“Oh, Jani. Aku pikir siapa. Kamu sudah siuman?” tanyanya di seberang sana. “Sudah, Tirta. Aku ingin menanyakan keberadaan suamiku. Dia masih hidup, kan?”Tirta terdiam di seberang sana. Ia kemudian menghela napasnya dengan panjang seraya tersenyum lirih. “Aku tidak tahu di mana dia berada sekarang, Jani. Sampai saat ini aku pun masih mencari keberadaannya yang dibawa oleh pamannya, adik dari papanya. Dia yang tahu semuanya dan dia juga yang menolong Rayhan saat terjadi kecelakaan itu.”Jani menutup mulutnya seraya menitikan air matanya. “Ma—maksud kamu, Om Fadly yang telah membawa Mas Rayhan?” “Sepertinya begitu. Bahkan anaknya saja, Vanesha tidak tahu papanya membawa Rayhan ke mana. Yang jelas, bukan di kota ini. Dia tidak mau keponakannya mengalami hal seperti itu lagi jika dia memberi tahu di mana sebenarnya Rayhan berada.” Jani terdiam sesaat. Ia kemudian mengusap air matanya seraya menyusut hidungnya dengan pelan. “Kalau kamu tahu soal ini, kenapa tadi kamu tidak bicara pada
Maya kemudian mengusapi sisian wajah perempuan itu dengan mata menatapnya lekat. “Sayang. Jika kamu menggugurkan kandungan itu, Mama tidak yakin hidupmu akan baik-baik saja. Kebanyakan wanita setelah aborsi mengalami gangguan kejiwaan karena rasa bersalahnya.”Jani menghela napasnya dengan panjang. “Kenapa kamu ingin menggugurkan kandungan kamu, huh? Masih berharap Rayhan masih hidup?” Arga menyunggingkan senyum liciknya.Rasanya tangan Jani sudah gatal ingin menampar wajah Arga. Matanya memicing tajam menatap ke arah suaminya itu. “Ma. Aku ingin tidur pisah kamar dengannya!”Maya menoleh cepat ke arah menantunya itu. “Heuh?” tanyanya seolah tak paham dengan ucapan Jani tadi. Jani menghela napas kasar. “Aku tidak mau tidur satu kamar lagi dengannya. Aku sudah hamil, kan? Ini, yang kamu mau, kan? Untuk itu, jangan pernah sentuh aku lagi. Dan satu lagi.”Jani menatap lekat wajah Maya. “Dia masih menjalin hubungan dengan Marisa. Dan setiap hari perempuan itu datang ke kantor Mas Arga.
Seketika dering ponselnya berbunyi. Panggilan dari Marisa yang rupanya sudah beberapa kali ia menghubunginya. “Ada apa?” tanyanya datar.“Di mana kamu? Aku ingin bicara sama kamu. Aku tunggu di apartemenku sekarang juga!”“Mau ke mana kamu, Arga?” tanya Maya datar. Arga menghela napasnya dengan pelan. “Keluar sebentar. Lagi pula, Jani sedang tidak ingin diganggu olehku. Untuk apa aku di sini?” Maya hanya diam. Kemudian membuang muka tanpa menjawab apa pun lagi dan membiarkan Arga pergi yang entah siapa yang hendak ia temui. “Sudah pasti Marisa,” tebaknya setelah Arga pergi dari rumah itu. Ia lalu menoleh pada Jani yang sudah rapi mengenakan celana panjang dan kemeja biru polosnya. “Kamu juga mau ke mana, Jani?” tanya Maya ingin tahu. Jani menoleh pada sang mama. “Aku ada urusan di luar, Ma. Mau ketemu sama Kyra dan Ellena di café milik Ellena.”“Baiklah. Jangan kebut-kebut, jangan lama-lama.”“Iya, Ma. Aku pamit dulu.” Jani melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu. Maya kemud
Jani sudah tidak sabar menunggu Tirta datang menjemputnya. Sedari tadi jantungnya terus berdetak tak karuan dengan rasa senang dalam dirinya begitu nyata. Tak lama setelahnya, Tirta datang dan Jani langsung masuk ke dalam mobilnya bersama dengan lelaki itu. “Kamu nggak bohongin aku, kan?” tanya Jani memastikan jika Tirta tidak menipunya.Lelaki itu terkekeh pelan sembari melajukan mobilnya. “Mana mungkin aku membohongimu. Aku hanya kasihan padamu karena selalu menanyakan kabar Rayhan.” Jani menatap lekat wajah Tirta. “Itu artinya, kamu sudah tahu di mana Mas Rayhan berada selama ini?” Tirta menghela napas panjang. “Tidak perlu aku jawab, kan?” Jani tersenyum getir. Ia hanya mengangguk kemudian menatap ke depan. Memainkan jarinya dengan rasa yang tak karuan seolah akan bertemu dengan pria yang baru saja ia temui. Rayhan, pria yang selama ini ia yakini masih hidup dan kini ia akan melihatnya lagi setelah dua tahun lamanya dianggap telah meninggal dunia. Dan kini, Jani akan memasti
Jani dibawa pulang kembali oleh Tirta dengan sakit di relung hatinya mendengar keputusan Fadly yang tidak mau Jani menemui suaminya setiap hari.“Kenapa Om Fadly jahat sekali. Apa salahku, sampai dia memisahkan aku dengan suamiku sendiri,” ucapnya lirih sembari terisak-isak. Tirta menghela napasnya dengan panjang. “Sabar. Papa hanya tidak ingin keluarganya tahu Rayhan masih hidup. Meski aku tahu, yang tidak menginginkan Rayhan hidup itu hanya Arga. Tapi, orang tuanya telah gagal menjaga Rayhan dari jahatnya Arga.”Jani menundukkan kepalanya dengan bahu bergetar karena masih menangisi ucapan Fadly tadi yang memintanya agar jangan kembali ke rumah sakit di mana Rayhan dirawat. “Padahal tadi Mas Rayhan sudah meresponku. Kenapa Om Fadly egois sekali,” ucapnya lirih. Tirta terdiam. Jika dia berada di posisi Jani pun pasti akan sedih harus dipisahkan dengan orang yang dicintai. Namun, karena satu hal yang membuat Fadly terpaksa menjauhkan Jani sampai lelaki itu siuman. “Sudah jam tiga p
Jani menginjak kaki Arga kemudian segera berlari ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamar itu agar Arga tidak bisa masuk ke dalam.“Arrggh! Jani!” pekik Arga sembari mengusapi kakinya karena ulah Jani yang menginjaknya dengan sangat kuat. Di dalam kamar. Jani lantas mengemasi semua barang-barangnya karena tidak ingin dibawa oleh Arga ke rumah baru mereka. Sebab ia tidak bisa ke mana-mana jika sudah berada di bawah kurungan Arga. Arga menggedor pintu kamar Jani agar perempuan itu keluar dari kamarnya. “Buka pintunya, Jani!” pekiknya terus menggedor pintu kamar itu. Namun, Jani tak mengubris lelaki itu. Ia kembali memasukan semua pakaiannya ke dalam koper. Tangannya berhenti ketika melihat beberapa pakaian milik suaminya. Ia lalu mengambilnya dan memasukannya ke dalam koper. “Suamiku masih hidup. Sebaiknya aku pergi ke kota itu saja agar bisa melihat suamiku setiap hari meski harus sembunyi-sembunyi.” Jani akhirnya memutuskan untuk menyusul suaminya yang kini tengah berada di Band
“Adiknya Papa ‘kan, Ma?” Jani menjawab pertanyaan Maya yang menanyakan siapa Fadly sebenarnya.Maya tersenyum tipis. “Iya. Fadly memang adiknya papa kamu. Tapi, dia memiliki peran penting dalam hidup Rayhan. Syukurlah, kalau Rayhan dirawat oleh Fadly. Selalu kabari Mama tentang kalian.” Maya menutup panggilan tersebut setelah memberi teka-teki pada Jani. Ia masih belum paham dengan ucapan Maya tadi. Peran penting apa, yang selama ini Fadly lakukan untuk Rayhan. Ia kemudian menghubungi Vanesha, hendak memberi tahu jika ia akan tinggal di sana. “Jani. Jangan sampai Arga mengikuti kamu, yaa. Jangan sampai. Nanti Papa marah kalau tahu kamu tinggal di sini.”“Kamu jangan khawatir. Mama sudah membantuku untuk mengelabui Arga. Dia sedang menjemput Mama dan aku aman. Dia tidak akan mengikutiku dan tidak akan pernah tahu aku ada di mana. Setelah ini, aku akan mengganti nomorku agar tidak ada yang bisa menghubungiku.”Vanesha menghela napasnya di seberang sana. “Ya sudah kalau begitu. Kamu h
Vanesha mengusapi lengan Jani dengan pelan. “Jika nanti kamu kembali pada Rayhan, jangan mengharapkan kamu akan memiliki anak dengannya. Karena itu hanya satu persen saja dia bisa memberi kamu anak. Kondisinya benar-benar tidak memungkinkan untuk bisa buat kamu hamil, Jani.” Perempuan itu menghela napasnya dengan pelan. “Pasti Arga kan, yang melakukan ini pada Mas Rayhan?” tebaknya kemudian. “Kita tidak tahu, Jani. Hanya Rayhan saja yang tahu tentang ini. Kamu bisa tanyakan ini padanya setelah dia siuman.” Jani menelan salivanya. “Kenapa dia tega sekali melakukan ini. Apa salah Mas Rayhan sampai tega melakukan ini padanya? Padahal mereka saudara kandung. Seharusnya ….” Jani menghela napas pelan. “Sudahlah. Semuanya sudah terjadi. Memang banyak hal yang belum kamu ketahui yang selama ini disembunyikan oleh Rayhan. Tapi, aku yakin jika Rayhan pasti akan memberi tahu kamu semuanya setelah dia siuman.”Jani menoleh pelan ke arah Vanesha. “Nesh. Kamu tahu, mantan pacar Mas Rayhan yang