Air matanya menetes perlahan dari pelupuk mata, hati yang sedari kemarin dipaksa untuk kuat ternyata rapuh juga. Terlebih ketika surat cerai sudah ada di dalam genggaman tangannya. Freya tidak menyangka bahwa pernikahan yang dulu membuatnya bahagia harus kandas juga hanya karena kehadiran orang ketiga. Namun, wanita itu tidak bisa menyalahkan siapa pun selain dirinya yang terlalu mudah percaya akan cinta Barry sewaktu masih SMA.
"Ma, mama kenapa nangis?" tanya Dina, sang anak yang memiliki umur tiga tahun. Segera Freya menghapus air matanya secara kasar, dia tidak ingin Dina ikut bersedih melihatnya menangis. "Gapapa, Dina. Mama hanya kelilipan saja." Freya berdusta. "Mending kita masuk yuk!" ajaknya setelah berusaha untuk menetralisir rasa. Freya menggendong Dina dengan perasaan haru dalam hatinya. Melihat anaknya yang masih kecil, dia tidak tega kalau harus hidup dalam keluarga broken home. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Dia juga tidak bisa berbuat apa pun selain ikhlas, sabar dan menyerahkan semuanya pada yang Maha kuasa. Untuk menenangkan pikiran dan hatinya, Freya menemani Dina bermain di rumah kontrakan yang belum lama ini menjadi tempat tinggalnya bersama kedua putrinya. Meskipun rumah itu tidak seberapa besar, yang terpenting masih bisa membuat Freya, Desi dan Dina merasa nyaman dan aman. Kedua putrinya yang memberikan sumber kekuatan baginya untuk saat ini, juga yang membuat wanita cantik itu masih terus bersyukur di saat hidupnya tidak baik-baik saja. "Ma, Kak Desi kapan pulang ya?" tanya Dina mulai merasa bosan bermain dengan Freya. "Sebentar lagi pasti dia pulang, kamu tunggu saja, yang sabar ya." Freya memberikan senyuman. "Iya, Ma." Dina kembali fokus bermain boneka teddy bear kesukaannya. Jam sudah menunjukkan pukul 13.30, seharusnya Desi sudah pulang dari sekolah. Namun, sampai detik ini juga gadis itu belum pulang. Freya sedikit gelisah, jadi dia memutuskan untuk menyusul putrinya. "Kita jemput kak Desi sekarang ya," ajak Freya membuat aktivitas bermain Dina terhenti. "Iya, Ma." Dina langsung bergelayut manja kepada mamanya. Freya menggendong gadis mungilnya itu hingga ke depan teras rumah. Lalu, mulai mengunci pintu kontrakan agar tidak ada yang bisa keluar masuk secara bebas. "Mama mau ke mana?" tanya Desi yang baru saja tiba di rumah. Wanita cantik itu langsung memeluk putrinya dengan erat. "Mama mau menjemputmu, Desi. Aku kira ada hal buruk terjadi padamu," kata Freya takut kehilangan. Dia masih takut mertuanya akan mengambil hak asuh Desi, jadi dia harus lebih berwaspada. "Mama tenang saja, aku sudah bisa jaga diri kok Ma. Sekarang kita masuk yuk!" ajak Desi tidak ingin melihat Freya khawatir. Ada banyak hal yang diceritakan Desi pada mamanya, terutama perihal Barry yang datang ke sekolah. Alasan papanya itu datang karena memperkenalkan Hera pada gadis kecil yang menjadi korban perceraian. "Memang Mama dan papa beneran pisah?" tanya gadis yang saat ini duduk di kelas IX smp. Freya menganggukkan kepala, kali ini dia tidak bisa berbohong lagi pada Desi. "Mama bilang, kita tinggal di sini cuma sebentar saja karena masih ada problem dengan papa. Kenapa Mama gak jujur dari awal saja kalau kalian sudah berpisah untuk selamanya?" tanya Desi kecewa karena sudah dibohongi orang tuanya. "Maafin Mama, Desi. Mama gak bermaksud untuk berbohong, cuma Mama gak ingin melihat kamu dan adikmu bersedih. Lagi pula, surat cerai Mama terima hari ini. Mama kira, kalau kita berada di sini akan membuat papamu berubah pikiran, ternyata Mama salah sangka," jelas Freya yang tidak mungkin menyembunyikan fakta lagi. Dia berharap gadis cantiknya akan menerima semua yang terjadi, tanpa merasa kecewa karena sudah dibohongi. Hati Desi memang kecewa, tapi gadis itu tidak bisa marah pada mamanya. Justru merasa iba karena sakit hati yang diterima oleh Freya. "Mama yang sabar ya, Ma. Pria seperti papa memang tidak pantas untuk ditangisi, Mama harus kuat. Desi dan Dina akan selalu ada di samping Mama," ujar Desi memeluk erat tubuh Freya. "Terima kasih, Desi. Kamu sudah mau mengerti keadaan Mama." Freya merasa terharu akan kasih sayang yang diperoleh dari kedua putrinya. Suasana semakin haru, tapi perut Desi justru keroncongan. "Kita makan dulu yuk!" ajak Freya mengalihkan pembicaraan. Dengan senang hati Desi menerima ajakan sang Mama. Mereka pun melangkahkan kaki ke ruang makan yang digabung menjadi satu dengan dapur. Dengan semangat gadis cantik yang masih mengenakan seragam sekolah itu membuka tudung saji di atas meja, ternyata tidak ada makanan di sana. "Ma, apakah Mama sudah masak?" tanya Desi pelan. "Oya, Mama lupa kalau belum masak," sahut Freya, memori pikirannya memang semakin penuh dengan semua masalah yang pernah terjadi. "Kamu ganti baju dulu ya, sementara Mama akan memasak sesuatu untukmu dan adikmu," imbuh Freya. Desi mengangguk setuju, dia langsung pergi ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Sedangkan Freya mulai berkutat di dapur ditemani Dina yang duduk tenang di atas kursi sembari bermain boneka. "Bahan makanan semakin menipis, mas Barry juga belum mengirimkan uang untuk anak-anak." Freya mengembuskan napas secara kasar. Selesai memasak makanan seadanya dan sederhana, mereka bertiga makan bersama. "Ma, uang ujian di sekolah harus dilunasi besok, Ma." Desi berbicara sedikit ragu, sebab tidak ingin menyusahkan mamanya. "Besok Mama kasih uangnya ya," ujar Freya sembari menyuapi Dina. Dalam benaknya sedang berpikir, dari mana dia harus mendapatkan uang yang lebih banyak lagi. Sedangkan di dompetnya hanya sisa uang berwarna coklat beberapa lembar saja. Seketika dia berpikir untuk datang ke Barry dan meminta hak kedua anaknya. Dia harus menyingkirkan rasa malu demi kedua anaknya. Kalau tidak, Desi dan Dina akan hidup kelaparan. Freya tidak mau kalau kedua anaknya harus hidup kesusahan hanya karena pria tidak tahu diri yang menjadi papa kedua anaknya. Selesai makan, Desi membantu mamanya membersihkan meja makan serta mencuci piring. Selanjutnya, wanita cantik yang memiliki rambut lurus itu izin kepada anaknya untuk keluar sebentar saja. Freya meminta putri sulungnya untuk menjaga adiknya, sedang dia akan pergi ke rumah Barry. Wanita itu sengaja tidak membawa serta kedua anaknya karena tidak ingin mempertemukan mereka dengan selingkuhan mantan suami yang sebentar lagi akan menjadi istri baru Barry. Baru saja Freya keluar rumah, ternyata pucuk dicinta ulampun tiba. Barry datang bersama Hera dengan senyuman lebar menghiasi bibirnya. Tanpa basa-basi pria itu mendekat serta mengejek Freya. "Gak salah aku sudah menceraikan mu, ternyata kamu semakin buluk saja." Barry tersenyum ketus. Freya tidak membalas perkataan Barry, justru wanita itu meminta hak atas kedua putrinya. "Mulai detik ini, Desi dan Dina tidak akan mendapatkan jatah bulanan dari calon suamiku karena keuangan aku yang pegang. Kalau kamu tidak ingin melihat kedua putrimu sengsara, cari saja pria kaya. Istilahnya jual diri saja sana!" cetus Hera yang membuat Freya naik pitam dengan kalimat yang baru saja dilontarkan selingkuhan mantan suaminya.Freya tidak bisa menerima itu, sebab Barry tetap harus bertanggung jawab atas kedua putrinya sekali pun mereka sudah bercerai. Wanita itu protes dan menegaskan kembali akan melapor ke polisi atas penganiayaan yang diterima dari mantan suaminya sebelum mereka bercerai. Hera tidak ingin calon suaminya berurusan dengan polisi karena sebentar lagi mereka akan menikah, jadi mau tidak mau harus menuruti permintaan Freya."Baik, aku tidak akan melarang Barry memberikan jatah bulanan kepada kedua putrinya. Namun, uang yang diberikan hanya separuh dari uang yang biasa kalian terima!" Hera mempertegas kalimatnya karena tidak ingin merugi. Freya tidak bisa menerima itu, sebab uang yang biasa diberikan saja masih kurang. Bagaimana bisa dia dan kedua putrinya bertahan dengan jatah uang bulanan yang dikurangi separuh?"Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Tidak akan ada jatah lagi untuk kalian," ancam Hera yang memiliki tipu muslihat yang bagus. Dia kemudian mengajak Barry pergi dari rumah kontrakan Fr
Freya merasa tersentuh oleh sikap peduli dan pengorbanan Desi. Di tengah kesulitan mencari pekerjaan, dia merasa bersyukur memiliki anak yang peduli dengan kesejahteraannya. Meskipun tertekan oleh situasi keuangan, Freya merasa semakin bersemangat untuk terus mencari pekerjaan demi memberikan yang terbaik untuk Desi.Setelah menyeka air mata yang mengalir di pipinya, Freya memberikan senyuman hangat kepada Desi. "Terima kasih, sayang. Mama sangat beruntung memiliki anak sebaik kamu."Desi membalas pelukan ibunya dengan hangat. "Maafkan aku jika membuatmu khawatir, Ma. Aku akan berusaha keras untuk membantu Mama. Kita akan melewati semua ini bersama-sama."Mereka berdua duduk di ruang tamu, memeluk satu sama lain dalam keheningan yang penuh makna. Freya memutuskan untuk tidak menyerah. Dia akan terus mencari peluang, memperjuangkan masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan kedua putrinya. Dengan tekad yang kuat dan dukungan dari putrinya, dia yakin bahwa suatu hari nanti mereka aka
Freya merasa terpukul oleh kata-kata kasar dan merendahkan itu. Dia merasa seperti ditendang ketika dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan demi kebaikan dirinya dan Desi. Namun, dia tidak punya kekuatan untuk melawan, untuk membela diri.Dengan mata berkaca-kaca, dia mengangguk perlahan, berusaha menahan air mata yang ingin tumpah. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya mencoba mencari pekerjaan untuk memberikan yang terbaik bagi anak saya," ucapnya dengan suara gemetar.Namun, pria itu hanya menggelengkan kepala dengan sinis. "Cerita sedihmu tidak membuat saya tertarik. Saya tidak butuh karyawan yang lemah dan tidak berguna seperti kamu. Sekarang, keluar!"Freya bangkit dari kursinya dengan perasaan hampa. Dia merasa seperti dihantam oleh gelombang keputusasaan yang mendalam. Namun, dia tahu dia harus tetap kuat untuk Desi dan putri bungsunya.Dengan langkah gemetar, dia meninggalkan ruangan itu, hatinya berat oleh kegagalan dan rasa rendah diri yang memenuhi pikirannya. Di
"Sebelum itu, perkenalkan namaku Aarav. Aku adalah tunangan Hera, sebab itu aku mengajakmu untuk bekerjasama. Aku ingin dia membayar semua sakit hati yang aku rasakan," ujar Aarav tanpa berbasa-basi lagi. Freya menatapnya dengan rasa heran dan sedikit was-was. Aarav, pria berwajah tegas dengan tatapan mata tajam, tampak sangat serius. Dia baru saja bertemu, dan langsung memulai percakapan yang mengarah ke situasi begitu tegang dan penuh emosi."Apa maksudmu, Aarav? Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian berdua?" tanyaku perlahan, mencoba memahami situasi.Aarav menghela napas panjang, lalu mulai bercerita dengan nada yang penuh penekanan. "Hera dan aku sudah bertunangan selama dua tahun. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Kami merencanakan masa depan bersama, saling mendukung karier masing-masing, dan berusaha mengatasi berbagai rintangan. Namun, beberapa bulan terakhir ini, dia mulai berubah. Dia sering menghindar, tidak terbuka, dan ada beberapa hal yang membuatku merasa
"Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Aarav menatap lekat wajah Freya. Wanita cantik itu pun tidak enak hati menyebutkan minimal uang yang diinginkan. "Katakan saja, tidak usah sungkan." Ternyata raut wajah Freya terbaca jelas oleh Aarav."Lima juta rupiah," sahut wanita cantik itu sesuai yang dibutuhkan."Sebutkan nomor rekeningmu," kata Aarav tanpa berpikir panjang lagi. Hal itu membuat Freya semakin tidak nyaman. Dia tidak ingin mendapatkan pinjaman uang tersebut dengan cuma-cuma, terlebih wanita cantik itu tahu tentang pria tampan yang sengaja mendekatinya. "Aarav, aku tidak bisa begitu saja memberikan nomor rekeningku," jawab Freya, matanya memandang lurus ke arah Aarav.Aarav menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang kian memuncak. "Freya, dengarkan aku. Kamu bisa mendapatkan uang lebih jika mau menikah denganku. Kita bisa bekerja sama hingga kamu tidak perlu kekurangan uang lagi."Freya terkejut mendengar tawaran tersebut. "Menikah denganmu? Apa ini hanya te
Barry terus mengikuti mantan istrinya dari belakang, dia masih tidak terima karena melihat Freya barusan bersama seorang pria di taman."Jangan kira aku tidak tahu, kalau kamu memiliki pria selain diriku saat kita bersama dulu." Barry berbicara semakin ngelantur menurut Freya. Jelas saja wanita cantik itu tidak mau meladeni pria yang sudah menyakitinya itu."Kamu dari awal memang punya pria lain selain diriku 'kan?" cetusnya lagi. "Aku masih tidak mengerti apa yang kamu katakan, Barry. Sudah jelas-jelas kamu yang berselingkuh terlebih dulu. Kenapa kamu malah menuduhku?" cetus Freya dengan sorot tatapan mata yang begitu tajam."Sekarang, aku tidak punya waktu untuk membahas semua yang terjadi. Apa yang terjadi pada kita di masa lalu, tidak mungkin bisa diperbaiki lagi." Akhirnya Freya pun pergi ke kasir, membayar belanjaan yang sudah dibelinya. Namun, Barry justru tidak pergi juga dari hadapan wanita cantik tersebut. "Kamu masih berkilah bahwa kamu tidak mengkhianatiku terlebih dulu
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Barry menoleh, dan Freya melihat celah untuk membebaskan diri. Dengan tenaga yang tersisa, dia menarik tangannya dan berhasil melepaskan diri dari genggaman Barry. Sebuah suara pria terdengar dari arah pintu. "Ada apa ini?" tanya pria itu dengan tegas. Freya menoleh dan melihat Aarav berdiri di sana dengan raut wajah serius.Barry mundur selangkah, jelas terganggu oleh kehadiran saksi yang tidak diharapkannya. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan kami," kata Barry dengan nada defensif.Freya segera bergerak mendekati Aarav, merasakan sedikit rasa aman dengan kehadirannya. "Dia menggangguku, Aarav. Mohon bantuannya," kata Freya dengan suara yang masih gemetar.Aarav menatap Barry dengan tajam. "Aku rasa sebaiknya Anda pergi sekarang, Barry. Jangan membuat masalah di sini."Barry menatap Freya dan Aarav dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tahu kamu pasti akan datang membantu mantan istriku ini, makanya aku sengaja berbuat ulah."
Freya termenung atas apa yang dikatakan oleh pria tampan yang ada di sebelahnya. "Apa yang dikatakan memang benar, tapi aku harus memikirkan semuanya dengan matang." Aarav menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan seksama. Lalu dia berkata, "Aku berjanji akan menjagamu dan kedua anakmu, Freya. Asalkan kamu mau membantuku."Wanita cantik itu tidak menjawab, sebab yang jadi pertimbangannya juga kedua putrinya. Bagi Freya rasanya malas untuk menjalin hubungan lagi setelah kekecewaan yang didapatnya.Di sepanjang perjalanan tidak ada lagi obrolan antara mereka berdua, mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mereka sampai di rumah kontrakan Freya, barulah mobil pria itu berhenti. "Terima kasih sudah mengantar," ucap Freya sambil membuka pintu mobil. Tidak lupa wanita cantik itu mengambil barang belanjaannya. "Sama-sama," jawab Aarav singkat, matanya sesaat tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumah Freya.Wanita cantik itu pun mengikuti arah pandang pria ya