Freya menatap Rea sejenak, kemudian memutuskan untuk tidak membuang-buang waktu lagi. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia berbalik dan melangkah pergi dengan tegap, mencoba mengabaikan kemarahan dan penghinaan yang dirasakannya. Di dalam hati, Freya bertekad untuk tidak membiarkan situasi ini menghentikannya. Ia akan terus berjuang untuk kedua putrinya, dan memastikan mereka mendapatkan kehidupan yang layak, apapun yang terjadi. Ia tahu bahwa ia harus kuat, dan tidak ada halangan yang dapat menghentikannya untuk melakukan yang terbaik bagi anak-anaknya.Namun, sebelum Freya sempat menjauh, suara Rea terdengar dingin dan penuh sindiran di belakangnya.“Lari saja, Freya,” seru Rea dengan nada merendahkan. “Seperti biasanya, kau selalu lari dari tanggung jawab. Kau pikir siapa yang akan percaya padamu sekarang? Kau hanyalah seorang ibu dan istri yang gagal, tidak lebih dari itu. Jadi tidak heran anakku mencari wanita lain yang lebih baik darimu!”Freya menghentikan langkahnya sejenak,
Gadis cantik itu baru saja selesai mengganti pakaian seragam dengan baju santai. Lalu berjalan ke dapur dengan rasa penasaran. Ia mencium aroma manis yang menggoda dari kue yang masih hangat di atas meja. "Mama bikin kue apa kali ini?" tanya Desi sambil duduk di kursi dan mengambil sepotong kue."Ini kue cokelat pisang yang Mama coba resep barunya," jawab Freya sambil tersenyum. "Mama tambahkan sedikit kayu manis dan kacang almond biar lebih kaya rasa."Desi menggigit kue tersebut dengan perlahan, merasakan tekstur lembutnya di lidah. Setelah mengunyah dan menelan, ia tersenyum dan berkata, "Wah, enak banget, Ma! Rasa pisangnya kerasa banget, dan kayu manisnya bikin rasanya jadi lebih hangat. Tapi mungkin kacang almondnya bisa ditambahkan lebih banyak lagi supaya lebih crunchy."Freya mengangguk, senang dengan umpan balik dari Desi. "Terima kasih, sayang. Masukan kamu sangat membantu. Mama akan coba tambahkan lebih banyak kacang almond di resep berikutnya."Desi tersenyum lebar. "Aku
Freya merasa tidak nyaman dengan ucapan Desi, jadi dia pun berbisik, "Jangan bersikap seperti itu, Desi." "Gapapa, namanya juga anak-anak," ujar Aarav yang ternyata mendengar ucapan Freya. Freya mendesah pelan, mencoba meredam rasa kesalnya. “Memang anak-anak, tapi tetap saja kita harus mengajari mereka yang benar,” katanya, dengan nada sedikit lebih lembut namun tegas.Desi menoleh dengan tatapan bingung, merasa sedikit disalahkan. “Aku cuma bercanda, Ma. Tapi kalau dibuat untuk serius juga gapapa.” Gadis cantik itu mulai cengengesan. Aarav tersenyum, menepuk bahu Desi dengan lembut. “Tentu, candaan itu bagian dari tumbuh kembang anak. Tapi kita juga harus tahu batasannya.”"Kalau begitu Om Aarav pulang dulu," imbuhnya."Loh kok, buru-buru sih, Om. Padahal kita masih ingin bermain sama Om," ujar Desi tidak ingin Aarav pergi dari rumah kontrakan mereka."Om masih ada urusan penting, kapan-kapan Om janji akan bermain di sini," ujar Aarav memberikan senyuman."Baik, Om."Baik Desi ma
Desi berusaha untuk memberontak, tapi tetap saja dia tidak bisa melawan pria dewasa."Ini Papa, Desi. Kamu tidak perlu takut, Papa hanya ingin memberikanmu hadiah," ujar Barry tanpa melepaskan tangan untuk menutup mulut putrinya."Papa akan melepaskan tangan Papa asalkan kamu tidak berteriak," ujar Barry yang sangat ingin berbicara dengan putrinya.Desi menganggukkan kepala dengan pelan, lalu Barry dengan cepat melepaskan tangannya. "Maaf Papa telah menyakitimu, Papa hanya ingin memberikanmu hadiah ini," ujar Barry dengan menyodorkan dua boneka.Gadis kecil itu pun mengernyitkan dahi, tidak biasanya sang Papa memberikan hadiah padanya. Dari dulu, bahkan pria itu tidak pernah perhatian pada keluarga. Desi meraba bibirnya yang masih terasa nyeri setelah ditutup paksa oleh tangan Barry. Matanya yang basah memandang dua boneka di depan mereka, boneka itu terlihat cantik dan menggemaskan, tetapi perasaannya masih diliputi ketakutan dan kebingungan. "Papa... kenapa sekarang?" suara Desi
Aarav menyeringai, dalam hatinya begitu bahagia karena apa yang telah diusahakan tidak sia-sia. "Masih, dan kesempatan itu akan selalu ada sampai kamu setuju," ujar Aarav dengan senyuman yang semakin melebar."Aku setuju untuk membantumu," kata Freya setelah berpikir sejenak. Aarav tidak peduli apa alasan wanita cantik itu pada akhirnya setuju, yang jelas dia begitu bahagia. "Ya sudah, nanti aku akan datang ke sini untuk membicarakan semuanya." Aarav pamit, mengingat dia harus cepat-cepat mengantarkan Desi ke sekolah. Terlebih gadis kecil itu sudah ada di dalam mobil dan sedang menunggu bersama adiknya — Dina. Aarav melangkah pergi dari hadapan Freya dengan hati yang penuh sukacita. Ia merasa seperti ada beban yang terangkat dari pundaknya. Sebelum meninggalkan rumah kontrakan, dia melirik ke arah wanita cantik itu sekali lagi dan memberi senyuman penuh makna, memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh wanita itu bukan sekadar kata-kata kosong.Sesampainya di mobil, Aarav menem
Aarav duduk terpaku di kursinya, memandangi pintu yang tertutup dengan bunyi lembut. Ketenangan di ruang kerjanya tampak kontras dengan gejolak yang berkecamuk di dalam hatinya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba meredakan kekalutan yang mendadak menyerang.“Harus secepat itukah, Ma?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk siapa pun. Dia tahu betul bahwa Jenar bukanlah orang yang mudah digoyahkan ketika sudah mengambil keputusan. Selama ini Aarav selalu berusaha untuk mengikuti keinginan ibunya, tetapi urusan pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa ia terima begitu saja.Aarav berdiri dan berjalan menuju jendela. Dia menatap jauh keluar, melihat langit yang terlihat begitu cerah. Perasaannya semakin kacau memikirkan ultimatum yang baru saja diberikan ibunya. Tiba-tiba saja dia memikirkan Freya. "Apa mungkin Mama memiliki firasat bahwa aku sedang dekat dengan Freya?" pikirnya. Dia bahkan curiga bahwa sang Mama pasti memiliki seorang mata-mata yang selalu
Jelas saja Freya mengambil uang yang diberikan oleh mantan suaminya."Aku harap kamu tidak meminta uang ini kembali setelah diberikan kepada anak-anak." Freya kembali mengingatkan. Mantan suaminya menghela napas panjang. "Aku tahu, Freya. Aku tidak akan meminta kembali. Ini untuk mereka."Freya mengangguk pelan, matanya menunjukkan rasa lega meski ada bayang-bayang kekhawatiran. "Baiklah, terima kasih, Barry. Anak-anak sangat membutuhkan ini untuk masa depan mereka."Barry mengangguk. "Bagaimana kabar mereka?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Anak-anak baik-baik saja," jawab Freya. "Kamu gak usah khawatir, selama calon istrimu itu tidak mengganggu kehidupan kami lagi." Barry tidak bisa mengatakan apa pun lagi, melainkan berlalu pergi begitu saja. Freya menatap punggung Barry yang menjauh, menghela napas dalam-dalam. Setelah sejenak menenangkan diri, dia berjalan menuju kafe terdekat tempat dia berjanji untuk bertemu Aarav. Jalanan kota siang itu tidak terlalu ramai
Freya masih menatap Aarav dengan mata membulat. Kepanikan bercampur kebingungan jelas terlihat di wajahnya. Aarav menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat."Freya, aku tahu ini mendadak dan mungkin membuatmu tidak nyaman. Tapi Mama itu sangat tradisional. Dia ingin bertemu dengan calon menantunya sebelum pernikahan, bahkan jika itu hanya pernikahan kontrak," jelas Aarav dengan nada tenang namun tegas.Freya menggeleng pelan. "Tapi Aarav, kita tahu pernikahan ini hanya formalitas. Mengapa harus melibatkan keluargamu? Tidak bisakah kita menjaga jarak dari hal-hal pribadi seperti ini?"Aarav terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. "Aku mengerti perasaanmu. Namun, Mama tidak akan menerima begitu saja kalau aku menikah tanpa mengenalkanmu. Dia sudah banyak berkorban untukku, dan aku tidak ingin mengecewakannya."Freya menggigit bibirnya, pertanda pikirannya sedang berkecamuk. Di satu sisi, dia memahami pentingnya memenuhi harapan keluarga Aarav. Namun, di sisi