Livyna luntang-lantung mencari dana untuk operasi bayinya yang berusia 7 bulan. Satu-satunya kelebihan yang dia miliki adalah ASI-nya yang melimpah. Berawal dari brosur mencari Ibu Susu, Livy melamar dan diterima karena hanya dia yang cocok. Sayang, sebelum kontrak ditandatangani, seorang pria menjegalnya. Kay, mantan kekasih yang dia khianati. "Aku tidak mau anakku meminum ASI dari wanita murahan!” “Kay… aku mohon! Izinkan aku. Aku butuh pekerjaan ini. Aku mohon….” Bagaimana nasib Livy dan anaknya? Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu?
View More“Kenapa sih Papa harus mengizinkan dia pergi menemui pria yang tidak jelas?” Itu merupakan pertanyaan awal mula Kay dan Richrd berdebat siang itu. Albern baru saja tertidur setelah sebelumnya menangis mencari Livy. Itu pula yang membuat Kay kesal. “Kenapa Papa harus melarang?” balas Richard. “Al butuh dia, Pa.” “Lalu mau sampai kapan Livy harus berada di sekitar kalian terus?” tanya Richard. “Pah?” Kay tidak habis pikir dengan pertanyaan Richard. Namun, dia juga tidak tahu harus berkata apa. “Dia anak angkatku, Kay. Tidak mungkin aku membiarkannya berdiam diri terus di rumah. Dia juga harus punya kehidupan. Dan kehidupannya tidak mungkin hanya berkutat dengan kesibukan menjaga Albern terus-terusan kan?” Kay mengusap wajahnya. “Kenapa? Kau kenapa?” tanya Richard santai, melihat ekspresi Kay yang tidak dapat berbicara. “Pa… dari awal sebenarnya aku juga tidak setuju Papa mengangkat dia jadi anak. Lihat kan? Setelah dia merasa aman, dia berencana akan pergi.” “Lalu di mana leta
“Apa maksudmu? Kamu mengusir Livy?” tanya Richard.Kay terdiam.“Jangan dengarkan apa kata Kay. Kalau kamu mau bertemu dengan teman kamu, ya pergi saja. Dan pulanglah ke rumah. Selama Papa masih hidup, kamu harus pulang.” Begitu Richard memberi nasihat pada Livy.Kay menelan ludahnya. Dia sudah terlalu kesal.Sementara itu, Livy bingung dengan sikap Kay yang terasa posesif. Apakah dia berpikir hidup Livy hanya berputar di sekitarnya saja hanya karena Albern? Kenapa dia begitu egois? Meskipun kesal, Livy tidak ingin berdebat. Dia lebih baik memilih diam dan tenang sebagaimana Richard menenangkannya.Makan malam itu berakhir dingin. Mereka pun pulang dengan keheningan.Sesampainya di rumah, Livy langsung mengurus Albern. Mengganti pakaian, menyiapkan susu dan menidurkannya.Kay masuk ke dalam kamar.Livy menatapnya, lalu kembali menatap Albern.“Biar aku saja yang menidurkan Al,” ujar Kay dingin.Livy beranjak.“Mama!” Albern menarik tangannya.“Al… sama Papa dulu, ya?” bujuk Livy. Dia
Livy seperti tidak percaya siapa yang dia lihat. “Reino?” sapanya. Dia pun berdiri.“Benar kamu Livy?” sapa Reino, mengulurkan tangan menjabat tangannya.“Iya… Astaga Reino!” Livy tersenyum.Reino menatap Albern, Kay dan Richard. “Anak dan suami?” sapa Reino.“Eh bukan… Ini Albern, anak Kay, saudara, ya saudara ku… dan Ini Papa angkatku,” jelas Livy. Reino menjabat tangan Richard begitu juga dengan Kay. Ia mengerutkan kening saat kembali menatap Livy. Ada banyak tanya yang muncul di benaknya. “Suami kamu mana?” tanya Reino.“Ahm, itu… kami sudah bercerai.”“Maaf, aku tidak tahu,” ucap Reino.“Tidak apa-apa. Oh ya Pa, ini Reino, teman SMAku dulu, kami cukup dekat waktu itu.” Livy mengenalkan pada Richard.Tiba-tiba saja raut wajah Kay berubah. Ada rasa tidak suka, tidak terima Livy seramah itu pada orang yang dia anggap asing.“Ohh ya… silakan duduk,” sambut Richard.“Maaf Om, tapi keluarga saya juga sedang menunggu di sana. Ayo Livy, bertemu dengan keluargaku. Sepertinya banyak hal y
Semakin hari Richard semakin sering memperhatikan Livy dan Kay. Ia tahu permasalahan mereka tidak mudah. Tetapi ia sadar cucunya membutuhkan orang tua yang utuh. Sampai kapan Livy dan Kay bisa hidup masing-masih dalam satu atap? Bahkan mereka tidak bisa menjadi saudara. Luka mereka di masa lalu terlalu dalam. Lalu bagaimana ke depannya nanti?Itu sebabnya malam ini adalah malam yang Richard rencanakan. Ia mengajak Livy dan Kay untuk makan malam bersama di restoran bintang lima. Alasannya dia ingin sesekali mereka menikmati kebersamaan makan di luar, sebenarnya lebih dari itu, dia ingin membuat Livy dan Kay bisa menjadi dekat.“Sudah semua?” tanya Richard berjalan ke ruang tengah.Kay terlihat gagah dengan penampilan yang begitu rapi dan necis. Ia sedang memperbaiki jam tangannya.“Wah! Tampan sekali menantu Papa!” puji Richard.Kay tersenyum. “Papa bisa saja,” ucapnya. “Ini tinggal menunggu Livy dan Al, Pa.”Livy pun datang bersama dengan Albern yang ingin berjalan sendiri. Wanita itu
Livy terkejut dengan kehadiran Kay. “Awas!” katanya tegas ingin menutup pintu.“Aku ingin bicara,” ucap Kay.Livy berusaha tetap menutup pintu, tanpa peduli ucapan Kay.“Livy, dengarkan aku dulu. Aku ingin bicara!” Kay masih menahan pintu, mencegah Livy menutupnya.“Apa? Tentang apa lagi?” tanya Kay.“Tentang yang tadi,” jawab Kay.“Tidak penting! Awas! Atau aku akan teriak sampai Papa Richard mendengar?” ancam Livy.“Dengar, aku hanya ingin meminta maaf,” jelas Kay.Livy menatapnya dengan tatapan yang menantang. “Oke, katakan,” suruhnya.“Aku minta maaf,” ucap Kay.“Sudah kan? Jadi, singkirkan tanganmu!”“Apa kau hanya melihat kesalahanku saja dan melupakan kesalahanmu di masa lalu? Kenapa kau begitu keras?” tanya Kay, yang terbawa kesal.Livy melepas tangannya dari pintu. Dia menatap Kay semakin tajam. “Kau sendiri yang sudah membunuhku dengan ego dan dendammu. Livy yang dari masa lalumu sudah mati. Kenapa aku harus meminta maaf padamu sekarang?” tanyanya membentak.Jawabannya itu m
Setelah memastikan Livy dan Albern tertidur lelap di kamarnya, Kay kembali mencoba fokus pada pekerjaannya. Ia terlihat sangat serius di depan komputer. Saat dia duduk menyandarkan punggungnya di kursinya yang empuk, dia baru sadar kalau dia sudah sangat fokus sejak tadi.‘Aku tidak pernah merasa setenang ini dan sefokus ini dalam bekerja. Entah kenapa aku merasa semua ini karena aku melihat Livy yang begitu lelap bersama Albern di kamarku, di dekatku, di sisiku…’ batin Kay.Wajah dan sorot matanya masih ke layar komputer, namun pikirannya malah penuh pada Livy dan anaknya.Kay melihat pergelangan tangan kirinya untuk melihat jam. Waktu sudah berjalan hampir satu jam. Belum ada tanda-tanda kalau Albern akan bangun. Begitu juga dengan Livy.Kay mendongakkan kepalanya. Dia mengusap wajahnya. Ia menghela napas yang panjang lalu membuangnya perlahan.Tiba-tiba Livy mendorong pintu kamar itu. Dia berjalan ke arah toilet.Kay yang sadar langsung mengubah posisi duduknya yang tak karuan. Sep
Livy langsung menggeser bahunya. Dia menatap tajam ke belakang. Melotot pada Kay pertanda tidak suka. “Apa yang kamu lakukan?!” bentak Livy geram. Kay panik. Dia menekan keningnya dan salah tingkah. “Kamu sadar apa yang kamu lakukan itu lancang?” lanjut Livy masih marah. “A- ku tiba-tiba teringat masa lalu,” jawab Kay panik. Dia langsung menghindar dari belakang Livy. “Masa lalu apa yang sedang kamu bahas?” tanya Livy dingin. Kaay bisa merasakan kebencian Livy padanya dan rasa tidak terima atas perbuatannya. Kay menatap mata Livy. Dia bertanya di dalam hati. Tidak mungkin Livy lupa dengan masa lalu dan kebiasaan mereka kan? “Kau pun salah orang. Livy yang dulu sudah mati. Terbunuh oleh kebencian dan dendammu. Lalu masa lalu mana yang kau sedang ingat?” tanya Livy dingin. Kay benar-benar hanya bisa terdiam. Ia merasakan kebencian Livy padanya yang tidak main-main. “Sekali lagi kamu kurang ajar, aku akan bilang ke Papa Richard!” tegas Livy. “Aku tidak mau, besok-besok ada yang
Livy menatap Kay. Entah kenapa hatinya justru mengingat kejahatan pria itu. Membuatnya enggan untuk menuruti ucapannya.Kay terdiam. Bukannya Livy merebahkan diri di sebelah Albern, ia justru membalik badan dan keluar dari kamar itu.Livy kembali duduk di sofa. Ia diam sedang pikirannya begitu berisik. Mengingatkannya akan perlakuan Kay yang mendorongnya, membuatnya pendarahan hingga keguguran, memenjarakannya dan tidak percaya kalau itu adalah anaknya. Rasanya sangat sakit jika dia mengabaikan semua sakit dan pahitnya itu dengan menuruti semua ucapan Kay, meskipun itu demi Albern.‘Aku memang mencintai Albern. Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Tetapi, aku berberat hati jika terus melakukan semua yang diminta olehnya. Laki-laki yang begitu tega dan tidak punya hati.’ Livy membatin.Sementara itu di kamar, Albern masih terus memanggil-manggil Livy. Kay mencoba menenangkannya.“Mungkin Mama Livy sedang ke toilet. Jadi, tidak apa-apa Al dan Papa yang di sini, ya?” bujuknya.Untuk
“Ka- kalian datang?” sambut Kay. “Papa…” sorak Albern mengulurkan tangannya pada Kay. Kay mendekati mereka. Ia langsung mengambil Albern dari Livy. Ia menatap wanita itu, namun Livy terlihat tak ingin menatapnya. “Silakan duduk…” ucap Kay canggung. Livy mengangkat tas jinjing berisi keperluan Albern. Reflek Kay membantunya hingga membuat kepala mereka terbentur satu sama lain. “Maaf maaf,” ucap Kay. Livy langsung berdiri. Dia mengusap keningnya. Kay langsung mengangkat tas itu dan menaruhnya ke sofa. Livy pun duduk di sana. Hening. Kay menggendong Albern sambil berjalan mendekati jendela kaca yang luas di ruangannya. Ia menunjukkan kota yang padat dari sana pada anaknya. “Al… Kamu tidak sabar ya mau mengambil alih semua pekerjaan Papa, sampai kamu benar-benar ingin ke kantor?” tanya Kay terkekeh sambil mencium pipi anaknya. “Lihat sana…” Kay menunjuk jalanan kota yang padat dari posisi mereka. Livy hanya duduk diam sambil memainkan handphone-nya. Kay meliriknya. Ia merasa
“Sabar ya Sayang… Mama akan berusaha mendapatkan uang segera. Kamu bertahan ya?” Livyna mengusap jejak airmata ketika melihat kondisi anaknya kian hari kian parah. Bayi tujuh bulan itu didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus, penyempitan saluran di antara lambung dan usus dua belas jari. Hal itu membuat bayinya tidak bisa mencerna makanan dan minuman dengan baik. Dia hanya bisa meminum ASI, yang tentu saja sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi hariannya. Kondisi bayinya bisa makin memburuk jika tidak segera ditangani. “Tuhan… aku harus mendapatkan uang dari mana?” batin Livy menangis. Dia tidak kuat melihat kondisi anaknya. Hidup yang dulunya kaya dan mentereng, kini miskin dan sebatang kara. Perusahaan keluarga bangkrut dan terlilit hutang. Kedua orang tuanya meninggal dalam jarak satu tahun. Setelah tiga bulan pasca melahirkan, suaminya pun pergi menghilang entah ke mana. Siang harinya, ketika Livy hendak membeli makan, tiba-tiba wanita cantik itu tidak sengaja menginjak ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments