Freya melihat ke arah pintu, memastikan bahwa Barry sudah pergi dari halaman rumahnya."Kenapa dia gak pergi juga sih? Apa karena aku berbohong mengatakan kalau Dina tidak pulang?" Wanita itu merasa panik. Freya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Langkah Barry yang masih terdengar di luar pintu membuatnya semakin gelisah. Dia tahu bahwa mantan suaminya tidak akan pergi begitu saja.Dengan hati-hati, Freya mengintip dari celah tirai. Barry berdiri di sana, matanya penuh kecurigaan dan frustrasi. Telepon di tangannya, mungkin calon tunangannya mencoba menghubungi. Freya merasa bersalah telah berbohong, tapi dia tahu bahwa Dina butuh waktu dan ruang. Juga tidak akan membiarkan putrinya bertemu dengan papanya. Di saat suasana hening, terdengar suara Dina menangis dari dalam kamar, hingga membuat pria itu tahu kalau putrinya sebenarnya sudah ada di dalam rumah kontrakan. "Freya, aku tahu kamu berbohong," suara Barry terdengar dari luar, t
"Masih banyak yang ingin aku bicarakan, Freya. Tolong jangan usir aku, sebab diriku juga ingin menebus kesalahanku pada Dina." Barry terus memaksa."Sudah sedari tadi aku katakan padamu untuk segera pergi, kenapa sampai detik ini kamu masih di sini? Bahkan kamu menyelinap masuk seperti pencuri!" cetus Freya kesal.Barry menunduk, tampak bingung dan putus asa. "Freya, tolong dengarkan aku sekali ini saja. Aku butuh bicara denganmu."Freya melipat tangan di dada, wajahnya merah padam karena marah. "Aku sudah mendengar cukup, Barry. Kamu tidak punya hak untuk berada di sini, apalagi setelah semua yang kamu lakukan."Tiba-tiba, pintu depan terbuka dan Hera masuk. Dia melihat Barry dan Freya dengan tatapan bingung. "Barry? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara tajam.Freya berbalik, terkejut melihat Hera. "Oh, jadi sekarang kamu membawa calon istrimu juga? Hebat sekali."Hera berjalan mendekat, matanya tertuju pada Barry. "Aku sudah mencari mu di mana-mana. Kenapa kamu di s
Barry mendesah frustrasi. Tanpa banyak pilihan, dia merogoh ponsel dari saku celananya dan segera menelepon Rea."Ma, ini aku, Barry," katanya dengan nada sedikit cemas."Ada apa lagi, Barry? Ini sudah malam," suara Rea terdengar di ujung telepon, menunjukkan nada ketidakpuasan."Hera mengambil mobilku dan aku tidak punya cara untuk pulang. Bisakah Mama menjemput ku? Aku ada di daerah rumah kontrakan Freya." Barry meminta dengan nada memelas.Rea menghela napas panjang. "Baiklah, Barry. Aku akan segera ke sana. Tapi kita akan bicara serius tentang hal ini nanti."Tak lama kemudian, Rea datang dengan mobilnya. Wajahnya terlihat tegang dan matanya menunjukkan kekesalan yang mendalam. Pria itu pun masuk ke mobil tanpa banyak bicara, merasa capek atas semua masalah yang dihadapi."Barry, kamu harus lebih dewasa. Ini bukan pertama kalinya kamu membuat masalah seperti ini," ujar Rea mulai membuka pembicaraan dengan nada marah. "Kamu harus bisa mengatasi konflik tanpa selalu bergantung pada
Barry menatap lembut ke arah Hera, menariknya perlahan ke dalam pelukan hangat. "Kita butuh waktu untuk merenung dan saling memahami lebih baik," bisik Barry, suaranya lembut namun tegas. Hera mengangguk pelan, merasa tenang dalam dekapan Barry.Mereka duduk di tepi ranjang, suasana kamar yang tenang dan hangat membuat mereka merasa nyaman. Barry dengan penuh kasih mengusap rambut Hera, menatap dalam ke matanya. "Aku selalu ingin yang terbaik untuk kita," ujarnya.Hera tersenyum kecil, merasakan cinta yang tulus dari Barry. "Aku tahu, Barry. Aku juga ingin kita selalu bersama dalam suka dan duka," jawabnya dengan penuh kehangatan.Barry mendekatkan wajahnya, mencium kening Hera dengan lembut. "Tidurlah, sayang. Kita akan membicarakan semuanya besok dengan kepala dingin," katanya sambil membelai pipi Hera.Hera merebahkan tubuhnya, merasa damai di samping Barry. Bahkan melupakan semua yang pernah terjadi antara mereka. Dengan pelukan yang erat, mereka berdua pun tenggelam dalam malam y
Selesai makan, Aarav menawarkan bantuan pada Freya untuk menjaga Dina. Semua dilakukan agar anak bungsu wanita cantik itu tidak lagi mengalami hal buruk."Aku yang akan membayar biaya tempat bermain bagi Dina, biar keberadaannya juga aman. Desi juga bisa belajar dengan baik di sekolah, kamu juga bisa bekerja dengan baik." Aarav langsung berbicara pada intinya sebelum Desi berangkat sekolah. Freya sontak terkejut karena sedari tadi memang dirinya bingung memikirkan Dina agar berada di tempat yang aman."Aku jadi gak enak sama kamu, Aarav. Kita juga baru saja kenal, tapi kamu begitu baik padaku." Freya berbicara panjang lebar, padahal dalam benaknya dia paham betul dengan maksud dan tujuan pria tampan tersebut."Gapapa, lagi pula aku tidak ingin terjadi hal yang buruk pada Dina. Sekalipun yang membawanya bermain adalah ayah kandungnya sendiri." Aarav menunjukkan perhatian yang dia punya."Terima kasih banyak," ujar Freya tidak memiliki kalimat lain lagi. Wanita itu pun pamit bersiap-si
Freya melangkahkan kaki dengan penuh semangat, juga tersenyum dengan setiap karyawan yang dikenalnya. Akan tetapi, senyumannya hilang saat bosnya tiba-tiba datang dan langsung memecatnya. Dia bertanya apa yang telah diperbuat hingga dipecat begitu saja, tapi si Bos tidak mau memberikan alasannya. Dengan terpaksa, Freya pun segera pergi sebelum diusir oleh satpam yang berjaga. "Sekarang aku harus ke mana lagi?" pikirnya sedih. Seketika itu, Hera datang dengan tersenyum puas. "Aku sudah bilang padamu dari awal, jangan pernah kamu memandangku. Sekarang, rasakan akibatnya!" katanya tertawa lepas. Freya merasa amarahnya mendidih. Ia berusaha mengendalikan emosinya, tetapi tatapan penuh kemenangan Hera membuatnya semakin marah."Kau benar-benar jahat, Hera!" seru Freya dengan suara bergetar. "Apa yang kau inginkan dariku? Aku tidak pernah berbuat salah padamu!"Hera hanya tertawa lebih keras. "Kau begitu naif, Freya. Dunia ini tidak adil. Kau hanya perlu belajar untuk tidak melawan mer
Setelah melihat semua bukti yang Freya berikan, Hera langsung pergi begitu saja. Dia tidak ingin dikeroyok oleh orang-orang yang ada di sana. Semua orang hendak mengejar, tapi tidak di perkenankan oleh Freya dan diminta untuk dibiarkan saja. Kali ini, wanita cantik itu pun bingung harus pergi ke mana. Mengingat pekerjaan yang sudah didapat sekarang sudah sirna. Tak hanya itu, dia juga kesulitan untuk mencari pekerjaan paruh waktu seperti yang lalu."Aku harus ke mana lagi? Jika aku tidak bekerja, bagaimana aku bisa melunasi hutang-hutangku?" pikirnya kesusahan. Di waktu yang sama, Aarav tidak sengaja melihat Freya dari dalam mobilnya. Pria tampan itu pun menghentikan mobil dan menghampiri wanita cantik tersebut."Kamu tidak bekerja?" tanya Aarav melihat wajah Freya secara seksama. Terlihat raut wajah sedih, membuat pria tampan itu merasa iba."Sebentar lagi aku bekerja," sahut Freya tidak ingin menyusahkan Aarav lagi."Kamu berdusta," ujar pria itu karena melihat dusta di netra wan
Freya menatap Rea sejenak, kemudian memutuskan untuk tidak membuang-buang waktu lagi. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia berbalik dan melangkah pergi dengan tegap, mencoba mengabaikan kemarahan dan penghinaan yang dirasakannya. Di dalam hati, Freya bertekad untuk tidak membiarkan situasi ini menghentikannya. Ia akan terus berjuang untuk kedua putrinya, dan memastikan mereka mendapatkan kehidupan yang layak, apapun yang terjadi. Ia tahu bahwa ia harus kuat, dan tidak ada halangan yang dapat menghentikannya untuk melakukan yang terbaik bagi anak-anaknya.Namun, sebelum Freya sempat menjauh, suara Rea terdengar dingin dan penuh sindiran di belakangnya.“Lari saja, Freya,” seru Rea dengan nada merendahkan. “Seperti biasanya, kau selalu lari dari tanggung jawab. Kau pikir siapa yang akan percaya padamu sekarang? Kau hanyalah seorang ibu dan istri yang gagal, tidak lebih dari itu. Jadi tidak heran anakku mencari wanita lain yang lebih baik darimu!”Freya menghentikan langkahnya sejenak,
Sesampainya mereka di rumah, Dina masih teringat akan kejahatan Hera. Bahkan menimbulkan rasa trauma dalam dirinya.Freya mengelus rambut Dina dengan penuh kasih sayang, mencoba menenangkan gemuruh di hati putrinya. Malam itu, mereka berdua duduk di sofa ruang tamu, dibalut selimut tebal untuk mengusir dinginnya malam. Di luar, hujan rintik-rintik mengiringi suara lembut Freya yang terus berusaha menenangkan Dina."Nak, ingatlah selalu bahwa kamu aman sekarang. Mama akan selalu ada di sini untukmu," kata Freya sambil mengecup kening Dina.Dina mengangguk pelan, matanya mulai berat karena rasa kantuk. "Ma, apakah Hera tidak akan kembali lagi?"Freya tersenyum, meskipun ada kekhawatiran di dalam hatinya. "Tidak, sayang. Hera sudah pergi jauh dan tidak akan mengganggu kita lagi. Kita sudah aman di sini."Mata Dina perlahan terpejam, merasakan kehangatan dan kenyamanan dalam pelukan ibunya. Freya terus membisikkan kata-kata penghiburan, berharap bahwa perlahan-lahan luka di hati Dina akan
Sesampainya Freya di tempat tujuan, dia langsung menghampiri Juminten yang sedang kebingungan."Kamu sudah cari, mbok? Apa belum ketemu juga?" tanyanya cemas."Sudah, hanya saja non Dina tidak ditemukan." Juminten merasa bersalah karena lengah menjaga gadis kecil itu. "Lebih baik kita berpencar, Mbok. Siapa tahu saja nanti ketemu," ujar Freya. Pada saat itu juga, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal masuk. Wanita cantik itu pun tanpa pikir panjang langsung mengangkat panggilan tersebut. Dia yakin, pasti nomor asing itu akan memberitahu di mana anaknya berada.Memang benar, ternyata panggilan itu dari Hera. Dia meminta wanita cantik itu untuk menemuinya di suatu tempat. Bahkan dia mengancam akan berbuat sesuatu yang buruk pada Dina jika Freya tidak datang seorang diri. Dengan terpaksa, Freya mengiyakannya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada putrinya. Freya merasakan jantungnya berdetak kencang saat menutup telepon. Pikirannya berkecamuk denga
"Kamu jangan menangis ya, sebab aku akan menikah dengan Hera." Barry berbicara penuh jumawa.Freya terdiam tanpa berkata apa pun lagi, lalu mengambil undangan yang diberikan oleh mantan suaminya. "Kamu harus datang ke pernikahanku." Barry berbicara penuh harap. Freya memandangi undangan itu dengan tatapan kosong. Sampulnya berwarna emas dengan hiasan bunga-bunga yang tampak mewah."Aku pasti datang." Freya menjawab dengan tegas."Jangan lupa bawa pasanganmu juga," ucap Barry memberikan senyuman meremehkan."Tenang saja, aku akan membawa pasanganku." Freya menaruh undangan tersebut dalam tasnya."Sudah tidak ada kepentingan lagi 'kan?" tanya Freya sinis. "Kalau memang sudah tidak ada kepentingan lagi, lebih baik kamu pergi sekarang juga." Dengan tegas wanita cantik itu mengusir mantan suaminya."Oh ... ternyata kamu sudah semakin sombong sekarang?" cetus Barry tidak terima dengan perlakuan mantan istrinya. Freya menatap Barry dengan dingin, bibirnya mengerucut dalam ekspresi yang pe
Aarav merasakan gelombang ketegangan yang menjalar melalui tubuhnya. Kata-kata Sisca menggema dalam pikirannya, memunculkan kekhawatiran yang belum sempat dia tanggapi. Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada orang tuanya tentang kondisi Freya tanpa mengungkit masa lalunya yang rumit?Freya merasakan perubahan dalam diri Aarav, dan dengan lembut, dia meremas tangannya. "Aku tahu ini sulit," bisiknya, "Tapi aku yakin mereka akan mengerti, terutama setelah mereka mengenalku lebih baik."Aarav menatap mata Freya yang penuh keyakinan. Keberanian dan ketulusan dalam dirinya memberikan dorongan yang ia butuhkan. "Aku akan berbicara dengan mereka," jawabnya akhirnya, menghela napas panjang. "Orang tuaku memang sangat konservatif, tetapi mereka selalu menginginkan yang terbaik untukku. Aku yakin mereka akan menerima Freya dan anak-anaknya, meskipun mungkin butuh waktu."Sisca tersenyum penuh pengertian, mengetahui bahwa Aarav akan menghadapi tantangan yang berat. Tanpa pikir panjang, wanita sete
Malam itu menjadi malam yang membahagiakan bagi Aarav, sebab Freya sudah mau terbuka padanya. Bahkan dia merasa hubungan mereka semakin dekat saja, bahkan perihal pertemuan orang tua mereka masing-masing. Sebenarnya ada rasa takut dalam hati wanita cantik itu karena selama ini telah bersikap tidak baik pada kedua orang tuanya karena memaksa menikah dengan Barry. "Kalau memang kamu belum siap bertemu dengan kedua orang tuamu, biarkan aku saja yang menemui mereka untuk meminta restu," ujar Aarav memberikan usulan."Gak bisa, Aarav. Tidak semudah itu, kedua orang tuaku keras. Terlebih, mereka pasti tidak tahu kalau aku sudah berpisah dari Barry." Freya berusaha untuk tidak membuat Aarav kesulitan jika harus meminta restu, apalagi pernikahan mereka bisa dibilang palsu. "Lantas, bagaimana kita akan menjelaskan pada Mamaku?" tanya Aarav penasaran. "Aku juga gak punya solusi." Freya ikut kebingungan. Sudah tidak ada jalan keluar, jadi pria itu pun memiliki ide untuk memperlancar pernikah
Hera menghentikan mobil Aarav secara tiba-tiba, lalu mulai mengancam untuk tidak ikut campur dengan urusannya dengan Freya. "Aku tidak bermaksud ikut campur, aku dan dia akan menikah." Aarav mulai berterus terang. Hera terpaku sejenak, menatap Aarav dengan mata menyala penuh amarah. "Menikah? Dengan Freya?" suaranya bergetar, antara tidak percaya dan marah. "Kau pikir ini lelucon? Kau bahkan tidak tahu siapa Freya sebenarnya."Aarav menatap Hera dengan tenang, mencoba menenangkan diri. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Hera. Freya adalah wanita yang luar biasa, dan aku mencintainya."Hera menggelengkan kepala, bibirnya mengecil menjadi garis tipis. "Kau benar-benar tidak mengerti. Urusan ini jauh lebih rumit daripada yang kau bayangkan. Freya memiliki masa lalu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan sekarang, kau sudah terlibat terlalu dalam."Aarav merasakan ada sesuatu yang gelap dan tidak terkatakan di balik kata-kata Hera. "Apa maksudmu? Masa lalu apa yang begitu mengerika
"Sudah lama kenal Aarav? Dan kapan kalian jadian terus memutuskan untuk menikah?" tanya Jenar penasaran. Akan tetapi, Freya gugup dan tidak tahu harus menjawab apa. Beruntung pria tampan itu langsung menjawab dengan senyum tenang."Sebetulnya, kami baru kenal satu bulan," ujar Aarav dengan nada santai. "Saat itu, aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kami. Jadi, aku langsung mengajaknya menikah."Jenar tercengang mendengar jawaban dari putranya. "Satu bulan? Serius? Kenapa secepat itu?""Kan Mama sendiri yang bilang aku harus secepatnya menikah, ya sudah kalau kita sudah sama-sama cocok. Mau tunggu apalagi?" cetus Aarav memberikan senyuman."Ya gak gitu juga, Aarav. Tetap saja, kamu harus melihat dari segi bibit, bebet dan bobotnya. Gak bisa langsung ajak nikah begini. Kalau ternyata dia keturunan dari keluarga yang tidak baik-baik gimana?" bisik Jenar dengan nada yang begitu pelan agar tidak didengar oleh Freya. "Mama tenang saja, tidak usah khawatir. Aku yang lebih tahu ba
Freya masih menatap Aarav dengan mata membulat. Kepanikan bercampur kebingungan jelas terlihat di wajahnya. Aarav menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat."Freya, aku tahu ini mendadak dan mungkin membuatmu tidak nyaman. Tapi Mama itu sangat tradisional. Dia ingin bertemu dengan calon menantunya sebelum pernikahan, bahkan jika itu hanya pernikahan kontrak," jelas Aarav dengan nada tenang namun tegas.Freya menggeleng pelan. "Tapi Aarav, kita tahu pernikahan ini hanya formalitas. Mengapa harus melibatkan keluargamu? Tidak bisakah kita menjaga jarak dari hal-hal pribadi seperti ini?"Aarav terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. "Aku mengerti perasaanmu. Namun, Mama tidak akan menerima begitu saja kalau aku menikah tanpa mengenalkanmu. Dia sudah banyak berkorban untukku, dan aku tidak ingin mengecewakannya."Freya menggigit bibirnya, pertanda pikirannya sedang berkecamuk. Di satu sisi, dia memahami pentingnya memenuhi harapan keluarga Aarav. Namun, di sisi
Jelas saja Freya mengambil uang yang diberikan oleh mantan suaminya."Aku harap kamu tidak meminta uang ini kembali setelah diberikan kepada anak-anak." Freya kembali mengingatkan. Mantan suaminya menghela napas panjang. "Aku tahu, Freya. Aku tidak akan meminta kembali. Ini untuk mereka."Freya mengangguk pelan, matanya menunjukkan rasa lega meski ada bayang-bayang kekhawatiran. "Baiklah, terima kasih, Barry. Anak-anak sangat membutuhkan ini untuk masa depan mereka."Barry mengangguk. "Bagaimana kabar mereka?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Anak-anak baik-baik saja," jawab Freya. "Kamu gak usah khawatir, selama calon istrimu itu tidak mengganggu kehidupan kami lagi." Barry tidak bisa mengatakan apa pun lagi, melainkan berlalu pergi begitu saja. Freya menatap punggung Barry yang menjauh, menghela napas dalam-dalam. Setelah sejenak menenangkan diri, dia berjalan menuju kafe terdekat tempat dia berjanji untuk bertemu Aarav. Jalanan kota siang itu tidak terlalu ramai