“Tantri?” ucapku dan Mas Dendi bersamaan. Kami saling tukar pandang, Tantri, sahabat sekaligus mantan istri Mas Dendi tiba-tiba saja hadir di depan kami.
“Hei, kalian apa kabar? Duh, udah lama banget ya kita nggak ketemu, ada lima tahun?” Tantri sepertinya tak berubah, ia masih tetap sama, cerewet dan gaspol.
“Baik, kamu gimana juga kabarnya, Tan? Makin sukses aja, ya.” Ucap Mas Dendi merangkul ku, aku agak terkejut kenapa tiba-tiba dirangkul. Tapi, ah, sudahlah. Mungkin ia ingin menjaga perasaanku.
“Maya, kamu makin kurus aja. Nggak dikasih makan apa sama Dendi. Heh, Dendi! Cukup aku aja, ya yang menderita. Jangan sahabatku!” protes Tantri memicing.
“Eh … eh, enggak kok, Mas Dendi nyukupin kebutuhan aku, bahkan sangat berlebih. Udah, kamu nggak perlu khawatir, Tan. Tapi, ngomong-ngomong, kamu kapan balik ke Indonesia?” tanyaku mengalihkan ucapan Tantri yang sangat memojokkan suamiku.
“Kemarin. Sekarang lagi ada urusan di sini.” Kepala sahabatku menoleh ke gedung Naga Mas Abadi.
Bukannya Tantri model, ya? Ngapain model ke perusahaan tambang?
“Oh, wah … kamu hebat, ya sekarang. Main ke tambang juga?” tanyaku, basa-basi.
“Dibilang main tambang, sih enggak, ya. Tapi, yah … namanya hidup, perlu uang kan? Lagipula kalau aku hanya mengandalkan satu pekerjaan saja, bisa-bisa waktu hari tua nggak ada tabungan dan kerja keras terus.”
Aku terdiam. Dua orang sudah yang mengatakan hal yang intinya sama padaku, harus punya uang yang banyak supaya waktu tua nanti, kita nggak perlu kerja keras.
“Ngomong-ngomong, aku masuk dulu, ya. Nggak enak sama atasan. Sayang, makasih, ya udah dianterin ketopraknya.” Mas Dendi mencium keningku mesra. Aku pun membalasnya dengan senyum semanis mungkin dan lambaian tangan.
“Hmm, sepertinya Dendi lebih bahagia sama kamu, ya, Maya.”
“Kenapa bisa bilang begitu kamu, Tan?” kucoba pancing sahabatku.
“Dia sudah berubah, nggak seperti dulu waktu kami menikah, sangat kaku, aku-nya dingin dan tak acuh. Tapi, setelah dia nikah sama kamu, aku bisa tahu kalau Dendi sudah banyak berubah.” Tantri terus melihat punggung suamiku hingga tak berkedip. Cemburu? Sedikit, tapi aku percaya Tantri bukanlah sahabat yang akan menusuk sahabatnya sendiri.
“Aku yakin kamu akan dapat calon suami yang lebih bahkan sangat baik, Tan.” Kusenggol pelan pundak sahabatku sambil tersenyum.
“Aku udah nggak mikirin tentang nikah, Tan. Masih ada trauma dan kalau aku bisa cari uang sendiri, kenapa butuh laki-laki?”
“Nggak boleh ngomong gitu, Tan. Biar gimanapun, kodrat kita sebagai perempuan, ya nikah, hamil, punya anak, urus anak-suami, rumah,” jelasku.
Tantri melihat ke arahku dengan senyum lebar. Matanya yang memakai kontak lens biru menyidik mataku hingga aku salah tingkah.
“Ngapain, sih kamu liatin aku kaya gitu, Tan,” protesku.
“Berapa lama, sih aku nggak balik ke Indonesia? Kok kayaknya kalian udah berubah banget, ya.”
“Haha, makanya jangan kelamaan di negeri orang, amnesia, kan?” kelakarku.
“Habis dollarnya enak, sih,” timpal Tantri tak mau kalah.
Aku hanya tersenyum. Kulihat, jam di tanganku sudah pukul 1 siang dan itu artinya tugasku sebagai kuli jalanan harus segera dimulai.
“Tan, sorry banget, ya. Aku harus pergi, maklum, kerjaan ngilu begini.” Ujarku merapikan pakaianku.
“Emangnya kamu kerja apa, May?”
“Aku kerja di Divisi Marketing di majalah wanita, masih baru, sih. Makanya harus kerja keras.”
“Nih.” Tantri menyodorkan kartu namanya padaku.
“Apa nih?” tanyaku bingung.
“Black Card! Ya, kartu nama lah, Mayaaaaaa ….” gemesnya.
“Iya, tahu. Tapi untuk apa kartu nama ini?”
“Yah, siapa tahu kamu butuh nanti.”
Aku pun membalas dengan anggukan dan segera pergi meninggalkan Tantri dan kantor Mas Dendi. Hari ini pikiranku benar-benar tak fokus kerja gara-gara amplop coklat itu. Imajinasiku memenuhi pikiranku jika seandainya aku bisa menjadi perantara Bu Melanie dan CEO Naga Mas Abadi. Tanpa sadar, aku mengayun langkahku kembali ke rumah. Baru sadar setelah tetanggaku memanggilku.
“Lho, Mbak Maya cepet banget pulangnya? Lagi nggak enak badan?”
“Ah, i-iya, Bu. Lagi kurang sehat,” ucapku celingak-celinguk ternyata lingkungan rumahku.
“Jangan-jangan Mbak Maya hamil lagi, buru-buru deh di test pack, muka Mbak Maya pucet juga,” sahut tetanggaku yang memang berjarak sangat dekat hingga bisa melihat wajah masing-masing dengan jelas.
“Iya, Bu. Terima kasih sarannya.”
Tak mau ambil pusing dengan mulut repot ibu-ibu di sini, aku pun langsung masuk dan melepas penat sambil membaca kartu nama yang diberikan Tantri padaku.
“Sepertinya Tantri sekarang sudah jadi model terkenal dan hidup enak. Syukurlah kalau begitu, aku turut bahagia.” Ucapku tanpa sadar mataku mulai terpejam di kursi reot ruang tamu kami.
***
“Assalamualaikum … assalamualaikum ….”
Samar-samar kudengar suara salam dari rumah kami. Aku membuka mataku dan kaget saat melihat jam sudah pukul 8 malam.
“Assalamualaikum,” ucap suara sambil mengetuk pintu rumah kami.
“Waalaikumsalam, itu pasti Mas Dendi.” Aku cepat-cepat membukakan pintu dan benar saja, suamiku telah berdiri di depan pintu dengan pakaian kuyup.
“Lho, Mas? Kok, pakaiannya basah?” Aku keluar memastikan apakah hujan atau tidak. “Nggak ujan, tapi kenapa pakaianmu basah begini?” tanyaku heran.
“Tadi diajak ke Bogor, Sayang. Mendadak banget. Di sana ujan deras, pas sampai Jakarta kering kerontang,” jelas Mas Dendi buru-buru lepas pakaiannya.
“Ya sudah, aku rebus air dulu buat mandi.”
Saat Mas Dendi mandi, aku juga ganti baju karena tak sadar ketiduran, sampai-sampai tak melepas pakaian kantor.
“Kamu nggak mandi, Maya?” tanya Mas Dendi saat keluar kamar mandi.
“Nantilah, Mas. Masih jetlag,” tukasku.
“Jetlag? Emang kamu naik pesawat.” Senyum suamiku seperti biasa menanggapi candaan recehku.
“Mas, bisa ngomong sebentar, nggak?” tanyaku tanpa buang waktu. “Atau Mas mau makan dulu? Biar kubelikan, aku belum sempet masak.”
“Nggak usah, aku udah makan tadi. Kalo kamu mau makan, biar aku belikan,” ucap suamiku.
“Nggak, Mas. Aku belum lapar. Ini lebih penting dari masalah perut walau ujung-ujungnya perut juga.”
“Oke, coba katakan apa yang mau kamu bicarakan, Sayang.” Mas Dendi duduk di sebelahku dan melihatku dengan mata teduhnya.
“Mmm, bisa nggak kira-kira Mas mempertemukan aku dengan bos di tempat kerja Mas?”
“Untuk apa?” Mas Dendi sedikit terkejut.
“Bosku, Bu Melanie ingin bertemu dengan CEO Naga Mas Abadi. Baru tadi dia ngomongnya, aku juga kaget. Tapi aku yakin ini karena berita yang lagi viral itu.”
“Berita viral apa?” tanya Mas Dendi semakin penasaran.
“Itu lho, Mas berita tentang CEO Naga Mas Abadi yang identitasnya sangat misterius dan menjadi incaran banyak perempuan, apalagi usianya yang masih muda tapi hartanya udah triliunan.”
“Oh, itu ….”
Aku melihat ekspresi suamiku dengan santai menanggapi perkataanku. Yah, mau bagaimana lagi, Mas Dendi bukanlah orang yang senang mengikuti berita viral atau kepo dengan medsos, itu yang Kusuka darinya.
“Terus, kira-kira kamu bisa nolong aku nggak?”
“Kenapa harus bos kamu yang ketemu? Bukannya kalau hanya untuk interview, kamu pun bisa melakukannya?”
“Entahlah. Bu Melanie bersikeras harus dia yang interview. Dan ….”
“Dan? Masih ada lagi?” Mas Dendi menaikkan sebelah alisnya.
“Dan Bu Melanie menjanjikan uang jika aku berhasil mempertemukan dia dengan CEO Naga Mas Abadi, Mas.” Kepalaku tertunduk sembari menautkan kedua tanganku, takut jika suamiku akan marah.
“Berapa yang bosku tawarkan?”
“Aku tak tahu, Bu Melanie hanya menyodorkan amplop coklat dan meletakkannya di meja tanpa memberitahu jumlahnya. Mas, ayolah tolong aku. Ini demi kita, masa depan kita, nggak mungkin kan kita pinjam sana-sini, hutang kita udah numpuk.” Aku mencengkram pelan lengan suamiku, memelas padanya.
“Liat nanti ya, Sayang. Soalnya, CEO tempat Mas kerja agak gila orangnya.”
“Gila gimana?”
“Dia itu pilih-pilih kalau mau diwawancara dan nggak sembarangan pula orang yang wawancara dia. Tapi kamu tenang aja, Mas akan coba ngomong sama sekretarisnya, ya.”
Aku sedikit lega, masih ada harapan dan aku harus yakin itu.
Hari ini aku mengayun langkahku ke kantor lebih awal dari biasanya. Mas Dendi pun berangkat lebih awal karena harus kembali ke Bogor urusan izin pertambangan. Kulihat, ibu-ibu yang biasa nongkrong di tukang sayur dekat rumahku sama sekali tak ada. Hah, sungguh indah sekali hari ini. Hati tenang, kuping aman, kerjaan pun jadi senang.“May, kamu dipanggil Bu Melanie tuh.”Salah seorang rekan kerjaku tiba-tiba menghampiriku saat baru saja aku meletakkan tas.Udah dateng? Cepet banget. Kulihat jam di dinding kantor pukul 08.45 menit. Padahal masih ada waktu 15 menit lagi untuk masuk. Ada apa, ya?“Pagi, Bu.” Salahku sambil menundukkan sedikit kepala sebagai rasa hormat.“Duduk!” Aku menelan saliva ku, kenapa nada bicaranya judes sekali? “Iya, Bu. Ada apa, ya?” tanyaku beranikan diri.“Bagaimana? Apa kamu sudah bicara dengan suamimu?” “S-sudah, Bu.”“Lalu, katanya?”“Akan diusahakan, Bu. Karena suami saya juga tidak ke kantor hari ini. Dia ke Bogor, ada kerjaan,”“Oh my God!!!” Bosku se
Rasa penasaranku tetap tak bisa hilang, kutelepon kembali suamiku, tapi ponselnya lagi-lagi belum aktif. “Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”“Eh, Bu Joko. Mari masuk, Bu.” Pintu rumahku kubuka lebar, menyambut tetanggaku yang sering menggunjingkan diriku.“Nggak usah, Mbak Maya. Di luar aja.” Ucap wanita yang sering pamer emasnya yang berentet layaknya toko mas berjalan. “Tadi ada yang nyariin Mbak Maya.”“Nyariin saya, Bu? Siapa?”“Nggak tahu, dua orang. Pakai jaket hitam, tinggi-tinggi lagi dan tampangnya … hiiiyy, serem,” ujar wanita ini dengan gaya lebay-nya.Jangan-jangan debt collector, batinku.“Terima kasih atas informasinya, Bu Joko. Mungkin itu teman saya yang sedang ingin bertamu, tapi sayanya nggak ada,” kilahku.“Oh, gitu. Ya, saya, sih cuma nyampein aja, Mbak.” Wanita ini dengan cepat memalingkan wajahnya sambil kipas-kipas dengan salah satu tangannya.“Yasudah, saya pulang dulu, ya, Mbak. Cuma mau sampaikan itu akan kok. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam, hmmm …. teta
“M-Mas … marah, ya?” tanyaku takut-takut.“Kenapa mesti marah? Toh, kamu pakai dana itu untuk hal yang sangat penting. Nggak apa-apa, pakai aja uang cadangan kita, toh kita bisa mengumpulkannya lagi. Yang terpenting sekarang, Bapak sembuh dan sehat.” “Kamu nggak marah, Mas? Beneran?” tanyaku lagi, memastikan jika apa yang telingaku dengar nggak salah.“Iya, nggak apa-apa, kok. Sangat tidak apa-apa, malah aku bersyukur uang cadangan kita kamu gunakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat.” “Mas, boleh aku tanya sesuatu?” Terdiam sejenak, kepalaku berusaha menata kalimat yang tak membuat Mas Dendi tersinggung atau terintimidasi. “Kok malah diam. Katanya tadi mau tanya? Tanyalah, nggak perlu banyak berpikir, Maya.”“Mas berapa lama, sih kerja di Naga Mas Abadi?” tanyaku untuk memancing.“Sekitar tiga tahun. Kenapa?”“Tadi tuh aku ke kantor Mas Dendi. Terus kutanya tapi nggak ada yang tahu nama kamu. Aku kan jadi bingung, sebenarnya Mas kerja di perusahaan itu apa enggak?”Mas Dendi s
Beberapa hari sudah Bapak berada di rumah sakit. Dan selama itu pula ibuku selalu menghubungiku atau mengirim pesan supaya dibelikan makanan, minuman, dibawakan baju, serta barang-barang lainnya yang sebenarnya bisa dilimpahkan ke adikku. Pekerjaanku pun menjadi tak keurus karena harus bolak-balik rumah sakit, sementara Mas Dendi sekarang sering ke luar kota karena urusan izin pertambangan dan survey lapangan.“Maya, kamu belum kirim uang juga untuk adikmu? Dia sudah mau ujian, kenapa belum kirim?”“Nanti Maya kirim, Bu. Tapi tidak sekarang, keperluan Maya juga banyak,” ujarku saat menjenguk Bapak.“Alasan! Bilang aja kalau kamu nggak mau keluar uang untuk adikmu! Ingat ya, Maya! Kami, Bapak dan Ibu sudah keluar uang banyak untuk menikahkan kamu dengan Dendi! Jadi, sudah sepatutnya uang yang kamu terima dari Dendi digunakan untuk membantu keluargamu!”“Astagfirullah, Ibu … kenapa Ibu bisa ngomong begitu? Jadi, Ibu menikahkan Maya dengan Mas Dendi karena terpaksa?” Emosiku benar-benar
Mataku membulat lebar saat tahu apa isi amplop coklat yang diberikan kedua laki-laki tadi. Apa aku sedang bermimpi atau ini sebuah delusi?Aku kembali menghubungi suamiku, tapi ponselnya masih tak aktif. Rasa was-was dan takutku semakin besar, apalagi saat kulihat tetanggaku, Bu Joko mengintip rumahku saat kedua laki-laki tadi datang, makin stres dan kacau pikiranku.“Mas Dendi kok lama banget, sih pulangnya. Ayo, dong, mas, cepet pulang.”Jam demi jam berlalu, hingga tepat pukul delapan malam Mas Dendi belum kunjung datang. Rasa was-was ku semakin besar. Bagaimana jika amplop itu adalah uang haram atau hasil curian?“Assalamualaikum, Sayang … Sayang ….”Mas Dendi? batinku.Kudengar seseorang mengucap salam seraya mengetuk pintu rumah kami, tak ingin gegabah, aku mengintip dari gorden merah maroon yang terpasang di kamar. Itu Mas Dendi bukan, ya? Kupasang telingaku baik-baik dan kudengarkan lagi ketukan pintu yang menyambangi rumahku.“Assalamualaikum, Maya … Maya ….”Benar! Itu Mas
Beberapa minggu ini otak dan fisikku memang terkuras habis karena harus bolak-balik ke rumah sakit dan juga melayani berbagai permintaan ibuku, tapi semua rasa itu lepas dan hilang saat mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka. Entah siapa yang memberikan uang sebanyak itu, yang pasti saat ini aku dan Mas Dendi setidaknya masih bisa memperpanjang napas.“Kayaknya ada yang lagi seneng, nih. Habis nerima durian runtuh, ya?” Dina mendekatiku seraya tersenyum melihat wajahku.“Yah, begitulah,” ujarku.“Eh, beneran! Kamu dapat durian runtuh, May? Berapa … berapa?” Dina menarik-narik lenganku layaknya anak kecil minta permen.“Apaan, sih? Udah, ah kerja sana. Daripada nanti dipanggil lagi sama singa Afrika,” kekehku.“Ih, kamu, ya, May!” Dina memberingsut bibirnya, aku hanya memberinya senyum tipis melihat sikapnya seperti anak kecil.“Maya, ke ruangan saya!”Suara Bu Melanie tiba-tiba membuat jantungku seolah berhenti berdetak. Dina dan aku saling lepas pandangan. Mungkin, pikiran kami
Aku sangat terkejut saat melihat Tantri keluar dari mobil mewah itu. Apakah dia yang memiliki restoran ini? Kulihat Adnan semangat sekali mengambil foto-foto Tantri. Aku lekas kembali ke kursi, menyiapkan segalanya. Kulihat Tantri perlahan mulai masuk ke restoran ini dikerubungi mungkin oleh fans dan pengunjung tempat ini. “Mbak, aku sudah berhasil mendapatkan fotonya. Dia itu Tantri kan? Model yang sedang naik daun setelah bertahun-tahun di negeri orang. Kok Dateng sendiri, ya?”“Apa maksudmu dia datang sendiri, Nan?” tanyaku penasaran.“Ada rumor yang mengatakan kalau sang model sedang dekat dengan salah satu pengusaha sukses Indonesia, Mbak. Tapi siapa pengusaha itu, tak ada yang tahu. Tantri itu sosok yang sangat misterius, tapi justru itulah para pencari berita semakin kepo,” jelasnya seraya melihat Tantri yang sedang melayani pemotretan para pengunjung tempat ini.Alangkah beruntungnya Tantri, tapi kenapa dia melepaskan Mas Dendi, ya? itu yang tak habis pikir olehku sampai sek
Aku sangat terkejut saat melihat Tantri keluar dari mobil mewah itu. Apakah dia yang memiliki restoran ini? Kulihat Adnan semangat sekali mengambil foto-foto Tantri. Aku lekas kembali ke kursi, menyiapkan segalanya. Kulihat Tantri perlahan mulai masuk ke restoran ini dikerubungi mungkin oleh fans dan pengunjung tempat ini. “Mbak, aku sudah berhasil mendapatkan fotonya. Dia itu Tantri kan? Model yang sedang naik daun setelah bertahun-tahun di negeri orang. Kok Dateng sendiri, ya?”“Apa maksudmu dia datang sendiri, Nan?” tanyaku penasaran.“Ada rumor yang mengatakan kalau sang model sedang dekat dengan salah satu pengusaha sukses Indonesia, Mbak. Tapi siapa pengusaha itu, tak ada yang tahu. Tantri itu sosok yang sangat misterius, tapi justru itulah para pencari berita semakin kepo,” jelasnya seraya melihat Tantri yang sedang melayani pemotretan para pengunjung tempat ini.Alangkah beruntungnya Tantri, tapi kenapa dia melepaskan Mas Dendi, ya? itu yang tak habis pikir olehku sampai sek