Freya merasa terpukul oleh kata-kata kasar dan merendahkan itu. Dia merasa seperti ditendang ketika dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan demi kebaikan dirinya dan Desi. Namun, dia tidak punya kekuatan untuk melawan, untuk membela diri.
Dengan mata berkaca-kaca, dia mengangguk perlahan, berusaha menahan air mata yang ingin tumpah. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya mencoba mencari pekerjaan untuk memberikan yang terbaik bagi anak saya," ucapnya dengan suara gemetar. Namun, pria itu hanya menggelengkan kepala dengan sinis. "Cerita sedihmu tidak membuat saya tertarik. Saya tidak butuh karyawan yang lemah dan tidak berguna seperti kamu. Sekarang, keluar!" Freya bangkit dari kursinya dengan perasaan hampa. Dia merasa seperti dihantam oleh gelombang keputusasaan yang mendalam. Namun, dia tahu dia harus tetap kuat untuk Desi dan putri bungsunya. Dengan langkah gemetar, dia meninggalkan ruangan itu, hatinya berat oleh kegagalan dan rasa rendah diri yang memenuhi pikirannya. Dia merasa seperti dunia ini tidak adil, bahwa dia tidak memiliki tempat di dalamnya. Di luar, dia duduk di bangku taman, mencoba menenangkan dirinya. Dia tidak ingin Desi melihatnya hancur seperti ini. Dia harus tetap kuat, untuk putrinya, untuk masa depan mereka berdua. Waktu berlalu, tetapi luka hati Freya tidak sembuh begitu saja. Setiap kali dia mengingat pengalaman pahit itu, dia merasa seperti ditendang lagi oleh kekejaman dunia. Namun, Desi tetap menjadi pilar kekuatannya. Setiap kali dia merasa lemah, dia melihat ke mata putrinya yang penuh harapan dan keberanian, dan dia tahu dia harus bertahan, untuknya. Meskipun sulit, Freya terus mencari pekerjaan. Dia mengirim lamaran ke berbagai tempat, berharap akan ada yang memberinya kesempatan, meskipun kecil. Dan akhirnya, setelah beberapa waktu, dia mendapatkan panggilan untuk wawancara lagi. Meskipun takut akan mengalami kekecewaan lagi, dia memutuskan untuk mencobanya sekali lagi, untuk Desi dan Dina. Wawancara itu berjalan dengan lancar, dan akhirnya, dia diberi kesempatan untuk memulai pekerjaan. Ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, sebuah kesempatan untuk memulai dari awal, untuk membuktikan kepada dunia bahwa dia tidak lemah, bahwa dia pantas mendapatkan tempatnya di dalamnya. Dengan tekad yang baru ditemukan, Freya memulai pekerjaannya dengan semangat yang baru. Dia bekerja keras setiap hari, tidak pernah melupakan perjuangan yang dia alami untuk sampai ke tempat ini. Meskipun hanya menjadi cleaning service di hotel permata, tapi sudah membuat Freya bersyukur karena bisa membiayai hidup kedua anaknya. Hari ini memang melelahkan bagi wanita cantik, tapi dia terus bekerja keras. Tidak peduli dengan kondisi tubuhnya yang semakin kelelahan. Di saat Freya duduk di kursi, tepat di depan pintu kamar hotel. Dia tanpa sengaja bertemu dengan Barry dan selingkuhannya. "Wah ... dunia ini sempit sekali ya, bisa-bisanya kita bertemu lagi dengan wanita jelek ini." Hera berbicara ketus. "Kayaknya dia memang butuh uang deh, Sayang. Makanya sampai bekerja jadi cleaning service begini, padahal 'kan dia bisa jadi wanita penghibur dan menjual kecantikannya." Barry tidak kalah memberikan hinaan pada mantan istrinya. Freya cuma diam saja, sebab tidak ingin ada kekacauan sehingga membuat dirinya dipecat dari pekerjaannya yang sekarang. "Kenapa diam saja? Ngomong dong! Apa kamu mendadak bisu?" cetus Hera menghina dengan bahagia. Freya menelan kepahitan kata-kata yang dilontarkan Hera dan Barry. Hinaannya terasa seperti sembilu yang menusuk hatinya, namun dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan emosi di wajahnya. Matanya tetap menunduk, tangannya tetap bekerja, menyeka lantai marmer yang berkilauan di depan lobi gedung hotel tempatnya bekerja. "Ah, tidak usah diladeni, Sayang. Toh, wanita seperti dia tidak akan bisa mengerti apa-apa," kata Barry sambil melingkarkan lengannya di pinggang Hera, menunjukkan kedekatan mereka di hadapan wanita cantik yang sedang sibuk bekerja. Freya mencoba menarik napas dalam-dalam. Dia tahu bahwa menjawab hinaan mereka hanya akan memperburuk keadaan. Baginya, pekerjaan ini sangat penting. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyambung hidup dan membiayai sekolah anaknya, Desi. Mengingat kedua putrinya, dia merasa ada kekuatan yang membuatnya tetap tegar meski dihina. Setelah puas memberikan hinaan, Barry dan Hera pun pergi meninggalkan Freya sendiri. Kali ini air matanya tidak bisa dibendung kembali, dia menangis sejadi-jadinya karena hanya itu yang bisa membuat hatinya lega. "Aku tidak akan membiarkanmu terus menghinaku, Mas. Akan aku buktikan bahwa aku bisa hidup layak tanpamu." Freya bermonolog. Dia menghapus air matanya dengan kasar, lalu mengambil ponselnya untuk membaca pesan yang masuk. Sudut bibirnya mulai mengembang saat melihat pesan singkat yang dikirim oleh Desi, dia sendiri tidak sabar menunggu waktu pulang untuk bertemu kedua putrinya. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, kini sudah waktunya Freya untuk pulang. Segera wanita itu bersiap-siap untuk pergi dari tempatnya bekerja menuju ke rumah. Langkah kakinya tiba-tiba dihentikan oleh pria yang ada di depannya. "Mau apa kamu?" tanya Freya sedikit ketakutan. Pria itu tidak ada jawaban, tatapannya terus meneliti wajah wanita yang ada di hadapannya. "Aku mau pulang, jangan halangi jalanku." Freya berbicara kembali dengan nada ketakutan. "Kamu gak usah takut begitu, aku ke sini karena ingin mengajakmu bekerjasama." Pria tampan itu tiba-tiba mengajak bekerja sama tanpa memperkenalkan nama. "Bekerjasama?" tanya Freya bingung. "Iya, bekerja sama," sahutnya singkat. Freya masih kebingungan, tidak paham dengan maksud pria tampan yang ada di hadapannya. "Kalau cuma untuk basa-basi saja, aku tidak punya waktu," ujar Freya bersiap untuk pergi meninggalkan pria yang tidak dikenalnya. "Kamu pasti kenal Barry?" tanya pria tampan tersebut. Seketika langkah kaki Freya terhenti. "Aku sudah tidak ada hubungannya lagi dengannya. Jadi, apa pun yang menyangkut dirinya, aku sudah tidak peduli," ujarnya tanpa menoleh ke arah pria itu sedikit pun. "Kita sama-sama dikhianati oleh kekasih kita, makanya aku ingin mengajakmu bekerjasama." Pria itu pun mulai memperjelas maksud dan tujuannya. "Aku cuma ingin hidup tentram tanpa memikirkan masa laluku kembali," ujar Freya tegas. "Kalau aku menawarkan sebuah imbalan, apakah kamu tidak mau?" tanya pria yang belum juga memperkenalkan diri. "Apa pun itu, aku tetap tidak mau. Lebih baik aku menjadi cleaning service, dari pada mengurus kembali pria yang memberikan luka lama padaku." Freya berlalu pergi begitu saja tanpa memperdulikan pria yang saat ini masih berdiri mematung melihat kepergian wanita cantik tersebut. Dua menit kemudian, pria itu justru mengejar Freya. Dia terus memohon untuk meminta bantuan darinya. "Apa yang kamu tahu tentang hidupku, hingga kamu bersikeras ingin bekerjasama sama denganku?" tanya Freya geram. Siapa yang menyangka bahwa pria itu justru mengatakan semua perihal masa lalu Freya dengan detail."Sebelum itu, perkenalkan namaku Aarav. Aku adalah tunangan Hera, sebab itu aku mengajakmu untuk bekerjasama. Aku ingin dia membayar semua sakit hati yang aku rasakan," ujar Aarav tanpa berbasa-basi lagi. Freya menatapnya dengan rasa heran dan sedikit was-was. Aarav, pria berwajah tegas dengan tatapan mata tajam, tampak sangat serius. Dia baru saja bertemu, dan langsung memulai percakapan yang mengarah ke situasi begitu tegang dan penuh emosi."Apa maksudmu, Aarav? Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian berdua?" tanyaku perlahan, mencoba memahami situasi.Aarav menghela napas panjang, lalu mulai bercerita dengan nada yang penuh penekanan. "Hera dan aku sudah bertunangan selama dua tahun. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Kami merencanakan masa depan bersama, saling mendukung karier masing-masing, dan berusaha mengatasi berbagai rintangan. Namun, beberapa bulan terakhir ini, dia mulai berubah. Dia sering menghindar, tidak terbuka, dan ada beberapa hal yang membuatku merasa
"Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Aarav menatap lekat wajah Freya. Wanita cantik itu pun tidak enak hati menyebutkan minimal uang yang diinginkan. "Katakan saja, tidak usah sungkan." Ternyata raut wajah Freya terbaca jelas oleh Aarav."Lima juta rupiah," sahut wanita cantik itu sesuai yang dibutuhkan."Sebutkan nomor rekeningmu," kata Aarav tanpa berpikir panjang lagi. Hal itu membuat Freya semakin tidak nyaman. Dia tidak ingin mendapatkan pinjaman uang tersebut dengan cuma-cuma, terlebih wanita cantik itu tahu tentang pria tampan yang sengaja mendekatinya. "Aarav, aku tidak bisa begitu saja memberikan nomor rekeningku," jawab Freya, matanya memandang lurus ke arah Aarav.Aarav menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang kian memuncak. "Freya, dengarkan aku. Kamu bisa mendapatkan uang lebih jika mau menikah denganku. Kita bisa bekerja sama hingga kamu tidak perlu kekurangan uang lagi."Freya terkejut mendengar tawaran tersebut. "Menikah denganmu? Apa ini hanya te
Barry terus mengikuti mantan istrinya dari belakang, dia masih tidak terima karena melihat Freya barusan bersama seorang pria di taman."Jangan kira aku tidak tahu, kalau kamu memiliki pria selain diriku saat kita bersama dulu." Barry berbicara semakin ngelantur menurut Freya. Jelas saja wanita cantik itu tidak mau meladeni pria yang sudah menyakitinya itu."Kamu dari awal memang punya pria lain selain diriku 'kan?" cetusnya lagi. "Aku masih tidak mengerti apa yang kamu katakan, Barry. Sudah jelas-jelas kamu yang berselingkuh terlebih dulu. Kenapa kamu malah menuduhku?" cetus Freya dengan sorot tatapan mata yang begitu tajam."Sekarang, aku tidak punya waktu untuk membahas semua yang terjadi. Apa yang terjadi pada kita di masa lalu, tidak mungkin bisa diperbaiki lagi." Akhirnya Freya pun pergi ke kasir, membayar belanjaan yang sudah dibelinya. Namun, Barry justru tidak pergi juga dari hadapan wanita cantik tersebut. "Kamu masih berkilah bahwa kamu tidak mengkhianatiku terlebih dulu
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Barry menoleh, dan Freya melihat celah untuk membebaskan diri. Dengan tenaga yang tersisa, dia menarik tangannya dan berhasil melepaskan diri dari genggaman Barry. Sebuah suara pria terdengar dari arah pintu. "Ada apa ini?" tanya pria itu dengan tegas. Freya menoleh dan melihat Aarav berdiri di sana dengan raut wajah serius.Barry mundur selangkah, jelas terganggu oleh kehadiran saksi yang tidak diharapkannya. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan kami," kata Barry dengan nada defensif.Freya segera bergerak mendekati Aarav, merasakan sedikit rasa aman dengan kehadirannya. "Dia menggangguku, Aarav. Mohon bantuannya," kata Freya dengan suara yang masih gemetar.Aarav menatap Barry dengan tajam. "Aku rasa sebaiknya Anda pergi sekarang, Barry. Jangan membuat masalah di sini."Barry menatap Freya dan Aarav dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tahu kamu pasti akan datang membantu mantan istriku ini, makanya aku sengaja berbuat ulah."
Freya termenung atas apa yang dikatakan oleh pria tampan yang ada di sebelahnya. "Apa yang dikatakan memang benar, tapi aku harus memikirkan semuanya dengan matang." Aarav menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan seksama. Lalu dia berkata, "Aku berjanji akan menjagamu dan kedua anakmu, Freya. Asalkan kamu mau membantuku."Wanita cantik itu tidak menjawab, sebab yang jadi pertimbangannya juga kedua putrinya. Bagi Freya rasanya malas untuk menjalin hubungan lagi setelah kekecewaan yang didapatnya.Di sepanjang perjalanan tidak ada lagi obrolan antara mereka berdua, mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mereka sampai di rumah kontrakan Freya, barulah mobil pria itu berhenti. "Terima kasih sudah mengantar," ucap Freya sambil membuka pintu mobil. Tidak lupa wanita cantik itu mengambil barang belanjaannya. "Sama-sama," jawab Aarav singkat, matanya sesaat tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumah Freya.Wanita cantik itu pun mengikuti arah pandang pria ya
Ternyata Desi memang cerdik juga, hingga berhasil membuat Hera pergi dari rumahnya. Dia mengambil seember air, lalu membuka pintu dan langsung menyiram wanita seksi yang sedari tadi membuat keributan. Desi tertawa puas setelah aksinya berhasil membuat wanita yang merusak rumah tangga orang tuanya terkejut dan basah kuyup. Hera, yang biasanya tampil anggun dan percaya diri, kini terlihat seperti singa betina yang marah."Apa-apaan kamu, Desi?! Kurang ajar kamu ya!" Hera berteriak sambil mengibaskan air dari bajunya yang basah.Desi tetap berdiri di depan pintu dengan tangan di pinggang, memandang Hera dengan tatapan menantang. "Sudah cukup, Hera. Kamu tidak berhak datang ke rumahku dan membuat keributan seperti ini."Hera semakin marah, wajahnya memerah. "Kamu pikir kamu siapa, Desi? Beraninya kamu mempermalukan aku seperti ini! Aku tidak akan pernah melupakan ini!"Desi menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. "Itu urusanmu, Hera. Kalau kamu datang lagi ke sini untuk bikin masalah, k
Saat membuka pintu, sebuah tangan tiba-tiba melayang ke pipi kanan Freya. Dia terhuyung sejenak, merasakan panas menyengat di pipi kanannya. Dia mengangkat tangan untuk menutupi pipinya yang baru saja ditampar, sementara matanya membelalak melihat mantan mertuanya— Rea, berdiri di depannya dengan wajah merah padam."Apa-apaan ini, Bu Rea?" tanya Freya dengan suara bergetar, mencoba menenangkan diri.Rea mendekat dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lari begitu saja, Freya? Kau pikir bisa meninggalkan anakku tanpa konsekuensi?" seru Rea dengan nada penuh amarah. "Kau menghancurkan hidupnya, kau tahu itu!"Freya menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya. "Aku... Aku tidak punya pilihan lain, Bu. Keadaan kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi."Rea menggelengkan kepalanya dengan penuh kemarahan. "Tidak punya pilihan? Selalu ada pilihan, Freya. Kau memilih jalan yang paling mudah untukmu, tanpa memikirkan dampaknya pada orang lain."Freya merasa ma
Pagi-pagi sekali Freya sudah disibukkan oleh pekerjaan rumah, dia bangun terlebih dulu untuk menyiapkan sarapan untuk kedua putrinya sebelum berangkat bekerja. Desi selalu bangun lebih awal dan langsung bergegas ke dapur untuk membantu ibunya. "Mama, apa yang bisa Desi bantu?" tanyanya dengan mata berbinar. Freya tersenyum, merasa bangga pada anak sulungnya yang selalu rajin. "Desi, bisa tolong ambilkan jus dari kulkas? Dan jangan lupa, periksa apakah makanan untuk Dina sudah lengkap," pintanya lembut. Desi mengangguk dan segera berlari ke kulkas, mengambil jus jeruk yang segar.Desi kembali dengan membawa jus jeruk dan menaruhnya di meja. "Ini jusnya, Ma," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku cek makanan untuk Dina."Freya mengangguk. "Terima kasih, sayang. Coba lihat apakah sereal dan susunya sudah siap."Desi memeriksa meja makan dan memastikan semuanya lengkap. "Sereal dan susu sudah siap, Ma. Apa lagi yang perlu Desi lakukan?"Freya berhenti sejenak untuk berpikir. "Sepertiny