Hari ini aku mengayun langkahku ke kantor lebih awal dari biasanya. Mas Dendi pun berangkat lebih awal karena harus kembali ke Bogor urusan izin pertambangan. Kulihat, ibu-ibu yang biasa nongkrong di tukang sayur dekat rumahku sama sekali tak ada. Hah, sungguh indah sekali hari ini. Hati tenang, kuping aman, kerjaan pun jadi senang.
“May, kamu dipanggil Bu Melanie tuh.”
Salah seorang rekan kerjaku tiba-tiba menghampiriku saat baru saja aku meletakkan tas.
Udah dateng? Cepet banget. Kulihat jam di dinding kantor pukul 08.45 menit. Padahal masih ada waktu 15 menit lagi untuk masuk. Ada apa, ya?
“Pagi, Bu.” Salahku sambil menundukkan sedikit kepala sebagai rasa hormat.
“Duduk!”
Aku menelan saliva ku, kenapa nada bicaranya judes sekali?
“Iya, Bu. Ada apa, ya?” tanyaku beranikan diri.
“Bagaimana? Apa kamu sudah bicara dengan suamimu?”
“S-sudah, Bu.”
“Lalu, katanya?”
“Akan diusahakan, Bu. Karena suami saya juga tidak ke kantor hari ini. Dia ke Bogor, ada kerjaan,”
“Oh my God!!!” Bosku segera mengusap kasar wajahnya, aku pun terkejut.
“A-ada apa, Bu Melanie?”
“Pake tanya lagi! Kamu tahu nggak, sih Maya CEO Naga Mas Abadi itu bisa jadi penyelamat sekaligus keberuntungan bagi perusahaan kita! Kamu tahu majalah di sebelah kita kemarin mewawancarai siapa!” Melanie memelotot padaku.
“S-siapa, Bu?”
“Tantri Maheswari, foto model yang sudah terkenal di dunia fashion itu!”
Hah? Apa? Jadi, Tantri kemarin itu habis wawancara? batinku. Aku hanya bisa duduk diam membisu karena tak tahu apa yang mesti kukatakan.
“Dan kamu tahu, Maya. Mereka juga membuat polling bintang tamu yang diharapkan pembaca untuk diwawancarai. Menurutmu, setelah Tantri, siapa yang akan mereka wawancarai?” Melanie tetap melihatku nyalang.
Aku menggelengkan kepala.
“Ya CEO Naga Mas Abadi, Mayaaaaaaaaaa!! Duh, kamu lemot banget, sih! Heran saya, kenapa bisa bagian HRD terima kamu kerja di sini!” Melanie memijat keningnya sambil menyandarkan kasar punggungnya.
Aku hanya tertunduk mendengar semua ocehan dan keluhan juga cibiran bosku. Baru kali ini aku dimarahi Melanie selama dua tahun bekerja di perusahaan ini.
“Jadi kapan kamu akan mempertemukan saya dengan CEO Naga Mas Abadi?”
“Akan saya usahakan, Bu, secepatnya,” sahutku tak berani menatap wajah bosku.
“Saya mau secepatnya, ya, Maya! Ingat ini?” Lagi-lagi Bosku mengeluarkan amplop coklat gepokan uang di hadapanku. “Apa kamu nggak mau memperbaiki kehidupan rumah tanggamu? Pikirkan baik-baik tawaranku, Maya!”
Setengah jam aku “disidang” oleh bosku membuat debar jantungku meningkat tajam. Buru-buru kuayun langkah ke pantry, membuat kopi susu dan menenangkan diri sejenak setelah kupingku panas mendapat “kuliah pagi”.
“May, ngapain kamu di sini?” Dina, seperti biasa kepo dengan urusan orang lain.
“Biasa, si Bos,” ucapku sedang malas banyak bicara.
“Kenapa lagi sama Bu Mel?” selidik Dina.
“Dia ingin aku mempertemukan dengan seseorang, Din.”
“Seseorang? Siapa?”
“Aduh, Dinaaaa, kamu tuh kepo banget, sihhh! Aku tuh lagi pusing!” tanpa sadar nada bicaraku agak tinggi pada rekan kerjaku.
“Kok kamu senewen gitu, sih, May? Aku kan cuma tanya!” sahut Dina tak kalah nyolot.
“Udah tahu aku lagi pusing, tolonglah jangan banyak tanya dulu. Kalau kamu mau tahu lebih banyak, lebih baik ikut ajalah!” Tak ingin bertambah emosi, aku keluar dari pantry dan bergegas keluar kantor, seperti biasa.
Sepanjang jalan, aku hanya memikirkan bagaimana caranya membujuk Mas Dendi supaya secepatnya mengusahakan pertemuanku dengan bosnya. Setumpuk uang yang ditawarkan bosku juga selalu terngiang dan terbayang di kepalaku. Beberapa notifikasi hutang dari rentenir dan pinjol pun mulai berdatangan di ponselku, rasanya aku mau mati saja jika ingat keadaan rumah tanggaku!
“Kenapa aku ke kantor Mas Dendi, ya?” langkahku terhenti di depan gedung Naga Mas Abadi. Kali ini aku tak menunggu di luar, aku akan menunggu di dalam seperti saran suamiku kemarin.
“Selamat siang, Pak.”
“Siang, Bu. Ada yang bisa dibantu?”
“Apa Pak Dendi sudah kembali dari Bogor, ya?” tanyaku pada salah satu petugas keamanan perusahaan itu.
“Pak Dendi? Pak Dendi siapa, ya, Bu?”
DEG!
Kok malah tanya Pak Dendi siaap? Emang ada berapa nama Dendi di kantor ini? pikirku.
“Itu, Pak. Dendi Subagyo Hadikusumo, nama suami saya,” jelasku.
Belum sempat petugas keamanan itu menjawab, ia tiba-tiba disibukkan oleh walkie-talkie yang tergenggam di tangannya. Dari suaranya samar terdengar bahwa Bapak akan segera tiba. Aku hanya mendengarnya sekilas, dan petugas keamanan itu tak mengacuhkanku.
Tak ingin seperti sapi ompong, aku langsung pergi meninggalkan kantor tempat suamiku bekerja, dan tepat saat sampai di gerbang perusahaan, aku berpapasan dengan iring-iringan mobil mewah yang baru saja tiba. Penasaran, kulihat dan kuamati siapa yang baru saja tiba, siapa tahu rezekiku bisa bertemu langsung dengan CEO Naga Mas Abadi.
“Duh, nggak keliatan lagi? Banyak amat, sih tuh orang-orang! Lagi pada ngapain, ya?” Aku celingak-celinguk melihat ke arah tiga mobil yang tadi berpapasan di gerbang perusahaan.
“Maaf, Mbak. Ada yang bisa dibantu?” seorang petugas keamanan mendatangiku.
“Saya ingin bertemu dengan suami saya, Pak.”
“Siapa nama suami Ibu dan bagian apa?”
“Namanya Dendi, Pak. Dia di Divisi Operasional Tambang,” tukasku.
“Dendi? Setahu saya tidak ada yang namanya Dendi di perusahaan ini, Bu.”
Jantungku ingin copot untuk yang kedua kali. Bagaimana mungkin nama suamiku tak ada di perusahaan ini? Kalau tak ada, lantas selama ini di mana Mas Dendi bekerja?
“Oh, yaudah Pak kalau gitu. Makasih.” Aku pun pergi dengan pikiran bingung dan semrawut, kenapa tak ada yang mengenali Mas Dendi di kantornya? Benarkah suamiku bekerja di perusahaan ini atau dia mulai membohongiku?
Kuputuskan duduk di kursi taman tengah kota, tak jauh dari kantor suamiku. Penasaran, kuhubungi Mas Dendi, tapi teleponnya tak aktif. Debar jantungku makin menggila! Pikiranku mulai kalut, kenapa tiba-tiba ponselnya tak aktif? Memang, selama ini aku jarang menghubungi suamiku jika sedang bekerja karena khawatir akan mengganggu pekerjaannya, lagipula aku juga kan bekerja di lapangan yang tak bisa memegang ponsel terus-menerus.
“Kamu di mana, Mas? Kenapa nggak aktif ponselnya?” ucapku penuh kekhawatiran.
Tak lama berselang, ponselku berdering. Kukira dari Mas Dendi, ternyata ibuku yang menelepon.
“Iya, Bu. Assalamualaikum.”
[Waalaikumsalam, Mau. Kamu lagi di mana?]
“Kerja, Bu. Ada apa?”
[Kirimi Ibu uang. Ayahmu sakit dan adikmu butuh untuk biaya kuliah.]
“Kapan? Kalau sekarang Maya nggak bisa, belum gajian.”
[Mintalah sama suami kamu! Kan dia juga kerja! Jangan cuma enaknya aja tapi susahnya nggak mau!]
“Maya sibuk, Bu. Sudah dulu, ya. Nanti Maya transfer. Assalamualaikum.”
Aku nggak peduli dengan tanggapan ibuku di rumah sana. Kepalaku benar-benar pusing. Satu masalah belum selesai, sekarang datang lagi masalah lain.
“Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Mas Dendi … kamu di mana?”
Rasa penasaranku tetap tak bisa hilang, kutelepon kembali suamiku, tapi ponselnya lagi-lagi belum aktif. “Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”“Eh, Bu Joko. Mari masuk, Bu.” Pintu rumahku kubuka lebar, menyambut tetanggaku yang sering menggunjingkan diriku.“Nggak usah, Mbak Maya. Di luar aja.” Ucap wanita yang sering pamer emasnya yang berentet layaknya toko mas berjalan. “Tadi ada yang nyariin Mbak Maya.”“Nyariin saya, Bu? Siapa?”“Nggak tahu, dua orang. Pakai jaket hitam, tinggi-tinggi lagi dan tampangnya … hiiiyy, serem,” ujar wanita ini dengan gaya lebay-nya.Jangan-jangan debt collector, batinku.“Terima kasih atas informasinya, Bu Joko. Mungkin itu teman saya yang sedang ingin bertamu, tapi sayanya nggak ada,” kilahku.“Oh, gitu. Ya, saya, sih cuma nyampein aja, Mbak.” Wanita ini dengan cepat memalingkan wajahnya sambil kipas-kipas dengan salah satu tangannya.“Yasudah, saya pulang dulu, ya, Mbak. Cuma mau sampaikan itu akan kok. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam, hmmm …. teta
“M-Mas … marah, ya?” tanyaku takut-takut.“Kenapa mesti marah? Toh, kamu pakai dana itu untuk hal yang sangat penting. Nggak apa-apa, pakai aja uang cadangan kita, toh kita bisa mengumpulkannya lagi. Yang terpenting sekarang, Bapak sembuh dan sehat.” “Kamu nggak marah, Mas? Beneran?” tanyaku lagi, memastikan jika apa yang telingaku dengar nggak salah.“Iya, nggak apa-apa, kok. Sangat tidak apa-apa, malah aku bersyukur uang cadangan kita kamu gunakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat.” “Mas, boleh aku tanya sesuatu?” Terdiam sejenak, kepalaku berusaha menata kalimat yang tak membuat Mas Dendi tersinggung atau terintimidasi. “Kok malah diam. Katanya tadi mau tanya? Tanyalah, nggak perlu banyak berpikir, Maya.”“Mas berapa lama, sih kerja di Naga Mas Abadi?” tanyaku untuk memancing.“Sekitar tiga tahun. Kenapa?”“Tadi tuh aku ke kantor Mas Dendi. Terus kutanya tapi nggak ada yang tahu nama kamu. Aku kan jadi bingung, sebenarnya Mas kerja di perusahaan itu apa enggak?”Mas Dendi s
Beberapa hari sudah Bapak berada di rumah sakit. Dan selama itu pula ibuku selalu menghubungiku atau mengirim pesan supaya dibelikan makanan, minuman, dibawakan baju, serta barang-barang lainnya yang sebenarnya bisa dilimpahkan ke adikku. Pekerjaanku pun menjadi tak keurus karena harus bolak-balik rumah sakit, sementara Mas Dendi sekarang sering ke luar kota karena urusan izin pertambangan dan survey lapangan.“Maya, kamu belum kirim uang juga untuk adikmu? Dia sudah mau ujian, kenapa belum kirim?”“Nanti Maya kirim, Bu. Tapi tidak sekarang, keperluan Maya juga banyak,” ujarku saat menjenguk Bapak.“Alasan! Bilang aja kalau kamu nggak mau keluar uang untuk adikmu! Ingat ya, Maya! Kami, Bapak dan Ibu sudah keluar uang banyak untuk menikahkan kamu dengan Dendi! Jadi, sudah sepatutnya uang yang kamu terima dari Dendi digunakan untuk membantu keluargamu!”“Astagfirullah, Ibu … kenapa Ibu bisa ngomong begitu? Jadi, Ibu menikahkan Maya dengan Mas Dendi karena terpaksa?” Emosiku benar-benar
Mataku membulat lebar saat tahu apa isi amplop coklat yang diberikan kedua laki-laki tadi. Apa aku sedang bermimpi atau ini sebuah delusi?Aku kembali menghubungi suamiku, tapi ponselnya masih tak aktif. Rasa was-was dan takutku semakin besar, apalagi saat kulihat tetanggaku, Bu Joko mengintip rumahku saat kedua laki-laki tadi datang, makin stres dan kacau pikiranku.“Mas Dendi kok lama banget, sih pulangnya. Ayo, dong, mas, cepet pulang.”Jam demi jam berlalu, hingga tepat pukul delapan malam Mas Dendi belum kunjung datang. Rasa was-was ku semakin besar. Bagaimana jika amplop itu adalah uang haram atau hasil curian?“Assalamualaikum, Sayang … Sayang ….”Mas Dendi? batinku.Kudengar seseorang mengucap salam seraya mengetuk pintu rumah kami, tak ingin gegabah, aku mengintip dari gorden merah maroon yang terpasang di kamar. Itu Mas Dendi bukan, ya? Kupasang telingaku baik-baik dan kudengarkan lagi ketukan pintu yang menyambangi rumahku.“Assalamualaikum, Maya … Maya ….”Benar! Itu Mas
Beberapa minggu ini otak dan fisikku memang terkuras habis karena harus bolak-balik ke rumah sakit dan juga melayani berbagai permintaan ibuku, tapi semua rasa itu lepas dan hilang saat mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka. Entah siapa yang memberikan uang sebanyak itu, yang pasti saat ini aku dan Mas Dendi setidaknya masih bisa memperpanjang napas.“Kayaknya ada yang lagi seneng, nih. Habis nerima durian runtuh, ya?” Dina mendekatiku seraya tersenyum melihat wajahku.“Yah, begitulah,” ujarku.“Eh, beneran! Kamu dapat durian runtuh, May? Berapa … berapa?” Dina menarik-narik lenganku layaknya anak kecil minta permen.“Apaan, sih? Udah, ah kerja sana. Daripada nanti dipanggil lagi sama singa Afrika,” kekehku.“Ih, kamu, ya, May!” Dina memberingsut bibirnya, aku hanya memberinya senyum tipis melihat sikapnya seperti anak kecil.“Maya, ke ruangan saya!”Suara Bu Melanie tiba-tiba membuat jantungku seolah berhenti berdetak. Dina dan aku saling lepas pandangan. Mungkin, pikiran kami
Aku sangat terkejut saat melihat Tantri keluar dari mobil mewah itu. Apakah dia yang memiliki restoran ini? Kulihat Adnan semangat sekali mengambil foto-foto Tantri. Aku lekas kembali ke kursi, menyiapkan segalanya. Kulihat Tantri perlahan mulai masuk ke restoran ini dikerubungi mungkin oleh fans dan pengunjung tempat ini. “Mbak, aku sudah berhasil mendapatkan fotonya. Dia itu Tantri kan? Model yang sedang naik daun setelah bertahun-tahun di negeri orang. Kok Dateng sendiri, ya?”“Apa maksudmu dia datang sendiri, Nan?” tanyaku penasaran.“Ada rumor yang mengatakan kalau sang model sedang dekat dengan salah satu pengusaha sukses Indonesia, Mbak. Tapi siapa pengusaha itu, tak ada yang tahu. Tantri itu sosok yang sangat misterius, tapi justru itulah para pencari berita semakin kepo,” jelasnya seraya melihat Tantri yang sedang melayani pemotretan para pengunjung tempat ini.Alangkah beruntungnya Tantri, tapi kenapa dia melepaskan Mas Dendi, ya? itu yang tak habis pikir olehku sampai sek
Aku sangat terkejut saat melihat Tantri keluar dari mobil mewah itu. Apakah dia yang memiliki restoran ini? Kulihat Adnan semangat sekali mengambil foto-foto Tantri. Aku lekas kembali ke kursi, menyiapkan segalanya. Kulihat Tantri perlahan mulai masuk ke restoran ini dikerubungi mungkin oleh fans dan pengunjung tempat ini. “Mbak, aku sudah berhasil mendapatkan fotonya. Dia itu Tantri kan? Model yang sedang naik daun setelah bertahun-tahun di negeri orang. Kok Dateng sendiri, ya?”“Apa maksudmu dia datang sendiri, Nan?” tanyaku penasaran.“Ada rumor yang mengatakan kalau sang model sedang dekat dengan salah satu pengusaha sukses Indonesia, Mbak. Tapi siapa pengusaha itu, tak ada yang tahu. Tantri itu sosok yang sangat misterius, tapi justru itulah para pencari berita semakin kepo,” jelasnya seraya melihat Tantri yang sedang melayani pemotretan para pengunjung tempat ini.Alangkah beruntungnya Tantri, tapi kenapa dia melepaskan Mas Dendi, ya? itu yang tak habis pikir olehku sampai sek
Mood-ku seketika langsung down saat bertemu dengan adikku, Gita di restoran tadi. Adnan pun selama di perjalanan menuju kantor tak banyak bicara, dan aku sangat yakin dia terkejut saat melihat ekspresi mukaku yang tak sedap dipandang.“Emm, Mbak, ini fotonya-”“Letakkan saja di sana, aku akan segera membuat laporan untuk peliputan kita hari ini,” tukasku bergelut dengan mood yang berantakan.Tak lama, ponselku berdering tanda pesan masuk. Keningku mengernyit saat tahu siapa yang mengirim pesan. Gita sedang memamerkan dirinya berfoto bersama dengan Tantri dan sengaja mengirimkannya ke grup chat keluarga besar ibuku. Ditambah dengan caption “durian runtuh hari ini, foto bareng model terkenal. Bismillah, nular suksesnya.” Disertai gambar hati yang sangat banyak.Apa dia sengaja memanasi ku? batinku sangat kesal.Tak kuhiraukan pesan yang dikirim Gita, tapi penasaran juga dengan reaksi keluarga besar ibuku yang memang dikenal gila hormat.Dan sesuai dugaanku! Tak berapa lama sejak Gita me