“Dengar, Maya. Masa lalumu dengan Rayhan tidak ada urusannya. Aku hanya ingin Rayhan sembuh dan jika memang dia masih menginginkan Jani, aku tidak akan menghalanginya. Aku melakukan ini karena aku menyayangi anakmu yang tidak pernah dianggap oleh ayahnya. “Dia hadir saat kamu memiliki skandal dengan ayahnya Jani. Kamu tahu kan, saat itu usia Jani dan Rayhan masih sama-sama kecil. Andai Jani tahu semua ini, aku pastikan dia akan membencimu sebagaimana Indra membenci kedua orang tuanya.”Fadly menghela napas kasar kemudian menelan salivanya dengan pelan. “Rasanya tidak perlu lagi aku bahas itu. Karena kamu pun tahu semua itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Jani akan kuperbolehkan menjenguk Rayhan jika memang benar, Arga tidak mengetahui keberadaan Jani ada di sini.”Fadly kemudian menutup panggilan tersebut seraya menghela napasnya dengan panjang. Ia kemudian menoleh pada Samuel yang tengah berdiri tak jauh darinya. “Ada apa kamu kemari?” tanyanya dengan suara datarnya. “Aku tahu
Samuel menyunggingkan senyum menatap sang adik satu-satunya yang sangat ia sayangi meski tidak pernah ia perlihatkan sayang itu kepadanya. "Elo akan tahu semuanya setelah Rayhan siuman, Jani. Itu pun kalau Rayhan masih mengenal elo. Nggak bermaksud buat doain yang buruk buat dia. Hanya saja, koma dalam beberapa tahun bisa jadi bikin dia amnesia." Jani menelan salivanya dengan pelan seraya menatap Samuel dengan wajah bingungnya. "Kak. Kenapa Kakak nggak kasih tahu aku padahal Kakak tahu semuanya? Mas Rayhan ada di sini, masih hidup." Jani ingin tahu alasan dari kakaknya. Samuel menghela napasnya. "Banyak hal yang mesti gue pertimbangkan waktu mau kasih tahu semuanya ke elo, Jani. Tapi, sekarang elo udah tahu kan, kalau suami elo masih hidup? Nggak usah nanya—""Tapi statusku, Kak!" Jani memotong ucapan Samuel. Matanya menatap nanar wajah sang kakak. "Tapi, aku harus menikah bahkan hamil anaknya Arga! Bahkan hingga saat ini aku masih khawatir, Mas Rayhan masih mau padaku atau akan me
Beberapa hari berlalu. Kondisi Jani sudah mulai membaik setelah dengan sabar menunggu sampai kondisinya benar-benar membaik. Kini, ia sudah diperbolehkan meninggalkan ruangannya setelah dokter menyatakan kondisinya sudah baik-baik saja. “Mas Rayhan masih belum ada pergerakan untuk bangun, Nesh?” tanyanya kepada Vanesha yang datang menghampirinya. “Belum. Selalu begitu jika kamu tidak ada ke sana. Aku sudah berusaha untuk mengajaknya bicara seperti yang kamu lakukan. Ternyata itu nggak berlaku. Hanya kamu, yang bisa melaukukan itu.” Vanesha mengulas senyumnya. Jani menghela napasnya dengan panjang seraya tersenyum tipis. “Terima kasih, sudah mau mengajaknya bicara. Nggak apa-apa. Mungkin memang tidak semua yang terdengar di telinganya bisa ia respon dengan baik. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuknya.” Vanesha mengusapi lengan perempuan itu kemudian mengajaknya untuk menemui Rayhan kembali setelah dirasa kondisinya sudah membaik. “Atau kamu mau istirahat dulu di apartemen? Tak
Indra terdiam mendengar ucapan Fadly yang tampaknya belum juga bisa melupakan kejadian itu. Masih menganggap bila Indra belum bisa berdamai dengan masa lalu tersebut. “Fadly. Aku sudah melupakan kejadian itu dan kedatanganku ke sini ingin melihat kondisi anakku. Jangan halangi aku untuk melihatnya. Kenapa kamu begitu bersikeras melarangku melihatnya?” tanyanya dengan suara lesunya. Fadly tersenyum miring. “Kamu masih menanyakan kenapa aku melarangmu melihatnya? Indra, kamu harus tahu dan harus sadar. Arga lah yang telah membuatnya terbaring koma di rumah sakit! Jika bukan karena aku melihat berita yang menayangkan kecelakaan nahas yang terjadi pada Rayhan, mungkin dia tidak akan selamat. “Malam hari, aku dan beberapa anak buahku kusuruh mereka mencari keberadaan Rayhan. Sampai ditemukan, kamu tahu di mana aku menemukannya? Di dekat pohon besar! Dia berlindung di sana dengan darah yang bercururan di tubuhnya. Berusaha menyelamatkan diri dari kecelakaan maut itu!” Fadly menatap kesa
Maya menghela napasnya lalu membuka pintu kamarnya, melihat keributan yang masih berlangsung antara ayah dan anaknya itu. “Mama juga baru tahu kalau Arga dan Marisa masih menjalin hubungan. Papanya memergoki mereka cek in di hotel.” Maya memberi tahu keributan yang terjadi di luar sana. Jani yang mendengarnya sudah biasa jika Arga dan Marisa selalu tidur bersama. Baik masih belum menikah dengan Jani, maupun setelahnya. “Bukankah sudah biasa, jika mereka melakukan itu? Apakah Papa baru tahu, jika anaknya selalu tidur dengan kekasihnya itu?” Jani tampak bingung dengan ucapan Maya tadi. Sepertinya mereka tidak tahu jika Arga dan Marisa sering tidur bersama.“Sepertinya begitu. Tapi, yang buat papanya marah adalah, sudah banyak yang tahu jika dia sudah menikah dengan kamu. Papanya hanya tidak ingin Arga dicap jelek oleh orang-orang yang tahu tentang pernikahan kalian.”Jani manggut-manggut dengan pelan. “Lalu, yang buat Mas Arga ikut marah, kenapa?” tanyanya ingin tahu. Maya menghela
Usia kandungan Jani sudah memasuki empat bulan. Sudah dua bulan lamanya ia berada di Bandung menunggu Rayhan yang belum juga mau membuka matanya. “Saya baru saja memeriksa Rayhan. Kondisinya sudah semakin membaik. Dia hanya perlu membuka matanya dan itu masih membutuhkan proses yang cukup lama. Tapi, jika reaksi otot-otot dalam tubuhnya sudah mulai berfungsi, kemungkinan besar dalam waktu dekat ini Rayhan akan segera membuka matanya.”Jani yang mendengarnya lantas tersenyum bahagia. Siapa pun pasti akan merasakan kebahagiaan jika mendengar kabar seperti ini. “Kira-kira berapa lama ya, Dok?” tanyanya ingin tahu. Dokter Joko menghela napasnya. “Kita tidak bisa memprediksinya. Tapi, perlu saya ingatkan sekali lagi jika Rayhan sudah berhasil keluar dari masa komanya. Hanya tinggal menunggu sabar ia siuman.”Jani manggut-manggut dengan pelan. “Semoga saja secepatnya, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat kondisinya setelah siuman nanti. Tapi, kemungkinan dia mengalami amnesia, apaka
Keesokan harinya, tubuh Arga seperti baru saja ditindih oleh batu besar karena terasa remuk. Ia meringis pelan lalu menoleh pada Marisa yang masih menutup matanya. “Hei, bangun. Sudah pagi. Kamu tidak ke kantor, huh?” ucapnya membangunkan perempuan itu. “Aku masih ngantuk, Arga. Ini hari Minggu. Kenapa kamu nyuruh aku ke kantor? Masih mabuk, huh?” tanyanya kemudian membuka matanya. Melihat Arga yang tengah duduk menyandar di sandaran tempat tidur membuatnya menerbitkan senyumnya. “Arga. Kapan kamu menceraikan Jani? Kamu sudah berjanji padaku akan menceraikannya.” Marisa menagih janji Arga yang sempat ia ucapkan kepada perempuan itu. Arga menghela napas kasar. “Nanti. Jani belum pulang dan aku masih belum tahu dia ada di mana. Kenapa kamu ingin sekali kunikahi, huh? Bukankah sudah cukup, aku sering datang ke sini?”Marisa menggeleng. “Aku tidak percaya kalau kamu belum mau menikahiku.”Arga mendengus pelan. Ia kemudian menarik napasnya dalam-dalam dan menatap Marisa kembali. “Jani
Tirta mengerutkan keningnya melihat respon Jani mengenai pertanyaannya tadi. “Apa saja yang kamu dengar darinya dan kapan?” tanyanya ingin tahu lebih jelas. Jani menghela napasnya dengan panjang seraya menatap Tirta dengan lekat. “Tidak banyak dan hanya bilang kalau Om Fadly ingin menyelesaikan semuanya. Membawa Arga dan Papa ke dalam penjara tanpa harus menunggu Mas Rayhan siuman. Tapi, dia tidak memiliki bukti kuat. Semua bukti disimpan rapi oleh Mas Rayhan.” Tirta menelan saliva dengan pelan kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Lalu, apa yang ingin kamu tanyakan pada Rayhan jika dia sudah siuman?” Jani menggeleng pelan. “Aku hanya ingin minta maaf padanya karena telah menikah dengan Arga. Aku sangat menyesali itu, Tirta. Tentang apa yang sebenarnya terjadi di dua tahun yang lalu, aku rasa biar Mas Rayhan saja yang mengambil keputusan. Ingin diberi tahu kepadaku atau tidak.”Tirta tersenyum tipis. “Nanti juga kamu menemukan jawabannya. Tapi, memang harus menunggu Rayhan si
Usia kandungan Jani sudah memasuki usia sembilan bulan. Sudah sangat buncit dan kini tengah memeriksa kandungannya dan melihat kondisinya di monitor USG.“Posisi bayinya sudah sangat baik. Perkiraan melahirkannya sekitar dua sampai empat hari lagi,” ucap dr. Mira memberi tahu.Jani menerbitkan senyumnya. “Syukurlah kalau posisinya sudah baik. Saya lega mendengarnya, Dok. Dua sampai empat hari lagi ya, Dok?”“Betul, Ibu. Dua sampai empat hari lagi Anda akan melahirkan.”Jani menghela napasnya kemudian menoleh pada Rayhan yang tengah mengusapi punggung tangannya itu sembari menatap layar monitor USG yang tengah menampilkan wajah calon anaknya itu.Sepulang dari rumah sakit, Jani dan Rayhan mampir ke restoran dulu untuk makan siang bersama.“Mas. Dua sampai empat hari ke depan kamu nggak ke mana-mana, kan?” tanya Jani memastikan kalau Rayhan akan ada saat dia melahirkan nan
Malam harinya. Samuel teringat akan wajah perempuan lugu yang tengah mencari pekerjaan tadi pagi di rumah sakit.Kini, ia tak perlu memikirkan kondisi Rayhan kembali karena lelaki itu sudah sembuh dari obat yang sudah dia berikan pada Rayhan dulu.“Kenapa itu cewek nggak bisa hilang dari pikiran gue, sih? Kasihan banget ya, mimik mukanya. Kayak tertekan gitu.”Samuel menghela napasnya dengan panjang. “Semoga aja dia bisa menguasai kerjaannya di kantor nanti. Paling, gue yang harus sabar kalau nanti banyak yang salah.”Samuel kemudian menutup matanya sebab jam sudah menunjuk angka satu pagi. Ia harus ke kantor untuk interview Vira yang sudah ia tunjuk sebagai calon pengganti Tata.Pukul 07.00 WIB.Jani merasa perutnya seperti ini memuntahkan sesuatu. Baru saja ia bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa pahit. Ia pun segera masuk ke dalam kamar mandi dan memuntahkan cairan kuni
Keesokan harinya, Jani dan sang suami pergi ke rumah sakit bersama-sama. Pun dengan Samuel yang dari jam sembilan sudah ada di rumah hendak ikut dengan adik dan iparnya itu.Bahkan Samuel juga yang menggendong Elvan saat tiba di rumah sakit. Dan kini tengah menunggu Jani dan Rayhan yang sudah masuk ke dalam ruangan dokter.“Elvan mau makan apa? Biar Om belikan,” tanya Samuel kepada keponakannya itu.Elvan menggelengkan kepalanya. “Udah makan, Om. Nggak lapel.”“Ooh!” Samuel menyunggingkan senyumnya menatap keponakannya itu. “Elvan, sayang nggak, sama Om?”Elvan mengangguk. “Sayang, Om.”“Bagus. Anak pintar. Kalau sama Mama dan Papa?”“Sayang banget.”Samuel lantas tertawa mendengarnya. “Lucu banget sih, kamu ini. Nggak pantes rasanya kalau bapak kamu itu si Arga. Nggak ada pantes-pantesnya sumpah, dah!”
Satu minggu berlalu. Keluarga kecil yang tengah liburan itu sekarang sudah kembali ke Jakarta.Pun dengan Samuel. Lelaki itu juga ikut cuti selama satu minggu itu. Sebab terlalu penat dirinya dengan pekerjaan yang setiap hari tak pernah ada habisnya.Di sebuah taman di halaman depan rumah. Jani dan Elvan tengah bermain bersama dengan anak dari dua sahabatnya yang sedang berkunjung ke sana."Jani. Gue mau nanya tentang Rayhan ke elo."Jani menolehkan kepalanya kepada Ellena. "Kenapa El?" tanyanya kemudian.Ellena menghela napasnya dengan panjang seraya menatap Jani dengan lekat. "Elo pernah bilang kalau Rayhan akan sembuh dari cacat kesuburannya karena ulah kakak elo waktu itu."Jadi menganggukkan kepalanya. "Iya. So?" tanyanya kembali."Yaa ... sekarang kan, udah lima tahun. Kalian udah periksa lagi ke dokternya?""Oh, itu. Iyaa. Gue dan Mas Rayhan rencana besok mau ke rumah sakit untuk periksa lagi. Semoga
Pukul 20.00 WIB.Kejutan yang akan diberikan oleh Rayhan kepada Jani sebentar lagi akan dimulai. Lelaki itu tengah menunggu Janu yang masih menidurkan anaknya."Woy!"Rayhan menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat Samuel ada di sana."Kok kamu ada di sini?" tanya Rayhan bingung.Samuel menyunggingkan senyumnya. "Gue nanya sekretaris elo, katanya elo cuti selama seminggu karena mau liburan ke Bali. Ya udah, gue susul aja ke sini. Emangnya Jani nggak bilang, kalau gue tadi telepon dia?"Rayhan menggeleng dengan pelan. Ia kemudian menerbitkan senyumnya dengan lebar. Punya ide untuk menjaga Elvan selama dia dan Jani dinner."Kebetulan kamu datang ke sini, aku mau minta tolong sama kamu buat jagain Elvan di sini. Nanti jam sembilan aku dan Jani mau dinner."Samuel lantas menyunggingkan bibirnya. "Beber aja dugaan gue. Pasti, bakalan disuruh jagain Elvan." Ia pun mendengus kasar.Rayh
Sudah tiba di Bali ….Suasana yang indah, yang akhirnya bisa Jani rasakan lagi setelah sekian lama tak pernah mengunjungi tempat itu. Betapa bahagianya ia akhirnya bisa liburan bersama keluarga kecilnya.“Bagus banget pemandangannya. Udah lama banget nggak pernah ke sini. Banyak perubahan juga,” ucap Jani sembari memandang pantai yang indah dan bersih di depan matanya.Tangan Rayhan kemudian melingkar di pinggang Jani, menghampiri perempuan itu setelah menidurkan Elvan di kamar sebab anak itu masih tidur dengan lelapnya.“Makasih ya, Mas. Udah bawa aku dan Elvan ke sini. Seneng banget akhirnya bisa liburan lagi,” ucap Jani berterima kasih kepada suaminya itu.Cup!Rayhan mencium pipi Jani. “Sama-sama. Aku juga sama, seneng akhirnya bisa bawa kamu dan Elvan liburan ke tempat yang cukup jauh. Biasanya keliling mall atau taman saja. Maafin, karena terlalu sibuk dan lupa liburan.”
Jani membuka sendiri lingerie yang ia kenakan di depan Rayhan yang sudah tak sabar ingin mendekap tubuh perempuan itu.“Eits!” Jani menahan tangan Rayhan yang hendak menyentuh dirinya.Rayhan mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa lagi, hm?” tanyanya kemudian.Jani hanya tersenyum. Ia kemudian memiringkan kepalanya lalu duduk di atas paha Rayhan. Melingkarkan tangannya di ceruk leher Rayhan dan memulai lebih dulu ciumannya bersama dengan suaminya itu.Tangan Rayhan mengusap sensual punggung Jani yang sudah telanjang. Membuat perempuan itu menggeliat hangat merasakan sentuhan yang dibuat oleh Rayhan kepadanya.“Eumh ….” Jani mendesah lirih. Ia kemudian melepaskan ciuamannya itu lalu menatap penuh wajah Rayhan dengan mata yang sudah gelap oleh kabut gairah.Rayhan kemudian meraup pucuk merah muda milik perempuan itu dan meremasnya bagian yang menganggur.“Ough
Dua hari kemudian, Rayhan sudah kembali ke Jakarta. Membawakan banyak oleh-oleh untuk anak dan istrinya.Cup!Jani lantas terkejut karena Rayhan datang dengan tiba-tiba lalu mencium pipinya. “Mas Rayhan! Aku pikir siapa tadi, astaga! Bikin aku kaget aja.”Jani memukul pelan lengan suaminya karena kesal dan juga terkejut. Bila ia tengah memegang sesuatu, mungkin benda itu akan melayang ke kepala Rayhan. Beruntung, perempuan itu hanya sedang duduk sembari menonton televisi.Rayhan lantas terkekeh pelan. “Aku pikir kamu lagi tidur. Makanya aku cium biar bangun.”Jani mengerucutkan bibirnya. “Mana ada tidur sambil duduk. Kecuali di dalam kendaraan.”Rayhan kembali terkekeh. Ia kemudian memberikan lima paper bag kepada perempuan itu. “Semua yang aneh-aneh yang belum pernah kamu temui, aku beli.”Jani terperangah kemudian membuka satu persatu paper bag tersebut. “Woah! Banyak b
Dua tahun kemudian …. Tidak terasa, usia Elvan pun sudah memasuki dua tahun. Sudah pintar bicara meski masih tak jelas bicara apa akan tetapi orang-orang terdekatnya paham apa yang dikatakan oleh anak kecil itu. “Elvan sudah besar, sudah pintar. Berhenti ASI pun sangat pintar ya, Nak.” Anak kecil itu memang sudah disapih sebelum usianya dua tahun. Hanya sampai dua puluh bulan saja, Elvan sudah berhenti menyusui. Jani sangat lega, karean Elvan tidak terlalu rewel saat berhenti menyusui. “Morning,” sapa Rayhan kemudian mencium pipi Jani dan menerbitkan senyumnya. “Pagi. Mau berangkat sekarang, Mas?” tanya Jani kepada suaminya itu. Rayhan melihat jam yang melingkar di tangannya lalu mengangguk. “Hanya dua hari kok. Nggak akan lama. Atau mau ikut aja?” Jani menggelengkan kepalanya. “Nggak deh, Mas. Aku sama Elvan nunggu di rumah aja.” Rayhan harus pergi ke Malang selama dua hari di sana untuk menyelesaikan program yang sudah ia selesaikan dan perlu diinstalasi ulang agar bisa bero