Desi berusaha untuk memberontak, tapi tetap saja dia tidak bisa melawan pria dewasa."Ini Papa, Desi. Kamu tidak perlu takut, Papa hanya ingin memberikanmu hadiah," ujar Barry tanpa melepaskan tangan untuk menutup mulut putrinya."Papa akan melepaskan tangan Papa asalkan kamu tidak berteriak," ujar Barry yang sangat ingin berbicara dengan putrinya.Desi menganggukkan kepala dengan pelan, lalu Barry dengan cepat melepaskan tangannya. "Maaf Papa telah menyakitimu, Papa hanya ingin memberikanmu hadiah ini," ujar Barry dengan menyodorkan dua boneka.Gadis kecil itu pun mengernyitkan dahi, tidak biasanya sang Papa memberikan hadiah padanya. Dari dulu, bahkan pria itu tidak pernah perhatian pada keluarga. Desi meraba bibirnya yang masih terasa nyeri setelah ditutup paksa oleh tangan Barry. Matanya yang basah memandang dua boneka di depan mereka, boneka itu terlihat cantik dan menggemaskan, tetapi perasaannya masih diliputi ketakutan dan kebingungan. "Papa... kenapa sekarang?" suara Desi
Aarav menyeringai, dalam hatinya begitu bahagia karena apa yang telah diusahakan tidak sia-sia. "Masih, dan kesempatan itu akan selalu ada sampai kamu setuju," ujar Aarav dengan senyuman yang semakin melebar."Aku setuju untuk membantumu," kata Freya setelah berpikir sejenak. Aarav tidak peduli apa alasan wanita cantik itu pada akhirnya setuju, yang jelas dia begitu bahagia. "Ya sudah, nanti aku akan datang ke sini untuk membicarakan semuanya." Aarav pamit, mengingat dia harus cepat-cepat mengantarkan Desi ke sekolah. Terlebih gadis kecil itu sudah ada di dalam mobil dan sedang menunggu bersama adiknya — Dina. Aarav melangkah pergi dari hadapan Freya dengan hati yang penuh sukacita. Ia merasa seperti ada beban yang terangkat dari pundaknya. Sebelum meninggalkan rumah kontrakan, dia melirik ke arah wanita cantik itu sekali lagi dan memberi senyuman penuh makna, memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh wanita itu bukan sekadar kata-kata kosong.Sesampainya di mobil, Aarav menem
Aarav duduk terpaku di kursinya, memandangi pintu yang tertutup dengan bunyi lembut. Ketenangan di ruang kerjanya tampak kontras dengan gejolak yang berkecamuk di dalam hatinya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba meredakan kekalutan yang mendadak menyerang.“Harus secepat itukah, Ma?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk siapa pun. Dia tahu betul bahwa Jenar bukanlah orang yang mudah digoyahkan ketika sudah mengambil keputusan. Selama ini Aarav selalu berusaha untuk mengikuti keinginan ibunya, tetapi urusan pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa ia terima begitu saja.Aarav berdiri dan berjalan menuju jendela. Dia menatap jauh keluar, melihat langit yang terlihat begitu cerah. Perasaannya semakin kacau memikirkan ultimatum yang baru saja diberikan ibunya. Tiba-tiba saja dia memikirkan Freya. "Apa mungkin Mama memiliki firasat bahwa aku sedang dekat dengan Freya?" pikirnya. Dia bahkan curiga bahwa sang Mama pasti memiliki seorang mata-mata yang selalu
Jelas saja Freya mengambil uang yang diberikan oleh mantan suaminya."Aku harap kamu tidak meminta uang ini kembali setelah diberikan kepada anak-anak." Freya kembali mengingatkan. Mantan suaminya menghela napas panjang. "Aku tahu, Freya. Aku tidak akan meminta kembali. Ini untuk mereka."Freya mengangguk pelan, matanya menunjukkan rasa lega meski ada bayang-bayang kekhawatiran. "Baiklah, terima kasih, Barry. Anak-anak sangat membutuhkan ini untuk masa depan mereka."Barry mengangguk. "Bagaimana kabar mereka?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Anak-anak baik-baik saja," jawab Freya. "Kamu gak usah khawatir, selama calon istrimu itu tidak mengganggu kehidupan kami lagi." Barry tidak bisa mengatakan apa pun lagi, melainkan berlalu pergi begitu saja. Freya menatap punggung Barry yang menjauh, menghela napas dalam-dalam. Setelah sejenak menenangkan diri, dia berjalan menuju kafe terdekat tempat dia berjanji untuk bertemu Aarav. Jalanan kota siang itu tidak terlalu ramai
Freya masih menatap Aarav dengan mata membulat. Kepanikan bercampur kebingungan jelas terlihat di wajahnya. Aarav menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat."Freya, aku tahu ini mendadak dan mungkin membuatmu tidak nyaman. Tapi Mama itu sangat tradisional. Dia ingin bertemu dengan calon menantunya sebelum pernikahan, bahkan jika itu hanya pernikahan kontrak," jelas Aarav dengan nada tenang namun tegas.Freya menggeleng pelan. "Tapi Aarav, kita tahu pernikahan ini hanya formalitas. Mengapa harus melibatkan keluargamu? Tidak bisakah kita menjaga jarak dari hal-hal pribadi seperti ini?"Aarav terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. "Aku mengerti perasaanmu. Namun, Mama tidak akan menerima begitu saja kalau aku menikah tanpa mengenalkanmu. Dia sudah banyak berkorban untukku, dan aku tidak ingin mengecewakannya."Freya menggigit bibirnya, pertanda pikirannya sedang berkecamuk. Di satu sisi, dia memahami pentingnya memenuhi harapan keluarga Aarav. Namun, di sisi
"Sudah lama kenal Aarav? Dan kapan kalian jadian terus memutuskan untuk menikah?" tanya Jenar penasaran. Akan tetapi, Freya gugup dan tidak tahu harus menjawab apa. Beruntung pria tampan itu langsung menjawab dengan senyum tenang."Sebetulnya, kami baru kenal satu bulan," ujar Aarav dengan nada santai. "Saat itu, aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kami. Jadi, aku langsung mengajaknya menikah."Jenar tercengang mendengar jawaban dari putranya. "Satu bulan? Serius? Kenapa secepat itu?""Kan Mama sendiri yang bilang aku harus secepatnya menikah, ya sudah kalau kita sudah sama-sama cocok. Mau tunggu apalagi?" cetus Aarav memberikan senyuman."Ya gak gitu juga, Aarav. Tetap saja, kamu harus melihat dari segi bibit, bebet dan bobotnya. Gak bisa langsung ajak nikah begini. Kalau ternyata dia keturunan dari keluarga yang tidak baik-baik gimana?" bisik Jenar dengan nada yang begitu pelan agar tidak didengar oleh Freya. "Mama tenang saja, tidak usah khawatir. Aku yang lebih tahu ba
Hera menghentikan mobil Aarav secara tiba-tiba, lalu mulai mengancam untuk tidak ikut campur dengan urusannya dengan Freya. "Aku tidak bermaksud ikut campur, aku dan dia akan menikah." Aarav mulai berterus terang. Hera terpaku sejenak, menatap Aarav dengan mata menyala penuh amarah. "Menikah? Dengan Freya?" suaranya bergetar, antara tidak percaya dan marah. "Kau pikir ini lelucon? Kau bahkan tidak tahu siapa Freya sebenarnya."Aarav menatap Hera dengan tenang, mencoba menenangkan diri. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Hera. Freya adalah wanita yang luar biasa, dan aku mencintainya."Hera menggelengkan kepala, bibirnya mengecil menjadi garis tipis. "Kau benar-benar tidak mengerti. Urusan ini jauh lebih rumit daripada yang kau bayangkan. Freya memiliki masa lalu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan sekarang, kau sudah terlibat terlalu dalam."Aarav merasakan ada sesuatu yang gelap dan tidak terkatakan di balik kata-kata Hera. "Apa maksudmu? Masa lalu apa yang begitu mengerika
Malam itu menjadi malam yang membahagiakan bagi Aarav, sebab Freya sudah mau terbuka padanya. Bahkan dia merasa hubungan mereka semakin dekat saja, bahkan perihal pertemuan orang tua mereka masing-masing. Sebenarnya ada rasa takut dalam hati wanita cantik itu karena selama ini telah bersikap tidak baik pada kedua orang tuanya karena memaksa menikah dengan Barry. "Kalau memang kamu belum siap bertemu dengan kedua orang tuamu, biarkan aku saja yang menemui mereka untuk meminta restu," ujar Aarav memberikan usulan."Gak bisa, Aarav. Tidak semudah itu, kedua orang tuaku keras. Terlebih, mereka pasti tidak tahu kalau aku sudah berpisah dari Barry." Freya berusaha untuk tidak membuat Aarav kesulitan jika harus meminta restu, apalagi pernikahan mereka bisa dibilang palsu. "Lantas, bagaimana kita akan menjelaskan pada Mamaku?" tanya Aarav penasaran. "Aku juga gak punya solusi." Freya ikut kebingungan. Sudah tidak ada jalan keluar, jadi pria itu pun memiliki ide untuk memperlancar pernikah