Kedekatannya dengan mantan kekasih yang telah beristri, membuat Tiffany terjerumus ke dalam skandal yang membuat nama baiknya sebagai seorang pengusaha sekaligus figur publik tercoreng. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya lepas dari jeratan cinta sang mantan kekasih, bahkan dua mantan kekasih sekaligus. Pada waktu yang bersamaan dengan terjadinya skandal itu, cinta pertama Tiffany kembali muncul di kehidupannya. Kehadirannya membuat Tiffany kian terjatuh ke dalam dilema percintaan yang makin rumit. Desain cover by Amaya Ratisani Photo from Pexels (Hải Nguyễn)
Lihat lebih banyak“Tiffany itu perempuan munafik! Dia berzina sama suami saya!” teriak Rina yang nyaris kehabisan suara di ujung kalimatnya.
Ia berkacak pinggang tepat di depan panggung kafe dengan mata yang merah menyala.
“Dia itu perempuan nggak tau malu! Artis murahan yang bisanya cuma ngerayu suami saya!”
Di sampingnya, Satria sang suami berusaha membungkam mulutnya dengan menggenggam pergelangan tangannya begitu kuat.
Tak satu pun di antara satpam atau karyawan kafe yang mampu menghentikan keributan itu. Mereka malah dibuat maju mundur lantaran ada perasaan segan untuk mengusir Satria dan istrinya, lantaran Satria adalah produser film ternama di Indonesia.
“Bu, biar saya urus semuanya. Ibu di dalem aja,” ujar manajer kafe yang kini belingsatan mengikuti langkah Tiffany, wanita pemilik kafe yang akhirnya datang menghampiri Rina.
Seluruh perhatian pengunjung yang ada di lantai satu Stars Peach Cafe pun seketika tertuju pada Tiffany. Mereka menyipitkan matanya sambil mengamati wanita dengan paras bak artis Korea yang berjalan begitu elegan menghampiri keributan.
“Nah ini dia si perempuan murahan itu!” teriak Rina sambil mengangkat telunjuk ke arah Tiffany.
“Tutup mulut lu!” Satria menyentak istrinya dan kian menguatkan genggamannya. Wajah pria blasteran Italia itu seketika memucat setelah kedatangan Tiffany ke hadapannya.
Melihat ekspresi wajah Satria, Tiffany hanya tersenyum sinis sambil mengangkat dagu. Ia bahkan tak menghiraukan ucapan manajer kafenya yang terus berusaha membujuknya untuk kembali ke ruangan pribadinya.
“Belum puas?” celetuk Tiffany pada Rina. Suaranya sontak membuat suasana di lantai satu kafe itu seketika begitu sunyi.
“Kalau belum puas, silakan kamu terusin aja,” tambahnya.
Satria spontan membulatkan matanya dengan kening yang berkerut. Ia menyeringai kesal pada Tiffany.
Tiffany hanya tersenyum tipis dengan tatapan tajamnya pada Satria, pria blasteran Italia yang baru saja menciumnya dengan penuh gairah.
“Kamu tuh memang kurang ajar ya, Fan!” ucap Rina dengan bibir yang bergetar.
“Justru harusnya saya yang nanya sama kamu, belum puas kamu ngacak-ngacak rumah tangga saya?” Rina makin menaikkan intonasinya.
“Dasar cewek murahan!”
“Pelakor!”
“Rina, tutup mulut lu!” sentak Satria. Matanya menyala memelototi istrinya.
“Terus aja kamu belain selingkuhan kamu itu! Udah gila ya kamu, Mas!” Ia berusaha melepaskan genggaman Satria.
“Sekali lagi lu ngomong yang enggak-enggak, gua nggak bakalan segan-segan lagi buat ngegampar lu!” ancam Satria di dekat telinga Rina.
Rina mengerucutkan bibirnya. Raut wajahnya terlihat bergetar dengan menunjukkan kebencian yang makin mendalam pada Tiffany.
“Manjur banget ya pelet kamu, Fan!” ketus Rina.
Satria kian mengerahkan tenaga untuk menyakiti pergelangan tangan Rina hingga istrinya itu meringis kesakitan.
“Dalam kurun waktu sepuluh menit, kamu udah ngata-ngatain aku lebih dari hitungan jari loh, Mbak!” Tiffany kembali membuka suara. Kegetiran mengalir dengan begitu jelas pada suaranya yang parau.
“Nggak sekalian aja tuh pake mic? Biar kamu nggak usah capek-capek teriak lagi!” Tiffany tersenyum sinis sambil mengarahkan matanya ke panggung kafe.
Sejenak kedua wanita itu saling membisu dengan tatapan yang begitu sengit.
“Bahkan untuk satu jari pun, bagi aku rasanya berat banget untuk menjudge seseorang di depan umum,” sindir Tiffany sambil memicingkan mata.
Heru—manajer kafe—mencoba menyentuh bahu Tiffany untuk memintanya pergi. Namun, Tiffany spontan menyingkirkannya dengan kasar.
“Kamu nggak usah nyuruh saya buat masuk. Lebih baik kamu suruh dia keluar dari sini!” tegas Tiffany.
Seketika Heru terdiam dan menoleh pada Satria dengan mata yang cekung. Bagaimana mungkin ia berani mengusir istrinya Satria sementara pria blasteran itu sudah memampangkan wajah bengisnya pada Heru.
“Saya nggak mau keluar dari sini,” ujar Rina, “sebelum kamu duluan yang keluar dari kehidupan suami saya!”
Tiffany berdecak. Namun, matanya tak dapat menyembunyikan kepedihan.
“Mungkin cuma dengan cara yang seperti ini aja ya kamu bisa puas?” tanya Tiffany dengan nada satir.
“Kamu udah melimpahkan segala kemarahan kamu atas kelakuan suami kamu itu dengan cara mempermalukan aku dan menuduh aku di depan umum, Mbak!”
Rina menyeringai kesal. “Nuduh kata kamu, Fan?”
“Fan, kamu tuh nggak usah sandirwa-sandiwara lagi deh! Nggak usah sok bijak, sok alim atau sok polos lagi!”
“Saya tuh udah mumet banget sama kelakuan kalian selama ini di belakang publik! Kamu nggak usah nyangkal lagi deh kalau memang sebenernya kamu itu masih punya keinginan buat milikin Satria!” Ia menunjukkan telunjuknya tepat ke hadapan wajah Tiffany.
Plak!
Merasa tak terima atas perlakuan kasar Rina pada wanita yang ia cintai, Satria spontan menepis tangan Rina dari hadapan wajah Tiffany dengan kasar hingga menghasilkan bunyi yang nyaring.
“Ahhh!” Rina mengerang kesakitan dan membuat pengunjung kafe kian merasa geram pada Satria dan Tiffany.
Kedua satpam dan beberapa karyawan kafe pun makin kalang kabut. Mereka hanya bisa berdiri merapat dengan saling berusaha menutupi keributan itu dari pengunjung kafe, terutama menutupi wajah Tiffany selaku bosnya.
“Udah berapa kali gua bilang sama lu, lu tuh sama sekali nggak tau soal gua dan Fany!”
“Nggak tau gimana sih, Mas? Orang jelas-jelas tadi aku liat dengan mata kepalaku sendiri kalau kalian ciuman dengan begitu pan—!”
Plakkk!
Belum selesai dengan ucapanya, Rina segera dibungkam oleh tamparan yang cukup keras dari Satria hingga membuatnya terhuyung sesaat.
Semua orang sontak terkejut, tak terkecuali dengan Tiffany. Wanita berusia 28 tahun itu menutup mulutnya rapat-rapat. Air matanya meleleh, begitu terkejut atas hal yang baru saja terjadi di depan matanya.
“Aku ini istri kamu, Mas! Istri sah kamu!” teriak Rina dengan suara yang sudah tidak karuan.
“Kamu tuh bisa nggak sih sekali aja ngehargain aku? Sekali aja! Setidaknya sebagai ibu dari anak-anak kamu!” Rina memekik sambil memegangi pipinya yang sangat terasa sakit.
Wanita itu terlihat sudah kehilangan kekuatan untuk berbicara. Namun, Satria sama sekali tidak menunjukkan rasa penyesalan bahkan atas perlakuan kasar yang baru saja ia berikan kepada istrinya sendiri di depan umum.
“Justru gua yang seharusnya nanya sama lu! Lu bisa nggak sih ngehargain dia? Bisa nggak sih lu nggak usah teriak-teriak nggak jelas di depan umum? Lu tuh nggak tau siapa Fany! Tapi lu dengan seenaknya nuduh dia yang enggak-enggak? Justru lu yang seharusnya mikir! Kalau nggak ada perjodo—"
“Satria!” sergah Tiffany yang sudah begitu geram pada Satria.
“Stop!” Tiffany kehabisan kesabarannya.
“Jangan memperpanjang keributan!” ujarnya, “gue malu, Sat!” tambahnya seraya menunjuk dirinya sendiri.
Satria tak langsung bersuara. Ia malah larut dalam sorot mata Tiffany yang makin membuatnya merasa takut akan kehilangan wanita itu.
“Tolong pergi dari sini!”
Tanpa memastikan kepergian sepasang suami istri itu dari kafenya, Tiffany segera berlalu menuju ruangan pribadinya yang ada di lantai dua.
Rina tak lagi berkata-kata. Harga dirinya sudah habis terkoyak di tempat itu. Ia pun segera pergi meninggalkan kafe dengan langkah yang begitu gusar dan penuh kesedihan.
Sementara itu, Satria masih berdiam menatap punggung Tiffany yang makin kabur dari penglihatannya.
***
Tiffany membungkam di mejanya sambil menjentik bibirnya dengan cemas. Ia masih tidak menyangka jika dirinya baru saja terlibat dalam kejadian yang begitu memalukan beberapa menit yang lalu.
Tuk tuk tuk.
Pelan-pelan Heru membuka pintu ruangan pribadi Tiffany. Kepalanya terlebih dahulu menyembul dari balik pintu, memastikan bahwa bosnya itu telah mengizinkannya untuk masuk.
Setelah Tiffany menganggukan kepalanya, Heru pun masuk dengan langkah yang ragu ke dalam ruangan pribadi yang cukup luas itu dengan segala perabot yang lengkap layaknya sebuah apartemen.
“Saya malu banget buat ngucapin permintaan maafnya sendiri, Her,” lirih Tiffany sambil menjentik bibirnya tanpa melirik wajah manajernya.
Heru berdiri di depan meja Tiffany sambil merapatkan jemari kedua tangannya di depan perut.
“Ibu tidak perlu khawatir, saya sudah menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada pengunjung kafe.”
Sejenak Heru terdiam dengan gerakan matanya yang menunjukkan kebingungan.
“Kenapa?” tanya Tiffany, menyadari akan adanya sesuatu yang hendak disampaikan oleh Heru.
“Itu, Bu … sebenernya, eum ….” Heru gelagapan.
Tiffany menghela napas dalam-dalam.
“Jangan buat saya mati penasaran untuk nunggu maksud dari omongan kamu, Her,” ucap Tiffany dengan nada yang datar, padahal sebenarnya ia merasa begitu cemas dengan hal yang akan disampaikan oleh manajernya itu.
“S—sebenernya kita sedang kedatangan pengunjung yang spesial, Bu.” Heru meremas kedua tangannya yang bertautan.
Tiffany mengerutkan dahi. “Spesial? Maksudnya tamu undangan?” tanyanya dengan hati-hati tanpa melepaskan jarinya yang menjentik bibir.
“Bukan, Bu. Kita nggak ngundang dia, ta—”
“Siapa?” Tiffany menyela Heru yang terlalu bertele-tele dengan ucapannya.
“Artis Korea, Bu.”
Tiffany makin mengerutkan dahinya hingga sepasang alisnya nyaris menyatu. Ia bergumam sambil berusaha menebak sosok yang dimaksud oleh Heru.
Selama ini Tiffany memang dekat dengan beberapa artis Korea. Namun, hubungan petemanannya itu sudah begitu akrab sehingga rasanya akan terlalu naif jika mereka tidak langsung menghubungi Tiffany untuk makan atau minum di ruangan pribadinya.
“Kim Shin? Lee Yul?” tanya Tiffany yang kini meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja sambil mengetukkan jemarinya seperti tengah bermain piano.
Heru menggelengkan kepalanya, membuat Tiffany makin bingung.
“Bukan, Bu. Sepertinya yang ini belum pernah datang ke sini, dan saya rasa Ibu tidak dekat dengan dia.”
Tiffany sedikit menarik kepalanya ke belakang. Beberapa lama matanya berkeliling dan kembali menjentik bibirnya.
“Kevin Lee?” tanya Tiffany dengan mata yang membelalak.
Ia sontak bangkit dari kursinya dengan kedua tangannya yang bertumpu pada meja. Badannya condong ke depan dengan ekspresi wajah yang membuat Heru merasa ingin kembali menarik laporannya barusan.
Heru beberapa kali menelan ludahnya. “Iya, Bu. Dan sekarang dia masih ada di sini,” sahutnya dengan penuh kehati-hatian.
Tiffany membuang napas dengan kasar. Kali ini kecemasannya dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya. Ia menjentik lagi bibirnya sambil berjalan mondar-mandir di depan meja. Hingga akhirnya ia berjongkok sambil memegangi kepalanya dengan begitu frustrasi.
“Sial!”
[Flashback]Langit tak kunjung berhenti menangis. Derai airmatanya terus membasahi tanah, menggenangi jalan, membanjiri hati seorang gadis jelita yang saat ini tengah bermenung di depan jendela kamarnya.Ia tampak begitu nyaman dalam posisinya yang tengah memangku wajah. Bibirnya yang pucat tak sedikit pun melunturkan keindahan garis senyumnya.Tuk ... Tuk ..."Fan." Terdengar suara lelaki yang memanggil namanya di depan kamar.Tiffany spontan menoleh ke belakang. Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan ke arah pintu. "Iya, tunggu."Cklek."Kakak," ucap Tiffany dengan lirih sambil menyimpulkan kebahagiaan. Ia begitu girang saat berjumpa dengan kakaknya.Arga membalas sambutan adiknya dengan reaksi yang jauh lebih antusias. Ia melebarkan senyumnya dengan riang sambil memeluk Tiffany. Tangannya meraih kepala sang adik dan membelainya dengan penuh kehangatan.Arga mengecup puncak kepala adik satu-satunya itu. "Udah makan?"Tiffany mengangguk dengan girang. "Udah. Kakak gimana?""Udah,
"Berkunjung ke rumah keluarga, Pak?"Itulah pertanyaan kesekian kalinya yang terlontar dari mulut sopir yang kini tengah mengantarkan Kevin ke Bandung. Pertanyaan yang lagi-lagi memaksa Kevin untuk berbicara ketika suasana hatinya sama sekali tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."Iya," sahutnya singkat."Wah, seneng banget saya kalau lewat jalanan di sana." Sang sopir meneruskan pembicaraannya tanpa mencoba memahami kondisi kliennya. "Romantis banget itu suasananya."Kevin tersenyum pahit. Kata-kata yang diucapkan oleh sopir itu seketika kian membuatnya cemas. Setiap ingatan yang muncul tentang kota legendaris dalam hidupnya itu kini membuatnya berkeringat dingin."Nggak kebayang sih untuk saya, harga rumah di sana. Pasti miliaran, ya," ucap sang sopir.Kevin sama sekali tak menyahut sopir. Pikirannya berantakan. Banyak hal yang kini berkeliaran dalam benaknya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa tujuannya pergi ke Bandung.Untuk menyusul Tiffany? Rasanya mustahil untuk saat ini.
"Aduuuuh, La! Pelan-pelan atuuuh!"Tiffany menjerit sambil mencengkeram bajunya. Sementara itu, Damar dan istrinya terus terkekeh saat melihat tingkah konyol Tiffany yang terilihat tidak lagi memedulikan wibawanya sebagai seorang figur publik. Wanita itu malah terlihat seperti gadis kecil yang mengaduh menggemaskan."Aduuuh! Sakiit, Lala!""Lalaaa!""Damar! Lo jangan ngetawain gue! Ini sakit!"Wanita itu tidak berhenti mengoceh hingga bulir airmata terus mendarat di wajahnya. Tingkah wanita itu membuat Damar dan istrinya kian cekikikan sampai wajahnya memerah."Bentar, Fan," ujar Lala sambil merapikan perban yang telah disiapkannya.Bohong sekali jika sebelumnya Tiffany mengaku-ngaku bahwa luka yang ada di dahinya sama sekali tidak berarti apa-apa untuk dirinya. Nyatanya, setelah luka itu dibersihkan oleh Lala, rasa sakitnya bukan main.Tiffany memang benar-benar membenci luka yang menyakiti tubuhnya. Namun, kali ini, ia mengaduh kesakitan bukan semata-mata hanya karena luka yang ada p
Kim Shin menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja. Sejak Heru memulai presentasinya terkait bisnis Stars Peach Cafe, pria oriental itu memang tampak gelisah. Ia bahkan tidak terlihat benar-benar menyimak apa yang telah dipaparkan oleh Heru. Perasaannya begitu buncah dengan pikiran yang tidak karuan."Sudah?" tanyanya singkat setelah Heru kembali duduk di kursinya.Heru menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul. Ia sejenak melirik pada Dine. "Sudah, Pak."Pertemuan mereka memang terjadi sangat mendadak. Kim Shin tiba-tiba datang ke kafe dan mendesak Heru untuk mempresentasikan bisnis Stars Peach Cafe. Tidak banyak alasan yang dapat membuat Heru menolak permintaan itu, terlebih lagi dengan kondisi keuangan kafe yang memang tengah membutuhkan suntikan dana investor. Alhasil, meskipun Heru belum mendapatkan tanggapan dari Tiffany terkait permintaan Kim Shin yang begitu mendadak, Heru memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Ia menyanggupi permintaan Kim Shin.Kim Shin merapatkan
"Lu baik-baik aja, Fan?" tanya Geza setelah Tiffany masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok penumpang depan.Wanita itu terus saja menundukkan pandangannya. Tidak ada kehangatan yang biasanya terpancar dari wajah orientalnya itu. Bibirnya terus saja melengkung ke bawah dengan mata yang sayu.Tiffany tersenyum tipis. "Gue nggak mungkin baik-baik aja, Gez."Geza menarik napas dengan wajah gamam. "Tadi keliatannya Teh Yuna serius banget."Geza menelan ludahnya. Ia merasa gugup untuk memancing Tiffany agar ia mau menceritakan sesuatu tentang perbincangannya dengan Yuna barusan. Meskipun tidak begitu akrab, entah mengapa hatinya tergerak untuk memastikan agar Tiffany baik-baik saja. Geza tahu persis kalau Dimas sangat menyayangi Tiffany dan tidak ingin wanita itu terluka sedikit pun. Mungkin ini salah satu upaya yang dapat ia lakukan sebagai teman dari pria malang yang harus kehilangan nyawanya dalam insiden kecelakaan itu."Jadi ke DU-nya?" tanya Geza
Tiffany dan Yuna masuk ke dalam mobil kepunyaan kerabat Dimas. Keduanya tampak bersitegang. Yuna terus bersikap dingin dengan raut wajahnya yang sama sekali tidak memberikan ketenangan kepada Tiffany. Sementara itu, Tiffany terus menundukkan pandangannya sambil menahan tangis dan perasaan khawatir. "Jidat kamu kenapa?" tanya Yuna dengan datar. Tiffany refleks memegang perban pada keningnya. Ia menelan ludahnya sebelum melirik pada Yuna. Tiffany bingung harus menjawab apa. Mungkinkah Yuna belum membaca berita soal skandal terbarunya dengan ibu dan mertuanya Satria? "I—ini, kejeduk, Teh," balas Tiffany dengan gugup. "Gara-gara Dimas?" celetuk Yuna. Tiffany membulatkan matanya. Ia spontan bergumam kebingungan. "Bukan, Teh." Otaknya berupaya menemukan alasan yang tepat, Tiffany diam dengan ken
Dua puluh meter dari makam Dimas, Tiffany duduk sendirian di atas kursi kayu yang reyot. Kondisinya tampak begitu terpuruk. Air matanya belum juga surut menangisi kepergian Dimas yang begitu mendadak. Segunduk penyesalan dan perasaan bersalah begitu menguliti perasaannya. Ia terus dibayang-bayangi wajah Dimas. Wajah mantan kekasihnya yang terlihat begitu kecewa atas sikap abainya saat di rumah sakit. Wajah Dimas yang malang, yang tidak sempat berbicara dengannya untuk sebuah perpisahan. "Maafin aku, Dim ..." batinnya terus menjeritkan kata-kata itu. Kata-kata yang mungkin hanya akan memekakkan telinga Dimas. Tiba-tiba Geza dan Hesti datang menghampiri Tiffany. "Alhamdulillah pemakamannya berjalan lancar, Fan," ucap Geza sebelum duduk di samping Tiffany. Tiffany sontak mendelik kesal menanggapi pernyataan Geza. Sorot matanya begitu dingin seperti ingin membekap mulut salah satu kru Dimas Talkshow itu. "Husss!" bisik Hesti sambil menepuk lengan
Tiffany melamun di depan jendela kamar inap Kevin. Ia menyandarkan kepalanya pada bingkai jendela dengan tatapan yang kosong. Perasaan sedihnya yang sudah terlampau menyayat hati, membuat air matanya kering. Di belakangnya, Kevin menatap punggung wanita itu sambil beberapa kali memaksakan makanan agar masuk ke dalam mulutnya. Ia duduk di kasurnya dengan bahu menunduk. Pria itu benar-benar kehilangan nafsu makannya, apalagi dengan keadaan Tiffany yang kini sudah hampir dua jam tidak berbicara. "Fan, gue nggak tau seharusnya gue diem aja atau ngasih tau lo. Tapi daritadi hp lo nyala terus, ada yang nelpon tuh," ujar Juna dengan bimbang. "Siapa?" tanya Kevin tanpa bersuara saat Juna melirik kepadanya. Juna mengangkat bahu. "Gatau," jawabnya yang juga tanpa suara. Sementara itu, Reyhan yang baru saja datang sekitar setengah jam yang lalu benar-benar dibuat bingung akan situasi yang tengah terjadi. Ia merasa bimbang dengan setiap pergerakan yang dilakukannya. Apalagi saat melihat keada
[Flashback] "Fany! Sayang!" panggil Satria setelah membuka pintu rumah Tiffany. Pria itu berjalan dengan gontai. Kepalanya terasa begitu pusing, seperti ada gempa bumi yang mengguncangkannya. Beberapa kali tangannya pun mendarat di kening untuk memijiti kepalanya yang begitu sakit. "Fan! Lu di mana?" seru Satria dengan suara yang lebih kencang. Ia lantas berhenti di depan pintu kamar Tiffany. Pria itu tengah kehilangan kesadarannya. Ia mengalami halusinasi sejak mengonsumsi narkoba sekitar enam jam yang lalu. Hal bodoh itu dilakukannya karena ia merasa depresi setelah bertengkar hebat dengan Tiffany usai mengetahui bahwa wanita itu baru pulang dari rumah ibunya Dimas di Bandung. Satria tidak suka kalau Tiffany masih berhubungan dengan Dimas. Yang Satria tahu, Dimas hanyalah pelarian bagi Tiffany untuk mengecoh Rina, Carina, dan Lia atas hubungan terlarang yang masih dijalani Tiffany dengan dirinya. Namun, Satria tidak mengetahui bahwa sebenarnya itu hanyalah akal-akalan Tiffany s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen