Freya tidak bisa menerima itu, sebab Barry tetap harus bertanggung jawab atas kedua putrinya sekali pun mereka sudah bercerai. Wanita itu protes dan menegaskan kembali akan melapor ke polisi atas penganiayaan yang diterima dari mantan suaminya sebelum mereka bercerai. Hera tidak ingin calon suaminya berurusan dengan polisi karena sebentar lagi mereka akan menikah, jadi mau tidak mau harus menuruti permintaan Freya.
"Baik, aku tidak akan melarang Barry memberikan jatah bulanan kepada kedua putrinya. Namun, uang yang diberikan hanya separuh dari uang yang biasa kalian terima!" Hera mempertegas kalimatnya karena tidak ingin merugi. Freya tidak bisa menerima itu, sebab uang yang biasa diberikan saja masih kurang. Bagaimana bisa dia dan kedua putrinya bertahan dengan jatah uang bulanan yang dikurangi separuh? "Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Tidak akan ada jatah lagi untuk kalian," ancam Hera yang memiliki tipu muslihat yang bagus. Dia kemudian mengajak Barry pergi dari rumah kontrakan Freya karena sudah malas berdebat dengan mantan istri calon suaminya itu. Wanita cantik yang memiliki rambut lurus itu hanya mematung, melihat Barry dan Hera pergi menjauh dari halaman rumahnya. "Aku gak bisa terus begini, aku akan pergi mencari pekerjaan besok." Freya bermonolog. Dia mulai mencari-cari lowongan pekerjaan dari sosial media, memilih serta memilah pekerjaan apa yang cocok untuknya yang cuma lulusan SMA. Menyesal sudah pasti, sebab dulu memutuskan menikah dengan Barry dibandingkan melanjutkan ke perguruan tinggi. Padahal, dia sudah mendapatkan beasiswa. Malah menyia-nyiakan begitu saja hanya karena mengedepankan perasaannya pada pria yang tidak bertanggung jawab. Dia datang ke cafe yang membutuhkan pelayan, siapa tahu diterima kerja di sana. Kebetulan cafe elite itu sedang membuka lowongan. Setelah menunggu manajer cafe, ternyata sudah ada orang yang mengisi kekosongan pelayan di sana. Freya menarik napas panjang, lalu mengembuskan secara perlahan. "Harus ke mana lagi aku mencari pekerjaan?" gumamnya. Dia terus melangkahkan kaki untuk mencari tempat yang terdapat poster lowongan. Hingga hari mulai gelap, tapi Freya belum juga mendapatkan apa yang dia inginkan. Tubuhnya mulai kelelahan karena berjalan sepanjang hari, jadi dia memutuskan pulang untuk beristirahat. Untuk mencari pekerjaan akan dilanjutkan besok pagi. Dia kembali melangkahkan kakinya untuk sampai di rumah, sebab tidak mungkin wanita itu naik ojek atau kendaraan umum dengan uang yang telah tersisa sedikit. Jarak yang ditempuh lumayan jauh dari rumah, tapi dia terus melangkahkan kaki. Sesekali berhenti sejenak untuk istirahat jika perlu. Demi kedua anaknya, dia rela hingga seperti itu. Sesampainya di rumah, Freya disambut baik oleh kedua anaknya yang sedari tadi menunggunya. Desi yang merupakan anak pertama dan tertua langsung menanyakan bagaimana kabar mamanya? "Mama tidak apa-apa 'kan?" Desi terlihat cemas, pun Dina yang saat ini sudah jatuh ke dalam pelukan Freya. "Mama gapapa, kalian gak perlu khawatir. Oya, apakah kalian sudah makan malam?" tanya Freya saat teringat kalau dirinya telah meninggalkan kedua anaknya terlalu lama. "Kita sudah makan roti, Ma." Desi menyahut. Freya perlahan melangkahkan kaki ke dapur, kemudian dia berkata, "Kalian pasti masih lapar, biarkan Mama memasak nasi goreng untuk kalian." Sisa nasi tadi siang masih ada, sedangkan lauk pauknya sudah tandas. Jadi, tidak ada pilihan lain yang bisa dilakukan Freya selain memasak nasi goreng untuk kedua anaknya. Dia harus hemat karena untuk berjaga-jaga agar besok masih ada sisa uang yang bisa dibelikan makanan untuk Desi dan Dina. "Aku akan membantumu, Ma." Desi dengan sigap membantu Freya, memotong bawang putih untuk membuat bumbu nasi goreng. "Kamu jaga saja adikmu, Desi. Biar Mama yang masak, kasihan adikmu cuma duduk sendiri saja. Ajak main dia agar tidak bosan menunggu," perintah Freya saat melihat anak keduanya cuma memperhatikan saja. Tanpa berbicara lagi, Desi mematuhi perintah sang Mama. Tanpa sepengetahuan kedua anaknya, air mata Freya mengalir begitu saja. Meskipun di luar terlihat kuat, tetap saja jauh dari dalam hatinya begitu rapuh. Dia bingung memikirkan masa depan yang akan dilaluinya bersama kedua putrinya. Rasanya sudah tidak kuat, tapi wanita itu terus meyakinkan dirinya sendiri. Cuma pengandaian saja yang tersisa dalam benaknya malam ini. Andai saja dulu tidak terlalu bodoh dalam memilih keputusan, andai saja dulu tidak terlalu diperbudak oleh cinta. Dan masih banyak lagi pengandaian yang terus disesalinya. Freya segera menghapus kasar air mata sebelum dilihat oleh Desi dan Dina. Bagaimanapun, kedua putrinya tidak boleh melihat dirinya dalam keadaan terpuruk seperti ini. Selesai memasak nasi goreng, Freya dengan wajah gembira menyajikan untuk kedua putrinya. "Kalian makan yang banyak ya, Mama mau cuci piring dulu di dapur." Freya pamit pergi, tapi dihentikan oleh Desi. "Mama makan dulu sama kita, Mama pasti belum makan 'kan?" tanya gadis yang masih polos itu. "Kamu jangan khawatir, Mama sudah makan kok. Mending kalian habiskan saja makanannya, Mama juga sudah kenyang," dusta Freya. Semua dilakukan demi kebaikan kedua putrinya, juga tidak mungkin wanita itu ikutan makan dengan nasi goreng yang cuma cukup untuk dua orang saja. Desi begitu peka dengan pengorbanan serta dusta yang terlihat dari netra sang Mama. Jadi, dia memilih untuk menganggukkan kepala. Bersedia memakan nasi goreng yang sudah dimasak oleh Freya. Namun, satu hal yang tidak diketahui mamanya bahwa Desi memiliki sebuah rencana. Freya kemudian pergi ke dapur, mulai mencuci piring kotor yang ada. Selanjutnya, dia kembali memutar otak agar bisa mendapatkan uang untuk kedua putrinya. "Aku tidak boleh terus terpuruk dengan kondisiku saat ini, harus berupaya agar aku mendapatkan pekerjaan dan membahagiakan mereka berdua." Freya bermonolog. Dia kembali membuka ponsel yang sudah biasa disimpan dalam saku celananya. Freya kembali mencari lowongan pekerjaan lewat sosial media. Sejauh ini yang ditemukan lowongan pekerjaan sebagai pelayan, jadi dia berpikir mungkin memang pekerjaan itu cocok untuk dirinya yang cuma lulusan SMA. "Aku tidak boleh menyerah sebelum mendapatkan pekerjaan. Sekalipun aku ditolak berkali-kali, sebab masih banyak kesempatan yang ada." Freya terus menyemangati diri sendiri. Di saat jari jemarinya asik berselancar di sosial media, tiba-tiba saja kedatangan Desi mengangetkannya. "Desi!" panggilnya kaget. "Iya, Ma. Aku dan adik sudah makan," kata Desi memberikan piring kepada Freya. Namun, satu piring masih ada sisa nasi goreng di atasnya. "Kenapa gak dihabiskan?" tanya Freya heran. "Apa nasi gorengnya tidak enak?" timpalnya. Desi dengan cepat menggelengkan kepala. "Enak kok, Ma. Hanya saja aku sudah kenyang." Gadis itu berdusta, tapi tidak bisa berbohong pada Freya. "Kenapa kamu melakukan ini, Desi?" tanya wanita cantik berambut cokelat itu. "Aku gak ingin melihat Mama menahan lapar hanya karena kita. Paling tidak Mama juga harus makan meskipun sedikit, aku tidak mau melihat Mama sakit." Desi berbicara dengan netra berkaca-kaca. Freya langsung memeluk tubuh putrinya dengan perasaan yang penuh haru.Freya merasa tersentuh oleh sikap peduli dan pengorbanan Desi. Di tengah kesulitan mencari pekerjaan, dia merasa bersyukur memiliki anak yang peduli dengan kesejahteraannya. Meskipun tertekan oleh situasi keuangan, Freya merasa semakin bersemangat untuk terus mencari pekerjaan demi memberikan yang terbaik untuk Desi.Setelah menyeka air mata yang mengalir di pipinya, Freya memberikan senyuman hangat kepada Desi. "Terima kasih, sayang. Mama sangat beruntung memiliki anak sebaik kamu."Desi membalas pelukan ibunya dengan hangat. "Maafkan aku jika membuatmu khawatir, Ma. Aku akan berusaha keras untuk membantu Mama. Kita akan melewati semua ini bersama-sama."Mereka berdua duduk di ruang tamu, memeluk satu sama lain dalam keheningan yang penuh makna. Freya memutuskan untuk tidak menyerah. Dia akan terus mencari peluang, memperjuangkan masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan kedua putrinya. Dengan tekad yang kuat dan dukungan dari putrinya, dia yakin bahwa suatu hari nanti mereka aka
Freya merasa terpukul oleh kata-kata kasar dan merendahkan itu. Dia merasa seperti ditendang ketika dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan demi kebaikan dirinya dan Desi. Namun, dia tidak punya kekuatan untuk melawan, untuk membela diri.Dengan mata berkaca-kaca, dia mengangguk perlahan, berusaha menahan air mata yang ingin tumpah. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya mencoba mencari pekerjaan untuk memberikan yang terbaik bagi anak saya," ucapnya dengan suara gemetar.Namun, pria itu hanya menggelengkan kepala dengan sinis. "Cerita sedihmu tidak membuat saya tertarik. Saya tidak butuh karyawan yang lemah dan tidak berguna seperti kamu. Sekarang, keluar!"Freya bangkit dari kursinya dengan perasaan hampa. Dia merasa seperti dihantam oleh gelombang keputusasaan yang mendalam. Namun, dia tahu dia harus tetap kuat untuk Desi dan putri bungsunya.Dengan langkah gemetar, dia meninggalkan ruangan itu, hatinya berat oleh kegagalan dan rasa rendah diri yang memenuhi pikirannya. Di
"Sebelum itu, perkenalkan namaku Aarav. Aku adalah tunangan Hera, sebab itu aku mengajakmu untuk bekerjasama. Aku ingin dia membayar semua sakit hati yang aku rasakan," ujar Aarav tanpa berbasa-basi lagi. Freya menatapnya dengan rasa heran dan sedikit was-was. Aarav, pria berwajah tegas dengan tatapan mata tajam, tampak sangat serius. Dia baru saja bertemu, dan langsung memulai percakapan yang mengarah ke situasi begitu tegang dan penuh emosi."Apa maksudmu, Aarav? Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian berdua?" tanyaku perlahan, mencoba memahami situasi.Aarav menghela napas panjang, lalu mulai bercerita dengan nada yang penuh penekanan. "Hera dan aku sudah bertunangan selama dua tahun. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Kami merencanakan masa depan bersama, saling mendukung karier masing-masing, dan berusaha mengatasi berbagai rintangan. Namun, beberapa bulan terakhir ini, dia mulai berubah. Dia sering menghindar, tidak terbuka, dan ada beberapa hal yang membuatku merasa
"Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Aarav menatap lekat wajah Freya. Wanita cantik itu pun tidak enak hati menyebutkan minimal uang yang diinginkan. "Katakan saja, tidak usah sungkan." Ternyata raut wajah Freya terbaca jelas oleh Aarav."Lima juta rupiah," sahut wanita cantik itu sesuai yang dibutuhkan."Sebutkan nomor rekeningmu," kata Aarav tanpa berpikir panjang lagi. Hal itu membuat Freya semakin tidak nyaman. Dia tidak ingin mendapatkan pinjaman uang tersebut dengan cuma-cuma, terlebih wanita cantik itu tahu tentang pria tampan yang sengaja mendekatinya. "Aarav, aku tidak bisa begitu saja memberikan nomor rekeningku," jawab Freya, matanya memandang lurus ke arah Aarav.Aarav menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang kian memuncak. "Freya, dengarkan aku. Kamu bisa mendapatkan uang lebih jika mau menikah denganku. Kita bisa bekerja sama hingga kamu tidak perlu kekurangan uang lagi."Freya terkejut mendengar tawaran tersebut. "Menikah denganmu? Apa ini hanya te
Barry terus mengikuti mantan istrinya dari belakang, dia masih tidak terima karena melihat Freya barusan bersama seorang pria di taman."Jangan kira aku tidak tahu, kalau kamu memiliki pria selain diriku saat kita bersama dulu." Barry berbicara semakin ngelantur menurut Freya. Jelas saja wanita cantik itu tidak mau meladeni pria yang sudah menyakitinya itu."Kamu dari awal memang punya pria lain selain diriku 'kan?" cetusnya lagi. "Aku masih tidak mengerti apa yang kamu katakan, Barry. Sudah jelas-jelas kamu yang berselingkuh terlebih dulu. Kenapa kamu malah menuduhku?" cetus Freya dengan sorot tatapan mata yang begitu tajam."Sekarang, aku tidak punya waktu untuk membahas semua yang terjadi. Apa yang terjadi pada kita di masa lalu, tidak mungkin bisa diperbaiki lagi." Akhirnya Freya pun pergi ke kasir, membayar belanjaan yang sudah dibelinya. Namun, Barry justru tidak pergi juga dari hadapan wanita cantik tersebut. "Kamu masih berkilah bahwa kamu tidak mengkhianatiku terlebih dulu
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Barry menoleh, dan Freya melihat celah untuk membebaskan diri. Dengan tenaga yang tersisa, dia menarik tangannya dan berhasil melepaskan diri dari genggaman Barry. Sebuah suara pria terdengar dari arah pintu. "Ada apa ini?" tanya pria itu dengan tegas. Freya menoleh dan melihat Aarav berdiri di sana dengan raut wajah serius.Barry mundur selangkah, jelas terganggu oleh kehadiran saksi yang tidak diharapkannya. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan kami," kata Barry dengan nada defensif.Freya segera bergerak mendekati Aarav, merasakan sedikit rasa aman dengan kehadirannya. "Dia menggangguku, Aarav. Mohon bantuannya," kata Freya dengan suara yang masih gemetar.Aarav menatap Barry dengan tajam. "Aku rasa sebaiknya Anda pergi sekarang, Barry. Jangan membuat masalah di sini."Barry menatap Freya dan Aarav dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tahu kamu pasti akan datang membantu mantan istriku ini, makanya aku sengaja berbuat ulah."
Freya termenung atas apa yang dikatakan oleh pria tampan yang ada di sebelahnya. "Apa yang dikatakan memang benar, tapi aku harus memikirkan semuanya dengan matang." Aarav menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan seksama. Lalu dia berkata, "Aku berjanji akan menjagamu dan kedua anakmu, Freya. Asalkan kamu mau membantuku."Wanita cantik itu tidak menjawab, sebab yang jadi pertimbangannya juga kedua putrinya. Bagi Freya rasanya malas untuk menjalin hubungan lagi setelah kekecewaan yang didapatnya.Di sepanjang perjalanan tidak ada lagi obrolan antara mereka berdua, mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mereka sampai di rumah kontrakan Freya, barulah mobil pria itu berhenti. "Terima kasih sudah mengantar," ucap Freya sambil membuka pintu mobil. Tidak lupa wanita cantik itu mengambil barang belanjaannya. "Sama-sama," jawab Aarav singkat, matanya sesaat tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumah Freya.Wanita cantik itu pun mengikuti arah pandang pria ya
Ternyata Desi memang cerdik juga, hingga berhasil membuat Hera pergi dari rumahnya. Dia mengambil seember air, lalu membuka pintu dan langsung menyiram wanita seksi yang sedari tadi membuat keributan. Desi tertawa puas setelah aksinya berhasil membuat wanita yang merusak rumah tangga orang tuanya terkejut dan basah kuyup. Hera, yang biasanya tampil anggun dan percaya diri, kini terlihat seperti singa betina yang marah."Apa-apaan kamu, Desi?! Kurang ajar kamu ya!" Hera berteriak sambil mengibaskan air dari bajunya yang basah.Desi tetap berdiri di depan pintu dengan tangan di pinggang, memandang Hera dengan tatapan menantang. "Sudah cukup, Hera. Kamu tidak berhak datang ke rumahku dan membuat keributan seperti ini."Hera semakin marah, wajahnya memerah. "Kamu pikir kamu siapa, Desi? Beraninya kamu mempermalukan aku seperti ini! Aku tidak akan pernah melupakan ini!"Desi menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. "Itu urusanmu, Hera. Kalau kamu datang lagi ke sini untuk bikin masalah, k