Menikahi Bekas Suami Sahabatku

Menikahi Bekas Suami Sahabatku

Oleh:  niskala ajisena  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 Peringkat
19Bab
136Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

“Ih, kok kamu mau, sih punya suami bekas sahabatmu. Emang nggak ada laki-laki lain apa!?" Bukan sekali dua kali aku mendengar cibiran seperti itu terhadap Mas Dendi, suamiku yang dulunya adalah suami Tantri, sahabat baikku. Bahkan kedua orang tuaku pun tak menyetujui pernikahanku dengan Mas Dendi karena embel-embel "bekas", tapi satu hal yang mereka tak tahu bahwa Mas Dendi bukanlah laki-laki biasa. “Dan kini saatnya kita tunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya pada mereka-mereka yang telah menghinamu, Mas!”

Lihat lebih banyak
Menikahi Bekas Suami Sahabatku Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Astika Buana
lanjut. Semangat updatenya
2024-07-25 14:28:33
1
user avatar
Fatmah Azzahra
Ayo tunjukkan klo dia lebih dari itu
2024-07-25 13:29:49
1
19 Bab

Suami Bekas

“Bu-ibu, liat itu suaminya Mbak Maya lagi nyapu teras. Saya kok nggak habis pikir ya, Mbak Maya kan cantik, pintar, dari keluarga mapan, orang tuanya juga terpandang di sini. Tapi kok mau-maunya nikah sama suami orang! Maksudnya bekas suami sahabatnya.""Bu Joko hati-hati kalau ngomong. Tidak enak kalau sampai terdengar Mbak Maya. Dia baik orangnya nggak pernah nyenggol orang lain."Itulah gunjingan-gunjingan yang selalu kudengar hampir tiap pagi ketika membeli sayuran di tukang sayur keliling yang biasa mangkal di dekat rumah kami.Namaku Maya Damayanti, wanita yang bersuamikan bekas suami sahabatku, Tantri. Dan karena kata bekas itulah satu per satu masalah mulai menghampiriku."Mas kamu nggak kerja? Udah jam delapan ini," ujarku menghampiri mas Dendi yang masih asyik memegang gagang sapu membersihkan teras rumah kecil kami."Nantilah, Sayang. Baru jam delapan, belum jam sepuluh," kekehnya melanjutkan kembali kegiatannya.Entah apa yang Tantri pikirkan sampai-sampai ia meminta cer
Baca selengkapnya

Cibiran Tetangga

“Aku berangkat dulu, Sayang. Udah nggak usah kamu pikirkan ucapan para ibu-ibu. Kan mereka memang seperti itu dari sananya.”'Kamu ngomong enak, Mas. Tapi aku yang kesel! Kaya suami mereka baik dan ganteng aja!’“Iya, Mas. Aku ngerti kok. Mas hati-hati di jalan, ya. kabari kalo sudah sampai kantor.”“Iya, Sayang. Mas jalan dulu, ya. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”“Lho, ketoprak Mas Dendi kok nggak dibawa?” kulihat bungkusan plastik putih dan kertas nasi bungkus masih utuh tergeletak di meja ruang tamu. “Kubawa saja dulu, nanti aku mampir ke kantor Mas Dendi saat di luar.”“Eh, Mbak Maya nggak diantar suami?”Celetukan seorang tetanggaku yang sedang membeli sayuran menghentikan langkahku.“Enggak, Bu. Mas Dendi sudah pergi lebih dulu,” sahutku ramah.“Makanya, minta beliin motor dong sama suaminya, Mbak Maya. Harga motor kan udah murah, masa DP lima ratus ribu aja suaminya nggak bisa.”Sabar … sabar … istighfar … istighfar, Maya …. batinku menahan kesal karena mulut lambe turah te
Baca selengkapnya

Bertemu Mantan Istri dan Sahabat

“Tantri?” ucapku dan Mas Dendi bersamaan. Kami saling tukar pandang, Tantri, sahabat sekaligus mantan istri Mas Dendi tiba-tiba saja hadir di depan kami.“Hei, kalian apa kabar? Duh, udah lama banget ya kita nggak ketemu, ada lima tahun?” Tantri sepertinya tak berubah, ia masih tetap sama, cerewet dan gaspol.“Baik, kamu gimana juga kabarnya, Tan? Makin sukses aja, ya.” Ucap Mas Dendi merangkul ku, aku agak terkejut kenapa tiba-tiba dirangkul. Tapi, ah, sudahlah. Mungkin ia ingin menjaga perasaanku.“Maya, kamu makin kurus aja. Nggak dikasih makan apa sama Dendi. Heh, Dendi! Cukup aku aja, ya yang menderita. Jangan sahabatku!” protes Tantri memicing.“Eh … eh, enggak kok, Mas Dendi nyukupin kebutuhan aku, bahkan sangat berlebih. Udah, kamu nggak perlu khawatir, Tan. Tapi, ngomong-ngomong, kamu kapan balik ke Indonesia?” tanyaku mengalihkan ucapan Tantri yang sangat memojokkan suamiku.“Kemarin. Sekarang lagi ada urusan di sini.” Kepala sahabatku menoleh ke gedung Naga Mas Abadi.Bukan
Baca selengkapnya

Kena Omelan

Hari ini aku mengayun langkahku ke kantor lebih awal dari biasanya. Mas Dendi pun berangkat lebih awal karena harus kembali ke Bogor urusan izin pertambangan. Kulihat, ibu-ibu yang biasa nongkrong di tukang sayur dekat rumahku sama sekali tak ada. Hah, sungguh indah sekali hari ini. Hati tenang, kuping aman, kerjaan pun jadi senang.“May, kamu dipanggil Bu Melanie tuh.”Salah seorang rekan kerjaku tiba-tiba menghampiriku saat baru saja aku meletakkan tas.Udah dateng? Cepet banget. Kulihat jam di dinding kantor pukul 08.45 menit. Padahal masih ada waktu 15 menit lagi untuk masuk. Ada apa, ya?“Pagi, Bu.” Salahku sambil menundukkan sedikit kepala sebagai rasa hormat.“Duduk!” Aku menelan saliva ku, kenapa nada bicaranya judes sekali? “Iya, Bu. Ada apa, ya?” tanyaku beranikan diri.“Bagaimana? Apa kamu sudah bicara dengan suamimu?” “S-sudah, Bu.”“Lalu, katanya?”“Akan diusahakan, Bu. Karena suami saya juga tidak ke kantor hari ini. Dia ke Bogor, ada kerjaan,”“Oh my God!!!” Bosku se
Baca selengkapnya

Mulai Curiga

Rasa penasaranku tetap tak bisa hilang, kutelepon kembali suamiku, tapi ponselnya lagi-lagi belum aktif. “Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”“Eh, Bu Joko. Mari masuk, Bu.” Pintu rumahku kubuka lebar, menyambut tetanggaku yang sering menggunjingkan diriku.“Nggak usah, Mbak Maya. Di luar aja.” Ucap wanita yang sering pamer emasnya yang berentet layaknya toko mas berjalan. “Tadi ada yang nyariin Mbak Maya.”“Nyariin saya, Bu? Siapa?”“Nggak tahu, dua orang. Pakai jaket hitam, tinggi-tinggi lagi dan tampangnya … hiiiyy, serem,” ujar wanita ini dengan gaya lebay-nya.Jangan-jangan debt collector, batinku.“Terima kasih atas informasinya, Bu Joko. Mungkin itu teman saya yang sedang ingin bertamu, tapi sayanya nggak ada,” kilahku.“Oh, gitu. Ya, saya, sih cuma nyampein aja, Mbak.” Wanita ini dengan cepat memalingkan wajahnya sambil kipas-kipas dengan salah satu tangannya.“Yasudah, saya pulang dulu, ya, Mbak. Cuma mau sampaikan itu akan kok. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam, hmmm …. teta
Baca selengkapnya

Dihina Habis-Habisan

“M-Mas … marah, ya?” tanyaku takut-takut.“Kenapa mesti marah? Toh, kamu pakai dana itu untuk hal yang sangat penting. Nggak apa-apa, pakai aja uang cadangan kita, toh kita bisa mengumpulkannya lagi. Yang terpenting sekarang, Bapak sembuh dan sehat.” “Kamu nggak marah, Mas? Beneran?” tanyaku lagi, memastikan jika apa yang telingaku dengar nggak salah.“Iya, nggak apa-apa, kok. Sangat tidak apa-apa, malah aku bersyukur uang cadangan kita kamu gunakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat.” “Mas, boleh aku tanya sesuatu?” Terdiam sejenak, kepalaku berusaha menata kalimat yang tak membuat Mas Dendi tersinggung atau terintimidasi. “Kok malah diam. Katanya tadi mau tanya? Tanyalah, nggak perlu banyak berpikir, Maya.”“Mas berapa lama, sih kerja di Naga Mas Abadi?” tanyaku untuk memancing.“Sekitar tiga tahun. Kenapa?”“Tadi tuh aku ke kantor Mas Dendi. Terus kutanya tapi nggak ada yang tahu nama kamu. Aku kan jadi bingung, sebenarnya Mas kerja di perusahaan itu apa enggak?”Mas Dendi s
Baca selengkapnya

Tak Terima Hinaan Keluargaku

Beberapa hari sudah Bapak berada di rumah sakit. Dan selama itu pula ibuku selalu menghubungiku atau mengirim pesan supaya dibelikan makanan, minuman, dibawakan baju, serta barang-barang lainnya yang sebenarnya bisa dilimpahkan ke adikku. Pekerjaanku pun menjadi tak keurus karena harus bolak-balik rumah sakit, sementara Mas Dendi sekarang sering ke luar kota karena urusan izin pertambangan dan survey lapangan.“Maya, kamu belum kirim uang juga untuk adikmu? Dia sudah mau ujian, kenapa belum kirim?”“Nanti Maya kirim, Bu. Tapi tidak sekarang, keperluan Maya juga banyak,” ujarku saat menjenguk Bapak.“Alasan! Bilang aja kalau kamu nggak mau keluar uang untuk adikmu! Ingat ya, Maya! Kami, Bapak dan Ibu sudah keluar uang banyak untuk menikahkan kamu dengan Dendi! Jadi, sudah sepatutnya uang yang kamu terima dari Dendi digunakan untuk membantu keluargamu!”“Astagfirullah, Ibu … kenapa Ibu bisa ngomong begitu? Jadi, Ibu menikahkan Maya dengan Mas Dendi karena terpaksa?” Emosiku benar-benar
Baca selengkapnya

Uang Kaget, Mas?

Mataku membulat lebar saat tahu apa isi amplop coklat yang diberikan kedua laki-laki tadi. Apa aku sedang bermimpi atau ini sebuah delusi?Aku kembali menghubungi suamiku, tapi ponselnya masih tak aktif. Rasa was-was dan takutku semakin besar, apalagi saat kulihat tetanggaku, Bu Joko mengintip rumahku saat kedua laki-laki tadi datang, makin stres dan kacau pikiranku.“Mas Dendi kok lama banget, sih pulangnya. Ayo, dong, mas, cepet pulang.”Jam demi jam berlalu, hingga tepat pukul delapan malam Mas Dendi belum kunjung datang. Rasa was-was ku semakin besar. Bagaimana jika amplop itu adalah uang haram atau hasil curian?“Assalamualaikum, Sayang … Sayang ….”Mas Dendi? batinku.Kudengar seseorang mengucap salam seraya mengetuk pintu rumah kami, tak ingin gegabah, aku mengintip dari gorden merah maroon yang terpasang di kamar. Itu Mas Dendi bukan, ya? Kupasang telingaku baik-baik dan kudengarkan lagi ketukan pintu yang menyambangi rumahku.“Assalamualaikum, Maya … Maya ….”Benar! Itu Mas
Baca selengkapnya

Berita Menggemparkan

Beberapa minggu ini otak dan fisikku memang terkuras habis karena harus bolak-balik ke rumah sakit dan juga melayani berbagai permintaan ibuku, tapi semua rasa itu lepas dan hilang saat mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka. Entah siapa yang memberikan uang sebanyak itu, yang pasti saat ini aku dan Mas Dendi setidaknya masih bisa memperpanjang napas.“Kayaknya ada yang lagi seneng, nih. Habis nerima durian runtuh, ya?” Dina mendekatiku seraya tersenyum melihat wajahku.“Yah, begitulah,” ujarku.“Eh, beneran! Kamu dapat durian runtuh, May? Berapa … berapa?” Dina menarik-narik lenganku layaknya anak kecil minta permen.“Apaan, sih? Udah, ah kerja sana. Daripada nanti dipanggil lagi sama singa Afrika,” kekehku.“Ih, kamu, ya, May!” Dina memberingsut bibirnya, aku hanya memberinya senyum tipis melihat sikapnya seperti anak kecil.“Maya, ke ruangan saya!”Suara Bu Melanie tiba-tiba membuat jantungku seolah berhenti berdetak. Dina dan aku saling lepas pandangan. Mungkin, pikiran kami
Baca selengkapnya

Berita Menggemparkan

Aku sangat terkejut saat melihat Tantri keluar dari mobil mewah itu. Apakah dia yang memiliki restoran ini? Kulihat Adnan semangat sekali mengambil foto-foto Tantri. Aku lekas kembali ke kursi, menyiapkan segalanya. Kulihat Tantri perlahan mulai masuk ke restoran ini dikerubungi mungkin oleh fans dan pengunjung tempat ini. “Mbak, aku sudah berhasil mendapatkan fotonya. Dia itu Tantri kan? Model yang sedang naik daun setelah bertahun-tahun di negeri orang. Kok Dateng sendiri, ya?”“Apa maksudmu dia datang sendiri, Nan?” tanyaku penasaran.“Ada rumor yang mengatakan kalau sang model sedang dekat dengan salah satu pengusaha sukses Indonesia, Mbak. Tapi siapa pengusaha itu, tak ada yang tahu. Tantri itu sosok yang sangat misterius, tapi justru itulah para pencari berita semakin kepo,” jelasnya seraya melihat Tantri yang sedang melayani pemotretan para pengunjung tempat ini.Alangkah beruntungnya Tantri, tapi kenapa dia melepaskan Mas Dendi, ya? itu yang tak habis pikir olehku sampai sek
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status