“Ih, kok kamu mau, sih punya suami bekas sahabatmu. Emang nggak ada laki-laki lain apa!?" Bukan sekali dua kali aku mendengar cibiran seperti itu terhadap Mas Dendi, suamiku yang dulunya adalah suami Tantri, sahabat baikku. Bahkan kedua orang tuaku pun tak menyetujui pernikahanku dengan Mas Dendi karena embel-embel "bekas", tapi satu hal yang mereka tak tahu bahwa Mas Dendi bukanlah laki-laki biasa. “Dan kini saatnya kita tunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya pada mereka-mereka yang telah menghinamu, Mas!”
View MoreAku dan Dina masih menunggu di depan gedung Naga Mas Abadi. Kami sangat tertegun kenapa Tantri berhenti di sini karena setahuku hanya satu orang yang sangat mengenal Tantri dan itu adalah suamiku. Benarkah dia kekasih Tantri? Jika itu benar berarti mereka CLBK lagi? Atau-“May, Tantri keluar!” suara Dina membuyarkan lamunanku. “Tapi kok dia sendiri?” gumam Dina, aku pun melesatkan pandanganku ke arah mobil Tantri dan benar saja, Tantri keluar sendiri. Apa-apaan ini? Ada apa sebenarnya? “Kita ikutin lagi?” tanya Dina melihatku.Aku terdiam dan mulai ragu apakah ini permainan Tantri atau aku hanya terlampau posesif terhadap suamiku?“May, gimana? Ikutin apa nggak?” desak Dina. “Mobil Tantri udah jalan, jadi?” “Ikuti,” sahutku cepat. Entah apa yang akan terjadi aku hanya mengikuti naluri dan hatiku. Baik atau buruk yang akan kulihat nanti, itu urusan belakangan! Yang penting aku sudah mendapatkan bukti!“Gila! Cepet amat sih itu cewek nyupirnya! Curiga aku dia mantan sopir metromini,” k
Akhirnya, kujalankan perintah Bu Melanie. Saat kuhubungi, ia sedang berada di luar dan tak lama menghubungi balik dan siap untuk bertemu. Entah mengapa langkahku begitu berat, rasanya ada sesuatu yang menempel di betisku sampai-sampai Dina menegurku karena tak kunjung pergi.“Mau berangkat jam berapa, May? Maya!!” pekik Dina.“Y-ya, ada apa Din?” jawabku gagap.“Ye … malah bengong! Mau berangkat jam berapa?” Dina memelototiku.Kulihat jam di tanganku menunjukkan pukul satu siang. Dina dan aku keluar untuk menemui Tantri di kantor agensinya. “Kamu yakin nggak apa-apa, Mau?” Dina terus melihatku dengan tatapan teduh dan khawatir.“Aku harus profesional, Din. Mau tak mau harus ada yang dikalahkan, dan aku akan mengalahkan perasaanku!” tegasku.Dina tak bicara ataupun bertanya lagi. Kurasa sebanyak apapun pertanyaan yang dilontarkan, jawabannya akan tetap sama. Kuatkan mentalku … kuatkan jantungku …. batinku terus selama di perjalanan.Dan akhirnya, setelah setengah jam berada di atas rod
Dina langsung menyambutku saat tiba di rumahnya. Tanpa malu dan canggung, ia memelukku erat dan mengusap rambutku sembari berkata, “Tinggallah sepuasmu, May di sini. Rumahku adalah rumahmu juga.”Tak tahu lagi apa yang harus kuucapkan, air mataku mengalir deras mendengar ucapan Dina. Bagaimana ada orang yang sangat menyayangiku melebihi keluargaku sendiri?“Makasih ya, Din. Aku sering banget ngrepotin kamu. Maaf …” isakku tak lagi dapat kutahan.“Jangan ngomong gitu, May. Kita ‘kan sahabat dan sahabat nggak akan pamrih,” ujar Dina tersenyum lebar padaku.“Pamrih, ya?” kataku lirih.“Kenapa? Ada yang salah sama ucapanmu, May?”“Enggak, hanya saja aku merasa jadi orang paling bodoh karena selama ini tertipu dengan sikap baik Tantri,” jelasku.“Yaudah, jangan dipikirin. Nanti malah buat kamu stres. Masuk, yuk. Aku udah siapin kamarnya.” Dina dan aku masuk ke rumah, ia pun menunjukkan kamar yang sangat luas dan besar, mungkin jika diukur dengan rumah kontrakan kami, bisa seperti itulah pe
Mata Mas Dendi terbelalak kaget mendengar ucapanku. Kedua tangannya dengan cepat menggenggam dua tanganku erat dan menatapku lekat. Netra hitam indah miliknya yang dulu selalu kupuja dan kurindukan kini menjadi sesuatu yang ingin aku hindari.“Jangan melihatku seperti itu, Mas,” kataku sambil memalingkan wajah.“Ada apa May? Kenapa tiba-tiba kamu ingin pulang? Introspeksi pernikahan kita? Maksudnya gimana itu? Jelaskan padaku!” suara Mas Dendi berubah menjadi berat, sejenak aura intimidasi sangat kurasakan tapi aku tak ingin diam lagi! Sudah cukup selama ini menjadi orang bodoh di balik layar.“Ya! Introspeksi pernikahan kita! Apa kata-katamu kurang jelas, Mas?! Bagian mana yang kurang jelas? Akan kujelaskan!” sahutku. “Maya!” seru Mas Dendi.“Aku lelah dan ingin istirahat, Mas. Tolong jangan ganggu aku!” Tak memedulikan suamiku, aku langsung masuk ke dalam dan menuju kamar. Di dalam, aku menangis sambil menggigit punggung tanganku, berharap suaraku tak terdengar keluar dan membuat M
Mataku membulat saat melihat beberapa foto dalam map coklat yang ada di mejaku. Dina pun sampai menghampiri mejaku dan bertanya ada apa denganku. Namun mulutku tak bisa terbuka, bungkam … diam seribu bahasa! “May, kamu kenapa? Kenapa!” Dina terus mendesakku agar bicara.Kutunjukkan foto-foto itu padanya dan reaksinya tak kalah kaget. Mulut Dina menganga lebar sambil membelalakkan matanya, ia melihat ke arahku dan langsung memelukku. “May, kamu yang sabar, ya. Sumpah! Aku nggak tahu harus bicara apa. D-Dendi ….”“Ternyata feeling-ku benar selama ini! Mereka … mereka ….” Aku tak kuat lagi menahan air mata ini. Buru-buru aku pergi ke kamar mandi dan menangis sejadinya di tempat ini lagi.“Nangis aja May yang kencang, ga apa-apa! Kamu berhak untuk mengeluarkan semua kekesalanmu … kebencianmu!” Dina mengusap punggungku lembut. Bebanku memang sedikit berkurang, tapi sakit hatiku benar-benar tak bisa disembunyikan.“Aku nggak apa-apa, Din. Makasih, ya.” Kuusap air mataku dan kembali terseny
Satu pesan yang masuk ke WhatsApp-ku membuat mataku terbelalak dan hampir kubanting benda pipih yang sedang kupegang ini. Salah satu GC (grup chat) khusus bagi para jurnalis mengirim beberapa dokumentasi foto di acara makan malam yang kuhadiri. Kulihat Mas Dendi dengan jelas ada di tempat itu tapi kenapa saat aku di sana sosoknya tak kulihat?Aku terkejut saat menghubungi suamiku ponselnya telah aktif kembali namun tak diangkat. Me : Mas, kamu di mana? Belum pulang? Tanyaku yang langsung centang dua warna biru.Kutunggu selama beberapa menit tapi tak ada jawaban. Sampai akhirnya kuputuskan masuk dan menunggu di ruang tamu. Aku terkejut saat ponselku berdering nada pesan masuk. Saat kubuka ternyata Mas Dendi memberitahu jika dirinya tak pulang ke rumah. Ini pertama kalinya suamiku tak pulang dan pikiran negatif ku pun mulai beraksi kembali. Tak puas dengan pesan yang dikirim, aku segera menghubunginya, namun ternyata ponselnya tak aktif kembali. Aku benar-benar frustasi! Kenapa Mas De
Aku masih bertanya-tanya apakah pria yang ada di samping Tantri CEO Naga Mas Abadi? Tapi kenapa harus memakai topeng?“Para tamu undangan yang terhormat, inilah Tuan Bagyo, CEO Naga Mas Abadi yang telah kita nantikan kedatangannya. Beri tepuk tangan yang meriah untuk beliau.”Riuh tepukan para tamu yang datang membuat ruangan restoran tersebut gegap gempita. Mataku tertegun dan fokus pada Tantri yang mengalungkan tangannya ke lengan laki-laki yang disebut CEO Naga Mas Abadi itu. Entah kenapa wajah CEO itu seperti tak asing bagiku. Tantri pun sepertinya tak menyadari kehadiranku dan dia terus melambaikan tangannya serta tersenyum lebar bersama sang CEO.Beberapa menit kemudian, keduanya duduk dan menjamu para tamu undangan. Para jurnalis yang hendak mewawancarai sang CEO telah mengambil ancang-ancang serta posisi yang bagus, kecuali aku.“Kali ini jangan sampai melewatkan kesempatan yang sudah kita tunggu-tunggu Maya!” Entah sejak kapan Bu Melanie berdiri di sebelahku, mungkin aku terl
Aku memutuskan untuk meninggalkan kantor Mas Dendi dengan hati hancur. Entah terbuat dari apa sebenarnya hatiku, kenapa masih saja menerima kenyataan yang sangat menyakitkan hati.“Apakah benar aku harus mengikuti ucapan ayah dan ibu?” ***Dina : May, kamu di mana? Dicariin Bu Melanie.Pesan singkat Dina membuat pikiranku terbagi. Tak kujawab dan langsung kembali ke kantor. Sepanjang perjalanan aku terus berpikir negatif akan suami dan sahabatku. Kepalaku rasanya mau pecah, ingin menangis pun sudah tak bisa. Yang aku inginkan adalah penjelasan!Dua puluh menit di dalam mobil online, aku turun dan segera menemui Bu Melanie. Namun sebelum aku bertemu dengan bos singa Afrika, aku membelokkan langkahku ke kafe kopi yang tadi kutinggalkan.“Eh, Mbak Maya. Dari mana aja? Kopinya belum saya buat.” Sang pramusaji segera menghampiriku, membuatkan kopi yang sebelumnya kuminta. “Ini, satu Americano ‘kan?” tanyanya lagi menyodorkan kopi panas dengan aroma kuat.“Terima kasih, ya. Ingatanmu sungg
Saat sarapan, tak ada pembicaraan diantara aku dan Mas Dendi. Suasananya benar-benar sangat berbeda dari biasanya kami lewati. Rasa canggung, sungkan, entah apa lagi yang aku rasakan. Pokoknya pagi ini bakal aku lewati dengan istighfar dan taubat nasuha.“Mau kuantar?” Mas Dendi mengambil piring kotor bekas kami sarapan, aku terkejut karena jarang-jarang ia mau melakukannya.“Nggak usah Mas, makasih. Aku dijemput Dina.”Aku mendengar suamiku menghela napas berat. Entah apa maksudnya. Tapi yang jelas itu pertanda tak bagus.“May, kalau ada sesuatu yang mengganjal, tolong bilang. Aku merasa sikapmu aneh sejak kemarin. Ada apa sih?” Mas Dendi melihatku dengan kedua mata sendunya. Aku pun, rasanya mulutku ingin bertanya macam-macam, menginterogasi dia. “Nggak ada apa-apa, Mas. Beneran.” Kututupi kebohonganku dengan senyuman lebar. Dan tepat pada waktunya saat aku mulai terjepit dengan cecaran pertanyaan Mas Dendi, Dina datang menjemputku.“Dina udah datang, Mas. Aku pergi dulu ya. Assala
“Bu-ibu, liat itu suaminya Mbak Maya lagi nyapu teras. Saya kok nggak habis pikir ya, Mbak Maya kan cantik, pintar, dari keluarga mapan, orang tuanya juga terpandang di sini. Tapi kok mau-maunya nikah sama suami orang! Maksudnya bekas suami sahabatnya.""Bu Joko hati-hati kalau ngomong. Tidak enak kalau sampai terdengar Mbak Maya. Dia baik orangnya nggak pernah nyenggol orang lain."Itulah gunjingan-gunjingan yang selalu kudengar hampir tiap pagi ketika membeli sayuran di tukang sayur keliling yang biasa mangkal di dekat rumah kami.Namaku Maya Damayanti, wanita yang bersuamikan bekas suami sahabatku, Tantri. Dan karena kata bekas itulah satu per satu masalah mulai menghampiriku."Mas kamu nggak kerja? Udah jam delapan ini," ujarku menghampiri mas Dendi yang masih asyik memegang gagang sapu membersihkan teras rumah kecil kami."Nantilah, Sayang. Baru jam delapan, belum jam sepuluh," kekehnya melanjutkan kembali kegiatannya.Entah apa yang Tantri pikirkan sampai-sampai ia meminta cer...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments