Aarav merasakan gelombang ketegangan yang menjalar melalui tubuhnya. Kata-kata Sisca menggema dalam pikirannya, memunculkan kekhawatiran yang belum sempat dia tanggapi. Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada orang tuanya tentang kondisi Freya tanpa mengungkit masa lalunya yang rumit?Freya merasakan perubahan dalam diri Aarav, dan dengan lembut, dia meremas tangannya. "Aku tahu ini sulit," bisiknya, "Tapi aku yakin mereka akan mengerti, terutama setelah mereka mengenalku lebih baik."Aarav menatap mata Freya yang penuh keyakinan. Keberanian dan ketulusan dalam dirinya memberikan dorongan yang ia butuhkan. "Aku akan berbicara dengan mereka," jawabnya akhirnya, menghela napas panjang. "Orang tuaku memang sangat konservatif, tetapi mereka selalu menginginkan yang terbaik untukku. Aku yakin mereka akan menerima Freya dan anak-anaknya, meskipun mungkin butuh waktu."Sisca tersenyum penuh pengertian, mengetahui bahwa Aarav akan menghadapi tantangan yang berat. Tanpa pikir panjang, wanita sete
"Kamu jangan menangis ya, sebab aku akan menikah dengan Hera." Barry berbicara penuh jumawa.Freya terdiam tanpa berkata apa pun lagi, lalu mengambil undangan yang diberikan oleh mantan suaminya. "Kamu harus datang ke pernikahanku." Barry berbicara penuh harap. Freya memandangi undangan itu dengan tatapan kosong. Sampulnya berwarna emas dengan hiasan bunga-bunga yang tampak mewah."Aku pasti datang." Freya menjawab dengan tegas."Jangan lupa bawa pasanganmu juga," ucap Barry memberikan senyuman meremehkan."Tenang saja, aku akan membawa pasanganku." Freya menaruh undangan tersebut dalam tasnya."Sudah tidak ada kepentingan lagi 'kan?" tanya Freya sinis. "Kalau memang sudah tidak ada kepentingan lagi, lebih baik kamu pergi sekarang juga." Dengan tegas wanita cantik itu mengusir mantan suaminya."Oh ... ternyata kamu sudah semakin sombong sekarang?" cetus Barry tidak terima dengan perlakuan mantan istrinya. Freya menatap Barry dengan dingin, bibirnya mengerucut dalam ekspresi yang pe
Air matanya menetes perlahan dari pelupuk mata, hati yang sedari kemarin dipaksa untuk kuat ternyata rapuh juga. Terlebih ketika surat cerai sudah ada di dalam genggaman tangannya. Freya tidak menyangka bahwa pernikahan yang dulu membuatnya bahagia harus kandas juga hanya karena kehadiran orang ketiga. Namun, wanita itu tidak bisa menyalahkan siapa pun selain dirinya yang terlalu mudah percaya akan cinta Barry sewaktu masih SMA. "Ma, mama kenapa nangis?" tanya Dina, sang anak yang memiliki umur tiga tahun. Segera Freya menghapus air matanya secara kasar, dia tidak ingin Dina ikut bersedih melihatnya menangis. "Gapapa, Dina. Mama hanya kelilipan saja." Freya berdusta. "Mending kita masuk yuk!" ajaknya setelah berusaha untuk menetralisir rasa. Freya menggendong Dina dengan perasaan haru dalam hatinya. Melihat anaknya yang masih kecil, dia tidak tega kalau harus hidup dalam keluarga broken home. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Dia juga tidak bisa berbuat apa pun selain ikhlas, sab
Freya tidak bisa menerima itu, sebab Barry tetap harus bertanggung jawab atas kedua putrinya sekali pun mereka sudah bercerai. Wanita itu protes dan menegaskan kembali akan melapor ke polisi atas penganiayaan yang diterima dari mantan suaminya sebelum mereka bercerai. Hera tidak ingin calon suaminya berurusan dengan polisi karena sebentar lagi mereka akan menikah, jadi mau tidak mau harus menuruti permintaan Freya."Baik, aku tidak akan melarang Barry memberikan jatah bulanan kepada kedua putrinya. Namun, uang yang diberikan hanya separuh dari uang yang biasa kalian terima!" Hera mempertegas kalimatnya karena tidak ingin merugi. Freya tidak bisa menerima itu, sebab uang yang biasa diberikan saja masih kurang. Bagaimana bisa dia dan kedua putrinya bertahan dengan jatah uang bulanan yang dikurangi separuh?"Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Tidak akan ada jatah lagi untuk kalian," ancam Hera yang memiliki tipu muslihat yang bagus. Dia kemudian mengajak Barry pergi dari rumah kontrakan Fr
Freya merasa tersentuh oleh sikap peduli dan pengorbanan Desi. Di tengah kesulitan mencari pekerjaan, dia merasa bersyukur memiliki anak yang peduli dengan kesejahteraannya. Meskipun tertekan oleh situasi keuangan, Freya merasa semakin bersemangat untuk terus mencari pekerjaan demi memberikan yang terbaik untuk Desi.Setelah menyeka air mata yang mengalir di pipinya, Freya memberikan senyuman hangat kepada Desi. "Terima kasih, sayang. Mama sangat beruntung memiliki anak sebaik kamu."Desi membalas pelukan ibunya dengan hangat. "Maafkan aku jika membuatmu khawatir, Ma. Aku akan berusaha keras untuk membantu Mama. Kita akan melewati semua ini bersama-sama."Mereka berdua duduk di ruang tamu, memeluk satu sama lain dalam keheningan yang penuh makna. Freya memutuskan untuk tidak menyerah. Dia akan terus mencari peluang, memperjuangkan masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan kedua putrinya. Dengan tekad yang kuat dan dukungan dari putrinya, dia yakin bahwa suatu hari nanti mereka aka
Freya merasa terpukul oleh kata-kata kasar dan merendahkan itu. Dia merasa seperti ditendang ketika dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan demi kebaikan dirinya dan Desi. Namun, dia tidak punya kekuatan untuk melawan, untuk membela diri.Dengan mata berkaca-kaca, dia mengangguk perlahan, berusaha menahan air mata yang ingin tumpah. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya mencoba mencari pekerjaan untuk memberikan yang terbaik bagi anak saya," ucapnya dengan suara gemetar.Namun, pria itu hanya menggelengkan kepala dengan sinis. "Cerita sedihmu tidak membuat saya tertarik. Saya tidak butuh karyawan yang lemah dan tidak berguna seperti kamu. Sekarang, keluar!"Freya bangkit dari kursinya dengan perasaan hampa. Dia merasa seperti dihantam oleh gelombang keputusasaan yang mendalam. Namun, dia tahu dia harus tetap kuat untuk Desi dan putri bungsunya.Dengan langkah gemetar, dia meninggalkan ruangan itu, hatinya berat oleh kegagalan dan rasa rendah diri yang memenuhi pikirannya. Di
"Sebelum itu, perkenalkan namaku Aarav. Aku adalah tunangan Hera, sebab itu aku mengajakmu untuk bekerjasama. Aku ingin dia membayar semua sakit hati yang aku rasakan," ujar Aarav tanpa berbasa-basi lagi. Freya menatapnya dengan rasa heran dan sedikit was-was. Aarav, pria berwajah tegas dengan tatapan mata tajam, tampak sangat serius. Dia baru saja bertemu, dan langsung memulai percakapan yang mengarah ke situasi begitu tegang dan penuh emosi."Apa maksudmu, Aarav? Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian berdua?" tanyaku perlahan, mencoba memahami situasi.Aarav menghela napas panjang, lalu mulai bercerita dengan nada yang penuh penekanan. "Hera dan aku sudah bertunangan selama dua tahun. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Kami merencanakan masa depan bersama, saling mendukung karier masing-masing, dan berusaha mengatasi berbagai rintangan. Namun, beberapa bulan terakhir ini, dia mulai berubah. Dia sering menghindar, tidak terbuka, dan ada beberapa hal yang membuatku merasa
"Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Aarav menatap lekat wajah Freya. Wanita cantik itu pun tidak enak hati menyebutkan minimal uang yang diinginkan. "Katakan saja, tidak usah sungkan." Ternyata raut wajah Freya terbaca jelas oleh Aarav."Lima juta rupiah," sahut wanita cantik itu sesuai yang dibutuhkan."Sebutkan nomor rekeningmu," kata Aarav tanpa berpikir panjang lagi. Hal itu membuat Freya semakin tidak nyaman. Dia tidak ingin mendapatkan pinjaman uang tersebut dengan cuma-cuma, terlebih wanita cantik itu tahu tentang pria tampan yang sengaja mendekatinya. "Aarav, aku tidak bisa begitu saja memberikan nomor rekeningku," jawab Freya, matanya memandang lurus ke arah Aarav.Aarav menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang kian memuncak. "Freya, dengarkan aku. Kamu bisa mendapatkan uang lebih jika mau menikah denganku. Kita bisa bekerja sama hingga kamu tidak perlu kekurangan uang lagi."Freya terkejut mendengar tawaran tersebut. "Menikah denganmu? Apa ini hanya te