara seperti itu? Yang tidak memiliki hati di sini hanya kamu!”
Arga tersenyum miring kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Kamu ingin tahu kan, kenapa mereka tidak melaporkanku ke polisi, motif di balik pembunuhan suami kamu? Ingin tahu semuanya, kan?”
Jani mengangguk tegas. “Tentu! Aku ingin tahu semuanya.”
“Kalau begitu, layani aku sampai aku puas menginginkanmu. Sudah lama sekali aku ingin merasakan tubuh indahmu ini,” ucapnya kemudian meraup bibir perempuan itu kembali.
“Arggh!” pekik Jani kala benda asing masuk ke dalam miliknya. Untuk kedua kalinya, Arga melakukan itu kepada Jani.
Namun, kali ini dalam keadaan sadar bahkan sengaja ingin menghamili perempuan itu.
“Aahh! Kamu nikmat sekali, Jani,” ucapnya seraya mendorong dirinya lebih dalam di bawah sana.
Jani tak bisa berkata apa-apa. Pikirannya hanya tertuju pada Rayhan. Merasa bersalah karena telah mengkhianatinya. Rayhan yang selalu memintanya untuk menjaga hati, memberikan tubuhnya hanya untuk Rayhan. Kini sirna semua oleh kebangsatan yang dilakukan Arga kepadanya.
Borgol itu dilepas kembali oleh Arga setelah Jani menjinak. Ia kembali mendorong tubuhnya di bawah sana dengan kecepatan yang membuat tubuh Jani bergerak semua.
“Arggh! Sakit, Arga! Aku mohon hentikan.”
Arga kembali menatap Jani dengan tatapan penuh nafsu. Ekspresi wajahnya menyiratkan kepuasan yang menyeluruh atas kebrutalannya. Jani, terluka dan terpukul, tidak bisa menahan air mata yang terus mengalir di pipinya. Tubuhnya terasa rapuh dan hancur, terkulai tak berdaya di tempat tidur.
“Nikmati saja hujamanku, Jani. Jangan banyak bicara. Kamu terlalu munafik untuk menyangkal semua yang kulakukan padamu. Aku tahu kamu menikmatinya,” ucapnya dengan suara berat, tanpa belas kasihan.
Tubuhnya semakin tak terkendali, menerjang Jani dengan kekerasan dan brutalitas yang tidak terhingga. Jani merasakan setiap hujaman itu menusuk tubuhnya, menyisakan rasa sakit yang tak terlukiskan.
Hingga puncaknya tiba, Arga terus mendesak tubuhnya ke dalam Jani, memompanya dengan ganas dan tanpa ampun. Jani mengerang kesakitan saat Arga menyemburkan benihnya di dalam rahimnya, menandai puncak dari penderitaannya.
Tubuh Jani ambruk di samping Arga, hancur lebur oleh kebrutalan yang telah dialaminya. Arga, seolah tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya, hanya menatap Jani dengan dingin sebelum beranjak ke kamar mandi.
“Karena Rayhan mengetahui semua kejahatan yang dilakukan oleh Mama dan Papa terhadap kedua orang tuamu. Mereka pula yang memintaku untuk sabotase mobil Rayhan agar ia mati saat itu juga!” ucapnya, meninggalkan Jani terdiam dalam kehancurannya.
Hati Jani teriris. Apa yang dikatakan Arga terasa begitu tidak masuk akal, tetapi dalam keadaan yang rapuh, pikirannya terus memutar ulang kata-kata itu. Namun, di lubuk hatinya, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Mana mungkin Mama dan Papa tega melakukan itu. Tidak mungkin. Arga pasti bohong! Atau mungkin dia, yang ingin menutupi semuanya. Dia yang telah membunuh orang tuaku dan juga suamiku! Pria bajingan sepertinya lah yang pantas dijuluki pembunuh! Bukan Mama dan Papa.”
Di dalam kamar mandi, Jani memeluk kedua lututnya, terus menangis dengan sedih dan putus asa. Setiap tetes air di shower terasa seperti mengingatkannya akan semua penderitaan yang telah dia alami.
“Mana punya hati. Bahkan jantungmu mungkin dia tidak punya. Andai membunuh dilegalkan, sudah kubunuh kamu, Arga! Pria sialan yang seharusnya kamu yang mati. Bukan Mas Rayhan. Arrggghhhh!” umpatnya dalam keputusasaan yang mendalam.
Jani mengusap wajahnya kemudian menangis histeris. Ingin rasanya ia mengakhiri hidupnya saat ini juga. Memotong urat nadinya dan pergi untuk selamanya dari dunia ini. Namun, semuanya tak mudah seperti membalikan tangan.Ia tidak ingin mati konyol. Ada harapan yang belum tersampaikan. Masih berharap Rayhan kembali dan menolongnya.Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Jani pamit kepada sang mama jika ia hendak pergi menemui teman-temannya di sebuah café.“Jani?” Maya memanggil menantunya yang sudah melangkah keluar. Namun, harus berhenti kembali setelah Maya memanggilnya.“Iya, Ma?”Maya menghela napasnya dengan panjang. “Apa yang telah Arga lakukan pada kamu? Mengapa wajahmu pucat sekali, Nak? Dia, telah melakukan itu lagi padamu?”Jani tersenyum lirih. “Bukankah dia sudah menjadi suamiku, Ma? Dia memang munafik. Pria paling munafik yang pernah aku kenal. Bilangnya tidak mau menikah denganku, tapi malah menikmati tubuhku.”Maya menghela napasnya. “Maaf, Jani. Sudah membawa kamu ke dal
Satu bulan sudah, usia pernikahan Jani dan Arga. Lelaki itu masih belum berani memberi tahu Marisa jika ia sudah menikah dengan Jani. Jani melihat foto-foto di gallery yang masih ia simpan beberapa fotonya bersama sang suami. “Hari ini, tepat dua tahun kamu meninggalkan aku, Mas. Kamu sudah pergi selamanya, atau masih di sini? Kenapa feeling aku selalu berkata jika kamu masih hidup? Jika memang kamu masih hidup, aku mohon kembalilah.” Jani mengusapi wajah Rayhan di layar ponselnya seraya mengulas senyum lirih. “Sekali pun kamu tidak pernah hadir di mimpiku, Mas. Apakah kamu sudah tenang, di alam sana?” ucapnya lalu menarik napasnya dalam-dalam.Jani kemudian melajukan mobilnya menuju jalan di mana Rayhan mengalami kecelakaan. Membawa satu bucket bunga dan menaruhnya di sana. “Selamat jalan, Mas. Sepertinya kamu memang tidak akan pernah kembali padaku. Aku akan mendoakanmu setiap hari. Semoga di akhirat nanti kita akan bertemu lagi,” ucapnya lalu membuang bunga itu ke dasar jurang.
Di Rumah Sakit Permata. Perempuan itu dibawa oleh orang yang menolongnya. Kemudian pergi setelah pihak rumah sakit menghubungi kedua orang tua Arga. “Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Maya tampak cemas. Melihat tubuh Jani yang basah kuyup karena kehujanan dan kini sudah diganti oleh baju rumah sakit.“Selamat. Anak Anda sedang mengandung. Usianya sudah menginjak tiga minggu.” Maya menutup mulutnya terkejut. Pun dengan Indra—sang suami yang juga ikut ke rumah sakit setelah pihak rumah sakit menghubungi mereka. “Ha—hamil?” tanya Maya memastikan jika ia tidak salah dengar. “Betul, Bu. Anak Anda sedang hamil. Tolong sampaikan kepada suaminya ya, Bu. Agar lebih memperhatikan kondisi istrinya yang kini sedang mengandung.” Maya mengangguk sembari tersenyum tipis. “Baik, Dok. Terima kasih.” Ia kembali menatap Jani yang kini sudah membuka matanya. Menatap bergantian Maya dan Indra. “Aku di mana ini?” tanyanya dengan pelan.“Di rumah sakit. Kamu pingsan di jalan dan ada orang yang
‘Untuk Jani, istriku ….’ ‘Maaf. Jika aku tidak bisa memberikan banyak bahagia untuk kamu. Aku buat surat ini karena mungkin kita tidak akan bisa bertemu lagi. Jaga diri kamu baik-baik ya, Sayang. Cepat atau lambat, aku akan kembali dengan semua masalah yang sudah aku selesaikan. ‘Aku tidak akan melupakan kamu sampai kapan pun. Kita harus berpisah dan mungkin ini adalah jalan terbaik agar kamu tetap selamat, sehat dan bahagia. Aku harap kamu tetap bahagia setelah aku pergi. Jaga hati, jaga diri ya, Sayang. Kamu adalah wanita hebat, wanita kuat yang aku temui. ‘Aku pergi bukan berarti aku tidak menyayangi kamu. Hanya saja, ini semua demi kebaikan kita suatu saat nanti. Doakan aku semoga selamat. Dan kita bisa berkumpul kembali. Tapi, jika aku harus meninggalkanmu untuk selamanya, semoga ada lelaki yang bisa mencintai kamu lebih dari aku.’Deras air mata turun di pipi Jani ketika membaca sepucuk surat usang dua tahun yang lalu dari sang suami yang baru sampai ke tangannya. “Mas Rayha
“Oh, Jani. Aku pikir siapa. Kamu sudah siuman?” tanyanya di seberang sana. “Sudah, Tirta. Aku ingin menanyakan keberadaan suamiku. Dia masih hidup, kan?”Tirta terdiam di seberang sana. Ia kemudian menghela napasnya dengan panjang seraya tersenyum lirih. “Aku tidak tahu di mana dia berada sekarang, Jani. Sampai saat ini aku pun masih mencari keberadaannya yang dibawa oleh pamannya, adik dari papanya. Dia yang tahu semuanya dan dia juga yang menolong Rayhan saat terjadi kecelakaan itu.”Jani menutup mulutnya seraya menitikan air matanya. “Ma—maksud kamu, Om Fadly yang telah membawa Mas Rayhan?” “Sepertinya begitu. Bahkan anaknya saja, Vanesha tidak tahu papanya membawa Rayhan ke mana. Yang jelas, bukan di kota ini. Dia tidak mau keponakannya mengalami hal seperti itu lagi jika dia memberi tahu di mana sebenarnya Rayhan berada.” Jani terdiam sesaat. Ia kemudian mengusap air matanya seraya menyusut hidungnya dengan pelan. “Kalau kamu tahu soal ini, kenapa tadi kamu tidak bicara pada
Maya kemudian mengusapi sisian wajah perempuan itu dengan mata menatapnya lekat. “Sayang. Jika kamu menggugurkan kandungan itu, Mama tidak yakin hidupmu akan baik-baik saja. Kebanyakan wanita setelah aborsi mengalami gangguan kejiwaan karena rasa bersalahnya.”Jani menghela napasnya dengan panjang. “Kenapa kamu ingin menggugurkan kandungan kamu, huh? Masih berharap Rayhan masih hidup?” Arga menyunggingkan senyum liciknya.Rasanya tangan Jani sudah gatal ingin menampar wajah Arga. Matanya memicing tajam menatap ke arah suaminya itu. “Ma. Aku ingin tidur pisah kamar dengannya!”Maya menoleh cepat ke arah menantunya itu. “Heuh?” tanyanya seolah tak paham dengan ucapan Jani tadi. Jani menghela napas kasar. “Aku tidak mau tidur satu kamar lagi dengannya. Aku sudah hamil, kan? Ini, yang kamu mau, kan? Untuk itu, jangan pernah sentuh aku lagi. Dan satu lagi.”Jani menatap lekat wajah Maya. “Dia masih menjalin hubungan dengan Marisa. Dan setiap hari perempuan itu datang ke kantor Mas Arga.
Seketika dering ponselnya berbunyi. Panggilan dari Marisa yang rupanya sudah beberapa kali ia menghubunginya. “Ada apa?” tanyanya datar.“Di mana kamu? Aku ingin bicara sama kamu. Aku tunggu di apartemenku sekarang juga!”“Mau ke mana kamu, Arga?” tanya Maya datar. Arga menghela napasnya dengan pelan. “Keluar sebentar. Lagi pula, Jani sedang tidak ingin diganggu olehku. Untuk apa aku di sini?” Maya hanya diam. Kemudian membuang muka tanpa menjawab apa pun lagi dan membiarkan Arga pergi yang entah siapa yang hendak ia temui. “Sudah pasti Marisa,” tebaknya setelah Arga pergi dari rumah itu. Ia lalu menoleh pada Jani yang sudah rapi mengenakan celana panjang dan kemeja biru polosnya. “Kamu juga mau ke mana, Jani?” tanya Maya ingin tahu. Jani menoleh pada sang mama. “Aku ada urusan di luar, Ma. Mau ketemu sama Kyra dan Ellena di café milik Ellena.”“Baiklah. Jangan kebut-kebut, jangan lama-lama.”“Iya, Ma. Aku pamit dulu.” Jani melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu. Maya kemud
Jani sudah tidak sabar menunggu Tirta datang menjemputnya. Sedari tadi jantungnya terus berdetak tak karuan dengan rasa senang dalam dirinya begitu nyata. Tak lama setelahnya, Tirta datang dan Jani langsung masuk ke dalam mobilnya bersama dengan lelaki itu. “Kamu nggak bohongin aku, kan?” tanya Jani memastikan jika Tirta tidak menipunya.Lelaki itu terkekeh pelan sembari melajukan mobilnya. “Mana mungkin aku membohongimu. Aku hanya kasihan padamu karena selalu menanyakan kabar Rayhan.” Jani menatap lekat wajah Tirta. “Itu artinya, kamu sudah tahu di mana Mas Rayhan berada selama ini?” Tirta menghela napas panjang. “Tidak perlu aku jawab, kan?” Jani tersenyum getir. Ia hanya mengangguk kemudian menatap ke depan. Memainkan jarinya dengan rasa yang tak karuan seolah akan bertemu dengan pria yang baru saja ia temui. Rayhan, pria yang selama ini ia yakini masih hidup dan kini ia akan melihatnya lagi setelah dua tahun lamanya dianggap telah meninggal dunia. Dan kini, Jani akan memasti