Bel sekolah sudah berdering, tandanya jam pelajaran akan segera dimulai. Dengan terpaksa Desi meninggalkan sang adik pada papanya. "Aku titip Dina ya, Pa. Nanti siang harus diantar lagi ke sekolah." Desi meminta dengan wajah masih ragu."Tenang saja, kamu harus percaya sama Papa, Desi. Tidak mungkin Papa menyakiti adikmu," ujar Barry memberikan senyuman."Baik, Pa. Desi mau masuk ke kelas dulu," pamit Desi sembari bersalaman dengan Barry. Tidak lupa gadis itu berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan sang Adik."Kamu harus baik-baik ya, jangan nakal. Kalau ada yang ingin berbuat jahat, kamu harus kabur." Desi menasihati dengan suara yang sangat pelan."Baik, Kak." Hanya itu yang dikatakan oleh sang adik, lalu memeluk erat tubuh Desi. Selanjutnya, gadis itu pun melangkahkan kaki pergi meninggalkan adik dan papanya berdua. "Yuk kita pergi sekarang!" ajak Barry sembari memegang tangan mungil Dina."Ayuk, Pa." Gadis kecil itu pun membalas genggaman tangan sang Papa. Barry kemudian
Barry dan Hera asik berpelukan hingga tidak menyadari bahwa gadis kecil itu sudah pergi karena ketakutan. Yang teringat dalam benak Dina waktu wanita licik itu mengambil bonekanya adalah ucapan dari sang Kakak yang mengingatkan untuk kabur kalau dalam bahaya. Saat pria tampan itu sudah lega karena Hera sudah mau mengerti, barulah dia teringat akan putrinya."Di mana Dina?" tanyanya kebingungan."Tadi ada di sini 'kan, Mas?" Bukan menjawab, Hera justru balik bertanya."Iya, aku tahu. Memang tadi Dina ada di sini, lantas sekarang dia ke mana? Gawat kalau sampai dia hilang," ujar Barry mulai panik. Barry dan Hera saling pandang dengan cemas sebelum segera berkeliling mencari Dina. Mereka berlari ke berbagai arah di dalam mall yang ramai."Barry, coba cek di toko mainan. Mungkin Dina ke sana," kata Hera berpura-pura panik. Pria itu mengangguk, "Baik, kamu coba cari di dekat food court. Dia suka es krim."Mereka berpencar. Barry memasuki toko mainan dengan langkah tergesa-gesa. Matanya
Barry berdiri terdiam, keringat dingin mengalir di dahinya. Dia menghela napas panjang sebelum mencoba menjelaskan, suaranya gemetar."Desi, Papa... Papa benar-benar tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Kita sedang berjalan di mall, dan Dina bilang dia ingin melihat boneka di toko mainan. Papa mengizinkan karena toko itu tidak jauh dari tempat kita berdiri. Tapi tiba-tiba... Dina menghilang."Barry menelan ludah, mencoba meredakan kegugupannya. "Papa sudah mencari ke seluruh mall, menanyakan ke petugas keamanan, tapi Dina tidak ditemukan. Papa tidak tahu harus bagaimana lagi."Desi menatap Barry dengan mata yang penuh amarah dan kepedihan. "Bagaimana mungkin Papa bisa lengah seperti itu? Dina masih kecil, seharusnya Papa lebih berhati-hati! Ini semua salah Papa!"Barry mencoba mendekati Desi, tapi Desi mundur, menjaga jarak. "Desi, Papa minta maaf. Papa benar-benar menyesal. Kita harus fokus mencari Dina sekarang. Kita tidak bisa membuang waktu dengan saling menyalahkan."Desi mengg
Desi merasa gugup ketika sampai di depan rumah, berusaha untuk mencari alasan pada sang Mama perihal Dina yang tidak pulang bersamanya. "Aku yakin kamu pasti bisa, Desi. Katakan saja semuanya dengan jujur, pasti Mama akan mengerti." Desi bermonolog untuk menguatkan dirinya. Dengan hati-hati, Desi membuka pintu dan melangkah masuk. Dia mendengar suara tawa dari ruang tamu dan hatinya sedikit lega. "Desi, kamu sudah pulang?" tanya Mama dari dapur. "Iya, Ma," jawab Desi dengan suara bergetar. "Maaf, tadi Dina..." Belum selesai Desi bicara, dia melihat Dina dan pria asing sedang bermain di ruang tamu. Gadis kecil itu tersenyum lebar melihat kedatangannya. "Kak Desi!" seru Dina dengan gembira. Desi terpaku sejenak, lalu tersenyum lega. "Syukurlah, kamu sudah di sini," kata Desi sambil berjalan mendekati mereka. Mama muncul dari dapur dengan senyum lembut. "Tadi Om Aarav bilang dia ketemu Dina di jalan, jadi mereka langsung ke sini. Kamu tidak perlu khawatir, Desi." Freya langsung
Ternyata tanpa diketahui oleh Freya, putri sulungnya—Desi mendengarkan apa yang baru saja diperbincangkan dengan Aarav. Gadis itu senang karena mengetahui bahwa pria tampan yang menyelamatkan sang adik ternyata memiliki maksud dan tujuan untuk menikah dengan sang Mama.Freya masuk ke dalam rumah secara perlahan saat Aarav pergi dari halaman rumahnya. Langkah kaki wanita cantik itu berhenti saat Desi datang menghampiri. "Kenapa Mama gak mau saja sih menikah dengan Om Aarav. Om Aarav tampaknya orang baik," ujar Desi memberikan senyuman. Freya tersenyum lembut kepada putrinya, lalu mengusap lembut rambut Desi. "Om Aarav memang orang baik, sayang. Tapi menikah itu bukan hanya soal orang baik atau tidak. Ada banyak hal yang harus dipikirkan."Desi mengernyitkan dahinya, tampak bingung. "Seperti apa, Ma?"Freya menarik napas dalam, lalu menghela pelan. "Seperti perasaan Mama, perasaan Om Aarav, dan apa yang terbaik untuk kita semua. Kadang, sesuatu yang tampak baik di luar belum tentu yan
Freya melihat ke arah pintu, memastikan bahwa Barry sudah pergi dari halaman rumahnya."Kenapa dia gak pergi juga sih? Apa karena aku berbohong mengatakan kalau Dina tidak pulang?" Wanita itu merasa panik. Freya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Langkah Barry yang masih terdengar di luar pintu membuatnya semakin gelisah. Dia tahu bahwa mantan suaminya tidak akan pergi begitu saja.Dengan hati-hati, Freya mengintip dari celah tirai. Barry berdiri di sana, matanya penuh kecurigaan dan frustrasi. Telepon di tangannya, mungkin calon tunangannya mencoba menghubungi. Freya merasa bersalah telah berbohong, tapi dia tahu bahwa Dina butuh waktu dan ruang. Juga tidak akan membiarkan putrinya bertemu dengan papanya. Di saat suasana hening, terdengar suara Dina menangis dari dalam kamar, hingga membuat pria itu tahu kalau putrinya sebenarnya sudah ada di dalam rumah kontrakan. "Freya, aku tahu kamu berbohong," suara Barry terdengar dari luar, t
"Masih banyak yang ingin aku bicarakan, Freya. Tolong jangan usir aku, sebab diriku juga ingin menebus kesalahanku pada Dina." Barry terus memaksa."Sudah sedari tadi aku katakan padamu untuk segera pergi, kenapa sampai detik ini kamu masih di sini? Bahkan kamu menyelinap masuk seperti pencuri!" cetus Freya kesal.Barry menunduk, tampak bingung dan putus asa. "Freya, tolong dengarkan aku sekali ini saja. Aku butuh bicara denganmu."Freya melipat tangan di dada, wajahnya merah padam karena marah. "Aku sudah mendengar cukup, Barry. Kamu tidak punya hak untuk berada di sini, apalagi setelah semua yang kamu lakukan."Tiba-tiba, pintu depan terbuka dan Hera masuk. Dia melihat Barry dan Freya dengan tatapan bingung. "Barry? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara tajam.Freya berbalik, terkejut melihat Hera. "Oh, jadi sekarang kamu membawa calon istrimu juga? Hebat sekali."Hera berjalan mendekat, matanya tertuju pada Barry. "Aku sudah mencari mu di mana-mana. Kenapa kamu di s
Barry mendesah frustrasi. Tanpa banyak pilihan, dia merogoh ponsel dari saku celananya dan segera menelepon Rea."Ma, ini aku, Barry," katanya dengan nada sedikit cemas."Ada apa lagi, Barry? Ini sudah malam," suara Rea terdengar di ujung telepon, menunjukkan nada ketidakpuasan."Hera mengambil mobilku dan aku tidak punya cara untuk pulang. Bisakah Mama menjemput ku? Aku ada di daerah rumah kontrakan Freya." Barry meminta dengan nada memelas.Rea menghela napas panjang. "Baiklah, Barry. Aku akan segera ke sana. Tapi kita akan bicara serius tentang hal ini nanti."Tak lama kemudian, Rea datang dengan mobilnya. Wajahnya terlihat tegang dan matanya menunjukkan kekesalan yang mendalam. Pria itu pun masuk ke mobil tanpa banyak bicara, merasa capek atas semua masalah yang dihadapi."Barry, kamu harus lebih dewasa. Ini bukan pertama kalinya kamu membuat masalah seperti ini," ujar Rea mulai membuka pembicaraan dengan nada marah. "Kamu harus bisa mengatasi konflik tanpa selalu bergantung pada