Jani sudah tidak sabar menunggu Tirta datang menjemputnya. Sedari tadi jantungnya terus berdetak tak karuan dengan rasa senang dalam dirinya begitu nyata. Tak lama setelahnya, Tirta datang dan Jani langsung masuk ke dalam mobilnya bersama dengan lelaki itu. “Kamu nggak bohongin aku, kan?” tanya Jani memastikan jika Tirta tidak menipunya.Lelaki itu terkekeh pelan sembari melajukan mobilnya. “Mana mungkin aku membohongimu. Aku hanya kasihan padamu karena selalu menanyakan kabar Rayhan.” Jani menatap lekat wajah Tirta. “Itu artinya, kamu sudah tahu di mana Mas Rayhan berada selama ini?” Tirta menghela napas panjang. “Tidak perlu aku jawab, kan?” Jani tersenyum getir. Ia hanya mengangguk kemudian menatap ke depan. Memainkan jarinya dengan rasa yang tak karuan seolah akan bertemu dengan pria yang baru saja ia temui. Rayhan, pria yang selama ini ia yakini masih hidup dan kini ia akan melihatnya lagi setelah dua tahun lamanya dianggap telah meninggal dunia. Dan kini, Jani akan memasti
Jani dibawa pulang kembali oleh Tirta dengan sakit di relung hatinya mendengar keputusan Fadly yang tidak mau Jani menemui suaminya setiap hari.“Kenapa Om Fadly jahat sekali. Apa salahku, sampai dia memisahkan aku dengan suamiku sendiri,” ucapnya lirih sembari terisak-isak. Tirta menghela napasnya dengan panjang. “Sabar. Papa hanya tidak ingin keluarganya tahu Rayhan masih hidup. Meski aku tahu, yang tidak menginginkan Rayhan hidup itu hanya Arga. Tapi, orang tuanya telah gagal menjaga Rayhan dari jahatnya Arga.”Jani menundukkan kepalanya dengan bahu bergetar karena masih menangisi ucapan Fadly tadi yang memintanya agar jangan kembali ke rumah sakit di mana Rayhan dirawat. “Padahal tadi Mas Rayhan sudah meresponku. Kenapa Om Fadly egois sekali,” ucapnya lirih. Tirta terdiam. Jika dia berada di posisi Jani pun pasti akan sedih harus dipisahkan dengan orang yang dicintai. Namun, karena satu hal yang membuat Fadly terpaksa menjauhkan Jani sampai lelaki itu siuman. “Sudah jam tiga p
Jani menginjak kaki Arga kemudian segera berlari ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamar itu agar Arga tidak bisa masuk ke dalam.“Arrggh! Jani!” pekik Arga sembari mengusapi kakinya karena ulah Jani yang menginjaknya dengan sangat kuat. Di dalam kamar. Jani lantas mengemasi semua barang-barangnya karena tidak ingin dibawa oleh Arga ke rumah baru mereka. Sebab ia tidak bisa ke mana-mana jika sudah berada di bawah kurungan Arga. Arga menggedor pintu kamar Jani agar perempuan itu keluar dari kamarnya. “Buka pintunya, Jani!” pekiknya terus menggedor pintu kamar itu. Namun, Jani tak mengubris lelaki itu. Ia kembali memasukan semua pakaiannya ke dalam koper. Tangannya berhenti ketika melihat beberapa pakaian milik suaminya. Ia lalu mengambilnya dan memasukannya ke dalam koper. “Suamiku masih hidup. Sebaiknya aku pergi ke kota itu saja agar bisa melihat suamiku setiap hari meski harus sembunyi-sembunyi.” Jani akhirnya memutuskan untuk menyusul suaminya yang kini tengah berada di Band
“Adiknya Papa ‘kan, Ma?” Jani menjawab pertanyaan Maya yang menanyakan siapa Fadly sebenarnya.Maya tersenyum tipis. “Iya. Fadly memang adiknya papa kamu. Tapi, dia memiliki peran penting dalam hidup Rayhan. Syukurlah, kalau Rayhan dirawat oleh Fadly. Selalu kabari Mama tentang kalian.” Maya menutup panggilan tersebut setelah memberi teka-teki pada Jani. Ia masih belum paham dengan ucapan Maya tadi. Peran penting apa, yang selama ini Fadly lakukan untuk Rayhan. Ia kemudian menghubungi Vanesha, hendak memberi tahu jika ia akan tinggal di sana. “Jani. Jangan sampai Arga mengikuti kamu, yaa. Jangan sampai. Nanti Papa marah kalau tahu kamu tinggal di sini.”“Kamu jangan khawatir. Mama sudah membantuku untuk mengelabui Arga. Dia sedang menjemput Mama dan aku aman. Dia tidak akan mengikutiku dan tidak akan pernah tahu aku ada di mana. Setelah ini, aku akan mengganti nomorku agar tidak ada yang bisa menghubungiku.”Vanesha menghela napasnya di seberang sana. “Ya sudah kalau begitu. Kamu h
Vanesha mengusapi lengan Jani dengan pelan. “Jika nanti kamu kembali pada Rayhan, jangan mengharapkan kamu akan memiliki anak dengannya. Karena itu hanya satu persen saja dia bisa memberi kamu anak. Kondisinya benar-benar tidak memungkinkan untuk bisa buat kamu hamil, Jani.” Perempuan itu menghela napasnya dengan pelan. “Pasti Arga kan, yang melakukan ini pada Mas Rayhan?” tebaknya kemudian. “Kita tidak tahu, Jani. Hanya Rayhan saja yang tahu tentang ini. Kamu bisa tanyakan ini padanya setelah dia siuman.” Jani menelan salivanya. “Kenapa dia tega sekali melakukan ini. Apa salah Mas Rayhan sampai tega melakukan ini padanya? Padahal mereka saudara kandung. Seharusnya ….” Jani menghela napas pelan. “Sudahlah. Semuanya sudah terjadi. Memang banyak hal yang belum kamu ketahui yang selama ini disembunyikan oleh Rayhan. Tapi, aku yakin jika Rayhan pasti akan memberi tahu kamu semuanya setelah dia siuman.”Jani menoleh pelan ke arah Vanesha. “Nesh. Kamu tahu, mantan pacar Mas Rayhan yang
“Ke mana?” Maya balik bertanya kepada anaknya. Seolah ia tidak tahu ke mana perginya Jani. “Mana aku tahu, Ma. Ini semua gara-gara Mama! Nyuruh aku jemput Mama dan akhirnya Jani pergi. Dia bawa bajunya, Ma. Udah pasti kabur dari rumah. Arrghh!” Arga memekik lalu menjambak rambutnya karena kesal.“Di mana kamu, Jani? Dengan alasan apa kamu kabur dari rumah? Dulu aja, waktu aku usir kamu, nggak pernah mau keluar dari rumah ini.” Arga semakin emosi. “Itu semua karena Mama yang minta agar dia tetap tinggal di sini, Arga. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi karena kedua orang tuanya sudah meninggal oleh papa kamu!” Arga menoleh kepada sang mama. “Kenapa Mama hanya menyalahkan Papa? Mereka sendiri yang sudah mengkhianati kalian! Wajar saja kalau Papa membunuh mereka.”Maya tersenyum miring. “Kamu tidak akan mengerti karena yang ada di dalam hati dan pikiranmu hanya ego yang kalian kedepankan!”Arga tersenyum campah. “Mama ini. Seolah wanita paling benar dan suci. Mama tahu kan, di man
Jani menutup mulutnya dengan kedua tangannya kala melihat pergerakan yang baru ia lihat untuk pertama kalinya. “Mas ….” Jani berucap lirih kemudian mengusapi tangan itu dengan lembut. “Aku tahu, kamu pasti mendengar suaraku. Aku sangat senang kamu bisa mendengar aku di sini.” Jani tidak bisa menahan air matanya. Senyum itu terbit di bibirnya seraya menatap wajah Rayhan yang belum ada pergerakan untuk membuka matanya. “Dia sudah merespon kamu dengan baik, Jani. Semoga sebentar lagi dia akan siuman. Dokter Joko sebentar lagi akan kemari untuk memeriksa kondisi Rayhan." Vanesha mengusapi lengan Jani sembari menerbitkan senyumnya. Tak lama setelahnya, Dokter Joko datang dan langsung memeriksa kondisi Rayhan setelah diberi tahu jika lelaki itu menggerakkan tangannya meski hanya sebentar. "Respon Rayhan memang sangat responsif akan suara yang dia dengar. Selama ini, sepertinya tidak ada yang pernah mengajaknya bicara," tutur Dokter Joko yang cukup mengejutkan Jani dan juga Vanesha kala
Arga sangat yakin jika Maya mengetahui keberadaan Jani ada di mana. Ia kemudian menghampiri sang mama dan menatap Maya dengan tatapan lekatnya. “Mama harus pergi ke butik. Jangan halangi Mama seperti ini, kamu bukan begal!” ucap Maya dengan suara datarnya. Arga menarik napasnya dalam-dalam seraya menatap Maya lagi dengan lekat. “Aku sangat yakin sebenarnya Mama tahu kan, di mana keberadaan Jani?” tanya Arga mendesak agar Maya mau memberi tahu di mana Jani berada. Maya mengerutkan keningnya. Seolah tengah bingung dengan apa yang dikatakan oleh anaknya. Padahal ia paham, apa yang diminta oleh Arga darinya. Memberi tahu di mana Jani berada. “Apa maksud kamu bicara seperti itu? Memangnya kamu ada bukti, kalau Mama tahu di mana Jani berada? Kalau Mama tahu, sudah Mama datangi Jani ke sana!” ucapnya menyangkal pertanyaan dari anaknya. Meski Rayhan dan Arga sama-sama anaknya, bukan berarti ia memihak terus menerus pada Arga. Karena dia lah, Rayhan harus seperti ini. Andai Arga dulu tak