Beberapa hari sudah Bapak berada di rumah sakit. Dan selama itu pula ibuku selalu menghubungiku atau mengirim pesan supaya dibelikan makanan, minuman, dibawakan baju, serta barang-barang lainnya yang sebenarnya bisa dilimpahkan ke adikku. Pekerjaanku pun menjadi tak keurus karena harus bolak-balik rumah sakit, sementara Mas Dendi sekarang sering ke luar kota karena urusan izin pertambangan dan survey lapangan.“Maya, kamu belum kirim uang juga untuk adikmu? Dia sudah mau ujian, kenapa belum kirim?”“Nanti Maya kirim, Bu. Tapi tidak sekarang, keperluan Maya juga banyak,” ujarku saat menjenguk Bapak.“Alasan! Bilang aja kalau kamu nggak mau keluar uang untuk adikmu! Ingat ya, Maya! Kami, Bapak dan Ibu sudah keluar uang banyak untuk menikahkan kamu dengan Dendi! Jadi, sudah sepatutnya uang yang kamu terima dari Dendi digunakan untuk membantu keluargamu!”“Astagfirullah, Ibu … kenapa Ibu bisa ngomong begitu? Jadi, Ibu menikahkan Maya dengan Mas Dendi karena terpaksa?” Emosiku benar-benar
Mataku membulat lebar saat tahu apa isi amplop coklat yang diberikan kedua laki-laki tadi. Apa aku sedang bermimpi atau ini sebuah delusi?Aku kembali menghubungi suamiku, tapi ponselnya masih tak aktif. Rasa was-was dan takutku semakin besar, apalagi saat kulihat tetanggaku, Bu Joko mengintip rumahku saat kedua laki-laki tadi datang, makin stres dan kacau pikiranku.“Mas Dendi kok lama banget, sih pulangnya. Ayo, dong, mas, cepet pulang.”Jam demi jam berlalu, hingga tepat pukul delapan malam Mas Dendi belum kunjung datang. Rasa was-was ku semakin besar. Bagaimana jika amplop itu adalah uang haram atau hasil curian?“Assalamualaikum, Sayang … Sayang ….”Mas Dendi? batinku.Kudengar seseorang mengucap salam seraya mengetuk pintu rumah kami, tak ingin gegabah, aku mengintip dari gorden merah maroon yang terpasang di kamar. Itu Mas Dendi bukan, ya? Kupasang telingaku baik-baik dan kudengarkan lagi ketukan pintu yang menyambangi rumahku.“Assalamualaikum, Maya … Maya ….”Benar! Itu Mas
Beberapa minggu ini otak dan fisikku memang terkuras habis karena harus bolak-balik ke rumah sakit dan juga melayani berbagai permintaan ibuku, tapi semua rasa itu lepas dan hilang saat mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka. Entah siapa yang memberikan uang sebanyak itu, yang pasti saat ini aku dan Mas Dendi setidaknya masih bisa memperpanjang napas.“Kayaknya ada yang lagi seneng, nih. Habis nerima durian runtuh, ya?” Dina mendekatiku seraya tersenyum melihat wajahku.“Yah, begitulah,” ujarku.“Eh, beneran! Kamu dapat durian runtuh, May? Berapa … berapa?” Dina menarik-narik lenganku layaknya anak kecil minta permen.“Apaan, sih? Udah, ah kerja sana. Daripada nanti dipanggil lagi sama singa Afrika,” kekehku.“Ih, kamu, ya, May!” Dina memberingsut bibirnya, aku hanya memberinya senyum tipis melihat sikapnya seperti anak kecil.“Maya, ke ruangan saya!”Suara Bu Melanie tiba-tiba membuat jantungku seolah berhenti berdetak. Dina dan aku saling lepas pandangan. Mungkin, pikiran kami
Aku sangat terkejut saat melihat Tantri keluar dari mobil mewah itu. Apakah dia yang memiliki restoran ini? Kulihat Adnan semangat sekali mengambil foto-foto Tantri. Aku lekas kembali ke kursi, menyiapkan segalanya. Kulihat Tantri perlahan mulai masuk ke restoran ini dikerubungi mungkin oleh fans dan pengunjung tempat ini. “Mbak, aku sudah berhasil mendapatkan fotonya. Dia itu Tantri kan? Model yang sedang naik daun setelah bertahun-tahun di negeri orang. Kok Dateng sendiri, ya?”“Apa maksudmu dia datang sendiri, Nan?” tanyaku penasaran.“Ada rumor yang mengatakan kalau sang model sedang dekat dengan salah satu pengusaha sukses Indonesia, Mbak. Tapi siapa pengusaha itu, tak ada yang tahu. Tantri itu sosok yang sangat misterius, tapi justru itulah para pencari berita semakin kepo,” jelasnya seraya melihat Tantri yang sedang melayani pemotretan para pengunjung tempat ini.Alangkah beruntungnya Tantri, tapi kenapa dia melepaskan Mas Dendi, ya? itu yang tak habis pikir olehku sampai sek
Aku sangat terkejut saat melihat Tantri keluar dari mobil mewah itu. Apakah dia yang memiliki restoran ini? Kulihat Adnan semangat sekali mengambil foto-foto Tantri. Aku lekas kembali ke kursi, menyiapkan segalanya. Kulihat Tantri perlahan mulai masuk ke restoran ini dikerubungi mungkin oleh fans dan pengunjung tempat ini. “Mbak, aku sudah berhasil mendapatkan fotonya. Dia itu Tantri kan? Model yang sedang naik daun setelah bertahun-tahun di negeri orang. Kok Dateng sendiri, ya?”“Apa maksudmu dia datang sendiri, Nan?” tanyaku penasaran.“Ada rumor yang mengatakan kalau sang model sedang dekat dengan salah satu pengusaha sukses Indonesia, Mbak. Tapi siapa pengusaha itu, tak ada yang tahu. Tantri itu sosok yang sangat misterius, tapi justru itulah para pencari berita semakin kepo,” jelasnya seraya melihat Tantri yang sedang melayani pemotretan para pengunjung tempat ini.Alangkah beruntungnya Tantri, tapi kenapa dia melepaskan Mas Dendi, ya? itu yang tak habis pikir olehku sampai sek
Mood-ku seketika langsung down saat bertemu dengan adikku, Gita di restoran tadi. Adnan pun selama di perjalanan menuju kantor tak banyak bicara, dan aku sangat yakin dia terkejut saat melihat ekspresi mukaku yang tak sedap dipandang.“Emm, Mbak, ini fotonya-”“Letakkan saja di sana, aku akan segera membuat laporan untuk peliputan kita hari ini,” tukasku bergelut dengan mood yang berantakan.Tak lama, ponselku berdering tanda pesan masuk. Keningku mengernyit saat tahu siapa yang mengirim pesan. Gita sedang memamerkan dirinya berfoto bersama dengan Tantri dan sengaja mengirimkannya ke grup chat keluarga besar ibuku. Ditambah dengan caption “durian runtuh hari ini, foto bareng model terkenal. Bismillah, nular suksesnya.” Disertai gambar hati yang sangat banyak.Apa dia sengaja memanasi ku? batinku sangat kesal.Tak kuhiraukan pesan yang dikirim Gita, tapi penasaran juga dengan reaksi keluarga besar ibuku yang memang dikenal gila hormat.Dan sesuai dugaanku! Tak berapa lama sejak Gita me
Otak dan tanganku benar-benar tak bisa diajak kerjasama hari ini! Pekerjaanku kacau! Beberapa kali kesalahan yang harusnya tak kubuat malah banyak kulakukan. Berapa kali mataku melihat gawaimu demi menanti kabar Mas Dendi. “Mbak Maya, ini laporan yang Mbak Maya minta.” Adnan memberikanku setumpuk kertas yang entah apa isinya. “Mbak Maya … Mbak Maya!”“Apaan sih! Berisik!” sentakku ke Adnan.Laki-laki bujangan yang usianya tak jauh denganku itu langsung terkejut dan hampir jantungan.“Astaghfirullah, Mbak Maya. S-saya salah apa, kok sampai dibentak?” tanya partner kerjaku itu dengan wajah memelas.Aku diam sejenak sambil beristighfar dalam hati. “S-sorry, Nan. Mbak nggak ada maksud buat bentak kamu. Itu, Mbak lagi pusing aja tagihan banyak yang belum dibayar,” kilahku tersenyum kikuk.“Oh, sabar Mbak. insya Allah kalau kita kerja keras dan doa, keinginan akan terkabul.”Aku mengangguk. “Tadi apa yang mau kamu sampaikan?” kualihkan pembicaraan ke topik lain.“Ini, laporan yang Mbak mi
“T-tidak mungkin!” Aku membulatkan kedua mata. Bukan suamiku yang keluar dari dalam mobilnya. Tapi seorang laki-laki muda nan tampan seperti Adnan.“Siapa dia, Tantri?” tanyaku yang juga ditanyakan para pencari berita.“Oh, kenalkan semua. Namanya Egi, dia adalah anak didikku yang akan segera go public. Tadinya, aku ingin mengadakan pers konferensi, tapi ternyata kuping serta mata kalian sangat jeli dan tajam, ya,” jelas Tantri sambil terkekeh.Ada rasa puas saat aku tahu suamiku tak bersama dengan Tantri dalam satu mobil. Lega rasanya, tapi aku juga penasaran apa yang mereka bicarakan sampai-sampai Mas Dendi sangat terburu-buru.“Kamu ada waktu, May besok malam?” tanya Tantri memegang jemariku tiba-tiba.“Kenapa?” tanyaku agak dingin.“Aku ingin mengundang kalian makan malam di rumahku besok.”Aku terdiam. Lama sudah aku tak menginjakkan kaki di rumah mewah Tantri, terakhir yang kuingat rumah mewahnya kusambangi saat ia menikah dengan Mas Dendi. Tapi, ada angin apa tiba-tiba Tantri