Tiffany memangku wajahnya dengan siku yang bertumpu pada meja. Dengan perasaan yang penuh akan penyesalan, beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah.
Di sampingnya, Lauren duduk berhadapan dengan Satria, keduanya tampak begitu bersitegang.
“Lu jangan terlalu banyak ikut campur deh soal hubungan gua sama Fany! Lu tuh nggak tau apa-apa!” Satria menyeringai sambil menunjukkan telunjuknya.
“Ya, okei! Gue emang nggak tau apa-apa! Tapi mestinya lo tuh mikir, gimana dampaknya atas sikap lo itu buat Fany!” Lauren tak mau kalah menggerutu dengan Satria.
“Lo liat kan sekarang? Cuma butuh waktu beberapa jam aja nama Fany udah jelek! Lo liat dong trending sosmed! Apa lo tega liat si Fany disebut-sebut jadi pelakor?”
Satria sejenak menoleh pada Tiffany.
“Lu gila, ya? Ya mana ada gua tega!” balasnya dengan penuh emosi kepada Lauren.
“Ya terus sekarang lo mau apa, hah? Lo bakalan ngelakuin apa buat nyelesain masalah ini?”
"Nama lo aja udah jelas-jelaas ancur! Mana ada orang yang mau percaya lagi sama lo!” gerutu Lauren yang lantas membuat Satria berderam.
Plakkk!
Kedua wanita itu seketika tersentak oleh suara pukulan meja dari Satria yang tiba-tiba berdiri dengan begitu geram.
Tiffany ikut berdiri setelah Lauren bangkit dengan tubuh yang condong ke depan seperti tengah menantang Satria.
“Udah, Lau. Masalahnya nggak bakalan kelar-kelar kalau kalian ribut mulu!” keluh Tiffany dengan suara yang bergetar.
Satria mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya untuk menuruti ucapan Tiffany.
“Kita tuh mestinya pikirin masalah ini dengan kepala dingin, bukannya pake emosi!” ujar Tiffany dengan penuh penekanan.
“Udah! Duduk lagi!”
Ketiganya pun kembali duduk. Satria dan Lauren mengatur tarikan napasnya masing-masing.
“Okei. Sekarang gue mau tanya dulu soal Rina—”
“Lu kenapa malah mikirin dia dulu?” tukas Satria memotong ucapan Tiffany dengan kesal.
“Ya gue harus tau dulu kondisi Rina saat ini, Sat. Istri lo tuh sekarang udah bisa diajak bicara atau belum?"
"Masalahnya, kalau ternyata Rina memperpanjang permasalahan ini, terutama soal lo yang udah nampar dia di depan umum, terus dia ngebawa masalahnya ke jalur hukum … itu kan bakalan bikin masalahnya jadi lebih menjalar lagi!” Tiffany mengerutkan keningnya.
“Oke, gua paham maksud lu, Fan. Tapi sekarang yang kita permasalahin adalah bagaimana cara kita untuk membersihkan nama lu!”
“Come on, gua mohon … untuk kali ini jangan terlalu mikirin perasaan orang lain!” sahut Satria dengan kerutan di dahinya.
“Lagian kalau dia bawa masalahnya ke jalur hukum, ya lu juga bisa lah ngelaporin dia karena udah melakukan tindak pencemaran nama baik!”
“Lagian juga kalau kemarin dia nggak mencemarkan nama baik lu di depan orang-orang kafe, ya gua juga nggak bakalan lah nampar dia di depan umum,” tambah Satria.
Tiffany bergeming sambil menatap mata Satria dengan begitu kesal. Jika bukan karena memikirkan perasaan orang lain, mungkin sore kemarin pun Tiffany sudah menampar Satria berkali-kali sebelum pria itu berhasil mencumbunya dengan single lip kiss yang penuh dengan nafsu.
Tiffany terdiam dan membuang mukanya dari Satria sementara Satria hanya mendengkus seolah bosan dengan kelakuan Tiffany yang seperti itu.
“Oke, Fan. Gua pasti mikirin kok masalah si Rina itu. Istri gua!” seru Satria dengan nada yang penuh emosi dan penekanan.
“Tapi kali ini kita selesain dulu permasalahan lu. Karena dengan kelarnya permasalahan lu bisa berdampak juga ke persoalan antara gua sama Rina. Paham?”
Tiffany tak menanggapi, ia tahu jika Satria tidak akan pernah memedulikan masalahnya dengan Rina.
Tak kunjung menanggapi Satria, Tiffany malah mengarahkan matanya ke arah lain hingga Lauren dan Satria pun sama-sama dibuat kesal olehnya.
“Gimana kalau kita pake jasa akun gosip?” tanya Lauren, sontak membuat kedua orang yang ada di meja itu bersamaan menoleh kepadanya.
“Maksud, lo?” tanya Tiffany mengerutkan dahi.
“Maksud lu kayak jasa akun buzzer gitu?” tanya Satria yang kali ini suaranya mulai terdengar tenang.
“Exactly!” sahut Lauren sambil memetik jarinya pada Satria.
Satria tersenyum sambil mengusap dagunya.
“Gua pikir ini ide yang cukup bagus.” Satria mengarahkan pandangannya pada Tiffany. “Gimana?”
Tiffany memicingkan matanya saat menoleh pada Satria, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa sosok pria yang ada di hadapannya itu adalah Satria, seorang pria yang dulu begitu ia kagumi atas kebijaksanaannya dalam mengatasi setiap permasalahan.
“Apa yang bakal disebar di akun itu?” tanya Tiffany.
“Ya kita bakalan menarik kembali kepercayaan publik dengan menyebarkan hal-hal positif soal lo. Dan … I think it will be better kalau kita nyebarin isu yang negatif soal istrinya dia,” balas Lauren sambil menunjuk Satria.
Tiffany menyeringai tak habis pikir atas ucapan Lauren.
“Enggak!” sergah Tiffany.
“Kalau harus ngejelekin nama Rina, gue nggak setuju!” bantah Tiffany dengan geram.
“Fan?” Satria mengernyit heran pada Tiffany.
Tiffany berdecak kesal saat melirikkan matanya pada Satria.
“Gue sadar kalau memang sebenernya gue yang salah! Kalau waktu kemarin gue berusaha buat ngehindar dari lo, mungkin masalahnya nggak bakalan kayak gini!” rutuknya.
Satria menatap wajah Tiffany dengan penuh kekecewaan.
“Kalian tuh pikir baik-baik, ya! Apa dengan nyebarin isu negatif soal Rina bakalan nyelesain masalah ini dengan cepet?” tanya Tiffany bersungut-sungut.
“Yes! Mungkin bakalan cepet untuk membersihkan nama gue. Tapi setelahnya bakalan ada masalah lain dan hal-hal yang sebenernya nggak perlu di up ke publik, nggak perlu jadi konsumsi publik! Terutama soal istri lo, Sat!”
Tiffany berhenti sejenak dalam mata sayu blasteran milik Satria.
“Sat, mau gimana pun dia tuh tetep istri lo. Lo tuh harus sadar! Harga diri dia ada pada lo, dan juga sebaliknya. Jadi semestinya lo tuh mikirin soal dia juga! Ditambah lagi … lo tuh punya dua anak dari dia, dan suatu saat nanti anak-anak lo tuh bakalan liat jejak digital kalian!” Tiffany tampak begitu marah.
“Dan suatu saat nanti lo juga bakalan punya keluarga, lo punya suami … anak,” ujar Lauren pada Tiffany yang kemudian membuat Satria melirik manajer itu dengan sinis. Lauren pun spontan membalasnya dengan lirikan tajam.
“Iya gue tau! Maka dari itu, gue juga mau berusaha buat ngebersihin nama gue! Tapi tanpa menimbulkan permasalahan yang lain, apalagi menyinggung dan menjelekkan pihak lain!” sahut Tiffany dengan kesal.
“Gue rasa … dengan menyebarkan info positif soal gue pun itu udah cukup. Setidaknya seolah ada pihak-pihak yang membela gue,” tambah Tiffany dengan percaya diri, “and it must be going naturally.”
“Oh, no … I mean, it should look natural!” Tiffany mempertegas ucapannya dengan nada yang sarkas. “Ya dan sebelum itu … gue rasa gue perlu klarifikasi dulu ke publik?”
Satria dan Lauren saling bertatapan dengan skeptis.
***
“Udah baikan? Mau lanjut sekarang?” tanya Reyhan sambil meraih botol minum yang baru ditutup Kevin.
Kevin mengusap pelipisnya lagi yang masih terasa basah karena keringat dingin yang mengucur.
“Ya, lanjut sekarang aja.” Kevin mengangguk kecil saat berusaha mengabaikan rasa sakit yang masih berdenyut di kepalanya.
Setelah baru saja berkali-kali mendengar nama Tiffany yang keluar dari mulut Dimas, Kevin pun akhirnya kehilangan keseimbangan hingga nyaris tumbang saat berdiri. Alhasil, kegiatan syuting pun dihentikan untuk sementara.
“Sebelumnya saya minta maaf karena—”
“Eh gapapa, santai aja, Vin. Semuanya di luar kendali kita. Ya saya juga paham kok kalau badan lagi nggak fit tuh gimana rasanya,” kata Dimas memotong ucapan Kevin.
“Gapapa, kita lanjut sekitar 10 menit lagi aja. Biar kamu kumpulin dulu tenaga,” sambungnya.
Dimas merogok saku celananya, mengambil ponsel. Ia lantas segera mencari salah satu nama yang ada di kontaknya, nama yang ia tulis dengan emotikon hati.
Ia pun lantas menghubungi pemilik nomor itu.
Beberapa saat setelah mencoba menghubungi si pemilik nomor, Dimas berdecak.
“Kenapa, A?” tanya seorang kru wanita.
“Gapapa, si Fany hp-nya nggak dinyalain terus.”
Dimas kembali melakukan pencarian pada kontaknya sebelum akhirnya menghubungi salah satu nomor ponsel yang lain.
“Hallo?” tanya Dimas pada seseorang yang ditelepon.
“Ya, ada apa Dim?”
“Lo lagi sama Fany? Gue telpon dia nggak aktif terus.”
“Iya. Kenapa? Mau gue kasih telponnya ke Fany?”
“Ini kalian lagi di mana?”
“Lagi di rumah gue. Lagi ngomongin masalah itu. Lo pasti udah tau, kan?”
“Ya,” balas Dimas sambil membuang tatapan kesal, “Gue udah liat artikelnya barusan.”
“Ini gue lagi sama Tiffany, sama Satria juga.”
Dimas terperanjat kesal hingga nyaris menendang kursi yang ada di depannya. “Lo awasin tuh si Fany, jangan sampe salah pilih keputusan!”
Lauren terkekeh, mengerti maksud Dimas. “Ya, gue tau. Lo mau ke sini?”
"Hari ini Fany ada jadwal apa aja? Palingan entar malem gue samperin dia.”
“Kagak banyak, sih … hari ini cuma bikin endorse doang. Eum, terus nanti malem dia ada meeting sama rekan bisnisnya.” Lauren berhenti sesaat. “Entar gue suruh dia ngabarin lo deh, ya.”
“Oke, makasih.”
“Oke, bye.” Lauren mengakhiri panggilan.
“Bye.” Dimas terkekeh, bisa-bisanya Lauren si wanita beku itu menutup teleponnya lebih dahulu.
Di hadapan Dimas, Kevin duduk bergeming mendengarkan percakapan pria berkacamata itu dengan seseorang di ponselnya. Namun, Kevin hanya bisa terdiam sambil mengatur napasnya yang masih belum stabil. Beberapa kali ia meneguk air mineral lagi, mencegah rasa sesak di dadanya yang mungkin akan kembali lagi jika Dimas masih terus saja menyebut-nyebut nama Tiffany di hadapannya.
Tiffany bergeming sambil menatap ponselnya yang sedari kemarin sore belum dinyalakan. Bola matanya berputar menjelajah ke berbagai arah sambil kedua jemarinya menjentik bibir, seperti biasanya.Jika ia mengaktifkan ponselnya, maka ia harus siap untuk menerima segala pesan yang masuk ke media sosialnya, yang tentunya akan menyinggung skandal yang tengah menyeret namanya saat ini.“Gapapa, lu bales aja singkat-singkat. Tapi nggak perlu dibales juga gapapa sih.” Satria tiba-tiba bersuara setelah keluar dari kamar mandi.Tiffany melirik pria berwajah blasteran itu sebelum akhirnya ia memutarkan bola matanya dengan sinis. Ia pun segera melepaskan jemari dari bibinya dan sedikit mengangkat dagunya setelah membuang mukanya dari Satria.“Lu masih marah ya sama gua?” tanya Satria dengan lirih setelah ia duduk bersimpuh di samping Tiffany.Tiffany mengerucutkan bibirnya yang bergetar. “Ya iyalah!”“Iya maaf, gua salah … gua janji bakalan secepatnya selesain masalah ini.” Satria mengusap kepala
“Lo serius nggak bakalan ada wartawan di sana?” tanya Tiffany dengan skeptis sambil mengaplikasikan eyeshadow berwarna nude pada kelopak matanya. “Nggak ada, udah gue pastiin nggak bakalan ada wartawan yang ke sana,” sahut Lauren sambil menoleh ke kursi belakang. “Udah, lo tenang aja, udah gue atur semuanya. Mereka nggak bakalan dateng ke restoran, palingan juga ke kafe.” Tiffany hanya bergumam menanggapi penegasan Lauren. Ia tengah fokus pada riasan wajahnya. Jarang-jarang sekali Tiffany berdandan dengan make-up bold seperti saat ini. Ia sendiri pun merasa begitu geli saat melihat dirinya dari pantulan cermin, tampak lebih tua dari biasanya. “Pokoknya entar lo diem aja di ruangan lo, jangan ke mana-mana lagi. Kelar deh,” tegas Lauren. *** Di salah satu meja restoran berarsitektur khas Belanda, Kevin duduk bersama dengan ketiga pria lainnya. Seorang waiter berseragam rapi pun segera menyambut kedatangan mereka dan memberikan buku menu pada masing-masing orang. Namun, tak sepert
“Lu tuh ngapa, sih? Udahlah, lu nggak usah belaga peduli lagi sama dia! Lagian percuma, lu nggak bakalan mungkin balik lagi sama Fany!” “Yang ada juga elo! Lo masih nggak nyadar ya udah bikin Tiffany terlibat skandal?” Dimas mengarahkan telunjuknya pada Satria. “Lo kapan sih sadarnya? Lo udah beristri, tapi lo masih aja nggak bisa ngelepas Fany! Hasrat lo sama sekali nggak ngebuat Fany bahagia, justru bikin dia semakin terbebani!” Satria berdecak sambil tersenyum sinis menangkis telunjuk Dimas dari hadapan wajahnya. “Lu juga sama aja! Lu semakin membebani Fany kalau lu terus nguntit dia!" "Lu lupa? Kalian itu beda agama! Dan Fany nggak akan mungkin abai sama perbedaan itu!” pungkas Satria dengan senyum liciknya. Dimas mendengkus seraya membuang wajah. "Terserah lo mau bilang apa! Yang jelas Fany nggak akan pernah balik sama lo!" "Nggak akan pernah?" gumam Satria sambil menyeringai. Ia lantas cekikikan kecil dengan pikirannya sendiri. “Lo jangan pernah macem-macem lagi ya sama Fa
Lauren agak mendorong kedua wanita paruh baya itu untuk masuk ke dalam ruangan Tiffany. “Heh! Kamu nggak usah pegang-pegang saya, ya!” erang wanita bule. “Saya bisa masuk sendiri tanpa kamu dorong-dorong!” Lauren menyeringai dengan memutarkan bola matanya. Pintu ruangan pun segera ditutup rapat-rapat setelah kedua wanita paruh baya itu masuk. Keduanya tanpa henti merutuki Tiffany. Sambil memegangi salah satu pipinya, Tiffany berdiri tepat di hadapan mereka. Ia melirik kedua wanita paruh baya itu dengan sorot mata yang berapi-api. Sementara itu, Kevin dengan setia mendampingi Tiffany, bahkan Kevin pun tampak jauh lebih murka. “Saya nggak pernah nampar anak Ibu loh, Bu! Tapi Ibu dengan entengnya mendaratkan tangan Ibu di pipi saya?” ujar Tiffany dengan halus namun penuh penekanan. Suaranya terdengar begitu bergetar. “Halah, dasar wanita jalang!” Sekali lagi wanita bule itu melayangkan tangannya menuju pipi Tiffany, tetapi Kevin dengan gesit menahannya dan segera menyingkirkan ta
“Apa? Ibunya Satria sama ibunya Rina ngelabrak Fany?” tanya Dimas dengan suara yang geram. “Apa?” gumam Satria yang menguping percakapan Dimas dengan Lauren di telepon. “Iya, Dim. Barusan banget mereka berdua dateng ke restoran, terus marah-marah. Mana pake nampar segala lagi,” sahut Lauren sambil melirik ke arah Tiffany yang kini tengah duduk di sofa dengan Kevin, Juna, dan Reyhan. Tiffany membalas lirikannya dengan sinis. Ia kesal lantaran Lauren begitu bersikeras untuk memberitahu Dimas soal keributan yang baru saja terjadi di ruangannya. Keputusan Lauren hanya akan membuat citranya semakin jelek di hadapan Kevin. “Hah? Fany ditampar? Sama ibunya Satria?” tanya Dimas yang kian menaikkan suaranya. “Iya, Dim.” “Lo bener-bener, ya! Lo tau kan apa akibatnya sekarang!” umpat Dimas pada Satria. Lauren mengerutkan keningnya. “Loh, kok lo malah nyalahin gue sih, Dim?” Dimas tak menjawab Lauren. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan berdebat dengan Satria. “Dim! Dim, lo kok malah
"Diminum," ujar Dimas saat menyuguhkan segelas teh hangat buatannya kepada Tiffany. "Eum," balas Tiffany, disertai anggukan kecil. Dimas lantas duduk di depan Tiffany yang sudah hampir satu jam melamun di meja makannya. Ia memandangi wajah wanita itu yang kini terlihat begitu sendu. “Jangan keseringan minum minuman beralkohol, nggak baik buat kesehatan kamu,” tutur Dimas dengan begitu halus. Pria berwajah kecil dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu kemudian memegang salah satu punggung tangan Tiffany. Dimas membelainya dengan begitu lembut sampai sorot mata Tiffany yang kosong akhirnya bergerak mengarah kepadanya. “Masalahnya jadi merembet ke mana-mana, Dim.” Tiffany menarik tangannya dari sentuhan Dimas. Ia kemudian memegang segelas teh hangat yang diberikan Dimas, lantas mengusap-ngusapkan telapak tangannya pada gelas itu. Dimas hanya tersenyum dengan mata yang sayu. “Nama baik aku jadi rusak, aku dibuat malu di depan banyak orang … image aku bener-bener udah hancur
Dengan begitu frustrasi, Tiffany menjambaki rambutnya hingga berantakan. Ia duduk di sudut kamarnya dengan lutut yang menekuk. Wanita itu tampak seperti orang yang depresi setelah melihat sejumlah clickbait dengan redaksi negatif mengenai skandalnya. Bagaimana ia tidak pusing melihatnya, tentu saja clickbait itu akan semakin menggiring opini publik untuk menjustifikasinya sebagai wanita yang benar-benar kotor. Belum lagi dengan sejumlah caption ambigu yang ada pada sejumlah postingan pemberitaan di media sosial. Pastinya warganet yang telah tercecoki stigma negatif tentang Tiffany akan langsung meninggalkan kata-kata jahat pada kolom komentar postingan-postingan itu, termasuk pada postingan media sosialnya Tiffany. Dug dug dug. Suara ketukan pintu yang hampir mirip dengan debukan itu tiba-tiba memenuhi seisi kamar. Tanpa sedikit pun suara yang menyeru nama Tiffany, suara ketukan itu terus berlanjut tanpa sesaat pun berhenti. Perhatian Tiffany pun sontak teralihkan. Namun, bukannya
“Kalau seperti ini terus, kita harus segera check up,” tegas Juna. Ia berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di samping Kevin yang tengah duduk di kursi kerjanya. Kevin memijiti tengkuknya. “Tidak perlu. Saya hanya kelelahan, bukan apa-apa.” Juna mendengkus seraya menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Kamu nggak usah berdalih lagi. Saya sudah tau dari Reyhan, kalau kamu itu memang sering muntah-muntah seperti tadi.” Kevin mati kutu, ia tidak dapat berkutik membalas ucapan Juna. Memang benar jika selama berada di Indonesia, Reyhan kerap mendapati Kevin sedang kepayahan mengeluarkan isi perutnya. Pada awalnya, Reyhan mengira bahwa Kevin hanya sedang kelelahan atau mabuk alkohol. Namun, setelah ia menyadari bahwa hal itu terjadi berulang dengan frekuensi yang cukup tinggi, akhirnya Reyhan memutuskan untuk memberitahu Juna. “Kamu sakit apa? Maag?” Kevin terdiam, ia cukup terkejut dengan pertanyaan Juna. Sejenak Kevin berpikir keras untuk mendapatkan jawaban yang tepat, hingga a
[Flashback]Langit tak kunjung berhenti menangis. Derai airmatanya terus membasahi tanah, menggenangi jalan, membanjiri hati seorang gadis jelita yang saat ini tengah bermenung di depan jendela kamarnya.Ia tampak begitu nyaman dalam posisinya yang tengah memangku wajah. Bibirnya yang pucat tak sedikit pun melunturkan keindahan garis senyumnya.Tuk ... Tuk ..."Fan." Terdengar suara lelaki yang memanggil namanya di depan kamar.Tiffany spontan menoleh ke belakang. Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan ke arah pintu. "Iya, tunggu."Cklek."Kakak," ucap Tiffany dengan lirih sambil menyimpulkan kebahagiaan. Ia begitu girang saat berjumpa dengan kakaknya.Arga membalas sambutan adiknya dengan reaksi yang jauh lebih antusias. Ia melebarkan senyumnya dengan riang sambil memeluk Tiffany. Tangannya meraih kepala sang adik dan membelainya dengan penuh kehangatan.Arga mengecup puncak kepala adik satu-satunya itu. "Udah makan?"Tiffany mengangguk dengan girang. "Udah. Kakak gimana?""Udah,
"Berkunjung ke rumah keluarga, Pak?"Itulah pertanyaan kesekian kalinya yang terlontar dari mulut sopir yang kini tengah mengantarkan Kevin ke Bandung. Pertanyaan yang lagi-lagi memaksa Kevin untuk berbicara ketika suasana hatinya sama sekali tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."Iya," sahutnya singkat."Wah, seneng banget saya kalau lewat jalanan di sana." Sang sopir meneruskan pembicaraannya tanpa mencoba memahami kondisi kliennya. "Romantis banget itu suasananya."Kevin tersenyum pahit. Kata-kata yang diucapkan oleh sopir itu seketika kian membuatnya cemas. Setiap ingatan yang muncul tentang kota legendaris dalam hidupnya itu kini membuatnya berkeringat dingin."Nggak kebayang sih untuk saya, harga rumah di sana. Pasti miliaran, ya," ucap sang sopir.Kevin sama sekali tak menyahut sopir. Pikirannya berantakan. Banyak hal yang kini berkeliaran dalam benaknya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa tujuannya pergi ke Bandung.Untuk menyusul Tiffany? Rasanya mustahil untuk saat ini.
"Aduuuuh, La! Pelan-pelan atuuuh!"Tiffany menjerit sambil mencengkeram bajunya. Sementara itu, Damar dan istrinya terus terkekeh saat melihat tingkah konyol Tiffany yang terilihat tidak lagi memedulikan wibawanya sebagai seorang figur publik. Wanita itu malah terlihat seperti gadis kecil yang mengaduh menggemaskan."Aduuuh! Sakiit, Lala!""Lalaaa!""Damar! Lo jangan ngetawain gue! Ini sakit!"Wanita itu tidak berhenti mengoceh hingga bulir airmata terus mendarat di wajahnya. Tingkah wanita itu membuat Damar dan istrinya kian cekikikan sampai wajahnya memerah."Bentar, Fan," ujar Lala sambil merapikan perban yang telah disiapkannya.Bohong sekali jika sebelumnya Tiffany mengaku-ngaku bahwa luka yang ada di dahinya sama sekali tidak berarti apa-apa untuk dirinya. Nyatanya, setelah luka itu dibersihkan oleh Lala, rasa sakitnya bukan main.Tiffany memang benar-benar membenci luka yang menyakiti tubuhnya. Namun, kali ini, ia mengaduh kesakitan bukan semata-mata hanya karena luka yang ada p
Kim Shin menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja. Sejak Heru memulai presentasinya terkait bisnis Stars Peach Cafe, pria oriental itu memang tampak gelisah. Ia bahkan tidak terlihat benar-benar menyimak apa yang telah dipaparkan oleh Heru. Perasaannya begitu buncah dengan pikiran yang tidak karuan."Sudah?" tanyanya singkat setelah Heru kembali duduk di kursinya.Heru menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul. Ia sejenak melirik pada Dine. "Sudah, Pak."Pertemuan mereka memang terjadi sangat mendadak. Kim Shin tiba-tiba datang ke kafe dan mendesak Heru untuk mempresentasikan bisnis Stars Peach Cafe. Tidak banyak alasan yang dapat membuat Heru menolak permintaan itu, terlebih lagi dengan kondisi keuangan kafe yang memang tengah membutuhkan suntikan dana investor. Alhasil, meskipun Heru belum mendapatkan tanggapan dari Tiffany terkait permintaan Kim Shin yang begitu mendadak, Heru memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Ia menyanggupi permintaan Kim Shin.Kim Shin merapatkan
"Lu baik-baik aja, Fan?" tanya Geza setelah Tiffany masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok penumpang depan.Wanita itu terus saja menundukkan pandangannya. Tidak ada kehangatan yang biasanya terpancar dari wajah orientalnya itu. Bibirnya terus saja melengkung ke bawah dengan mata yang sayu.Tiffany tersenyum tipis. "Gue nggak mungkin baik-baik aja, Gez."Geza menarik napas dengan wajah gamam. "Tadi keliatannya Teh Yuna serius banget."Geza menelan ludahnya. Ia merasa gugup untuk memancing Tiffany agar ia mau menceritakan sesuatu tentang perbincangannya dengan Yuna barusan. Meskipun tidak begitu akrab, entah mengapa hatinya tergerak untuk memastikan agar Tiffany baik-baik saja. Geza tahu persis kalau Dimas sangat menyayangi Tiffany dan tidak ingin wanita itu terluka sedikit pun. Mungkin ini salah satu upaya yang dapat ia lakukan sebagai teman dari pria malang yang harus kehilangan nyawanya dalam insiden kecelakaan itu."Jadi ke DU-nya?" tanya Geza
Tiffany dan Yuna masuk ke dalam mobil kepunyaan kerabat Dimas. Keduanya tampak bersitegang. Yuna terus bersikap dingin dengan raut wajahnya yang sama sekali tidak memberikan ketenangan kepada Tiffany. Sementara itu, Tiffany terus menundukkan pandangannya sambil menahan tangis dan perasaan khawatir. "Jidat kamu kenapa?" tanya Yuna dengan datar. Tiffany refleks memegang perban pada keningnya. Ia menelan ludahnya sebelum melirik pada Yuna. Tiffany bingung harus menjawab apa. Mungkinkah Yuna belum membaca berita soal skandal terbarunya dengan ibu dan mertuanya Satria? "I—ini, kejeduk, Teh," balas Tiffany dengan gugup. "Gara-gara Dimas?" celetuk Yuna. Tiffany membulatkan matanya. Ia spontan bergumam kebingungan. "Bukan, Teh." Otaknya berupaya menemukan alasan yang tepat, Tiffany diam dengan ken
Dua puluh meter dari makam Dimas, Tiffany duduk sendirian di atas kursi kayu yang reyot. Kondisinya tampak begitu terpuruk. Air matanya belum juga surut menangisi kepergian Dimas yang begitu mendadak. Segunduk penyesalan dan perasaan bersalah begitu menguliti perasaannya. Ia terus dibayang-bayangi wajah Dimas. Wajah mantan kekasihnya yang terlihat begitu kecewa atas sikap abainya saat di rumah sakit. Wajah Dimas yang malang, yang tidak sempat berbicara dengannya untuk sebuah perpisahan. "Maafin aku, Dim ..." batinnya terus menjeritkan kata-kata itu. Kata-kata yang mungkin hanya akan memekakkan telinga Dimas. Tiba-tiba Geza dan Hesti datang menghampiri Tiffany. "Alhamdulillah pemakamannya berjalan lancar, Fan," ucap Geza sebelum duduk di samping Tiffany. Tiffany sontak mendelik kesal menanggapi pernyataan Geza. Sorot matanya begitu dingin seperti ingin membekap mulut salah satu kru Dimas Talkshow itu. "Husss!" bisik Hesti sambil menepuk lengan
Tiffany melamun di depan jendela kamar inap Kevin. Ia menyandarkan kepalanya pada bingkai jendela dengan tatapan yang kosong. Perasaan sedihnya yang sudah terlampau menyayat hati, membuat air matanya kering. Di belakangnya, Kevin menatap punggung wanita itu sambil beberapa kali memaksakan makanan agar masuk ke dalam mulutnya. Ia duduk di kasurnya dengan bahu menunduk. Pria itu benar-benar kehilangan nafsu makannya, apalagi dengan keadaan Tiffany yang kini sudah hampir dua jam tidak berbicara. "Fan, gue nggak tau seharusnya gue diem aja atau ngasih tau lo. Tapi daritadi hp lo nyala terus, ada yang nelpon tuh," ujar Juna dengan bimbang. "Siapa?" tanya Kevin tanpa bersuara saat Juna melirik kepadanya. Juna mengangkat bahu. "Gatau," jawabnya yang juga tanpa suara. Sementara itu, Reyhan yang baru saja datang sekitar setengah jam yang lalu benar-benar dibuat bingung akan situasi yang tengah terjadi. Ia merasa bimbang dengan setiap pergerakan yang dilakukannya. Apalagi saat melihat keada
[Flashback] "Fany! Sayang!" panggil Satria setelah membuka pintu rumah Tiffany. Pria itu berjalan dengan gontai. Kepalanya terasa begitu pusing, seperti ada gempa bumi yang mengguncangkannya. Beberapa kali tangannya pun mendarat di kening untuk memijiti kepalanya yang begitu sakit. "Fan! Lu di mana?" seru Satria dengan suara yang lebih kencang. Ia lantas berhenti di depan pintu kamar Tiffany. Pria itu tengah kehilangan kesadarannya. Ia mengalami halusinasi sejak mengonsumsi narkoba sekitar enam jam yang lalu. Hal bodoh itu dilakukannya karena ia merasa depresi setelah bertengkar hebat dengan Tiffany usai mengetahui bahwa wanita itu baru pulang dari rumah ibunya Dimas di Bandung. Satria tidak suka kalau Tiffany masih berhubungan dengan Dimas. Yang Satria tahu, Dimas hanyalah pelarian bagi Tiffany untuk mengecoh Rina, Carina, dan Lia atas hubungan terlarang yang masih dijalani Tiffany dengan dirinya. Namun, Satria tidak mengetahui bahwa sebenarnya itu hanyalah akal-akalan Tiffany s