Freya merasa tersentuh oleh sikap peduli dan pengorbanan Desi. Di tengah kesulitan mencari pekerjaan, dia merasa bersyukur memiliki anak yang peduli dengan kesejahteraannya. Meskipun tertekan oleh situasi keuangan, Freya merasa semakin bersemangat untuk terus mencari pekerjaan demi memberikan yang terbaik untuk Desi.
Setelah menyeka air mata yang mengalir di pipinya, Freya memberikan senyuman hangat kepada Desi. "Terima kasih, sayang. Mama sangat beruntung memiliki anak sebaik kamu."Desi membalas pelukan ibunya dengan hangat. "Maafkan aku jika membuatmu khawatir, Ma. Aku akan berusaha keras untuk membantu Mama. Kita akan melewati semua ini bersama-sama."Mereka berdua duduk di ruang tamu, memeluk satu sama lain dalam keheningan yang penuh makna.Freya memutuskan untuk tidak menyerah. Dia akan terus mencari peluang, memperjuangkan masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan kedua putrinya. Dengan tekad yang kuat dan dukungan dari putrinya, dia yakin bahwa suatu hari nanti mereka akan melampaui segala rintangan dan meraih kebahagiaan yang mereka impikan."Mama jangan bersedih lagi, ya." Dengan lembut Desi mengusap pipi putih Freya.Freya tersenyum padanya dengan mata berkaca-kaca, terharu oleh kebaikan dan keteguhan hati putrinya. "Terima kasih, sayang. Mama akan berusaha."Desi mengangguk dengan mantap, menampilkan keberanian di matanya yang masih muda. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Ma. Aku percaya pada kita."Mereka berdua duduk di ruang tamu yang sederhana, meskipun suasana di sekeliling mereka dipenuhi dengan ketegangan finansial, tetapi ada kehangatan di antara mereka. Yang mampu saling menguatkan satu dan lainnya.Freya kembali memeluk Desi erat, merasakan kehangatan dan kekuatan dalam pelukan putrinya. "Kamu adalah cahaya dalam kegelapan, Desi. Mama tidak akan pernah bisa cukup berterima kasih padamu."Desi tersenyum, membalas pelukan ibunya dengan penuh kasih sayang. "Kamu juga adalah cahaya dalam hidupku, Ma. Bersama-sama, kita bisa mengatasi segala rintangan." Gadis cantik itu pun mulai dewasa karena keadaannya yang sekarang."Ya sudah, Ma. Nasi gorengnya dimakan, Dina mau ke kamar dulu nemenin adik bermain," pamitnya sembari tersenyum."Terima kasih ya, Din." Freya membalas senyuman putrinya."Sama-sama, Ma."Dengan cepat, wanita cantik itu menghabiskan nasi goreng sisa putrinya. Memang sedari perutnya lapar, tapi sengaja ditahan agar kedua putrinya tidak mengkhawatirkannya.Setelah nasi gorengnya tandas, wanita cantik mulai membuka ponselnya kembali untuk mencari lowongan pekerjaan yang cocok untuk dirinya. Apa pun itu, yang terpenting halal dan bisa menghidupi kedua putrinya hingga tidak putus sekolah."Jadi pelayan restoran kayaknya memang cocok untukku," ujarnya saat melihat ada lowongan pekerjaan di salah satu restoran. Akan tetapi, setelah melihat syarat dan ketentuannya dia mengurungkan niatnya. Wanita cantik itu tidak mau memakai rok mini dengan melepaskan hijab yang selama ini dikenakannya.Setelah beberapa menit mencari, wanita cantik itu mulai berpikir kembali. "Ternyata memang tidak mudah mencari pekerjaan yang cocok untukku."Meskipun sudah merasa lelah, tapi wanita cantik itu tidak pantang semangat karena tidak ingin masa depan kedua putrinya terlantar begitu saja.Setelah mencari kembali di sosial media, akhirnya Freya mendapatkan lima lowongan yang menurutnya cocok untuk dirinya yang cuma lulusan SMA."Besok pagi aku harus datang ke kantor lebih pagi, siapa tahu saja aku diterima." Freya mulai menutup ponselnya, lalu pergi ke kamar putrinya untuk memastikan keduanya sudah tidur. Dengan langkah perlahan, wanita cantik itu pun membuka pintu kamar Dina."Mereka sudah terlelap, alangkah baiknya aku juga segera istirahat agar besok pagi tidak kesiangan dan ngantuk." Freya bermonolog.***Pagi ini, Freya bangun dengan tekad baru. Dia berencana untuk datang ke kantor-kantor yang ada lowongan pekerjaannya, dia tidak pantang menyerah pada rintangan yang mungkin ada di depannya. Desi selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan moral dan kekuatan yang dia butuhkan.Sedangkan Dina ditugaskan untuk menemani sang adik, sebab gadis kecil itu saat ini sedang libur di sekolah."Titip adikmu ya, Din. Pokoknya jangan biarkan orang asing masuk ke rumah, meskipun itu ayah kalian. Tunggu Mama pulang, jangan ke mana-mana," ujar Freya menasihati anak yang paling tertua."Baik, Ma. Mama hati-hati di jalan ya," ujar Dina sembari mencium punggung tangan sang Mama."Kamu juga baik-baik di rumah ya," ujar Freya yang memang hatinya merasa khawatir jika meninggalkan kedua putrinya cuma berdua saja di rumah.Wanita cantik itu sudah berpakaian rapi berwarna hitam putih, wajahnya dirias setipis mungkin agar lebih menarik. Di bawah matahari yang semakin meninggi, Freya berjalan kaki dengan santai sembari menikmati indahnya jalanan yang dipadati oleh kendaraan yang berlalu lalang ke sana ke mari. Dalam benaknya, ingin sekali naik angkot. Namun, untuk saat ini wanita cantik itu harus berhemat hingga mendapatkan sebuah pekerjaan yang memang diinginkan.Di saat menyebrangi jalan, sebuah mobil tidak sengaja menabrak dirinya hingga terjatuh ke aspal. Beruntung tidak ada bagian tubuh yang terluka, dia segera bangkit dan membereskan diri."Maaf, aku gak sengaja. Kamu gak papa 'kan?" tanya pria yang baru saja turun dari mobil."Aku gapapa," sahut Freya tanpa melihat wajah pria yang ada di hadapannya."Lebih baik kita ke rumah sakit terdekat, takutnya ada luka dalam." Pria yang berpakaian rapi itu terus berusaha untuk mengajak Freya periksa.Akan tetapi, wanita cantik itu tetap menolak. Justru dengan cepat melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, jadi dia buru-buru pergi karena tidak ingin membuang-buang waktu."Aku benar-benar gapapa, aku pergi dulu karena buru-buru." Freya mulai melenggang pergi begitu saja tanpa memperhatikan wajah pria yang tadi menawarkan bantuan.Langkah kakinya semakin dipercepat, hingga wanita cantik itu sampai di salah satu perusahaan yang membutuhkan asisten pribadi. Sebenarnya wanita cantik itu tidak yakin akan diterima, tapi dia berpikir apa salahnya berusaha? Walaupun hanya lulusan SMA kalau sudah rizkinya, maka apa pun bisa saja terjadi.Dia melihat beberapa wanita yang mengantri, tidak ada satu pun yang berpenampilan seperti dirinya yang begitu sederhana. Kalau membandingkan seperti itu, rasanya Freya ingin menyerah tanpa harus memulai. Namun, semua tekad harus dilakukan ketika mengingat kedua putrinya.Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya giliran Freya masuk ke ruangan HRD untuk melakukan wawancara. Hatinya mulai berdegup kencang, dia grogi karena memang tidak memiliki pengalaman kerja."Duduk!" perintah pria yang saat ini duduk di kursi sambil membelakangi Freya. Lalu, kursinya mulai memutar hingga melihat wajah wanita cantik yang saat ini sedang berusaha untuk tenang dan menyingkirkan rasa groginya.Setiap pertanyaan yang diberikan tidak mampu dijawab oleh Freya, sebab dirinya memang tidak memiliki kemampuan apa pun serta informasi perusahaan yang saat ini didatanginya."Kamu ke sini hanya buang-buang waktuku saja, lebih baik kamu keluar sekarang juga! Wanita yang modal tampang sepertimu cuma pantas jadi wanita penghibur saja!" ujar pria berkulit sawo matang itu dengan sarkas.Freya merasa terpukul oleh kata-kata kasar dan merendahkan itu. Dia merasa seperti ditendang ketika dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan demi kebaikan dirinya dan Desi. Namun, dia tidak punya kekuatan untuk melawan, untuk membela diri.Dengan mata berkaca-kaca, dia mengangguk perlahan, berusaha menahan air mata yang ingin tumpah. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya mencoba mencari pekerjaan untuk memberikan yang terbaik bagi anak saya," ucapnya dengan suara gemetar.Namun, pria itu hanya menggelengkan kepala dengan sinis. "Cerita sedihmu tidak membuat saya tertarik. Saya tidak butuh karyawan yang lemah dan tidak berguna seperti kamu. Sekarang, keluar!"Freya bangkit dari kursinya dengan perasaan hampa. Dia merasa seperti dihantam oleh gelombang keputusasaan yang mendalam. Namun, dia tahu dia harus tetap kuat untuk Desi dan putri bungsunya.Dengan langkah gemetar, dia meninggalkan ruangan itu, hatinya berat oleh kegagalan dan rasa rendah diri yang memenuhi pikirannya. Di
"Sebelum itu, perkenalkan namaku Aarav. Aku adalah tunangan Hera, sebab itu aku mengajakmu untuk bekerjasama. Aku ingin dia membayar semua sakit hati yang aku rasakan," ujar Aarav tanpa berbasa-basi lagi. Freya menatapnya dengan rasa heran dan sedikit was-was. Aarav, pria berwajah tegas dengan tatapan mata tajam, tampak sangat serius. Dia baru saja bertemu, dan langsung memulai percakapan yang mengarah ke situasi begitu tegang dan penuh emosi."Apa maksudmu, Aarav? Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian berdua?" tanyaku perlahan, mencoba memahami situasi.Aarav menghela napas panjang, lalu mulai bercerita dengan nada yang penuh penekanan. "Hera dan aku sudah bertunangan selama dua tahun. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Kami merencanakan masa depan bersama, saling mendukung karier masing-masing, dan berusaha mengatasi berbagai rintangan. Namun, beberapa bulan terakhir ini, dia mulai berubah. Dia sering menghindar, tidak terbuka, dan ada beberapa hal yang membuatku merasa
"Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Aarav menatap lekat wajah Freya. Wanita cantik itu pun tidak enak hati menyebutkan minimal uang yang diinginkan. "Katakan saja, tidak usah sungkan." Ternyata raut wajah Freya terbaca jelas oleh Aarav."Lima juta rupiah," sahut wanita cantik itu sesuai yang dibutuhkan."Sebutkan nomor rekeningmu," kata Aarav tanpa berpikir panjang lagi. Hal itu membuat Freya semakin tidak nyaman. Dia tidak ingin mendapatkan pinjaman uang tersebut dengan cuma-cuma, terlebih wanita cantik itu tahu tentang pria tampan yang sengaja mendekatinya. "Aarav, aku tidak bisa begitu saja memberikan nomor rekeningku," jawab Freya, matanya memandang lurus ke arah Aarav.Aarav menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang kian memuncak. "Freya, dengarkan aku. Kamu bisa mendapatkan uang lebih jika mau menikah denganku. Kita bisa bekerja sama hingga kamu tidak perlu kekurangan uang lagi."Freya terkejut mendengar tawaran tersebut. "Menikah denganmu? Apa ini hanya te
Barry terus mengikuti mantan istrinya dari belakang, dia masih tidak terima karena melihat Freya barusan bersama seorang pria di taman."Jangan kira aku tidak tahu, kalau kamu memiliki pria selain diriku saat kita bersama dulu." Barry berbicara semakin ngelantur menurut Freya. Jelas saja wanita cantik itu tidak mau meladeni pria yang sudah menyakitinya itu."Kamu dari awal memang punya pria lain selain diriku 'kan?" cetusnya lagi. "Aku masih tidak mengerti apa yang kamu katakan, Barry. Sudah jelas-jelas kamu yang berselingkuh terlebih dulu. Kenapa kamu malah menuduhku?" cetus Freya dengan sorot tatapan mata yang begitu tajam."Sekarang, aku tidak punya waktu untuk membahas semua yang terjadi. Apa yang terjadi pada kita di masa lalu, tidak mungkin bisa diperbaiki lagi." Akhirnya Freya pun pergi ke kasir, membayar belanjaan yang sudah dibelinya. Namun, Barry justru tidak pergi juga dari hadapan wanita cantik tersebut. "Kamu masih berkilah bahwa kamu tidak mengkhianatiku terlebih dulu
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Barry menoleh, dan Freya melihat celah untuk membebaskan diri. Dengan tenaga yang tersisa, dia menarik tangannya dan berhasil melepaskan diri dari genggaman Barry. Sebuah suara pria terdengar dari arah pintu. "Ada apa ini?" tanya pria itu dengan tegas. Freya menoleh dan melihat Aarav berdiri di sana dengan raut wajah serius.Barry mundur selangkah, jelas terganggu oleh kehadiran saksi yang tidak diharapkannya. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan kami," kata Barry dengan nada defensif.Freya segera bergerak mendekati Aarav, merasakan sedikit rasa aman dengan kehadirannya. "Dia menggangguku, Aarav. Mohon bantuannya," kata Freya dengan suara yang masih gemetar.Aarav menatap Barry dengan tajam. "Aku rasa sebaiknya Anda pergi sekarang, Barry. Jangan membuat masalah di sini."Barry menatap Freya dan Aarav dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tahu kamu pasti akan datang membantu mantan istriku ini, makanya aku sengaja berbuat ulah."
Freya termenung atas apa yang dikatakan oleh pria tampan yang ada di sebelahnya. "Apa yang dikatakan memang benar, tapi aku harus memikirkan semuanya dengan matang." Aarav menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan seksama. Lalu dia berkata, "Aku berjanji akan menjagamu dan kedua anakmu, Freya. Asalkan kamu mau membantuku."Wanita cantik itu tidak menjawab, sebab yang jadi pertimbangannya juga kedua putrinya. Bagi Freya rasanya malas untuk menjalin hubungan lagi setelah kekecewaan yang didapatnya.Di sepanjang perjalanan tidak ada lagi obrolan antara mereka berdua, mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mereka sampai di rumah kontrakan Freya, barulah mobil pria itu berhenti. "Terima kasih sudah mengantar," ucap Freya sambil membuka pintu mobil. Tidak lupa wanita cantik itu mengambil barang belanjaannya. "Sama-sama," jawab Aarav singkat, matanya sesaat tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumah Freya.Wanita cantik itu pun mengikuti arah pandang pria ya
Ternyata Desi memang cerdik juga, hingga berhasil membuat Hera pergi dari rumahnya. Dia mengambil seember air, lalu membuka pintu dan langsung menyiram wanita seksi yang sedari tadi membuat keributan. Desi tertawa puas setelah aksinya berhasil membuat wanita yang merusak rumah tangga orang tuanya terkejut dan basah kuyup. Hera, yang biasanya tampil anggun dan percaya diri, kini terlihat seperti singa betina yang marah."Apa-apaan kamu, Desi?! Kurang ajar kamu ya!" Hera berteriak sambil mengibaskan air dari bajunya yang basah.Desi tetap berdiri di depan pintu dengan tangan di pinggang, memandang Hera dengan tatapan menantang. "Sudah cukup, Hera. Kamu tidak berhak datang ke rumahku dan membuat keributan seperti ini."Hera semakin marah, wajahnya memerah. "Kamu pikir kamu siapa, Desi? Beraninya kamu mempermalukan aku seperti ini! Aku tidak akan pernah melupakan ini!"Desi menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. "Itu urusanmu, Hera. Kalau kamu datang lagi ke sini untuk bikin masalah, k
Saat membuka pintu, sebuah tangan tiba-tiba melayang ke pipi kanan Freya. Dia terhuyung sejenak, merasakan panas menyengat di pipi kanannya. Dia mengangkat tangan untuk menutupi pipinya yang baru saja ditampar, sementara matanya membelalak melihat mantan mertuanya— Rea, berdiri di depannya dengan wajah merah padam."Apa-apaan ini, Bu Rea?" tanya Freya dengan suara bergetar, mencoba menenangkan diri.Rea mendekat dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lari begitu saja, Freya? Kau pikir bisa meninggalkan anakku tanpa konsekuensi?" seru Rea dengan nada penuh amarah. "Kau menghancurkan hidupnya, kau tahu itu!"Freya menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya. "Aku... Aku tidak punya pilihan lain, Bu. Keadaan kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi."Rea menggelengkan kepalanya dengan penuh kemarahan. "Tidak punya pilihan? Selalu ada pilihan, Freya. Kau memilih jalan yang paling mudah untukmu, tanpa memikirkan dampaknya pada orang lain."Freya merasa ma