“Ke mana?” Maya balik bertanya kepada anaknya. Seolah ia tidak tahu ke mana perginya Jani. “Mana aku tahu, Ma. Ini semua gara-gara Mama! Nyuruh aku jemput Mama dan akhirnya Jani pergi. Dia bawa bajunya, Ma. Udah pasti kabur dari rumah. Arrghh!” Arga memekik lalu menjambak rambutnya karena kesal.“Di mana kamu, Jani? Dengan alasan apa kamu kabur dari rumah? Dulu aja, waktu aku usir kamu, nggak pernah mau keluar dari rumah ini.” Arga semakin emosi. “Itu semua karena Mama yang minta agar dia tetap tinggal di sini, Arga. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi karena kedua orang tuanya sudah meninggal oleh papa kamu!” Arga menoleh kepada sang mama. “Kenapa Mama hanya menyalahkan Papa? Mereka sendiri yang sudah mengkhianati kalian! Wajar saja kalau Papa membunuh mereka.”Maya tersenyum miring. “Kamu tidak akan mengerti karena yang ada di dalam hati dan pikiranmu hanya ego yang kalian kedepankan!”Arga tersenyum campah. “Mama ini. Seolah wanita paling benar dan suci. Mama tahu kan, di man
Jani menutup mulutnya dengan kedua tangannya kala melihat pergerakan yang baru ia lihat untuk pertama kalinya. “Mas ….” Jani berucap lirih kemudian mengusapi tangan itu dengan lembut. “Aku tahu, kamu pasti mendengar suaraku. Aku sangat senang kamu bisa mendengar aku di sini.” Jani tidak bisa menahan air matanya. Senyum itu terbit di bibirnya seraya menatap wajah Rayhan yang belum ada pergerakan untuk membuka matanya. “Dia sudah merespon kamu dengan baik, Jani. Semoga sebentar lagi dia akan siuman. Dokter Joko sebentar lagi akan kemari untuk memeriksa kondisi Rayhan." Vanesha mengusapi lengan Jani sembari menerbitkan senyumnya. Tak lama setelahnya, Dokter Joko datang dan langsung memeriksa kondisi Rayhan setelah diberi tahu jika lelaki itu menggerakkan tangannya meski hanya sebentar. "Respon Rayhan memang sangat responsif akan suara yang dia dengar. Selama ini, sepertinya tidak ada yang pernah mengajaknya bicara," tutur Dokter Joko yang cukup mengejutkan Jani dan juga Vanesha kala
Arga sangat yakin jika Maya mengetahui keberadaan Jani ada di mana. Ia kemudian menghampiri sang mama dan menatap Maya dengan tatapan lekatnya. “Mama harus pergi ke butik. Jangan halangi Mama seperti ini, kamu bukan begal!” ucap Maya dengan suara datarnya. Arga menarik napasnya dalam-dalam seraya menatap Maya lagi dengan lekat. “Aku sangat yakin sebenarnya Mama tahu kan, di mana keberadaan Jani?” tanya Arga mendesak agar Maya mau memberi tahu di mana Jani berada. Maya mengerutkan keningnya. Seolah tengah bingung dengan apa yang dikatakan oleh anaknya. Padahal ia paham, apa yang diminta oleh Arga darinya. Memberi tahu di mana Jani berada. “Apa maksud kamu bicara seperti itu? Memangnya kamu ada bukti, kalau Mama tahu di mana Jani berada? Kalau Mama tahu, sudah Mama datangi Jani ke sana!” ucapnya menyangkal pertanyaan dari anaknya. Meski Rayhan dan Arga sama-sama anaknya, bukan berarti ia memihak terus menerus pada Arga. Karena dia lah, Rayhan harus seperti ini. Andai Arga dulu tak
Saat itu juga Jani pergi dari rumah sakit setelah mendengar umpatan kasar dari Fadly. Cukup menyakitkan hatinya sehingga membuatnya tidak sanggup mendengarnya lagi.“Pa. Papa tidak bisa menghakimi Jani terus menerus seperti ini. Dia menikah dengan Arga bukan karena keinginannya. Tapi, karena Tante Maya yang sudah menikahkan mereka. Yang ada di hati Jani hanya Rayhan.” Vanesha sangat kecewa dengan sikap papanya yang berlaku kasar kepada Jani. Padahal, perempuan itu hanya ingin membuat Rayhan sadarkan diri dari komanya. “Kamu tahu apa, huh? Kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Arga datang ke sini dan tahu jika adiknya masih hidup, memangnya kamu mau bertanggung jawab? Kamu, yang sudah membawa dia kemari? “Inilah kenapa Papa tidak ingin Jani tahu. Dia pasti seenaknya datang ke sini ingin melihat Rayhan. Harusnya dia sadar diri, Rayhan sudah bukan lagi suaminya! Salah dia sendiri, karena sudah mau dinikahkan dengan Arga. Meski tidak menikah pun tetap saja, Arga menginginkan Jan
“Dengar, Maya. Masa lalumu dengan Rayhan tidak ada urusannya. Aku hanya ingin Rayhan sembuh dan jika memang dia masih menginginkan Jani, aku tidak akan menghalanginya. Aku melakukan ini karena aku menyayangi anakmu yang tidak pernah dianggap oleh ayahnya. “Dia hadir saat kamu memiliki skandal dengan ayahnya Jani. Kamu tahu kan, saat itu usia Jani dan Rayhan masih sama-sama kecil. Andai Jani tahu semua ini, aku pastikan dia akan membencimu sebagaimana Indra membenci kedua orang tuanya.”Fadly menghela napas kasar kemudian menelan salivanya dengan pelan. “Rasanya tidak perlu lagi aku bahas itu. Karena kamu pun tahu semua itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Jani akan kuperbolehkan menjenguk Rayhan jika memang benar, Arga tidak mengetahui keberadaan Jani ada di sini.”Fadly kemudian menutup panggilan tersebut seraya menghela napasnya dengan panjang. Ia kemudian menoleh pada Samuel yang tengah berdiri tak jauh darinya. “Ada apa kamu kemari?” tanyanya dengan suara datarnya. “Aku tahu
Samuel menyunggingkan senyum menatap sang adik satu-satunya yang sangat ia sayangi meski tidak pernah ia perlihatkan sayang itu kepadanya. "Elo akan tahu semuanya setelah Rayhan siuman, Jani. Itu pun kalau Rayhan masih mengenal elo. Nggak bermaksud buat doain yang buruk buat dia. Hanya saja, koma dalam beberapa tahun bisa jadi bikin dia amnesia." Jani menelan salivanya dengan pelan seraya menatap Samuel dengan wajah bingungnya. "Kak. Kenapa Kakak nggak kasih tahu aku padahal Kakak tahu semuanya? Mas Rayhan ada di sini, masih hidup." Jani ingin tahu alasan dari kakaknya. Samuel menghela napasnya. "Banyak hal yang mesti gue pertimbangkan waktu mau kasih tahu semuanya ke elo, Jani. Tapi, sekarang elo udah tahu kan, kalau suami elo masih hidup? Nggak usah nanya—""Tapi statusku, Kak!" Jani memotong ucapan Samuel. Matanya menatap nanar wajah sang kakak. "Tapi, aku harus menikah bahkan hamil anaknya Arga! Bahkan hingga saat ini aku masih khawatir, Mas Rayhan masih mau padaku atau akan me
Beberapa hari berlalu. Kondisi Jani sudah mulai membaik setelah dengan sabar menunggu sampai kondisinya benar-benar membaik. Kini, ia sudah diperbolehkan meninggalkan ruangannya setelah dokter menyatakan kondisinya sudah baik-baik saja. “Mas Rayhan masih belum ada pergerakan untuk bangun, Nesh?” tanyanya kepada Vanesha yang datang menghampirinya. “Belum. Selalu begitu jika kamu tidak ada ke sana. Aku sudah berusaha untuk mengajaknya bicara seperti yang kamu lakukan. Ternyata itu nggak berlaku. Hanya kamu, yang bisa melaukukan itu.” Vanesha mengulas senyumnya. Jani menghela napasnya dengan panjang seraya tersenyum tipis. “Terima kasih, sudah mau mengajaknya bicara. Nggak apa-apa. Mungkin memang tidak semua yang terdengar di telinganya bisa ia respon dengan baik. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuknya.” Vanesha mengusapi lengan perempuan itu kemudian mengajaknya untuk menemui Rayhan kembali setelah dirasa kondisinya sudah membaik. “Atau kamu mau istirahat dulu di apartemen? Tak
Indra terdiam mendengar ucapan Fadly yang tampaknya belum juga bisa melupakan kejadian itu. Masih menganggap bila Indra belum bisa berdamai dengan masa lalu tersebut. “Fadly. Aku sudah melupakan kejadian itu dan kedatanganku ke sini ingin melihat kondisi anakku. Jangan halangi aku untuk melihatnya. Kenapa kamu begitu bersikeras melarangku melihatnya?” tanyanya dengan suara lesunya. Fadly tersenyum miring. “Kamu masih menanyakan kenapa aku melarangmu melihatnya? Indra, kamu harus tahu dan harus sadar. Arga lah yang telah membuatnya terbaring koma di rumah sakit! Jika bukan karena aku melihat berita yang menayangkan kecelakaan nahas yang terjadi pada Rayhan, mungkin dia tidak akan selamat. “Malam hari, aku dan beberapa anak buahku kusuruh mereka mencari keberadaan Rayhan. Sampai ditemukan, kamu tahu di mana aku menemukannya? Di dekat pohon besar! Dia berlindung di sana dengan darah yang bercururan di tubuhnya. Berusaha menyelamatkan diri dari kecelakaan maut itu!” Fadly menatap kesa