Share

Cibiran Tetangga

“Aku berangkat dulu, Sayang. Udah nggak usah kamu pikirkan ucapan para ibu-ibu. Kan mereka memang seperti itu dari sananya.”

'Kamu ngomong enak, Mas. Tapi aku yang kesel! Kaya suami mereka baik dan ganteng aja!’

“Iya, Mas. Aku ngerti kok. Mas hati-hati di jalan, ya. kabari kalo sudah sampai kantor.”

“Iya, Sayang. Mas jalan dulu, ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Lho, ketoprak Mas Dendi kok nggak dibawa?” kulihat bungkusan plastik putih dan kertas nasi bungkus masih utuh tergeletak di meja ruang tamu. “Kubawa saja dulu, nanti aku mampir ke kantor Mas Dendi saat di luar.”

“Eh, Mbak Maya nggak diantar suami?”

Celetukan seorang tetanggaku yang sedang membeli sayuran menghentikan langkahku.

“Enggak, Bu. Mas Dendi sudah pergi lebih dulu,” sahutku ramah.

“Makanya, minta beliin motor dong sama suaminya, Mbak Maya. Harga motor kan udah murah, masa DP lima ratus ribu aja suaminya nggak bisa.”

Sabar … sabar … istighfar … istighfar, Maya …. batinku menahan kesal karena mulut lambe turah tetanggaku.

“Maaf, Bu. Saya sudah terlambat. Permisi,” ujarku buru-buru meninggalkan mulut tetangga lambe turahku.

***

“Kamu kenapa, May? Lemes bener? Tuh keringet udah kaya air sungai, ngalir terus.” Dina, teman kerja sekaligus partner marketingku menghampiri sambil melihat dengan rasa kepo-nya.

“Biasa, habis olahraga 20 menit, ditambah ada interview dikit,” ujarku.

“Hah? Interview apaan? Di mana? Kok kamu nggak kasih tahu aku?!” Dina dengan cepat menarik kursinya yang memang bersebelahan dengan meja kerjaku. “Ayo cepet cerita! Interview apaan kamu!”

“Bukan aku yang menginterview, tapi aku yang di interview sama tetanggaku.”

“Hah??????” Dina membuka mulutnya lebar, dia memang tipe orang yang rame, kepo, tapi aslinya sangat baik dan peduli dengan orang lain. “Ih … ih, kok bisa, sih? Emang tetanggamu nggak ada kerjaan apa?” tanya Dina penasaran tiap kali aku membicarakan tingkah laku tetanggaku.

“Tumben Bu Bos belum dateng? Biasanya kan jam 9 tepat udah nongol.” Dina melihat jam di tangannya sambil celingak-celinguk.

“Macet kali, tunggu aja. Kenapa? Kangen, ya?” gurauku.

“Ih, amit-amit deh, ya. Bos galak kaya gitu … cyapek cyinnnnn …..” timpal Dina dengan gaya lebay dan manjanya.

“Siapa yang bilang saya galak tadi?”

Suara menggelegar dari pintu masuk kantor membuat kami terkejut dan sudah dipastikan itu adalah Melanie, bos sekaligus pemilik majalah yang sekarang menjadi tempatku mengais rezeki.

“Kamu, sih, Din. Punya mulut nyablak banget. Tuh liat, singa Afrika mulai meraung,” ucapku pelan.

“Hmm, kamu ya, Din. Lagi-lagi kamu nyinyir di belakang saya. Ga suka saya sama karyawan yang punya muka dua kaya kamu!” 

“M-maaf, Bu Melanie. Ini yang terakhir kali, saya janji.” 

“I-iya, Bu Melanie. S-saya janji ini yang terakhir kalinya.” Tunduk Dina penuh penyesalan.

“Untuk tim marketing, ke ruangan saya sekarang!”

Haduhhh, apalagi sekarang? Kok, aku jadi deg-deg-an, ya.

Aku, Dina, dan dua orang rekanku masuk ke ruangan Melanie. Aura hitam sepertinya kurasakan saat kami semua bertatap muka dengannya.

“Bagaimana progres dari tim marketing sejauh ini? Apa ada kemajuan?” Melanie menaikkan alis lancipnya sebelah saat menatap kami semua.

“Kami masih mengupayakan semaksimal mungkin, Bu Melanie. Terkait kendala tim marketing di lapangan, semuanya sudah ter-handle,” paparku karena aku yang menjadi ketua marketing di lapangan.

“Ujung tanduk perusahaan ini ada di tim marketing! Kalian! Gimana mau dapat bonus kalau marketingnya aja malas-malasan! Meski kita belum memiliki nama sebesar perusahaan majalah sebelah, tapi kita jangan kalah karena aku tak menggaji kalian untuk kalah! Paham?” 

“Paham, Bu,” jawab kami serempak.

“Yang lain boleh keluar. Maya, kamu tetap di sini, ada yang mau saya bicarakan sama kamu.”

Yah, ditahan lagi, batinku sudah senang bisa keluar dari mulut singa, tapi nyatanya justru ditahan.

“Iya, Bu Melanie, ada apa?” tanyaku penasaran.

“Duduk!” titahnya. “Apa kau punya kenalan orang dalam perusahaan Naga Mas Abadi?”

Naga Mas Abadi? Bukannya itu perusahaan Mas Dendi kerja?

“Kok diam? Kamu ada kenalan orang dalam nggak?” Bosku menanyakan pertanyaan yang sama lagi.

“A-ada, Bu. Memangnya kenapa?”

“Bagus! Saya butuh kenalan kamu itu.”

Aku semakin bingung, apa yang mau dilakukan bosku ini.

“Kalau boleh tahu, memangnya kenapa, ya, Bu?” kuberanikan diri bertanya.

“Saya punya rencana untuk meningkatkan penjualan dan nama majalah kita.”

“Maksud Bu Melanie?”

“Apa kenalanmu itu bisa bawa kita masuk untuk bertemu CEO Naga Mas Abadi?”

Hah? Sudah gilakah bosku?

“Kalau untuk itu, saya coba tanyakan nanti, ya, Bu. Tapi saya nggak janji juga. Soalnya-”

“Kalau kamu bisa pertemukan aku dan CEO Naga Mas Abadi ...” Bosku mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, aku pun penasaran apa itu. “Amplop ini akan jadi milikmu.” 

Berapa ya itu isinya? Kok tebal banget? batinku tertuju pada amplop warna coklat yang menggelembung.

“Aku tahu kehidupan rumah tanggamu, Maya. Berapa, sih gaji suamimu yang cuma karyawan biasa itu? Sejuta, dua juta, tiga juta? Cukup buat biaya hidup kalian sehari-hari di Jakarta?”

Aku terdiam. Ucapan bosku ada benarnya. Meski Mas Dendi bekerja pagi sampai malam, bahkan dibela-belain lembur, tapi tetap saja kami tak bisa menabung dan masih banyak hutang sana-sini.

“Gimana, Maya? Jangan diem aja! Saya nggak ngomong sama patung!” Bosku mulai jengkel dan meletakkan amplop coklat menggelembung di mejanya, membuat mataku tak berkedip.

“Saya akan coba bicara sama suami saya, Bu. Kebetulan, dia bekerja di sana,” ucapku.

“Oke, cepat tanyakan sama dia. Kabari saya secepatnya karena saya tidak mau kecolongan start

dengan majalah lain!”

“Baik, Bu Melanie.”

***

Sekitar setengah jam berjalan kaki di jalur pedestrian, langkahku terhenti di depan gedung pencakar langit yang paling mentereng dan tinggi di Jakarta. Tiap kali aku ke tempat ini, mataku selalu melihat ke lantai tempat suamiku bekerja. Berharap aku juga bisa bekerja di perusahaan prestige ini.

“Mas, aku di depan kantor kamu.” 

Mas Dendi lama amat, ya? Keburu basi nih ketoprak.

Sedikit

bosan, aku membuka gadget-ku, penasaran dengan pemilik Naga Mas Abadi yang ingin diwawancarai oleh Bu Melanie. Kutelusuri lewat mesin pencarian, tapi tetap saja tak menemukan siapa pemilik perusahaan tempat suamiku bekerja.

“Aneh betul, kok nggak ada identitas pemiliknya, ya? Apa jangan-jangan ….” Pikiranku mulai melayang kesana-kesini, mataku mengedar melihat langit yang semakin biru dengan awan bak kapas terpontang-panting oleh angin.

Berapa ya kira-kira isi uang di amplop coklat tadi? Bener nggak, ya Bu Melanie akan memberikan amplop itu kalau aku berhasil mempertemukan dirinya dengan CEO Naga Mas Abadi.

“Sayang, kamu ngapain di sini? Kenapa nggak masuk aja?”

Kulihat Mas Dendi telah berdiri di hadapanku, melihatku sambil geleng-geleng kepala.

“Lho, Mas. Udah datang? Kapan datangnya?” tanyaku langsung berdiri dan cium tangan.

“Baru saja. Kenapa nggak masuk? Kaya apa aja kamu nunggu di sini.”

“Nggak apa-apa, Mas. Lagipula aku cuma mau kasih ini. Ketoprak kamu ketinggalan di meja tadi.”

“Astaghfirullah, pantesan selama di jalan kaya ada yang lupa, tapi apa. Makasih ya, Sayang. Kamu lagi tugas lapangan?” tanya Mas Dendi mengambil plastik ketopraknya dari tanganku.

Aku mengangguk. “Mas, ada yang mau aku bicarakan sama kamu nanti sepulang kerja, bisa?”

“Bisa dong, Sayang.” Mas Dendi mencubit ujung hidung mancungku sambil tersenyum hangat.

“Dendi!!”

“Tantri?” ucapku dan Mas Dendi bersamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status