"Sebelum itu, perkenalkan namaku Aarav. Aku adalah tunangan Hera, sebab itu aku mengajakmu untuk bekerjasama. Aku ingin dia membayar semua sakit hati yang aku rasakan," ujar Aarav tanpa berbasa-basi lagi.
Freya menatapnya dengan rasa heran dan sedikit was-was. Aarav, pria berwajah tegas dengan tatapan mata tajam, tampak sangat serius. Dia baru saja bertemu, dan langsung memulai percakapan yang mengarah ke situasi begitu tegang dan penuh emosi. "Apa maksudmu, Aarav? Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian berdua?" tanyaku perlahan, mencoba memahami situasi. Aarav menghela napas panjang, lalu mulai bercerita dengan nada yang penuh penekanan. "Hera dan aku sudah bertunangan selama dua tahun. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Kami merencanakan masa depan bersama, saling mendukung karier masing-masing, dan berusaha mengatasi berbagai rintangan. Namun, beberapa bulan terakhir ini, dia mulai berubah. Dia sering menghindar, tidak terbuka, dan ada beberapa hal yang membuatku merasa curiga. Ternyata memang benar, dia berselingkuh dengan pria yang sudah menjadi mantan suamimu." Freya masih mendengarkan dengan seksama, mencoba menyusun potongan-potongan cerita yang disampaikan Aarav. "Lalu, apa yang membuatmu begitu marah hingga ingin membalas dendam? Padahal, harusnya kamu bersyukur sudah mengetahui keburukan sebelum menikah dengannya." Wajah Aarav berubah semakin kelam. "Aku menemukan bahwa Hera berselingkuh. Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali. Dengan orang yang berbeda-beda. Aku merasa dikhianati dan dipermalukan. Aku mencintainya dengan tulus, tapi dia menginjak-injak perasaanku. Itu sebabnya aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan. Aku butuh bantuanmu untuk melakukan itu." Kata-katanya mengandung rasa sakit yang dalam, namun juga keinginan untuk membalas dendam yang berbahaya. Freya merasa dilema. Di satu sisi, dia bisa memahami rasa sakit yang dirasakan Aarav. Tapi di sisi lain, dia tahu bahwa membalas dendam bukanlah solusi yang tepat. "Aarav, aku mengerti perasaanmu. Tapi, membalas dendam hanya akan memperburuk keadaan. Bukankah lebih baik jika kita mencari solusi yang lebih bijak?" usul Freya hati-hati. Namun, Aarav menggeleng tegas. "Tidak, aku sudah memikirkannya. Hera harus membayar atas apa yang telah dia lakukan. Aku tidak bisa melepaskannya begitu saja. Kamu harus membantuku." Freya terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk merespons. "Aarav, apa yang kamu rencanakan? Aku butuh tahu detailnya sebelum memutuskan untuk terlibat." Aarav menatap Freya dalam-dalam, lalu berkata dengan nada yang lebih tenang, tapi tetap tegas, "Aku ingin mengungkapkan semua keburukannya di hadapan teman-teman dan keluarganya. Aku ingin dia merasa malu dan menyesal. Aku membutuhkanmu untuk membantu mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhannya dan menyiapkan segala sesuatunya untuk saat yang tepat. Aku berharap dengan begitu dia akan memohon maaf padaku." Rencananya terdengar kejam, namun tampaknya Aarav sudah bulat dengan keputusannya. Freya merasa terjebak dalam situasi yang sulit. "Aku memang merasakan apa yang kamu rasakan, mungkin lebih sakit. Tapi, aku tidak ingin terlibat dengan pembalasan dendammu yang mungkin tidak akan ada gunanya." Sebenarnya dalam hati kecil Freya, dirinya juga tidak terima dengan perlakuan Barry. Namun, untuk membalas dendam dirinya juga tidak bisa melakukannya. Aarav mulai tersenyum sinis. "Aku akan memberikanmu waktu untuk memikirkan semuanya. Tidak harus sekarang, ingat ... aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan jika kamu mau terlibat dengan rencanaku." Pria itu berbicara sembari memberikan kartu namanya. "Kalau kamu berubah pikiran, hubungi saja aku." Mereka berdua pun berpisah setelah percakapan itu, dengan pikiran yang penuh pertimbangan. Freya merenungkan apa yang telah disampaikan Aarav, mencoba memahami posisinya, sekaligus mempertimbangkan moralitas dari tindakan yang ingin dia lakukan. Membalas dendam memang bisa memberi kepuasan sesaat, tetapi sering kali hanya membawa lebih banyak masalah dan penderitaan. Hari demi hari berlalu, dan Freya terus bergulat dengan pikirannya sendiri. Hingga suatu hari, Desi membutuhkan uang untuk membayar sekolah. Sedangkan Barry belum juga memberikan jatah bulanan yang seharusnya sudah Freya terima. Dia juga belum menerima gaji dari pekerjaannya menjadi cleaning service. Di saat pikirannya mulai buntu, wanita cantik itu pun memutuskan untuk berbicara dengan seseorang yang dia percaya bisa memberi nasihat yang bijak – sahabatnya, Maya. Maya adalah seseorang yang selalu berpikir jernih dan memberikan sudut pandang yang berbeda. "Maya, aku butuh bantuanmu," kata Freya ketika mereka bertemu di sebuah kafe. "Aku terjebak dalam situasi yang rumit dan butuh nasihatmu." Maya mendengarkan cerita Freya dengan seksama, tanpa memotong sedikit pun. Setelah selesai bercerita, Maya menghela napas panjang. "Ini situasi yang sulit, tapi aku pikir kamu tahu jawabannya sendiri. Membalas dendam bukanlah cara yang baik untuk menyelesaikan masalah. Itu hanya akan memperburuk keadaan dan membuatmu terjebak dalam lingkaran kebencian." "Aku tahu, tapi Aarav sangat yakin dengan rencananya. Aku tidak tahu bagaimana cara membujuknya untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, terlebih aku butuh uang untuk putriku. Selain membantunya, tidak ada lagi pekerjaan yang bisa membuatku mendapatkan uang lebih cepat. Aku tidak mau sekolah Desi terputus begitu saja." Maya tersenyum lembut. "Terkadang, yang dibutuhkan seseorang hanyalah waktu untuk merenung dan dukungan dari orang terdekat. Beri dia kesempatan untuk melihat bahwa ada cara lain untuk mengatasi rasa sakitnya. Jika dia masih tidak bisa melihatnya, maka mungkin dia harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya sendiri." Freya mengangguk, merasa sedikit lega setelah berbicara dengan Maya. Mungkin itu adalah nasihat yang dia butuhkan – memberi Aarav waktu untuk merenung dan menunjukkan bahwa Freya peduli dengan perasaannya, namun tidak setuju dengan cara yang ingin pria itu tempuh. Malam itu, Freya menelepon Aarav dan mengajaknya untuk bertemu lagi. Mereka bertemu di taman, tempat yang tenang dan sepi, jauh dari keramaian. Aarav tampak gelisah, namun dia tetap datang. "Aarav, aku sudah memikirkan semuanya," kata Freya membuka percakapan. "Aku mengerti perasaanmu dan rasa sakit yang kamu rasakan. Tapi, aku tidak bisa membantumu untuk membalas dendam. Aku tidak bisa menjadi bagian dari sesuatu yang hanya akan membawa lebih banyak kebencian." Aarav terdiam, tatapannya kosong. Freya melanjutkan, "Mungkin kita bisa mencari cara lain. Cara yang lebih baik untuk menyelesaikan ini. Jika kamu mau, aku akan selalu ada untuk mendukungmu dan membantumu melewati masa sulit ini. Tapi bukan dengan cara yang kamu rencanakan." Aarav menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa begitu marah dan terluka." "Aku mengerti," kata Freya pelan. "Tapi membalas dendam tidak akan menyembuhkan luka itu. Kita bisa mencari cara lain, mungkin berbicara dengan Hera secara jujur, atau mencari bantuan dari orang lain yang lebih berpengalaman dalam hal ini." Aarav mengangkat wajahnya, tatapannya sedikit melunak. "Baiklah, aku akan mencoba. Tapi, aku butuh waktu." "Sebenarnya aku juga butuh bantuanmu, bolehkah aku meminjam uangmu?" tanya Freya lirih."Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Aarav menatap lekat wajah Freya. Wanita cantik itu pun tidak enak hati menyebutkan minimal uang yang diinginkan. "Katakan saja, tidak usah sungkan." Ternyata raut wajah Freya terbaca jelas oleh Aarav."Lima juta rupiah," sahut wanita cantik itu sesuai yang dibutuhkan."Sebutkan nomor rekeningmu," kata Aarav tanpa berpikir panjang lagi. Hal itu membuat Freya semakin tidak nyaman. Dia tidak ingin mendapatkan pinjaman uang tersebut dengan cuma-cuma, terlebih wanita cantik itu tahu tentang pria tampan yang sengaja mendekatinya. "Aarav, aku tidak bisa begitu saja memberikan nomor rekeningku," jawab Freya, matanya memandang lurus ke arah Aarav.Aarav menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang kian memuncak. "Freya, dengarkan aku. Kamu bisa mendapatkan uang lebih jika mau menikah denganku. Kita bisa bekerja sama hingga kamu tidak perlu kekurangan uang lagi."Freya terkejut mendengar tawaran tersebut. "Menikah denganmu? Apa ini hanya te
Barry terus mengikuti mantan istrinya dari belakang, dia masih tidak terima karena melihat Freya barusan bersama seorang pria di taman."Jangan kira aku tidak tahu, kalau kamu memiliki pria selain diriku saat kita bersama dulu." Barry berbicara semakin ngelantur menurut Freya. Jelas saja wanita cantik itu tidak mau meladeni pria yang sudah menyakitinya itu."Kamu dari awal memang punya pria lain selain diriku 'kan?" cetusnya lagi. "Aku masih tidak mengerti apa yang kamu katakan, Barry. Sudah jelas-jelas kamu yang berselingkuh terlebih dulu. Kenapa kamu malah menuduhku?" cetus Freya dengan sorot tatapan mata yang begitu tajam."Sekarang, aku tidak punya waktu untuk membahas semua yang terjadi. Apa yang terjadi pada kita di masa lalu, tidak mungkin bisa diperbaiki lagi." Akhirnya Freya pun pergi ke kasir, membayar belanjaan yang sudah dibelinya. Namun, Barry justru tidak pergi juga dari hadapan wanita cantik tersebut. "Kamu masih berkilah bahwa kamu tidak mengkhianatiku terlebih dulu
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Barry menoleh, dan Freya melihat celah untuk membebaskan diri. Dengan tenaga yang tersisa, dia menarik tangannya dan berhasil melepaskan diri dari genggaman Barry. Sebuah suara pria terdengar dari arah pintu. "Ada apa ini?" tanya pria itu dengan tegas. Freya menoleh dan melihat Aarav berdiri di sana dengan raut wajah serius.Barry mundur selangkah, jelas terganggu oleh kehadiran saksi yang tidak diharapkannya. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan kami," kata Barry dengan nada defensif.Freya segera bergerak mendekati Aarav, merasakan sedikit rasa aman dengan kehadirannya. "Dia menggangguku, Aarav. Mohon bantuannya," kata Freya dengan suara yang masih gemetar.Aarav menatap Barry dengan tajam. "Aku rasa sebaiknya Anda pergi sekarang, Barry. Jangan membuat masalah di sini."Barry menatap Freya dan Aarav dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tahu kamu pasti akan datang membantu mantan istriku ini, makanya aku sengaja berbuat ulah."
Freya termenung atas apa yang dikatakan oleh pria tampan yang ada di sebelahnya. "Apa yang dikatakan memang benar, tapi aku harus memikirkan semuanya dengan matang." Aarav menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan seksama. Lalu dia berkata, "Aku berjanji akan menjagamu dan kedua anakmu, Freya. Asalkan kamu mau membantuku."Wanita cantik itu tidak menjawab, sebab yang jadi pertimbangannya juga kedua putrinya. Bagi Freya rasanya malas untuk menjalin hubungan lagi setelah kekecewaan yang didapatnya.Di sepanjang perjalanan tidak ada lagi obrolan antara mereka berdua, mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mereka sampai di rumah kontrakan Freya, barulah mobil pria itu berhenti. "Terima kasih sudah mengantar," ucap Freya sambil membuka pintu mobil. Tidak lupa wanita cantik itu mengambil barang belanjaannya. "Sama-sama," jawab Aarav singkat, matanya sesaat tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumah Freya.Wanita cantik itu pun mengikuti arah pandang pria ya
Ternyata Desi memang cerdik juga, hingga berhasil membuat Hera pergi dari rumahnya. Dia mengambil seember air, lalu membuka pintu dan langsung menyiram wanita seksi yang sedari tadi membuat keributan. Desi tertawa puas setelah aksinya berhasil membuat wanita yang merusak rumah tangga orang tuanya terkejut dan basah kuyup. Hera, yang biasanya tampil anggun dan percaya diri, kini terlihat seperti singa betina yang marah."Apa-apaan kamu, Desi?! Kurang ajar kamu ya!" Hera berteriak sambil mengibaskan air dari bajunya yang basah.Desi tetap berdiri di depan pintu dengan tangan di pinggang, memandang Hera dengan tatapan menantang. "Sudah cukup, Hera. Kamu tidak berhak datang ke rumahku dan membuat keributan seperti ini."Hera semakin marah, wajahnya memerah. "Kamu pikir kamu siapa, Desi? Beraninya kamu mempermalukan aku seperti ini! Aku tidak akan pernah melupakan ini!"Desi menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. "Itu urusanmu, Hera. Kalau kamu datang lagi ke sini untuk bikin masalah, k
Saat membuka pintu, sebuah tangan tiba-tiba melayang ke pipi kanan Freya. Dia terhuyung sejenak, merasakan panas menyengat di pipi kanannya. Dia mengangkat tangan untuk menutupi pipinya yang baru saja ditampar, sementara matanya membelalak melihat mantan mertuanya— Rea, berdiri di depannya dengan wajah merah padam."Apa-apaan ini, Bu Rea?" tanya Freya dengan suara bergetar, mencoba menenangkan diri.Rea mendekat dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lari begitu saja, Freya? Kau pikir bisa meninggalkan anakku tanpa konsekuensi?" seru Rea dengan nada penuh amarah. "Kau menghancurkan hidupnya, kau tahu itu!"Freya menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya. "Aku... Aku tidak punya pilihan lain, Bu. Keadaan kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi."Rea menggelengkan kepalanya dengan penuh kemarahan. "Tidak punya pilihan? Selalu ada pilihan, Freya. Kau memilih jalan yang paling mudah untukmu, tanpa memikirkan dampaknya pada orang lain."Freya merasa ma
Pagi-pagi sekali Freya sudah disibukkan oleh pekerjaan rumah, dia bangun terlebih dulu untuk menyiapkan sarapan untuk kedua putrinya sebelum berangkat bekerja. Desi selalu bangun lebih awal dan langsung bergegas ke dapur untuk membantu ibunya. "Mama, apa yang bisa Desi bantu?" tanyanya dengan mata berbinar. Freya tersenyum, merasa bangga pada anak sulungnya yang selalu rajin. "Desi, bisa tolong ambilkan jus dari kulkas? Dan jangan lupa, periksa apakah makanan untuk Dina sudah lengkap," pintanya lembut. Desi mengangguk dan segera berlari ke kulkas, mengambil jus jeruk yang segar.Desi kembali dengan membawa jus jeruk dan menaruhnya di meja. "Ini jusnya, Ma," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku cek makanan untuk Dina."Freya mengangguk. "Terima kasih, sayang. Coba lihat apakah sereal dan susunya sudah siap."Desi memeriksa meja makan dan memastikan semuanya lengkap. "Sereal dan susu sudah siap, Ma. Apa lagi yang perlu Desi lakukan?"Freya berhenti sejenak untuk berpikir. "Sepertiny
Bel sekolah sudah berdering, tandanya jam pelajaran akan segera dimulai. Dengan terpaksa Desi meninggalkan sang adik pada papanya. "Aku titip Dina ya, Pa. Nanti siang harus diantar lagi ke sekolah." Desi meminta dengan wajah masih ragu."Tenang saja, kamu harus percaya sama Papa, Desi. Tidak mungkin Papa menyakiti adikmu," ujar Barry memberikan senyuman."Baik, Pa. Desi mau masuk ke kelas dulu," pamit Desi sembari bersalaman dengan Barry. Tidak lupa gadis itu berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan sang Adik."Kamu harus baik-baik ya, jangan nakal. Kalau ada yang ingin berbuat jahat, kamu harus kabur." Desi menasihati dengan suara yang sangat pelan."Baik, Kak." Hanya itu yang dikatakan oleh sang adik, lalu memeluk erat tubuh Desi. Selanjutnya, gadis itu pun melangkahkan kaki pergi meninggalkan adik dan papanya berdua. "Yuk kita pergi sekarang!" ajak Barry sembari memegang tangan mungil Dina."Ayuk, Pa." Gadis kecil itu pun membalas genggaman tangan sang Papa. Barry kemudian