"Berkunjung ke rumah keluarga, Pak?"Itulah pertanyaan kesekian kalinya yang terlontar dari mulut sopir yang kini tengah mengantarkan Kevin ke Bandung. Pertanyaan yang lagi-lagi memaksa Kevin untuk berbicara ketika suasana hatinya sama sekali tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."Iya," sahutnya singkat."Wah, seneng banget saya kalau lewat jalanan di sana." Sang sopir meneruskan pembicaraannya tanpa mencoba memahami kondisi kliennya. "Romantis banget itu suasananya."Kevin tersenyum pahit. Kata-kata yang diucapkan oleh sopir itu seketika kian membuatnya cemas. Setiap ingatan yang muncul tentang kota legendaris dalam hidupnya itu kini membuatnya berkeringat dingin."Nggak kebayang sih untuk saya, harga rumah di sana. Pasti miliaran, ya," ucap sang sopir.Kevin sama sekali tak menyahut sopir. Pikirannya berantakan. Banyak hal yang kini berkeliaran dalam benaknya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa tujuannya pergi ke Bandung.Untuk menyusul Tiffany? Rasanya mustahil untuk saat ini.
[Flashback]Langit tak kunjung berhenti menangis. Derai airmatanya terus membasahi tanah, menggenangi jalan, membanjiri hati seorang gadis jelita yang saat ini tengah bermenung di depan jendela kamarnya.Ia tampak begitu nyaman dalam posisinya yang tengah memangku wajah. Bibirnya yang pucat tak sedikit pun melunturkan keindahan garis senyumnya.Tuk ... Tuk ..."Fan." Terdengar suara lelaki yang memanggil namanya di depan kamar.Tiffany spontan menoleh ke belakang. Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan ke arah pintu. "Iya, tunggu."Cklek."Kakak," ucap Tiffany dengan lirih sambil menyimpulkan kebahagiaan. Ia begitu girang saat berjumpa dengan kakaknya.Arga membalas sambutan adiknya dengan reaksi yang jauh lebih antusias. Ia melebarkan senyumnya dengan riang sambil memeluk Tiffany. Tangannya meraih kepala sang adik dan membelainya dengan penuh kehangatan.Arga mengecup puncak kepala adik satu-satunya itu. "Udah makan?"Tiffany mengangguk dengan girang. "Udah. Kakak gimana?""Udah,
“Tiffany itu perempuan munafik! Dia berzina sama suami saya!” teriak Rina yang nyaris kehabisan suara di ujung kalimatnya. Ia berkacak pinggang tepat di depan panggung kafe dengan mata yang merah menyala. “Dia itu perempuan nggak tau malu! Artis murahan yang bisanya cuma ngerayu suami saya!” Di sampingnya, Satria sang suami berusaha membungkam mulutnya dengan menggenggam pergelangan tangannya begitu kuat. Tak satu pun di antara satpam atau karyawan kafe yang mampu menghentikan keributan itu. Mereka malah dibuat maju mundur lantaran ada perasaan segan untuk mengusir Satria dan istrinya, lantaran Satria adalah produser film ternama di Indonesia. “Bu, biar saya urus semuanya. Ibu di dalem aja,” ujar manajer kafe yang kini belingsatan mengikuti langkah Tiffany, wanita pemilik kafe yang akhirnya datang menghampiri Rina. Seluruh perhatian pengunjung yang ada di lantai satu Stars Peach Cafe pun seketika tertuju pada Tiffany. Mereka menyipitkan matanya sambil mengamati wanita dengan para
Di salah satu meja yang ada di sudut lantai satu Stars Peach Cafe, seorang pria bertopi oranye dan bermasker duckbill putih dengan pakaian kemeja putih tulangnya duduk membelakangi pengunjung dan panggung kafe. Jika sekilas melihatnya, maka akan terbesit di dalam pikiran bahwa pria bertubuh cukup atletis itu adalah seorang pujangga yang sedang patah hati. Ia hanya duduk dengan kepala menunduk dan mata yang berselancar pada layar ponselnya. Tampak foto wanita pemilik Stars Peach Cafe yang tengah berpose dengan elegan di layar ponselnya itu. 'Dia itu perempuan nggak tau malu! Artis murahan yang bisanya cuma ngerayu suami saya!' Itulah sepatah kalimat dari Rina yang masih ia ingat. Kalimat yang lantas membuat perasaan pria di sudut kafe itu cemas tak menentu. Dengan penuh kehati-hatian, pria berkelopak mata indah itu pun mulai membaca panel info yang muncul setelah ia melakukan pencarian dengan keywords “Tiffany Adhara”—nama dari seorang gadis remaja yang ia kenal. [Tiffany Adhara a
Usai menghabiskan waktu petangnya di Stars Peach Caffe, Kevin segera beranjak ke sebuah restoran mewah yang ada di kawasan Jakarta Selatan untuk menghadiri meeting dengan dua manajer barunya. “Jadi, apa yang harus saya lakukan besok?” tanya Kevin dengan datar. Baru saja dirinya duduk di kursi restoran, ia langsung melontarkan pertanyaan serius itu dengan sepihak. Kedua manajer dan asisten barunya pun hanya bisa mengehela napas pasrah. Watak Kevin yang begitu apatis dan keras kepala akan membuat siapa pun terpaksa memakluminya, bahkan CEO dari agensinya sekalipun. “Untuk besok pagi kamu akan syuting sebagai bintang tamu di program talkshow yang tayang di channel youtube milik Dimas Prasetya.” Juna, majaner pribadi baru Kevin yang berusia satu tahun lebih muda darinya menjawab pertanyaan Kevin dengan tak kalah ketus. Sesekali ia melirikkan matanya menuju salindia yang diproyeksikan pada layar proyektor di salah satu meeting room restoran itu. “Program talkshow ini dipandu oleh Dima
Suasana di dalam studio seketika tergugah ketika Kevin baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat itu. Para kru wanita dari program Dimas Talkshow pun sejurus memberikan senyum malunya.Beberapa kali Kevin membungkukkan badannya saat berpapasan dengan para kru program talkshow tersebut.Setelah sampai di ruang tunggu, akhirnya ia pun bertemu dengan pemilik acara sekaligus kanal youtube-nya, Dimas Prasetya.Pria berwajah kecil dengan kacamata metal round yang bertengger di hidungnya itu segera bangkit dari kursinya dan menyambut kedatangan Kevin. Ia membungkukkan badannya mengikuti Kevin sebelum akhirnya keduanya mengulurkan tangan untuk saling berjabatan.“Dimas,” ujar sang pemilik acara saat memperkenalkan dirinya dengan senyum ramah khasnya.“Kevin.” Kevin mengangguk kecil.Dimas segera mempersilakan Kevin untuk duduk di salah satu bangku yang masih kosong, sementara seorang kru
Tiffany memangku wajahnya dengan siku yang bertumpu pada meja. Dengan perasaan yang penuh akan penyesalan, beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah.Di sampingnya, Lauren duduk berhadapan dengan Satria, keduanya tampak begitu bersitegang.“Lu jangan terlalu banyak ikut campur deh soal hubungan gua sama Fany! Lu tuh nggak tau apa-apa!” Satria menyeringai sambil menunjukkan telunjuknya.“Ya, okei! Gue emang nggak tau apa-apa! Tapi mestinya lo tuh mikir, gimana dampaknya atas sikap lo itu buat Fany!” Lauren tak mau kalah menggerutu dengan Satria.“Lo liat kan sekarang? Cuma butuh waktu beberapa jam aja nama Fany udah jelek! Lo liat dong trending sosmed! Apa lo tega liat si Fany disebut-sebut jadi pelakor?”Satria sejenak menoleh pada Tiffany.“Lu gila, ya? Ya mana ada gua tega!” balasnya dengan penuh emosi kepada Lauren.“Ya terus sekarang lo mau apa, hah? Lo bakalan ngelakuin apa
Tiffany bergeming sambil menatap ponselnya yang sedari kemarin sore belum dinyalakan. Bola matanya berputar menjelajah ke berbagai arah sambil kedua jemarinya menjentik bibir, seperti biasanya.Jika ia mengaktifkan ponselnya, maka ia harus siap untuk menerima segala pesan yang masuk ke media sosialnya, yang tentunya akan menyinggung skandal yang tengah menyeret namanya saat ini.“Gapapa, lu bales aja singkat-singkat. Tapi nggak perlu dibales juga gapapa sih.” Satria tiba-tiba bersuara setelah keluar dari kamar mandi.Tiffany melirik pria berwajah blasteran itu sebelum akhirnya ia memutarkan bola matanya dengan sinis. Ia pun segera melepaskan jemari dari bibinya dan sedikit mengangkat dagunya setelah membuang mukanya dari Satria.“Lu masih marah ya sama gua?” tanya Satria dengan lirih setelah ia duduk bersimpuh di samping Tiffany.Tiffany mengerucutkan bibirnya yang bergetar. “Ya iyalah!”“Iya maaf, gua salah … gua janji bakalan secepatnya selesain masalah ini.” Satria mengusap kepala