Freya tidak bisa menerima itu, sebab Barry tetap harus bertanggung jawab atas kedua putrinya sekali pun mereka sudah bercerai. Wanita itu protes dan menegaskan kembali akan melapor ke polisi atas penganiayaan yang diterima dari mantan suaminya sebelum mereka bercerai. Hera tidak ingin calon suaminya berurusan dengan polisi karena sebentar lagi mereka akan menikah, jadi mau tidak mau harus menuruti permintaan Freya.
"Baik, aku tidak akan melarang Barry memberikan jatah bulanan kepada kedua putrinya. Namun, uang yang diberikan hanya separuh dari uang yang biasa kalian terima!" Hera mempertegas kalimatnya karena tidak ingin merugi. Freya tidak bisa menerima itu, sebab uang yang biasa diberikan saja masih kurang. Bagaimana bisa dia dan kedua putrinya bertahan dengan jatah uang bulanan yang dikurangi separuh? "Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Tidak akan ada jatah lagi untuk kalian," ancam Hera yang memiliki tipu muslihat yang bagus. Dia kemudian mengajak Barry pergi dari rumah kontrakan Freya karena sudah malas berdebat dengan mantan istri calon suaminya itu. Wanita cantik yang memiliki rambut lurus itu hanya mematung, melihat Barry dan Hera pergi menjauh dari halaman rumahnya. "Aku gak bisa terus begini, aku akan pergi mencari pekerjaan besok." Freya bermonolog. Dia mulai mencari-cari lowongan pekerjaan dari sosial media, memilih serta memilah pekerjaan apa yang cocok untuknya yang cuma lulusan SMA. Menyesal sudah pasti, sebab dulu memutuskan menikah dengan Barry dibandingkan melanjutkan ke perguruan tinggi. Padahal, dia sudah mendapatkan beasiswa. Malah menyia-nyiakan begitu saja hanya karena mengedepankan perasaannya pada pria yang tidak bertanggung jawab. Dia datang ke cafe yang membutuhkan pelayan, siapa tahu diterima kerja di sana. Kebetulan cafe elite itu sedang membuka lowongan. Setelah menunggu manajer cafe, ternyata sudah ada orang yang mengisi kekosongan pelayan di sana. Freya menarik napas panjang, lalu mengembuskan secara perlahan. "Harus ke mana lagi aku mencari pekerjaan?" gumamnya. Dia terus melangkahkan kaki untuk mencari tempat yang terdapat poster lowongan. Hingga hari mulai gelap, tapi Freya belum juga mendapatkan apa yang dia inginkan. Tubuhnya mulai kelelahan karena berjalan sepanjang hari, jadi dia memutuskan pulang untuk beristirahat. Untuk mencari pekerjaan akan dilanjutkan besok pagi. Dia kembali melangkahkan kakinya untuk sampai di rumah, sebab tidak mungkin wanita itu naik ojek atau kendaraan umum dengan uang yang telah tersisa sedikit. Jarak yang ditempuh lumayan jauh dari rumah, tapi dia terus melangkahkan kaki. Sesekali berhenti sejenak untuk istirahat jika perlu. Demi kedua anaknya, dia rela hingga seperti itu. Sesampainya di rumah, Freya disambut baik oleh kedua anaknya yang sedari tadi menunggunya. Desi yang merupakan anak pertama dan tertua langsung menanyakan bagaimana kabar mamanya? "Mama tidak apa-apa 'kan?" Desi terlihat cemas, pun Dina yang saat ini sudah jatuh ke dalam pelukan Freya. "Mama gapapa, kalian gak perlu khawatir. Oya, apakah kalian sudah makan malam?" tanya Freya saat teringat kalau dirinya telah meninggalkan kedua anaknya terlalu lama. "Kita sudah makan roti, Ma." Desi menyahut. Freya perlahan melangkahkan kaki ke dapur, kemudian dia berkata, "Kalian pasti masih lapar, biarkan Mama memasak nasi goreng untuk kalian." Sisa nasi tadi siang masih ada, sedangkan lauk pauknya sudah tandas. Jadi, tidak ada pilihan lain yang bisa dilakukan Freya selain memasak nasi goreng untuk kedua anaknya. Dia harus hemat karena untuk berjaga-jaga agar besok masih ada sisa uang yang bisa dibelikan makanan untuk Desi dan Dina. "Aku akan membantumu, Ma." Desi dengan sigap membantu Freya, memotong bawang putih untuk membuat bumbu nasi goreng. "Kamu jaga saja adikmu, Desi. Biar Mama yang masak, kasihan adikmu cuma duduk sendiri saja. Ajak main dia agar tidak bosan menunggu," perintah Freya saat melihat anak keduanya cuma memperhatikan saja. Tanpa berbicara lagi, Desi mematuhi perintah sang Mama. Tanpa sepengetahuan kedua anaknya, air mata Freya mengalir begitu saja. Meskipun di luar terlihat kuat, tetap saja jauh dari dalam hatinya begitu rapuh. Dia bingung memikirkan masa depan yang akan dilaluinya bersama kedua putrinya. Rasanya sudah tidak kuat, tapi wanita itu terus meyakinkan dirinya sendiri. Cuma pengandaian saja yang tersisa dalam benaknya malam ini. Andai saja dulu tidak terlalu bodoh dalam memilih keputusan, andai saja dulu tidak terlalu diperbudak oleh cinta. Dan masih banyak lagi pengandaian yang terus disesalinya. Freya segera menghapus kasar air mata sebelum dilihat oleh Desi dan Dina. Bagaimanapun, kedua putrinya tidak boleh melihat dirinya dalam keadaan terpuruk seperti ini. Selesai memasak nasi goreng, Freya dengan wajah gembira menyajikan untuk kedua putrinya. "Kalian makan yang banyak ya, Mama mau cuci piring dulu di dapur." Freya pamit pergi, tapi dihentikan oleh Desi. "Mama makan dulu sama kita, Mama pasti belum makan 'kan?" tanya gadis yang masih polos itu. "Kamu jangan khawatir, Mama sudah makan kok. Mending kalian habiskan saja makanannya, Mama juga sudah kenyang," dusta Freya. Semua dilakukan demi kebaikan kedua putrinya, juga tidak mungkin wanita itu ikutan makan dengan nasi goreng yang cuma cukup untuk dua orang saja. Desi begitu peka dengan pengorbanan serta dusta yang terlihat dari netra sang Mama. Jadi, dia memilih untuk menganggukkan kepala. Bersedia memakan nasi goreng yang sudah dimasak oleh Freya. Namun, satu hal yang tidak diketahui mamanya bahwa Desi memiliki sebuah rencana. Freya kemudian pergi ke dapur, mulai mencuci piring kotor yang ada. Selanjutnya, dia kembali memutar otak agar bisa mendapatkan uang untuk kedua putrinya. "Aku tidak boleh terus terpuruk dengan kondisiku saat ini, harus berupaya agar aku mendapatkan pekerjaan dan membahagiakan mereka berdua." Freya bermonolog. Dia kembali membuka ponsel yang sudah biasa disimpan dalam saku celananya. Freya kembali mencari lowongan pekerjaan lewat sosial media. Sejauh ini yang ditemukan lowongan pekerjaan sebagai pelayan, jadi dia berpikir mungkin memang pekerjaan itu cocok untuk dirinya yang cuma lulusan SMA. "Aku tidak boleh menyerah sebelum mendapatkan pekerjaan. Sekalipun aku ditolak berkali-kali, sebab masih banyak kesempatan yang ada." Freya terus menyemangati diri sendiri. Di saat jari jemarinya asik berselancar di sosial media, tiba-tiba saja kedatangan Desi mengangetkannya. "Desi!" panggilnya kaget. "Iya, Ma. Aku dan adik sudah makan," kata Desi memberikan piring kepada Freya. Namun, satu piring masih ada sisa nasi goreng di atasnya. "Kenapa gak dihabiskan?" tanya Freya heran. "Apa nasi gorengnya tidak enak?" timpalnya. Desi dengan cepat menggelengkan kepala. "Enak kok, Ma. Hanya saja aku sudah kenyang." Gadis itu berdusta, tapi tidak bisa berbohong pada Freya. "Kenapa kamu melakukan ini, Desi?" tanya wanita cantik berambut cokelat itu. "Aku gak ingin melihat Mama menahan lapar hanya karena kita. Paling tidak Mama juga harus makan meskipun sedikit, aku tidak mau melihat Mama sakit." Desi berbicara dengan netra berkaca-kaca. Freya langsung memeluk tubuh putrinya dengan perasaan yang penuh haru.Freya merasa tersentuh oleh sikap peduli dan pengorbanan Desi. Di tengah kesulitan mencari pekerjaan, dia merasa bersyukur memiliki anak yang peduli dengan kesejahteraannya. Meskipun tertekan oleh situasi keuangan, Freya merasa semakin bersemangat untuk terus mencari pekerjaan demi memberikan yang terbaik untuk Desi.Setelah menyeka air mata yang mengalir di pipinya, Freya memberikan senyuman hangat kepada Desi. "Terima kasih, sayang. Mama sangat beruntung memiliki anak sebaik kamu."Desi membalas pelukan ibunya dengan hangat. "Maafkan aku jika membuatmu khawatir, Ma. Aku akan berusaha keras untuk membantu Mama. Kita akan melewati semua ini bersama-sama."Mereka berdua duduk di ruang tamu, memeluk satu sama lain dalam keheningan yang penuh makna. Freya memutuskan untuk tidak menyerah. Dia akan terus mencari peluang, memperjuangkan masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan kedua putrinya. Dengan tekad yang kuat dan dukungan dari putrinya, dia yakin bahwa suatu hari nanti mereka aka
Freya merasa terpukul oleh kata-kata kasar dan merendahkan itu. Dia merasa seperti ditendang ketika dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan demi kebaikan dirinya dan Desi. Namun, dia tidak punya kekuatan untuk melawan, untuk membela diri.Dengan mata berkaca-kaca, dia mengangguk perlahan, berusaha menahan air mata yang ingin tumpah. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya mencoba mencari pekerjaan untuk memberikan yang terbaik bagi anak saya," ucapnya dengan suara gemetar.Namun, pria itu hanya menggelengkan kepala dengan sinis. "Cerita sedihmu tidak membuat saya tertarik. Saya tidak butuh karyawan yang lemah dan tidak berguna seperti kamu. Sekarang, keluar!"Freya bangkit dari kursinya dengan perasaan hampa. Dia merasa seperti dihantam oleh gelombang keputusasaan yang mendalam. Namun, dia tahu dia harus tetap kuat untuk Desi dan putri bungsunya.Dengan langkah gemetar, dia meninggalkan ruangan itu, hatinya berat oleh kegagalan dan rasa rendah diri yang memenuhi pikirannya. Di
"Sebelum itu, perkenalkan namaku Aarav. Aku adalah tunangan Hera, sebab itu aku mengajakmu untuk bekerjasama. Aku ingin dia membayar semua sakit hati yang aku rasakan," ujar Aarav tanpa berbasa-basi lagi. Freya menatapnya dengan rasa heran dan sedikit was-was. Aarav, pria berwajah tegas dengan tatapan mata tajam, tampak sangat serius. Dia baru saja bertemu, dan langsung memulai percakapan yang mengarah ke situasi begitu tegang dan penuh emosi."Apa maksudmu, Aarav? Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian berdua?" tanyaku perlahan, mencoba memahami situasi.Aarav menghela napas panjang, lalu mulai bercerita dengan nada yang penuh penekanan. "Hera dan aku sudah bertunangan selama dua tahun. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Kami merencanakan masa depan bersama, saling mendukung karier masing-masing, dan berusaha mengatasi berbagai rintangan. Namun, beberapa bulan terakhir ini, dia mulai berubah. Dia sering menghindar, tidak terbuka, dan ada beberapa hal yang membuatku merasa
"Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Aarav menatap lekat wajah Freya. Wanita cantik itu pun tidak enak hati menyebutkan minimal uang yang diinginkan. "Katakan saja, tidak usah sungkan." Ternyata raut wajah Freya terbaca jelas oleh Aarav."Lima juta rupiah," sahut wanita cantik itu sesuai yang dibutuhkan."Sebutkan nomor rekeningmu," kata Aarav tanpa berpikir panjang lagi. Hal itu membuat Freya semakin tidak nyaman. Dia tidak ingin mendapatkan pinjaman uang tersebut dengan cuma-cuma, terlebih wanita cantik itu tahu tentang pria tampan yang sengaja mendekatinya. "Aarav, aku tidak bisa begitu saja memberikan nomor rekeningku," jawab Freya, matanya memandang lurus ke arah Aarav.Aarav menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang kian memuncak. "Freya, dengarkan aku. Kamu bisa mendapatkan uang lebih jika mau menikah denganku. Kita bisa bekerja sama hingga kamu tidak perlu kekurangan uang lagi."Freya terkejut mendengar tawaran tersebut. "Menikah denganmu? Apa ini hanya te
Barry terus mengikuti mantan istrinya dari belakang, dia masih tidak terima karena melihat Freya barusan bersama seorang pria di taman."Jangan kira aku tidak tahu, kalau kamu memiliki pria selain diriku saat kita bersama dulu." Barry berbicara semakin ngelantur menurut Freya. Jelas saja wanita cantik itu tidak mau meladeni pria yang sudah menyakitinya itu."Kamu dari awal memang punya pria lain selain diriku 'kan?" cetusnya lagi. "Aku masih tidak mengerti apa yang kamu katakan, Barry. Sudah jelas-jelas kamu yang berselingkuh terlebih dulu. Kenapa kamu malah menuduhku?" cetus Freya dengan sorot tatapan mata yang begitu tajam."Sekarang, aku tidak punya waktu untuk membahas semua yang terjadi. Apa yang terjadi pada kita di masa lalu, tidak mungkin bisa diperbaiki lagi." Akhirnya Freya pun pergi ke kasir, membayar belanjaan yang sudah dibelinya. Namun, Barry justru tidak pergi juga dari hadapan wanita cantik tersebut. "Kamu masih berkilah bahwa kamu tidak mengkhianatiku terlebih dulu
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Barry menoleh, dan Freya melihat celah untuk membebaskan diri. Dengan tenaga yang tersisa, dia menarik tangannya dan berhasil melepaskan diri dari genggaman Barry. Sebuah suara pria terdengar dari arah pintu. "Ada apa ini?" tanya pria itu dengan tegas. Freya menoleh dan melihat Aarav berdiri di sana dengan raut wajah serius.Barry mundur selangkah, jelas terganggu oleh kehadiran saksi yang tidak diharapkannya. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusan kami," kata Barry dengan nada defensif.Freya segera bergerak mendekati Aarav, merasakan sedikit rasa aman dengan kehadirannya. "Dia menggangguku, Aarav. Mohon bantuannya," kata Freya dengan suara yang masih gemetar.Aarav menatap Barry dengan tajam. "Aku rasa sebaiknya Anda pergi sekarang, Barry. Jangan membuat masalah di sini."Barry menatap Freya dan Aarav dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tahu kamu pasti akan datang membantu mantan istriku ini, makanya aku sengaja berbuat ulah."
Freya termenung atas apa yang dikatakan oleh pria tampan yang ada di sebelahnya. "Apa yang dikatakan memang benar, tapi aku harus memikirkan semuanya dengan matang." Aarav menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan seksama. Lalu dia berkata, "Aku berjanji akan menjagamu dan kedua anakmu, Freya. Asalkan kamu mau membantuku."Wanita cantik itu tidak menjawab, sebab yang jadi pertimbangannya juga kedua putrinya. Bagi Freya rasanya malas untuk menjalin hubungan lagi setelah kekecewaan yang didapatnya.Di sepanjang perjalanan tidak ada lagi obrolan antara mereka berdua, mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mereka sampai di rumah kontrakan Freya, barulah mobil pria itu berhenti. "Terima kasih sudah mengantar," ucap Freya sambil membuka pintu mobil. Tidak lupa wanita cantik itu mengambil barang belanjaannya. "Sama-sama," jawab Aarav singkat, matanya sesaat tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumah Freya.Wanita cantik itu pun mengikuti arah pandang pria ya
Ternyata Desi memang cerdik juga, hingga berhasil membuat Hera pergi dari rumahnya. Dia mengambil seember air, lalu membuka pintu dan langsung menyiram wanita seksi yang sedari tadi membuat keributan. Desi tertawa puas setelah aksinya berhasil membuat wanita yang merusak rumah tangga orang tuanya terkejut dan basah kuyup. Hera, yang biasanya tampil anggun dan percaya diri, kini terlihat seperti singa betina yang marah."Apa-apaan kamu, Desi?! Kurang ajar kamu ya!" Hera berteriak sambil mengibaskan air dari bajunya yang basah.Desi tetap berdiri di depan pintu dengan tangan di pinggang, memandang Hera dengan tatapan menantang. "Sudah cukup, Hera. Kamu tidak berhak datang ke rumahku dan membuat keributan seperti ini."Hera semakin marah, wajahnya memerah. "Kamu pikir kamu siapa, Desi? Beraninya kamu mempermalukan aku seperti ini! Aku tidak akan pernah melupakan ini!"Desi menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. "Itu urusanmu, Hera. Kalau kamu datang lagi ke sini untuk bikin masalah, k
Sesampainya mereka di rumah, Dina masih teringat akan kejahatan Hera. Bahkan menimbulkan rasa trauma dalam dirinya.Freya mengelus rambut Dina dengan penuh kasih sayang, mencoba menenangkan gemuruh di hati putrinya. Malam itu, mereka berdua duduk di sofa ruang tamu, dibalut selimut tebal untuk mengusir dinginnya malam. Di luar, hujan rintik-rintik mengiringi suara lembut Freya yang terus berusaha menenangkan Dina."Nak, ingatlah selalu bahwa kamu aman sekarang. Mama akan selalu ada di sini untukmu," kata Freya sambil mengecup kening Dina.Dina mengangguk pelan, matanya mulai berat karena rasa kantuk. "Ma, apakah Hera tidak akan kembali lagi?"Freya tersenyum, meskipun ada kekhawatiran di dalam hatinya. "Tidak, sayang. Hera sudah pergi jauh dan tidak akan mengganggu kita lagi. Kita sudah aman di sini."Mata Dina perlahan terpejam, merasakan kehangatan dan kenyamanan dalam pelukan ibunya. Freya terus membisikkan kata-kata penghiburan, berharap bahwa perlahan-lahan luka di hati Dina akan
Sesampainya Freya di tempat tujuan, dia langsung menghampiri Juminten yang sedang kebingungan."Kamu sudah cari, mbok? Apa belum ketemu juga?" tanyanya cemas."Sudah, hanya saja non Dina tidak ditemukan." Juminten merasa bersalah karena lengah menjaga gadis kecil itu. "Lebih baik kita berpencar, Mbok. Siapa tahu saja nanti ketemu," ujar Freya. Pada saat itu juga, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal masuk. Wanita cantik itu pun tanpa pikir panjang langsung mengangkat panggilan tersebut. Dia yakin, pasti nomor asing itu akan memberitahu di mana anaknya berada.Memang benar, ternyata panggilan itu dari Hera. Dia meminta wanita cantik itu untuk menemuinya di suatu tempat. Bahkan dia mengancam akan berbuat sesuatu yang buruk pada Dina jika Freya tidak datang seorang diri. Dengan terpaksa, Freya mengiyakannya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada putrinya. Freya merasakan jantungnya berdetak kencang saat menutup telepon. Pikirannya berkecamuk denga
"Kamu jangan menangis ya, sebab aku akan menikah dengan Hera." Barry berbicara penuh jumawa.Freya terdiam tanpa berkata apa pun lagi, lalu mengambil undangan yang diberikan oleh mantan suaminya. "Kamu harus datang ke pernikahanku." Barry berbicara penuh harap. Freya memandangi undangan itu dengan tatapan kosong. Sampulnya berwarna emas dengan hiasan bunga-bunga yang tampak mewah."Aku pasti datang." Freya menjawab dengan tegas."Jangan lupa bawa pasanganmu juga," ucap Barry memberikan senyuman meremehkan."Tenang saja, aku akan membawa pasanganku." Freya menaruh undangan tersebut dalam tasnya."Sudah tidak ada kepentingan lagi 'kan?" tanya Freya sinis. "Kalau memang sudah tidak ada kepentingan lagi, lebih baik kamu pergi sekarang juga." Dengan tegas wanita cantik itu mengusir mantan suaminya."Oh ... ternyata kamu sudah semakin sombong sekarang?" cetus Barry tidak terima dengan perlakuan mantan istrinya. Freya menatap Barry dengan dingin, bibirnya mengerucut dalam ekspresi yang pe
Aarav merasakan gelombang ketegangan yang menjalar melalui tubuhnya. Kata-kata Sisca menggema dalam pikirannya, memunculkan kekhawatiran yang belum sempat dia tanggapi. Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada orang tuanya tentang kondisi Freya tanpa mengungkit masa lalunya yang rumit?Freya merasakan perubahan dalam diri Aarav, dan dengan lembut, dia meremas tangannya. "Aku tahu ini sulit," bisiknya, "Tapi aku yakin mereka akan mengerti, terutama setelah mereka mengenalku lebih baik."Aarav menatap mata Freya yang penuh keyakinan. Keberanian dan ketulusan dalam dirinya memberikan dorongan yang ia butuhkan. "Aku akan berbicara dengan mereka," jawabnya akhirnya, menghela napas panjang. "Orang tuaku memang sangat konservatif, tetapi mereka selalu menginginkan yang terbaik untukku. Aku yakin mereka akan menerima Freya dan anak-anaknya, meskipun mungkin butuh waktu."Sisca tersenyum penuh pengertian, mengetahui bahwa Aarav akan menghadapi tantangan yang berat. Tanpa pikir panjang, wanita sete
Malam itu menjadi malam yang membahagiakan bagi Aarav, sebab Freya sudah mau terbuka padanya. Bahkan dia merasa hubungan mereka semakin dekat saja, bahkan perihal pertemuan orang tua mereka masing-masing. Sebenarnya ada rasa takut dalam hati wanita cantik itu karena selama ini telah bersikap tidak baik pada kedua orang tuanya karena memaksa menikah dengan Barry. "Kalau memang kamu belum siap bertemu dengan kedua orang tuamu, biarkan aku saja yang menemui mereka untuk meminta restu," ujar Aarav memberikan usulan."Gak bisa, Aarav. Tidak semudah itu, kedua orang tuaku keras. Terlebih, mereka pasti tidak tahu kalau aku sudah berpisah dari Barry." Freya berusaha untuk tidak membuat Aarav kesulitan jika harus meminta restu, apalagi pernikahan mereka bisa dibilang palsu. "Lantas, bagaimana kita akan menjelaskan pada Mamaku?" tanya Aarav penasaran. "Aku juga gak punya solusi." Freya ikut kebingungan. Sudah tidak ada jalan keluar, jadi pria itu pun memiliki ide untuk memperlancar pernikah
Hera menghentikan mobil Aarav secara tiba-tiba, lalu mulai mengancam untuk tidak ikut campur dengan urusannya dengan Freya. "Aku tidak bermaksud ikut campur, aku dan dia akan menikah." Aarav mulai berterus terang. Hera terpaku sejenak, menatap Aarav dengan mata menyala penuh amarah. "Menikah? Dengan Freya?" suaranya bergetar, antara tidak percaya dan marah. "Kau pikir ini lelucon? Kau bahkan tidak tahu siapa Freya sebenarnya."Aarav menatap Hera dengan tenang, mencoba menenangkan diri. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Hera. Freya adalah wanita yang luar biasa, dan aku mencintainya."Hera menggelengkan kepala, bibirnya mengecil menjadi garis tipis. "Kau benar-benar tidak mengerti. Urusan ini jauh lebih rumit daripada yang kau bayangkan. Freya memiliki masa lalu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan sekarang, kau sudah terlibat terlalu dalam."Aarav merasakan ada sesuatu yang gelap dan tidak terkatakan di balik kata-kata Hera. "Apa maksudmu? Masa lalu apa yang begitu mengerika
"Sudah lama kenal Aarav? Dan kapan kalian jadian terus memutuskan untuk menikah?" tanya Jenar penasaran. Akan tetapi, Freya gugup dan tidak tahu harus menjawab apa. Beruntung pria tampan itu langsung menjawab dengan senyum tenang."Sebetulnya, kami baru kenal satu bulan," ujar Aarav dengan nada santai. "Saat itu, aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kami. Jadi, aku langsung mengajaknya menikah."Jenar tercengang mendengar jawaban dari putranya. "Satu bulan? Serius? Kenapa secepat itu?""Kan Mama sendiri yang bilang aku harus secepatnya menikah, ya sudah kalau kita sudah sama-sama cocok. Mau tunggu apalagi?" cetus Aarav memberikan senyuman."Ya gak gitu juga, Aarav. Tetap saja, kamu harus melihat dari segi bibit, bebet dan bobotnya. Gak bisa langsung ajak nikah begini. Kalau ternyata dia keturunan dari keluarga yang tidak baik-baik gimana?" bisik Jenar dengan nada yang begitu pelan agar tidak didengar oleh Freya. "Mama tenang saja, tidak usah khawatir. Aku yang lebih tahu ba
Freya masih menatap Aarav dengan mata membulat. Kepanikan bercampur kebingungan jelas terlihat di wajahnya. Aarav menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat."Freya, aku tahu ini mendadak dan mungkin membuatmu tidak nyaman. Tapi Mama itu sangat tradisional. Dia ingin bertemu dengan calon menantunya sebelum pernikahan, bahkan jika itu hanya pernikahan kontrak," jelas Aarav dengan nada tenang namun tegas.Freya menggeleng pelan. "Tapi Aarav, kita tahu pernikahan ini hanya formalitas. Mengapa harus melibatkan keluargamu? Tidak bisakah kita menjaga jarak dari hal-hal pribadi seperti ini?"Aarav terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. "Aku mengerti perasaanmu. Namun, Mama tidak akan menerima begitu saja kalau aku menikah tanpa mengenalkanmu. Dia sudah banyak berkorban untukku, dan aku tidak ingin mengecewakannya."Freya menggigit bibirnya, pertanda pikirannya sedang berkecamuk. Di satu sisi, dia memahami pentingnya memenuhi harapan keluarga Aarav. Namun, di sisi
Jelas saja Freya mengambil uang yang diberikan oleh mantan suaminya."Aku harap kamu tidak meminta uang ini kembali setelah diberikan kepada anak-anak." Freya kembali mengingatkan. Mantan suaminya menghela napas panjang. "Aku tahu, Freya. Aku tidak akan meminta kembali. Ini untuk mereka."Freya mengangguk pelan, matanya menunjukkan rasa lega meski ada bayang-bayang kekhawatiran. "Baiklah, terima kasih, Barry. Anak-anak sangat membutuhkan ini untuk masa depan mereka."Barry mengangguk. "Bagaimana kabar mereka?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Anak-anak baik-baik saja," jawab Freya. "Kamu gak usah khawatir, selama calon istrimu itu tidak mengganggu kehidupan kami lagi." Barry tidak bisa mengatakan apa pun lagi, melainkan berlalu pergi begitu saja. Freya menatap punggung Barry yang menjauh, menghela napas dalam-dalam. Setelah sejenak menenangkan diri, dia berjalan menuju kafe terdekat tempat dia berjanji untuk bertemu Aarav. Jalanan kota siang itu tidak terlalu ramai