Barry terus mengikuti mantan istrinya dari belakang, dia masih tidak terima karena melihat Freya barusan bersama seorang pria di taman.
"Jangan kira aku tidak tahu, kalau kamu memiliki pria selain diriku saat kita bersama dulu." Barry berbicara semakin ngelantur menurut Freya. Jelas saja wanita cantik itu tidak mau meladeni pria yang sudah menyakitinya itu. "Kamu dari awal memang punya pria lain selain diriku 'kan?" cetusnya lagi. "Aku masih tidak mengerti apa yang kamu katakan, Barry. Sudah jelas-jelas kamu yang berselingkuh terlebih dulu. Kenapa kamu malah menuduhku?" cetus Freya dengan sorot tatapan mata yang begitu tajam. "Sekarang, aku tidak punya waktu untuk membahas semua yang terjadi. Apa yang terjadi pada kita di masa lalu, tidak mungkin bisa diperbaiki lagi." Akhirnya Freya pun pergi ke kasir, membayar belanjaan yang sudah dibelinya. Namun, Barry justru tidak pergi juga dari hadapan wanita cantik tersebut. "Kamu masih berkilah bahwa kamu tidak mengkhianatiku terlebih dulu. Lantas, dari mana kamu mendapatkan uang untuk belanja sebanyak ini?" tanya Barry yang masih penasaran dengan kehidupan mantan istri yang disia-siakan. Freya menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya. "Barry, semua yang terjadi dalam hidupku sekarang bukan urusanmu," kata Freya dengan tegas. "Aku hanya ingin hidup damai dan tenteram dengan kedua anakku. Jadi, kumohon, berhentilah mengganggu hidupku lagi." Barry terdiam sejenak, terkejut oleh ketegasan Freya. Ia menggelengkan kepala, mencoba memproses kata-kata mantan istrinya. "Aku hanya ingin tahu, Freya," katanya dengan suara yang lebih lembut namun masih menyiratkan kebingungan. "Aku khawatir dengan anak-anak kita. Aku berhak tahu bagaimana kalian hidup." Freya menatap Barry dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku mengerti, Barry, kau khawatir dengan anak-anak. Tapi kita sudah berpisah, dan aku bisa mengurus mereka. Aku punya pekerjaan yang layak dan aku berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka." Barry tampak tidak puas dengan jawaban itu. "Tapi dari mana semua uang ini berasal? Aku tidak percaya kau bisa mendapatkan semuanya hanya dari pekerjaanmu." Freya menggeleng pelan. "Barry, aku tidak berutang penjelasan apapun padamu. Yang perlu kau tahu adalah bahwa anak-anak kita aman dan bahagia. Itu seharusnya cukup untukmu." Barry terlihat bingung dan sedikit terluka. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk mereka juga, Freya." Freya menarik napas lagi, mencoba menjaga ketenangannya. "Aku tahu, Barry. Dan aku tidak akan pernah menghalangi mu untuk bertemu dan bersama mereka. Tapi kita sudah berpisah, dan kita harus belajar hidup sendiri-sendiri. Aku mohon, biarkan aku hidup dengan tenang." Wanita cantik itu tidak bisa menebak perubahan sikap mantan suaminya yang tiba-tiba. Juga tidak mengerti apa yang masih pria itu harapkan darinya? Mengingat Barry sudah memilih untuk bersama selingkuhannya. Barry menundukkan kepalanya, merenungkan kata-kata Freya. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Baiklah, Freya. Aku akan mencoba. Tapi, aku akan tetap memastikan anak-anak kita baik-baik saja. Aku juga tidak mau mereka kamu kasih makan dari uang haram." Lagi-lagi Barry mengeluarkan kata yang membuat mantan istrinya mengernyitkan dahi. "Apa yang kamu maksud dengan uang haram, Barry? Aku bukan kamu yang selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginanmu." Barry justru tertawa dengan keras. "Apa kamu tidak mengerti dengan ucapanku tadi? Kamu memang pandai berpura-pura, Freya. Bisa saja kamu menjual dirimu untuk mendapatkan uang yang banyak." Kalimat itu membuat dada Freya kian sesak. Dengan cepat, tangan kanannya melayang tepat di pipi sebelah kanan Barry. Akan tetapi, pria itu dengan cepat mencegahnya. "Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh pipiku, Freya." Mantan suaminya tersenyum dengan niat jahat. Tangan Freya yang sudah diraih dengan cepat diseret oleh Barry ke tempat yang lebih sepi. "Mau ke mana kita, Barry? Apa yang ingin kamu lakukan?" cecar Freya mulai ketakutan. Baru kali ini wanita cantik itu takut oleh pria yang pernah menjadi suaminya. "Jangan berani macam-macam," ujar Freya berusaha untuk melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh Barry. "Jangan sok jual mahal, Freya. Aku tahu kamu pasti rindu dengan belaianku 'kan?" Barry tersenyum dengan penuh kejahatan. "Kalau kamu berani menyentuhku, aku akan teriak!" seru Freya dengan nada tinggi. Barry semakin mempererat genggamannya, senyum jahatnya tidak surut. "Teriak lah kalau berani," tantangnya dengan nada rendah. "Tidak ada yang akan mendengar di sini." Freya mencoba meronta, tetapi genggaman Barry terlalu kuat. Dia merasa jantungnya berdebar kencang, ketakutan menyelimuti dirinya. "Lepaskan aku, Barry!" desaknya, suaranya terdengar panik. "Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja, Freya." Tatapan Barry benar-benar menakutkan, persis seperti singa yang sudah siap menerkam mangsanya. "Jangan, Barry. Kamu tidak bisa melakukan hal ini padaku," rintih Freya dengan suara gemetar. Dia kemudian berteriak dengan keras, tapi tempat itu masih saja sepi. "Aku sudah bilang, tidak akan ada yang membantumu di sini. Jadi, jangan buang-buang tenaga," ujar Barry sembari tertawa. "Kenapa kamu selingkuh jika ujung-ujungnya masih ingin menyentuhku, Barry? Dasar pria j*l*n*!" umpat Freya hingga membuat mantan suaminya naik pitam. Pria itu pun langsung melayangkan tangan ke pipi kanan wanita cantik sebanyak tiga kali. "Terus saja tampar aku jika memang itu membuatmu puas!" Freya menantang dengan perasaan takut yang mulai bisa dihilangkan. "Aku lebih baik dianiaya begini, dibandingkan harus melayanimu lagi!" Freya terus berbicara sekalipun dirinya sudah semakin lemah.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Barry menoleh, dan Freya melihat celah untuk membebaskan diri. Dengan tenaga yang tersisa, dia menarik tangannya dan berhasil melepaskan diri dari genggaman Barry. Sebuah suara pria terdengar dari arah pintu. "Ada apa ini?" tanya pria itu dengan tegas. Freya menoleh dan melihat Aarav berdiri di sana dengan raut wajah serius.Barry mundur selangkah, jelas terganggu oleh kehadiran saksi yang tidak diharapkannya. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan kami," kata Barry dengan nada defensif.Freya segera bergerak mendekati Aarav, merasakan sedikit rasa aman dengan kehadirannya. "Dia menggangguku, Aarav. Mohon bantuannya," kata Freya dengan suara yang masih gemetar.Aarav menatap Barry dengan tajam. "Aku rasa sebaiknya Anda pergi sekarang, Barry. Jangan membuat masalah di sini."Barry menatap Freya dan Aarav dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tahu kamu pasti akan datang membantu mantan istriku ini, makanya aku sengaja berbuat ulah."
Freya termenung atas apa yang dikatakan oleh pria tampan yang ada di sebelahnya. "Apa yang dikatakan memang benar, tapi aku harus memikirkan semuanya dengan matang." Aarav menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan seksama. Lalu dia berkata, "Aku berjanji akan menjagamu dan kedua anakmu, Freya. Asalkan kamu mau membantuku."Wanita cantik itu tidak menjawab, sebab yang jadi pertimbangannya juga kedua putrinya. Bagi Freya rasanya malas untuk menjalin hubungan lagi setelah kekecewaan yang didapatnya.Di sepanjang perjalanan tidak ada lagi obrolan antara mereka berdua, mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mereka sampai di rumah kontrakan Freya, barulah mobil pria itu berhenti. "Terima kasih sudah mengantar," ucap Freya sambil membuka pintu mobil. Tidak lupa wanita cantik itu mengambil barang belanjaannya. "Sama-sama," jawab Aarav singkat, matanya sesaat tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumah Freya.Wanita cantik itu pun mengikuti arah pandang pria ya
Ternyata Desi memang cerdik juga, hingga berhasil membuat Hera pergi dari rumahnya. Dia mengambil seember air, lalu membuka pintu dan langsung menyiram wanita seksi yang sedari tadi membuat keributan. Desi tertawa puas setelah aksinya berhasil membuat wanita yang merusak rumah tangga orang tuanya terkejut dan basah kuyup. Hera, yang biasanya tampil anggun dan percaya diri, kini terlihat seperti singa betina yang marah."Apa-apaan kamu, Desi?! Kurang ajar kamu ya!" Hera berteriak sambil mengibaskan air dari bajunya yang basah.Desi tetap berdiri di depan pintu dengan tangan di pinggang, memandang Hera dengan tatapan menantang. "Sudah cukup, Hera. Kamu tidak berhak datang ke rumahku dan membuat keributan seperti ini."Hera semakin marah, wajahnya memerah. "Kamu pikir kamu siapa, Desi? Beraninya kamu mempermalukan aku seperti ini! Aku tidak akan pernah melupakan ini!"Desi menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. "Itu urusanmu, Hera. Kalau kamu datang lagi ke sini untuk bikin masalah, k
Saat membuka pintu, sebuah tangan tiba-tiba melayang ke pipi kanan Freya. Dia terhuyung sejenak, merasakan panas menyengat di pipi kanannya. Dia mengangkat tangan untuk menutupi pipinya yang baru saja ditampar, sementara matanya membelalak melihat mantan mertuanya— Rea, berdiri di depannya dengan wajah merah padam."Apa-apaan ini, Bu Rea?" tanya Freya dengan suara bergetar, mencoba menenangkan diri.Rea mendekat dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lari begitu saja, Freya? Kau pikir bisa meninggalkan anakku tanpa konsekuensi?" seru Rea dengan nada penuh amarah. "Kau menghancurkan hidupnya, kau tahu itu!"Freya menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya. "Aku... Aku tidak punya pilihan lain, Bu. Keadaan kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi."Rea menggelengkan kepalanya dengan penuh kemarahan. "Tidak punya pilihan? Selalu ada pilihan, Freya. Kau memilih jalan yang paling mudah untukmu, tanpa memikirkan dampaknya pada orang lain."Freya merasa ma
Pagi-pagi sekali Freya sudah disibukkan oleh pekerjaan rumah, dia bangun terlebih dulu untuk menyiapkan sarapan untuk kedua putrinya sebelum berangkat bekerja. Desi selalu bangun lebih awal dan langsung bergegas ke dapur untuk membantu ibunya. "Mama, apa yang bisa Desi bantu?" tanyanya dengan mata berbinar. Freya tersenyum, merasa bangga pada anak sulungnya yang selalu rajin. "Desi, bisa tolong ambilkan jus dari kulkas? Dan jangan lupa, periksa apakah makanan untuk Dina sudah lengkap," pintanya lembut. Desi mengangguk dan segera berlari ke kulkas, mengambil jus jeruk yang segar.Desi kembali dengan membawa jus jeruk dan menaruhnya di meja. "Ini jusnya, Ma," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku cek makanan untuk Dina."Freya mengangguk. "Terima kasih, sayang. Coba lihat apakah sereal dan susunya sudah siap."Desi memeriksa meja makan dan memastikan semuanya lengkap. "Sereal dan susu sudah siap, Ma. Apa lagi yang perlu Desi lakukan?"Freya berhenti sejenak untuk berpikir. "Sepertiny
Bel sekolah sudah berdering, tandanya jam pelajaran akan segera dimulai. Dengan terpaksa Desi meninggalkan sang adik pada papanya. "Aku titip Dina ya, Pa. Nanti siang harus diantar lagi ke sekolah." Desi meminta dengan wajah masih ragu."Tenang saja, kamu harus percaya sama Papa, Desi. Tidak mungkin Papa menyakiti adikmu," ujar Barry memberikan senyuman."Baik, Pa. Desi mau masuk ke kelas dulu," pamit Desi sembari bersalaman dengan Barry. Tidak lupa gadis itu berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan sang Adik."Kamu harus baik-baik ya, jangan nakal. Kalau ada yang ingin berbuat jahat, kamu harus kabur." Desi menasihati dengan suara yang sangat pelan."Baik, Kak." Hanya itu yang dikatakan oleh sang adik, lalu memeluk erat tubuh Desi. Selanjutnya, gadis itu pun melangkahkan kaki pergi meninggalkan adik dan papanya berdua. "Yuk kita pergi sekarang!" ajak Barry sembari memegang tangan mungil Dina."Ayuk, Pa." Gadis kecil itu pun membalas genggaman tangan sang Papa. Barry kemudian
Barry dan Hera asik berpelukan hingga tidak menyadari bahwa gadis kecil itu sudah pergi karena ketakutan. Yang teringat dalam benak Dina waktu wanita licik itu mengambil bonekanya adalah ucapan dari sang Kakak yang mengingatkan untuk kabur kalau dalam bahaya. Saat pria tampan itu sudah lega karena Hera sudah mau mengerti, barulah dia teringat akan putrinya."Di mana Dina?" tanyanya kebingungan."Tadi ada di sini 'kan, Mas?" Bukan menjawab, Hera justru balik bertanya."Iya, aku tahu. Memang tadi Dina ada di sini, lantas sekarang dia ke mana? Gawat kalau sampai dia hilang," ujar Barry mulai panik. Barry dan Hera saling pandang dengan cemas sebelum segera berkeliling mencari Dina. Mereka berlari ke berbagai arah di dalam mall yang ramai."Barry, coba cek di toko mainan. Mungkin Dina ke sana," kata Hera berpura-pura panik. Pria itu mengangguk, "Baik, kamu coba cari di dekat food court. Dia suka es krim."Mereka berpencar. Barry memasuki toko mainan dengan langkah tergesa-gesa. Matanya
Barry berdiri terdiam, keringat dingin mengalir di dahinya. Dia menghela napas panjang sebelum mencoba menjelaskan, suaranya gemetar."Desi, Papa... Papa benar-benar tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Kita sedang berjalan di mall, dan Dina bilang dia ingin melihat boneka di toko mainan. Papa mengizinkan karena toko itu tidak jauh dari tempat kita berdiri. Tapi tiba-tiba... Dina menghilang."Barry menelan ludah, mencoba meredakan kegugupannya. "Papa sudah mencari ke seluruh mall, menanyakan ke petugas keamanan, tapi Dina tidak ditemukan. Papa tidak tahu harus bagaimana lagi."Desi menatap Barry dengan mata yang penuh amarah dan kepedihan. "Bagaimana mungkin Papa bisa lengah seperti itu? Dina masih kecil, seharusnya Papa lebih berhati-hati! Ini semua salah Papa!"Barry mencoba mendekati Desi, tapi Desi mundur, menjaga jarak. "Desi, Papa minta maaf. Papa benar-benar menyesal. Kita harus fokus mencari Dina sekarang. Kita tidak bisa membuang waktu dengan saling menyalahkan."Desi mengg