Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Barry menoleh, dan Freya melihat celah untuk membebaskan diri. Dengan tenaga yang tersisa, dia menarik tangannya dan berhasil melepaskan diri dari genggaman Barry.
Sebuah suara pria terdengar dari arah pintu. "Ada apa ini?" tanya pria itu dengan tegas. Freya menoleh dan melihat Aarav berdiri di sana dengan raut wajah serius. Barry mundur selangkah, jelas terganggu oleh kehadiran saksi yang tidak diharapkannya. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan kami," kata Barry dengan nada defensif. Freya segera bergerak mendekati Aarav, merasakan sedikit rasa aman dengan kehadirannya. "Dia menggangguku, Aarav. Mohon bantuannya," kata Freya dengan suara yang masih gemetar. Aarav menatap Barry dengan tajam. "Aku rasa sebaiknya Anda pergi sekarang, Barry. Jangan membuat masalah di sini." Barry menatap Freya dan Aarav dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tahu kamu pasti akan datang membantu mantan istriku ini, makanya aku sengaja berbuat ulah." "Lebih baik kita pergi saja dari sini, Aarav. Percuma saja meladeni pria tidak tahu diri ini." Freya mengajak pria tampan itu pergi. "Jangan kira aku tidak tahu, kalian sudah lama berselingkuh 'kan? Ternyata firasat dan dugaanku benar, Freya. Kamu bukan wanita baik-baik, persis seperti yang Mama katakan padaku." Barry terus mengatakan asumsi yang dimilikinya. Hati pria itu belum puas, tapi satu pesan yang diterima membuat dirinya harus pergi saat itu juga. "Ingat, urusan kita belum selesai." Barry akhirnya berbalik dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Freya menghela napas lega, merasa sedikit aman setelah kepergian mantan suaminya. "Terima kasih, Aarav. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika Anda tidak datang," ucap Freya dengan suara pelan, penuh rasa syukur. Aarav mengangguk. "Tidak apa-apa, Freya. Yang penting kamu aman sekarang. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk meminta bantuan." Freya tersenyum lemah. "Terima kasih. Saya akan ingat itu." Setelah memastikan Barry benar-benar pergi, wanita cantik itu pun berniat untuk pulang ke rumah. Namun, langkah kakinya berhenti saat Aarav mengajaknya berbicara. "Kamu mau ke mana sekarang? Biar aku antar kamu," ujar Aarav menawarkan. "Gak usah repot-repot, Aarav. Aku bisa pergi sendiri." Freya menolak dengan lembut. "Tidak merepotkan kok, lagi pula aku sekarang gak ada kesibukan." Aarav ingin memastikan bahwa wanita cantik itu akan pulang dengan selamat hingga sampai ke rumah. Freya terus menolak, tapi perkataan Aarav pada akhirnya bisa membuat wanita cantik itu berpikir untuk ke sekian kalinya. "Kamu tentu tidak mau 'kan kalau kejadian tadi terulang kembali? Terlebih barang belanjaanmu begitu banyak." Aarav tidak menyerah begitu saja untuk menawarkan bantuan pada Freya. Wanita cantik itu pun tidak memiliki pilihan selain menganggukkan kepala dengan perlahan. "Baiklah, terima kasih banyak, Aarav. Aku tinggal di jalan yang tidak terlalu jauh dari sini." Wanita cantik itu pun memberitahu alamat tempat tinggalnya bersama kedua putrinya. Aarav membukakan pintu mobil untuk Freya dan menunggu sampai ia duduk dengan nyaman sebelum masuk dan menyalakan mesin. Pria tampan itu juga tidak lupa memasukkan barang-barang belanjaan wanita cantik ke dalam mobil. Freya melihat ke luar jendela, menikmati pemandangan di jalanan. Hal itu dilakukan untuk menenangkan hati serta pikirannya karena perbuatan Barry barusan. Tanpa disadari Aarav diam-diam melihat ke arah wanita cantik di sebelahnya yang tampak murung. "Kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Aarav sedikit khawatir. "Aku gapapa. Oya, kamu kenapa bisa ada di saat aku butuh bantuan? Apakah kamu mengikutiku?" tanya Freya yang memang dari awal penasaran kenapa tiba-tiba Aarav datang di saat mantan suaminya ingin berbuat jahat. Setahu wanita cantik itu, pria tampan yang bertemu di taman dengannya sudah pulang terlebih dulu. "Aku kebetulan lewat saja," ujar Aarav berdusta. Tidak mungkin juga pria tampan terus terang kalau dirinya selalu memperhatikan serta mengikuti gerak-gerik Freya. Bisa-bisa, dia nanti dianggap sebagai penguntit saja. "Oh." Hanya itu yang Freya katakan tanpa memiliki perasaan curiga apa pun pada pria yang baru saja dikenalnya. "Apa dia masih sering mengganggumu?" tanya Aarav memastikan. Wanita cantik itu pun menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku tidak tahu apa yang telah merasukinya hingga ingin berbuat jahat padaku. Sikapnya sering berubah-ubah, hingga membuatku bingung apa yang sebenarnya yang masih dia inginkan. Padahal, aku sudah tidak mengganggu kehidupan barunya." Freya mulai curhat panjang lebar. Dengan seksama, pria di sebelahnya mendengarkan setiap ucapannya. "Maaf, aku jadi curhat." Wanita cantik itu pun tersadar bahwa dirinya terlalu banyak bicara. "Gapapa, kamu bebas mau cerita apa pun padaku. Selama membuat hatimu lega, aku akan setia menjadi pendengarmu." Aarav berbicara dengan tatapan mata yang fokus ke depan. Freya tersenyum lemah, merasa terhibur oleh sikap ramah Aarav. "Terima kasih, Aarav. Kadang-kadang memang butuh seseorang untuk mendengarkan, apalagi di saat hati dan pikiran kacau begini." Aarav mengangguk, mengerti sepenuhnya. "Aku tahu perasaan itu. Jadi, maukah kamu bekerjasama denganku sekarang?" Lagi-lagi pria tampan itu mengajak bernegosiasi perihal pernikahan kontrak yang ditawarkan. Freya menatap Aarav dengan perasaan ragu, tapi dengan cepat pria tampan menyadari akan tatapan wanita yang duduk di sebelahnya. "Jadi kamu masih ragu denganku?" tanya pria tampan itu tanpa mengalihkan pandangannya. "Bukan begitu, hanya saja aku butuh waktu." Freya tidak tahu harus memberikan jawaban apa, sebab dirinya juga butuh melihat situasi serta kondisinya. "Mau sampai kapan? Lagi pula, kalau kita menikah. Barry tidak akan mengganggumu lagi, Freya." Apa yang dikatakan oleh Aarav memang ada benarnya juga, hal itu membuat wanita cantik itu pun mulai merubah keputusannya tentang tawaran pernikahan kontrak dengan pria tampan yang kaya itu.Freya termenung atas apa yang dikatakan oleh pria tampan yang ada di sebelahnya. "Apa yang dikatakan memang benar, tapi aku harus memikirkan semuanya dengan matang." Aarav menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan seksama. Lalu dia berkata, "Aku berjanji akan menjagamu dan kedua anakmu, Freya. Asalkan kamu mau membantuku."Wanita cantik itu tidak menjawab, sebab yang jadi pertimbangannya juga kedua putrinya. Bagi Freya rasanya malas untuk menjalin hubungan lagi setelah kekecewaan yang didapatnya.Di sepanjang perjalanan tidak ada lagi obrolan antara mereka berdua, mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mereka sampai di rumah kontrakan Freya, barulah mobil pria itu berhenti. "Terima kasih sudah mengantar," ucap Freya sambil membuka pintu mobil. Tidak lupa wanita cantik itu mengambil barang belanjaannya. "Sama-sama," jawab Aarav singkat, matanya sesaat tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumah Freya.Wanita cantik itu pun mengikuti arah pandang pria ya
Ternyata Desi memang cerdik juga, hingga berhasil membuat Hera pergi dari rumahnya. Dia mengambil seember air, lalu membuka pintu dan langsung menyiram wanita seksi yang sedari tadi membuat keributan. Desi tertawa puas setelah aksinya berhasil membuat wanita yang merusak rumah tangga orang tuanya terkejut dan basah kuyup. Hera, yang biasanya tampil anggun dan percaya diri, kini terlihat seperti singa betina yang marah."Apa-apaan kamu, Desi?! Kurang ajar kamu ya!" Hera berteriak sambil mengibaskan air dari bajunya yang basah.Desi tetap berdiri di depan pintu dengan tangan di pinggang, memandang Hera dengan tatapan menantang. "Sudah cukup, Hera. Kamu tidak berhak datang ke rumahku dan membuat keributan seperti ini."Hera semakin marah, wajahnya memerah. "Kamu pikir kamu siapa, Desi? Beraninya kamu mempermalukan aku seperti ini! Aku tidak akan pernah melupakan ini!"Desi menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. "Itu urusanmu, Hera. Kalau kamu datang lagi ke sini untuk bikin masalah, k
Saat membuka pintu, sebuah tangan tiba-tiba melayang ke pipi kanan Freya. Dia terhuyung sejenak, merasakan panas menyengat di pipi kanannya. Dia mengangkat tangan untuk menutupi pipinya yang baru saja ditampar, sementara matanya membelalak melihat mantan mertuanya— Rea, berdiri di depannya dengan wajah merah padam."Apa-apaan ini, Bu Rea?" tanya Freya dengan suara bergetar, mencoba menenangkan diri.Rea mendekat dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lari begitu saja, Freya? Kau pikir bisa meninggalkan anakku tanpa konsekuensi?" seru Rea dengan nada penuh amarah. "Kau menghancurkan hidupnya, kau tahu itu!"Freya menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya. "Aku... Aku tidak punya pilihan lain, Bu. Keadaan kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi."Rea menggelengkan kepalanya dengan penuh kemarahan. "Tidak punya pilihan? Selalu ada pilihan, Freya. Kau memilih jalan yang paling mudah untukmu, tanpa memikirkan dampaknya pada orang lain."Freya merasa ma
Pagi-pagi sekali Freya sudah disibukkan oleh pekerjaan rumah, dia bangun terlebih dulu untuk menyiapkan sarapan untuk kedua putrinya sebelum berangkat bekerja. Desi selalu bangun lebih awal dan langsung bergegas ke dapur untuk membantu ibunya. "Mama, apa yang bisa Desi bantu?" tanyanya dengan mata berbinar. Freya tersenyum, merasa bangga pada anak sulungnya yang selalu rajin. "Desi, bisa tolong ambilkan jus dari kulkas? Dan jangan lupa, periksa apakah makanan untuk Dina sudah lengkap," pintanya lembut. Desi mengangguk dan segera berlari ke kulkas, mengambil jus jeruk yang segar.Desi kembali dengan membawa jus jeruk dan menaruhnya di meja. "Ini jusnya, Ma," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku cek makanan untuk Dina."Freya mengangguk. "Terima kasih, sayang. Coba lihat apakah sereal dan susunya sudah siap."Desi memeriksa meja makan dan memastikan semuanya lengkap. "Sereal dan susu sudah siap, Ma. Apa lagi yang perlu Desi lakukan?"Freya berhenti sejenak untuk berpikir. "Sepertiny
Bel sekolah sudah berdering, tandanya jam pelajaran akan segera dimulai. Dengan terpaksa Desi meninggalkan sang adik pada papanya. "Aku titip Dina ya, Pa. Nanti siang harus diantar lagi ke sekolah." Desi meminta dengan wajah masih ragu."Tenang saja, kamu harus percaya sama Papa, Desi. Tidak mungkin Papa menyakiti adikmu," ujar Barry memberikan senyuman."Baik, Pa. Desi mau masuk ke kelas dulu," pamit Desi sembari bersalaman dengan Barry. Tidak lupa gadis itu berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan sang Adik."Kamu harus baik-baik ya, jangan nakal. Kalau ada yang ingin berbuat jahat, kamu harus kabur." Desi menasihati dengan suara yang sangat pelan."Baik, Kak." Hanya itu yang dikatakan oleh sang adik, lalu memeluk erat tubuh Desi. Selanjutnya, gadis itu pun melangkahkan kaki pergi meninggalkan adik dan papanya berdua. "Yuk kita pergi sekarang!" ajak Barry sembari memegang tangan mungil Dina."Ayuk, Pa." Gadis kecil itu pun membalas genggaman tangan sang Papa. Barry kemudian
Barry dan Hera asik berpelukan hingga tidak menyadari bahwa gadis kecil itu sudah pergi karena ketakutan. Yang teringat dalam benak Dina waktu wanita licik itu mengambil bonekanya adalah ucapan dari sang Kakak yang mengingatkan untuk kabur kalau dalam bahaya. Saat pria tampan itu sudah lega karena Hera sudah mau mengerti, barulah dia teringat akan putrinya."Di mana Dina?" tanyanya kebingungan."Tadi ada di sini 'kan, Mas?" Bukan menjawab, Hera justru balik bertanya."Iya, aku tahu. Memang tadi Dina ada di sini, lantas sekarang dia ke mana? Gawat kalau sampai dia hilang," ujar Barry mulai panik. Barry dan Hera saling pandang dengan cemas sebelum segera berkeliling mencari Dina. Mereka berlari ke berbagai arah di dalam mall yang ramai."Barry, coba cek di toko mainan. Mungkin Dina ke sana," kata Hera berpura-pura panik. Pria itu mengangguk, "Baik, kamu coba cari di dekat food court. Dia suka es krim."Mereka berpencar. Barry memasuki toko mainan dengan langkah tergesa-gesa. Matanya
Barry berdiri terdiam, keringat dingin mengalir di dahinya. Dia menghela napas panjang sebelum mencoba menjelaskan, suaranya gemetar."Desi, Papa... Papa benar-benar tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Kita sedang berjalan di mall, dan Dina bilang dia ingin melihat boneka di toko mainan. Papa mengizinkan karena toko itu tidak jauh dari tempat kita berdiri. Tapi tiba-tiba... Dina menghilang."Barry menelan ludah, mencoba meredakan kegugupannya. "Papa sudah mencari ke seluruh mall, menanyakan ke petugas keamanan, tapi Dina tidak ditemukan. Papa tidak tahu harus bagaimana lagi."Desi menatap Barry dengan mata yang penuh amarah dan kepedihan. "Bagaimana mungkin Papa bisa lengah seperti itu? Dina masih kecil, seharusnya Papa lebih berhati-hati! Ini semua salah Papa!"Barry mencoba mendekati Desi, tapi Desi mundur, menjaga jarak. "Desi, Papa minta maaf. Papa benar-benar menyesal. Kita harus fokus mencari Dina sekarang. Kita tidak bisa membuang waktu dengan saling menyalahkan."Desi mengg
Desi merasa gugup ketika sampai di depan rumah, berusaha untuk mencari alasan pada sang Mama perihal Dina yang tidak pulang bersamanya. "Aku yakin kamu pasti bisa, Desi. Katakan saja semuanya dengan jujur, pasti Mama akan mengerti." Desi bermonolog untuk menguatkan dirinya. Dengan hati-hati, Desi membuka pintu dan melangkah masuk. Dia mendengar suara tawa dari ruang tamu dan hatinya sedikit lega. "Desi, kamu sudah pulang?" tanya Mama dari dapur. "Iya, Ma," jawab Desi dengan suara bergetar. "Maaf, tadi Dina..." Belum selesai Desi bicara, dia melihat Dina dan pria asing sedang bermain di ruang tamu. Gadis kecil itu tersenyum lebar melihat kedatangannya. "Kak Desi!" seru Dina dengan gembira. Desi terpaku sejenak, lalu tersenyum lega. "Syukurlah, kamu sudah di sini," kata Desi sambil berjalan mendekati mereka. Mama muncul dari dapur dengan senyum lembut. "Tadi Om Aarav bilang dia ketemu Dina di jalan, jadi mereka langsung ke sini. Kamu tidak perlu khawatir, Desi." Freya langsung