"Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Aarav menatap lekat wajah Freya.
Wanita cantik itu pun tidak enak hati menyebutkan minimal uang yang diinginkan. "Katakan saja, tidak usah sungkan." Ternyata raut wajah Freya terbaca jelas oleh Aarav. "Lima juta rupiah," sahut wanita cantik itu sesuai yang dibutuhkan. "Sebutkan nomor rekeningmu," kata Aarav tanpa berpikir panjang lagi. Hal itu membuat Freya semakin tidak nyaman. Dia tidak ingin mendapatkan pinjaman uang tersebut dengan cuma-cuma, terlebih wanita cantik itu tahu tentang pria tampan yang sengaja mendekatinya. "Aarav, aku tidak bisa begitu saja memberikan nomor rekeningku," jawab Freya, matanya memandang lurus ke arah Aarav. Aarav menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang kian memuncak. "Freya, dengarkan aku. Kamu bisa mendapatkan uang lebih jika mau menikah denganku. Kita bisa bekerja sama hingga kamu tidak perlu kekurangan uang lagi." Freya terkejut mendengar tawaran tersebut. "Menikah denganmu? Apa ini hanya tentang uang dan balas dendam, Aarav?" "Ini lebih dari sekedar uang, Freya," jawab Aarav, suaranya lembut namun tegas. "Ini tentang sakit hati kita. Lagi pula, pernikahan ini dilakukan atas berdasarkan kontrak saja, tidak untuk menjalin hubungan selayaknya suami-istri." Freya terdiam sejenak, memikirkan apa yang baru saja didengarnya. "Aku butuh waktu untuk memikirkan ini, Aarav. Ini keputusan besar. Untuk sementara waktu, aku akan meminjam uang darimu. Aku berjanji akan melunasinya secepat mungkin." Akhirnya wanita cantik itu pun memberikan nomor rekening miliknya pada pria tampan itu, sebab dirinya sudah butuh uang untuk menghidupi kedua putrinya. "Tentu saja, aku mengerti," kata Aarav, mencoba tersenyum. "Ambillah waktu yang kamu butuhkan, dan aku berharap kamu akan menerimaku." Pria tampan itu pun pergi terlebih dulu dari taman. Freya duduk termenung sendiri memikirkan semua yang terjadi dalam hidupnya. Dia bahkan tidak bisa langsung mengiyakan niat Aarav untuk menikahinya. Padahal, dia yakin kalau dia dan kedua putrinya akan bahagia serta baik-baik saja selama bersama pria asing yang baru dikenalnya. "Kenapa aku merasa dia adalah pria yang berbeda?" tanyanya dalam pikiran yang sedang kacau. Di saat pikirannya melayang jauh, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi m-banking masuk, netranya terbelalak saat melihat nominal yang dia terima di layar ponselnya. "Lima puluh juta? Apa aku gak salah lihat? Apa Aarav salah mentransfer?" cecarnya. Dengan cepat wanita cantik itu pun menghubungi pria yang baru saja meninggalkan sendiri di taman. Sudah ketiga kalinya wanita cantik itu melakukan panggilan telepon, tapi tidak ada jawaban juga dari pria tampan yang baik padanya. Jadi, dia pun mengirimkan pesan singkat dengan sebuah penjelasan. Sedangkan di tempat lain, tepat di dalam mobil yang tidak jauh terparkir di taman. Aarav sedang tersenyum setelah mendapatkan pesan dari Freya. "Aku akan terus berusaha sampai aku mendapatkan apa yang aku inginkan." Pria tampan bermonolog, lalu mulai menghidupkan mesin mobilnya. Dia pergi setelah melihat wajah Freya penuh dengan kebingungan di taman. "Bagaimana aku harus mengembalikan uang sebanyak ini?" Wanita cantik itu pun memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Freya menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Setelah merasa sedikit lebih tenang, dia memutuskan untuk meninggalkan kekhawatirannya sejenak dan fokus pada tugas-tugas harian yang harus dilakukan. Dengan cepat, dia pergi ke supermarket yang letaknya juga tidak jauh dari taman. Dia masuk dengan langkah kaki lemas, dia kemudian mengambil tas belanja yang ada di sana. Freya terlebih dulu langsung menuju bagian sayuran dan mulai memilih beberapa sayur segar seperti wortel, bayam, dan tomat. Kemudian, dia melanjutkan ke bagian buah-buahan dan mengambil beberapa apel dan pisang. Setelah itu, dia mengunjungi bagian daging untuk membeli beberapa potong ayam dan daging sapi. Dia juga mengambil beberapa bahan makanan pokok lainnya seperti beras, telur, dan susu. Sambil berbelanja, Freya mencoba untuk tidak memikirkan masalah uang yang dipinjamkan Aarav yang jumlahnya lebih dari yang dibayangkan. Dia mencoba menikmati momen tersebut dan mengalihkan pikirannya pada hal-hal sederhana yang bisa membuatnya lebih tenang. Setelah selesai berbelanja, Freya menuju kasir. Langkahnya tiba-tiba berhenti saat seorang pria menghalanginya. "Ternyata kita bertemu lagi di sini," ujar pria yang hingga detik ini masih dibenci oleh Freya atas apa yang sudah diperbuatnya. Wanita cantik itu pun berusaha untuk menghindari mantan suaminya, sebab berbicara dengan Barry hanya akan membuka luka lama. "Eits ... kamu mau ke mana? Jangan pergi dong!" cetus Barry terus menghalangi langkah kaki Freya. Freya mendesah kesal, "Apa lagi yang kamu mau, Barry? Bukankah sudah cukup kamu menyakiti aku?" Barry tertawa sinis, "Menyakiti? Kamu yang lemah, Freya. Selalu drama, selalu berlebihan. Tidak heran kalau kamu selalu gagal dalam hidup." Mata Freya menyipit marah, namun ia berusaha tetap tenang. "Setidaknya aku tidak hidup dengan menjadi penghianat." Barry mendekat, suaranya rendah dan penuh ejekan. "Oh, jadi kamu sudah punya keberanian untuk berbicara? Sebenarnya siapa yang mengkhianati siapa? Ingat-ingat lagi siapa yang memulai semuanya, Freya." Freya terdiam sejenak, mencoba menahan air mata yang ingin keluar. "Aku tidak akan jatuh ke dalam perangkap mu lagi. Permisi." Namun Barry menarik tangannya, "Jangan sok kuat. Kita berdua tahu, kamu masih lemah dan tak berdaya tanpa aku." Freya melepaskan tangannya dengan kasar. "Aku lebih baik sendirian dari pada bersama pria seperti kamu." Barry tertawa, "Bermimpi lah, Freya. Kamu tidak akan pernah bisa lepas dari bayanganku." Freya menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah pergi tanpa melihat ke belakang. Ia tahu, kata-kata Barry hanya pantulan dari ketidakmampuan dirinya sendiri untuk meraih kebahagiaan sejati.Barry terus mengikuti mantan istrinya dari belakang, dia masih tidak terima karena melihat Freya barusan bersama seorang pria di taman."Jangan kira aku tidak tahu, kalau kamu memiliki pria selain diriku saat kita bersama dulu." Barry berbicara semakin ngelantur menurut Freya. Jelas saja wanita cantik itu tidak mau meladeni pria yang sudah menyakitinya itu."Kamu dari awal memang punya pria lain selain diriku 'kan?" cetusnya lagi. "Aku masih tidak mengerti apa yang kamu katakan, Barry. Sudah jelas-jelas kamu yang berselingkuh terlebih dulu. Kenapa kamu malah menuduhku?" cetus Freya dengan sorot tatapan mata yang begitu tajam."Sekarang, aku tidak punya waktu untuk membahas semua yang terjadi. Apa yang terjadi pada kita di masa lalu, tidak mungkin bisa diperbaiki lagi." Akhirnya Freya pun pergi ke kasir, membayar belanjaan yang sudah dibelinya. Namun, Barry justru tidak pergi juga dari hadapan wanita cantik tersebut. "Kamu masih berkilah bahwa kamu tidak mengkhianatiku terlebih dulu
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Barry menoleh, dan Freya melihat celah untuk membebaskan diri. Dengan tenaga yang tersisa, dia menarik tangannya dan berhasil melepaskan diri dari genggaman Barry. Sebuah suara pria terdengar dari arah pintu. "Ada apa ini?" tanya pria itu dengan tegas. Freya menoleh dan melihat Aarav berdiri di sana dengan raut wajah serius.Barry mundur selangkah, jelas terganggu oleh kehadiran saksi yang tidak diharapkannya. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan kami," kata Barry dengan nada defensif.Freya segera bergerak mendekati Aarav, merasakan sedikit rasa aman dengan kehadirannya. "Dia menggangguku, Aarav. Mohon bantuannya," kata Freya dengan suara yang masih gemetar.Aarav menatap Barry dengan tajam. "Aku rasa sebaiknya Anda pergi sekarang, Barry. Jangan membuat masalah di sini."Barry menatap Freya dan Aarav dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tahu kamu pasti akan datang membantu mantan istriku ini, makanya aku sengaja berbuat ulah."
Freya termenung atas apa yang dikatakan oleh pria tampan yang ada di sebelahnya. "Apa yang dikatakan memang benar, tapi aku harus memikirkan semuanya dengan matang." Aarav menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan seksama. Lalu dia berkata, "Aku berjanji akan menjagamu dan kedua anakmu, Freya. Asalkan kamu mau membantuku."Wanita cantik itu tidak menjawab, sebab yang jadi pertimbangannya juga kedua putrinya. Bagi Freya rasanya malas untuk menjalin hubungan lagi setelah kekecewaan yang didapatnya.Di sepanjang perjalanan tidak ada lagi obrolan antara mereka berdua, mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mereka sampai di rumah kontrakan Freya, barulah mobil pria itu berhenti. "Terima kasih sudah mengantar," ucap Freya sambil membuka pintu mobil. Tidak lupa wanita cantik itu mengambil barang belanjaannya. "Sama-sama," jawab Aarav singkat, matanya sesaat tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumah Freya.Wanita cantik itu pun mengikuti arah pandang pria ya
Ternyata Desi memang cerdik juga, hingga berhasil membuat Hera pergi dari rumahnya. Dia mengambil seember air, lalu membuka pintu dan langsung menyiram wanita seksi yang sedari tadi membuat keributan. Desi tertawa puas setelah aksinya berhasil membuat wanita yang merusak rumah tangga orang tuanya terkejut dan basah kuyup. Hera, yang biasanya tampil anggun dan percaya diri, kini terlihat seperti singa betina yang marah."Apa-apaan kamu, Desi?! Kurang ajar kamu ya!" Hera berteriak sambil mengibaskan air dari bajunya yang basah.Desi tetap berdiri di depan pintu dengan tangan di pinggang, memandang Hera dengan tatapan menantang. "Sudah cukup, Hera. Kamu tidak berhak datang ke rumahku dan membuat keributan seperti ini."Hera semakin marah, wajahnya memerah. "Kamu pikir kamu siapa, Desi? Beraninya kamu mempermalukan aku seperti ini! Aku tidak akan pernah melupakan ini!"Desi menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. "Itu urusanmu, Hera. Kalau kamu datang lagi ke sini untuk bikin masalah, k
Saat membuka pintu, sebuah tangan tiba-tiba melayang ke pipi kanan Freya. Dia terhuyung sejenak, merasakan panas menyengat di pipi kanannya. Dia mengangkat tangan untuk menutupi pipinya yang baru saja ditampar, sementara matanya membelalak melihat mantan mertuanya— Rea, berdiri di depannya dengan wajah merah padam."Apa-apaan ini, Bu Rea?" tanya Freya dengan suara bergetar, mencoba menenangkan diri.Rea mendekat dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lari begitu saja, Freya? Kau pikir bisa meninggalkan anakku tanpa konsekuensi?" seru Rea dengan nada penuh amarah. "Kau menghancurkan hidupnya, kau tahu itu!"Freya menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya. "Aku... Aku tidak punya pilihan lain, Bu. Keadaan kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi."Rea menggelengkan kepalanya dengan penuh kemarahan. "Tidak punya pilihan? Selalu ada pilihan, Freya. Kau memilih jalan yang paling mudah untukmu, tanpa memikirkan dampaknya pada orang lain."Freya merasa ma
Pagi-pagi sekali Freya sudah disibukkan oleh pekerjaan rumah, dia bangun terlebih dulu untuk menyiapkan sarapan untuk kedua putrinya sebelum berangkat bekerja. Desi selalu bangun lebih awal dan langsung bergegas ke dapur untuk membantu ibunya. "Mama, apa yang bisa Desi bantu?" tanyanya dengan mata berbinar. Freya tersenyum, merasa bangga pada anak sulungnya yang selalu rajin. "Desi, bisa tolong ambilkan jus dari kulkas? Dan jangan lupa, periksa apakah makanan untuk Dina sudah lengkap," pintanya lembut. Desi mengangguk dan segera berlari ke kulkas, mengambil jus jeruk yang segar.Desi kembali dengan membawa jus jeruk dan menaruhnya di meja. "Ini jusnya, Ma," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku cek makanan untuk Dina."Freya mengangguk. "Terima kasih, sayang. Coba lihat apakah sereal dan susunya sudah siap."Desi memeriksa meja makan dan memastikan semuanya lengkap. "Sereal dan susu sudah siap, Ma. Apa lagi yang perlu Desi lakukan?"Freya berhenti sejenak untuk berpikir. "Sepertiny
Bel sekolah sudah berdering, tandanya jam pelajaran akan segera dimulai. Dengan terpaksa Desi meninggalkan sang adik pada papanya. "Aku titip Dina ya, Pa. Nanti siang harus diantar lagi ke sekolah." Desi meminta dengan wajah masih ragu."Tenang saja, kamu harus percaya sama Papa, Desi. Tidak mungkin Papa menyakiti adikmu," ujar Barry memberikan senyuman."Baik, Pa. Desi mau masuk ke kelas dulu," pamit Desi sembari bersalaman dengan Barry. Tidak lupa gadis itu berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan sang Adik."Kamu harus baik-baik ya, jangan nakal. Kalau ada yang ingin berbuat jahat, kamu harus kabur." Desi menasihati dengan suara yang sangat pelan."Baik, Kak." Hanya itu yang dikatakan oleh sang adik, lalu memeluk erat tubuh Desi. Selanjutnya, gadis itu pun melangkahkan kaki pergi meninggalkan adik dan papanya berdua. "Yuk kita pergi sekarang!" ajak Barry sembari memegang tangan mungil Dina."Ayuk, Pa." Gadis kecil itu pun membalas genggaman tangan sang Papa. Barry kemudian
Barry dan Hera asik berpelukan hingga tidak menyadari bahwa gadis kecil itu sudah pergi karena ketakutan. Yang teringat dalam benak Dina waktu wanita licik itu mengambil bonekanya adalah ucapan dari sang Kakak yang mengingatkan untuk kabur kalau dalam bahaya. Saat pria tampan itu sudah lega karena Hera sudah mau mengerti, barulah dia teringat akan putrinya."Di mana Dina?" tanyanya kebingungan."Tadi ada di sini 'kan, Mas?" Bukan menjawab, Hera justru balik bertanya."Iya, aku tahu. Memang tadi Dina ada di sini, lantas sekarang dia ke mana? Gawat kalau sampai dia hilang," ujar Barry mulai panik. Barry dan Hera saling pandang dengan cemas sebelum segera berkeliling mencari Dina. Mereka berlari ke berbagai arah di dalam mall yang ramai."Barry, coba cek di toko mainan. Mungkin Dina ke sana," kata Hera berpura-pura panik. Pria itu mengangguk, "Baik, kamu coba cari di dekat food court. Dia suka es krim."Mereka berpencar. Barry memasuki toko mainan dengan langkah tergesa-gesa. Matanya