"Sudah lama kenal Aarav? Dan kapan kalian jadian terus memutuskan untuk menikah?" tanya Jenar penasaran. Akan tetapi, Freya gugup dan tidak tahu harus menjawab apa. Beruntung pria tampan itu langsung menjawab dengan senyum tenang."Sebetulnya, kami baru kenal satu bulan," ujar Aarav dengan nada santai. "Saat itu, aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kami. Jadi, aku langsung mengajaknya menikah."Jenar tercengang mendengar jawaban dari putranya. "Satu bulan? Serius? Kenapa secepat itu?""Kan Mama sendiri yang bilang aku harus secepatnya menikah, ya sudah kalau kita sudah sama-sama cocok. Mau tunggu apalagi?" cetus Aarav memberikan senyuman."Ya gak gitu juga, Aarav. Tetap saja, kamu harus melihat dari segi bibit, bebet dan bobotnya. Gak bisa langsung ajak nikah begini. Kalau ternyata dia keturunan dari keluarga yang tidak baik-baik gimana?" bisik Jenar dengan nada yang begitu pelan agar tidak didengar oleh Freya. "Mama tenang saja, tidak usah khawatir. Aku yang lebih tahu ba
Hera menghentikan mobil Aarav secara tiba-tiba, lalu mulai mengancam untuk tidak ikut campur dengan urusannya dengan Freya. "Aku tidak bermaksud ikut campur, aku dan dia akan menikah." Aarav mulai berterus terang. Hera terpaku sejenak, menatap Aarav dengan mata menyala penuh amarah. "Menikah? Dengan Freya?" suaranya bergetar, antara tidak percaya dan marah. "Kau pikir ini lelucon? Kau bahkan tidak tahu siapa Freya sebenarnya."Aarav menatap Hera dengan tenang, mencoba menenangkan diri. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Hera. Freya adalah wanita yang luar biasa, dan aku mencintainya."Hera menggelengkan kepala, bibirnya mengecil menjadi garis tipis. "Kau benar-benar tidak mengerti. Urusan ini jauh lebih rumit daripada yang kau bayangkan. Freya memiliki masa lalu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan sekarang, kau sudah terlibat terlalu dalam."Aarav merasakan ada sesuatu yang gelap dan tidak terkatakan di balik kata-kata Hera. "Apa maksudmu? Masa lalu apa yang begitu mengerika
Malam itu menjadi malam yang membahagiakan bagi Aarav, sebab Freya sudah mau terbuka padanya. Bahkan dia merasa hubungan mereka semakin dekat saja, bahkan perihal pertemuan orang tua mereka masing-masing. Sebenarnya ada rasa takut dalam hati wanita cantik itu karena selama ini telah bersikap tidak baik pada kedua orang tuanya karena memaksa menikah dengan Barry. "Kalau memang kamu belum siap bertemu dengan kedua orang tuamu, biarkan aku saja yang menemui mereka untuk meminta restu," ujar Aarav memberikan usulan."Gak bisa, Aarav. Tidak semudah itu, kedua orang tuaku keras. Terlebih, mereka pasti tidak tahu kalau aku sudah berpisah dari Barry." Freya berusaha untuk tidak membuat Aarav kesulitan jika harus meminta restu, apalagi pernikahan mereka bisa dibilang palsu. "Lantas, bagaimana kita akan menjelaskan pada Mamaku?" tanya Aarav penasaran. "Aku juga gak punya solusi." Freya ikut kebingungan. Sudah tidak ada jalan keluar, jadi pria itu pun memiliki ide untuk memperlancar pernikah
Aarav merasakan gelombang ketegangan yang menjalar melalui tubuhnya. Kata-kata Sisca menggema dalam pikirannya, memunculkan kekhawatiran yang belum sempat dia tanggapi. Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada orang tuanya tentang kondisi Freya tanpa mengungkit masa lalunya yang rumit?Freya merasakan perubahan dalam diri Aarav, dan dengan lembut, dia meremas tangannya. "Aku tahu ini sulit," bisiknya, "Tapi aku yakin mereka akan mengerti, terutama setelah mereka mengenalku lebih baik."Aarav menatap mata Freya yang penuh keyakinan. Keberanian dan ketulusan dalam dirinya memberikan dorongan yang ia butuhkan. "Aku akan berbicara dengan mereka," jawabnya akhirnya, menghela napas panjang. "Orang tuaku memang sangat konservatif, tetapi mereka selalu menginginkan yang terbaik untukku. Aku yakin mereka akan menerima Freya dan anak-anaknya, meskipun mungkin butuh waktu."Sisca tersenyum penuh pengertian, mengetahui bahwa Aarav akan menghadapi tantangan yang berat. Tanpa pikir panjang, wanita sete
"Kamu jangan menangis ya, sebab aku akan menikah dengan Hera." Barry berbicara penuh jumawa.Freya terdiam tanpa berkata apa pun lagi, lalu mengambil undangan yang diberikan oleh mantan suaminya. "Kamu harus datang ke pernikahanku." Barry berbicara penuh harap. Freya memandangi undangan itu dengan tatapan kosong. Sampulnya berwarna emas dengan hiasan bunga-bunga yang tampak mewah."Aku pasti datang." Freya menjawab dengan tegas."Jangan lupa bawa pasanganmu juga," ucap Barry memberikan senyuman meremehkan."Tenang saja, aku akan membawa pasanganku." Freya menaruh undangan tersebut dalam tasnya."Sudah tidak ada kepentingan lagi 'kan?" tanya Freya sinis. "Kalau memang sudah tidak ada kepentingan lagi, lebih baik kamu pergi sekarang juga." Dengan tegas wanita cantik itu mengusir mantan suaminya."Oh ... ternyata kamu sudah semakin sombong sekarang?" cetus Barry tidak terima dengan perlakuan mantan istrinya. Freya menatap Barry dengan dingin, bibirnya mengerucut dalam ekspresi yang pe
Sesampainya Freya di tempat tujuan, dia langsung menghampiri Juminten yang sedang kebingungan."Kamu sudah cari, mbok? Apa belum ketemu juga?" tanyanya cemas."Sudah, hanya saja non Dina tidak ditemukan." Juminten merasa bersalah karena lengah menjaga gadis kecil itu. "Lebih baik kita berpencar, Mbok. Siapa tahu saja nanti ketemu," ujar Freya. Pada saat itu juga, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal masuk. Wanita cantik itu pun tanpa pikir panjang langsung mengangkat panggilan tersebut. Dia yakin, pasti nomor asing itu akan memberitahu di mana anaknya berada.Memang benar, ternyata panggilan itu dari Hera. Dia meminta wanita cantik itu untuk menemuinya di suatu tempat. Bahkan dia mengancam akan berbuat sesuatu yang buruk pada Dina jika Freya tidak datang seorang diri. Dengan terpaksa, Freya mengiyakannya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada putrinya. Freya merasakan jantungnya berdetak kencang saat menutup telepon. Pikirannya berkecamuk denga
Sesampainya mereka di rumah, Dina masih teringat akan kejahatan Hera. Bahkan menimbulkan rasa trauma dalam dirinya.Freya mengelus rambut Dina dengan penuh kasih sayang, mencoba menenangkan gemuruh di hati putrinya. Malam itu, mereka berdua duduk di sofa ruang tamu, dibalut selimut tebal untuk mengusir dinginnya malam. Di luar, hujan rintik-rintik mengiringi suara lembut Freya yang terus berusaha menenangkan Dina."Nak, ingatlah selalu bahwa kamu aman sekarang. Mama akan selalu ada di sini untukmu," kata Freya sambil mengecup kening Dina.Dina mengangguk pelan, matanya mulai berat karena rasa kantuk. "Ma, apakah Hera tidak akan kembali lagi?"Freya tersenyum, meskipun ada kekhawatiran di dalam hatinya. "Tidak, sayang. Hera sudah pergi jauh dan tidak akan mengganggu kita lagi. Kita sudah aman di sini."Mata Dina perlahan terpejam, merasakan kehangatan dan kenyamanan dalam pelukan ibunya. Freya terus membisikkan kata-kata penghiburan, berharap bahwa perlahan-lahan luka di hati Dina akan
Air matanya menetes perlahan dari pelupuk mata, hati yang sedari kemarin dipaksa untuk kuat ternyata rapuh juga. Terlebih ketika surat cerai sudah ada di dalam genggaman tangannya. Freya tidak menyangka bahwa pernikahan yang dulu membuatnya bahagia harus kandas juga hanya karena kehadiran orang ketiga. Namun, wanita itu tidak bisa menyalahkan siapa pun selain dirinya yang terlalu mudah percaya akan cinta Barry sewaktu masih SMA. "Ma, mama kenapa nangis?" tanya Dina, sang anak yang memiliki umur tiga tahun. Segera Freya menghapus air matanya secara kasar, dia tidak ingin Dina ikut bersedih melihatnya menangis. "Gapapa, Dina. Mama hanya kelilipan saja." Freya berdusta. "Mending kita masuk yuk!" ajaknya setelah berusaha untuk menetralisir rasa. Freya menggendong Dina dengan perasaan haru dalam hatinya. Melihat anaknya yang masih kecil, dia tidak tega kalau harus hidup dalam keluarga broken home. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Dia juga tidak bisa berbuat apa pun selain ikhlas, sab