Suasana di dalam studio seketika tergugah ketika Kevin baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat itu. Para kru wanita dari program Dimas Talkshow pun sejurus memberikan senyum malunya.
Beberapa kali Kevin membungkukkan badannya saat berpapasan dengan para kru program talkshow tersebut.
Setelah sampai di ruang tunggu, akhirnya ia pun bertemu dengan pemilik acara sekaligus kanal youtube-nya, Dimas Prasetya.
Pria berwajah kecil dengan kacamata metal round yang bertengger di hidungnya itu segera bangkit dari kursinya dan menyambut kedatangan Kevin. Ia membungkukkan badannya mengikuti Kevin sebelum akhirnya keduanya mengulurkan tangan untuk saling berjabatan.
“Dimas,” ujar sang pemilik acara saat memperkenalkan dirinya dengan senyum ramah khasnya.
“Kevin.” Kevin mengangguk kecil.
Dimas segera mempersilakan Kevin untuk duduk di salah satu bangku yang masih kosong, sementara seorang kru wanita yang duduk di sebelah Kevin segera menyuguhkan satu cup caffe latte padanya. Kru wanita itu pun spontan memberikan arahan pada Kevin mengenai skrip yang sudah dibacanya tadi malam.
Sesekali Dimas ikut berbicara, menyampaikan basa-basi kepada Kevin untuk mencairkan perbincangan agar nanti dapat terjalin lebih natural.
Setelah kru wanita selesai memberikan penjelasan, sekarang giliran penata rambut Kevin yang masuk ke dalam ruangan dan menata rambut sekaligus baju yang dikenakan Kevin.
Sementara itu, Dimas mulai keluar dari ruang tunggu dan memasuki ruang talkshow. Ia menoleh pada kamerawan dan beberapa krunya sebelum mengangkat kedua alisnya.
“Caw, bentar lagi.”
“Oke, caw!” sahut beberapa kru termasuk kamerawan yang mulai memeriksa kameranya.
Dimas segera berdiri di panggung sebelum akhirnya Kevin datang ke ruangan talkshow. Proses syuting pun dimulai.
Beberapa saat setelah opening, Kevin masuk ke panggung dengan sambutan yang meriah dari Dimas dan para kru.
Pada pertengahan acara, keduanya sampai pada topik pembahasan yang paling dihindari oleh Kevin selama bertahun-tahun ia berkarir sebagai seorang figur publik.
“Oke Vin. Saya pikir tampang-tampang muka kayak kamu tuh pasti lancar lah ya urusan asmaranya?” terka Dimas sambil terkekeh.
“Nah ini nih pertanyaan yang paling ditunggu-tunggu sama ciwi-ciwi, Vin!” Dimas menunjuk sejumlah kru wanitanya yang kini tampak tersipu malu sambil menutupi mulutnya.
“Kalau aku sih—” ujar Dimas yang kemudian segera dipotong oleh sorakan para kru.
“Ooooh, sorry sorry. Enggak … gue mau ngasih selingan cerita aja gitu,” gurau Dimas yang tak henti terkekeh.
“Gue gatel nih pengen cerita,” sambungnya dengan raut muka yang tampak kesal.
Namun, rupanya candaan itu hanya dimengerti oleh Dimas dan para krunya saja sedangkan Kevin hanya mengamatinya dengan senyum yang irit.
Baru kali ini Kevin datang ke sebuah acara yang menurutnya terlalu manasuka. Lebih tepatnya, baru kali ini ia diundang ke acara milik kanal Youtube pribadi seseorang.
“Boleh, ya?” tanya Dimas pada krunya.
“Entaran dong, A! Kita dengerin dulu nih cerita Oppa Kevin. Bosen ah dengerin cerita kamu terus!” sahut salah satu kru wanita sambil tertawa.
Dimas mencoba menghentikan tawanya. Namun, dibalik tawanya itu tampak jika ia tak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang cemas, seolah ingin segera mengakhiri acara tersebut.
“Oke, gimana Vin? Sebenernya oppa-oppa kayak lo itu kurang lebih gimana masalah asmaranya? Apa seindah drama-drama Korea yang lo bintangi?”
“Kok jadi lo gue sih, A?” protes kru wanita sebelum Kevin sempat membuka suara.
Dimas dan krunya itu seperti tak ada hentinya melemparkan gurauan selama proses syuting berlangsung. Kevin yang memang tidak menyukai situasi seperti itu pun mulai merasa tidak nyaman.
Dimas melongo. “Eh iya ya, kenapa jadi lo gue,” gumamnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia memang tidak terbiasa berbicara dengan sebutan kamu kepada lawan bicara lelaki sebayanya.
“Sorry sorry,” ujar Dimas terkekeh.
“Lo sih tadi pake acara nunjukkin itu segala, kan gue jadi nggak bisa fokus!”
Para kru sontak bersorak dengan terkejut.
“Woi, woi! Nunjukkin apa, A?” tanya salah seorang kamerawan yang benar-benar tergelitik oleh gelagat Dimas yang tiba-tiba terlihat linglung. Kru yang lain pun ikut bersautan sambil terkekeh.
Kevin mulai skeptis dengan keberadaannya di sana. Ia pun berpikir bahwa karakter orang-orang yang telah ia temui selama hampir satu bulan terakhir ia menetap di Indonesia memang sama sekali tidak ada yang cocok dengannya. Lagi pula, Kevin memang tidak pernah cocok dengan siapa pun setelah tiga belas tahun lamanya.
“Tau nih, ngaco si A Dimas ah!” sahut salah seorang kru wanita yang tadi mengajukan protes.
Dimas mengernyit saat melihat ekspresi para krunya.
“Apasih? Woi, Lo jangan kemana-mana pikirannya!” sahut Dimas yang mulai panik.
“Cut cut cut!” seru Dimas sambil menyatukan lengannya membentuk huruf “X”.
“Cut nih nanti!”
“Sorry ya, Vin! Ada aja gangguannya,” ujar dimas pada Kevin yang kini mulai menunjukkan ketidaknyamanannya.
Kevin mengangguk dengan sedikit tersenyum. Jika bukan karena pekerjaan, tidak mungkin dirinya masih duduk di tempat itu dengan orang-orang yang menurutnya begitu aneh.
“Oke, jadi gimana Vin? Gimana nih hubungan asmara seorang oppa-oppa Korea kayak kamu?” tanya Dimas untuk yang ke sekian kalinya.
Kevin berdeham sambil menjentik bibirnya sesaat. “Ya, seperti pada umumnya.”
Sejenak Dimas tercenung saat melihat gerak-gerik tangan Kevin yang seperti tak asing baginya.
“Bentar-bentar, maksudnya kamu juga pernah patah hati karena seorang cewek, Vin?”
Dengan nada sinis, Kevin terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
“Apa profesi serta penampilan seseorang bisa menjadi parameter untuk itu? Saya rasa, semua orang pasti pernah merasakan patah hati, dan itu hal yang wajar.”
“Aaah ya,” sahut Dimas sependapat.
Youtuber itu menganggukkan kepalanya dengan senyum ragu. Ia mulai menyadari jika Kevin tampak begitu kaku dan kesulitan dalam menyesuaikan gaya obrolannya yang memang apa adanya dan cenderung sok akrab.
“Okei. Berarti kamu sama kayak pria Indonesia pada umumnya, ya? Ya … seperti saya,” ujar Dimas menunjuk dirinya sendiri.
“Lu mah patah sama kenyataan, Dim! Bukan sama cewek,” seru salah seorang kru pria yang kemudian disertai oleh sorakan dari beberapa kru yang lain.
Dimas terkekeh sambil menggelengkan kepalanya, kali ini ia mencoba untuk tidak menghiraukannya.
“Tapi ada nggak sih yang paling bikin patah hati banget, kayak … wah gila ni cewek!” tanya Dimas sambil membetulkan kacamatanya sejenak.
“Eh ngomong-ngomong, maaf nih saya ngobrolnya terlalu santai. Saya bingung kalau mesti bicara formal. Tapi kamu pasti ngerti kan ya, Vin?” tanya Dimas sebelum Kevin sempat menjawab pertanyan yang sebelumnya Dimas ajukan.
“Ya, saya ngerti.”
“Oke, oke.” Dimas mengiyakan. “Jadi gimana nih, Vin? Ada nggak momen atau memori soal cewek yang paling bikin kamu … apa ya istilahnya? Ya, drop gitu lah istilahnya.”
Kevin tertegun. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan spontan bibirnya tersenyum kecut.
“Gimana, Vin?” tanya Dimas yang kebingungan saat melihat ekspresi Kevin yang tiba-tiba menegang.
“Saya pikir itu bukan hal yang perlu dibahas ataupun diingat lagi. Saya … saya pikir itu adalah masa lalu yang tidak perlu terlalu diingat dan dibahas,” sahut Kevin yang terdengar gugup dan bingung sendiri.
Dimas tersenyum sambil melirik kepada para krunya yang kemudian membalasnya dengan tawa—lagi. “Tuh, camkan itu, A!” teriak salah seorang kru wanita.
“Oh, kamu termasuk yang sulit—” Kevin berinisiatif berbicara untuk mengalihkan perbincangan.
“B—bukan sulit,” tukas Dimas, “tapi emang bukan sesuatu yang harus dilupain sih kalau menurut gue … eh, saya. Sorry.”
Kevin mengangguk. “Lebih memilih untuk mengingatnya?” gumamnya.
Dimas terkekeh. “Sebenarnya saya memang bukan patah hati karena orangnya, tapi karena hubungannya,” sahutnya sambil menahan tawa sekaligus kecemasan.
“Mereka udah bosen denger cerita saya,” tambahnya sambil menunjuk para krunya, mengisyaratkan untuk beralih topik.
“Kagak, kita kesian aja gitu sama si Fany, pasti panas telinganya lu omongin mulu!” seru salah seorang kru yang tidak menyadari isyarat Dimas.
Mendengar nama Fany, sontak membuat Kevin tertegun. Ekspresi wajahnya seketika berubah datar dengan mata yang terus terpaku pada kru yang baru saja menyebutkan nama itu.
Siapa Fany yang mereka maksud?
Batin Kevin terus bertanya-tanya.
Dengan segala keterkejutan yang kembali menyesakkan dadanya, Kevin terus berharap agar ia tidak lagi bersinggungan dengan seorang Fany yang kemarin ia lihat di kafe. Namun, ketika ia makin berharap seperti itu, pikirannya justru kian mempertajam ingatannya pada pencarian internetnya saat kemarin di kafe.
[Tiffany Diisukan Dekat dengan Artis Korea, Ini Pendapat Dimas Soal Mantan Kekasihnya]
Kevin tersentak oleh pikirannya sendiri setelah menyadari jika Dimas adalah nama dari mantan kekasih Tiffany. Tiba-tiba ia merasa begitu gelisah sekaligus marah. Akan tetapi, dengan profesionalitasnya, ia berusaha untuk tetap tampak baik-baik saja.
“Enggak, lah.” Dimas menyangkal.
“Justru panas tuh kalau … Ah, nggak jadi,” ujar Dimas yang tampak cemas sekaligus kesal sendiri.
Tiba-tiba mata Dimas tertuju pada kamera.
“Eh tapi gue serius, ya. Selama ini gue kenal betul siapa Fany. Dan gue sebagai orang yang notabenenya pernah jadi pacarnya Fany, gue sangat marah sih kalau ada orang yang dengan mudahnya ngehujat bahkan ngefitnah dia,” ujar Dimas yang seolah sedang berbicara dengan jutaan orang di dalam kamera.
Meskipun diakhiri dengan senyum dan tawanya yang renyah, tetapi tetap saja Dimas terlihat menyembunyikan kesedihan dan kecemasan yang begitu mendalam.
Deg!
Dada Kevin tersentak. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat, mencoba untuk tetap menahan emosinya sekaligus kepalanya yang mulai terasa pening.
Seketika itu pula kenangan akan gadis remaja bernama Tiffany Adhara kembali membuatnya tak berdaya. Hingga pada akhirnya profesionalitasnya pun terkalahkan oleh nama itu.
“Eh Vin, kamu kenapa?”
Tiffany memangku wajahnya dengan siku yang bertumpu pada meja. Dengan perasaan yang penuh akan penyesalan, beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah.Di sampingnya, Lauren duduk berhadapan dengan Satria, keduanya tampak begitu bersitegang.“Lu jangan terlalu banyak ikut campur deh soal hubungan gua sama Fany! Lu tuh nggak tau apa-apa!” Satria menyeringai sambil menunjukkan telunjuknya.“Ya, okei! Gue emang nggak tau apa-apa! Tapi mestinya lo tuh mikir, gimana dampaknya atas sikap lo itu buat Fany!” Lauren tak mau kalah menggerutu dengan Satria.“Lo liat kan sekarang? Cuma butuh waktu beberapa jam aja nama Fany udah jelek! Lo liat dong trending sosmed! Apa lo tega liat si Fany disebut-sebut jadi pelakor?”Satria sejenak menoleh pada Tiffany.“Lu gila, ya? Ya mana ada gua tega!” balasnya dengan penuh emosi kepada Lauren.“Ya terus sekarang lo mau apa, hah? Lo bakalan ngelakuin apa
Tiffany bergeming sambil menatap ponselnya yang sedari kemarin sore belum dinyalakan. Bola matanya berputar menjelajah ke berbagai arah sambil kedua jemarinya menjentik bibir, seperti biasanya.Jika ia mengaktifkan ponselnya, maka ia harus siap untuk menerima segala pesan yang masuk ke media sosialnya, yang tentunya akan menyinggung skandal yang tengah menyeret namanya saat ini.“Gapapa, lu bales aja singkat-singkat. Tapi nggak perlu dibales juga gapapa sih.” Satria tiba-tiba bersuara setelah keluar dari kamar mandi.Tiffany melirik pria berwajah blasteran itu sebelum akhirnya ia memutarkan bola matanya dengan sinis. Ia pun segera melepaskan jemari dari bibinya dan sedikit mengangkat dagunya setelah membuang mukanya dari Satria.“Lu masih marah ya sama gua?” tanya Satria dengan lirih setelah ia duduk bersimpuh di samping Tiffany.Tiffany mengerucutkan bibirnya yang bergetar. “Ya iyalah!”“Iya maaf, gua salah … gua janji bakalan secepatnya selesain masalah ini.” Satria mengusap kepala
“Lo serius nggak bakalan ada wartawan di sana?” tanya Tiffany dengan skeptis sambil mengaplikasikan eyeshadow berwarna nude pada kelopak matanya. “Nggak ada, udah gue pastiin nggak bakalan ada wartawan yang ke sana,” sahut Lauren sambil menoleh ke kursi belakang. “Udah, lo tenang aja, udah gue atur semuanya. Mereka nggak bakalan dateng ke restoran, palingan juga ke kafe.” Tiffany hanya bergumam menanggapi penegasan Lauren. Ia tengah fokus pada riasan wajahnya. Jarang-jarang sekali Tiffany berdandan dengan make-up bold seperti saat ini. Ia sendiri pun merasa begitu geli saat melihat dirinya dari pantulan cermin, tampak lebih tua dari biasanya. “Pokoknya entar lo diem aja di ruangan lo, jangan ke mana-mana lagi. Kelar deh,” tegas Lauren. *** Di salah satu meja restoran berarsitektur khas Belanda, Kevin duduk bersama dengan ketiga pria lainnya. Seorang waiter berseragam rapi pun segera menyambut kedatangan mereka dan memberikan buku menu pada masing-masing orang. Namun, tak sepert
“Lu tuh ngapa, sih? Udahlah, lu nggak usah belaga peduli lagi sama dia! Lagian percuma, lu nggak bakalan mungkin balik lagi sama Fany!” “Yang ada juga elo! Lo masih nggak nyadar ya udah bikin Tiffany terlibat skandal?” Dimas mengarahkan telunjuknya pada Satria. “Lo kapan sih sadarnya? Lo udah beristri, tapi lo masih aja nggak bisa ngelepas Fany! Hasrat lo sama sekali nggak ngebuat Fany bahagia, justru bikin dia semakin terbebani!” Satria berdecak sambil tersenyum sinis menangkis telunjuk Dimas dari hadapan wajahnya. “Lu juga sama aja! Lu semakin membebani Fany kalau lu terus nguntit dia!" "Lu lupa? Kalian itu beda agama! Dan Fany nggak akan mungkin abai sama perbedaan itu!” pungkas Satria dengan senyum liciknya. Dimas mendengkus seraya membuang wajah. "Terserah lo mau bilang apa! Yang jelas Fany nggak akan pernah balik sama lo!" "Nggak akan pernah?" gumam Satria sambil menyeringai. Ia lantas cekikikan kecil dengan pikirannya sendiri. “Lo jangan pernah macem-macem lagi ya sama Fa
Lauren agak mendorong kedua wanita paruh baya itu untuk masuk ke dalam ruangan Tiffany. “Heh! Kamu nggak usah pegang-pegang saya, ya!” erang wanita bule. “Saya bisa masuk sendiri tanpa kamu dorong-dorong!” Lauren menyeringai dengan memutarkan bola matanya. Pintu ruangan pun segera ditutup rapat-rapat setelah kedua wanita paruh baya itu masuk. Keduanya tanpa henti merutuki Tiffany. Sambil memegangi salah satu pipinya, Tiffany berdiri tepat di hadapan mereka. Ia melirik kedua wanita paruh baya itu dengan sorot mata yang berapi-api. Sementara itu, Kevin dengan setia mendampingi Tiffany, bahkan Kevin pun tampak jauh lebih murka. “Saya nggak pernah nampar anak Ibu loh, Bu! Tapi Ibu dengan entengnya mendaratkan tangan Ibu di pipi saya?” ujar Tiffany dengan halus namun penuh penekanan. Suaranya terdengar begitu bergetar. “Halah, dasar wanita jalang!” Sekali lagi wanita bule itu melayangkan tangannya menuju pipi Tiffany, tetapi Kevin dengan gesit menahannya dan segera menyingkirkan ta
“Apa? Ibunya Satria sama ibunya Rina ngelabrak Fany?” tanya Dimas dengan suara yang geram. “Apa?” gumam Satria yang menguping percakapan Dimas dengan Lauren di telepon. “Iya, Dim. Barusan banget mereka berdua dateng ke restoran, terus marah-marah. Mana pake nampar segala lagi,” sahut Lauren sambil melirik ke arah Tiffany yang kini tengah duduk di sofa dengan Kevin, Juna, dan Reyhan. Tiffany membalas lirikannya dengan sinis. Ia kesal lantaran Lauren begitu bersikeras untuk memberitahu Dimas soal keributan yang baru saja terjadi di ruangannya. Keputusan Lauren hanya akan membuat citranya semakin jelek di hadapan Kevin. “Hah? Fany ditampar? Sama ibunya Satria?” tanya Dimas yang kian menaikkan suaranya. “Iya, Dim.” “Lo bener-bener, ya! Lo tau kan apa akibatnya sekarang!” umpat Dimas pada Satria. Lauren mengerutkan keningnya. “Loh, kok lo malah nyalahin gue sih, Dim?” Dimas tak menjawab Lauren. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan berdebat dengan Satria. “Dim! Dim, lo kok malah
"Diminum," ujar Dimas saat menyuguhkan segelas teh hangat buatannya kepada Tiffany. "Eum," balas Tiffany, disertai anggukan kecil. Dimas lantas duduk di depan Tiffany yang sudah hampir satu jam melamun di meja makannya. Ia memandangi wajah wanita itu yang kini terlihat begitu sendu. “Jangan keseringan minum minuman beralkohol, nggak baik buat kesehatan kamu,” tutur Dimas dengan begitu halus. Pria berwajah kecil dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu kemudian memegang salah satu punggung tangan Tiffany. Dimas membelainya dengan begitu lembut sampai sorot mata Tiffany yang kosong akhirnya bergerak mengarah kepadanya. “Masalahnya jadi merembet ke mana-mana, Dim.” Tiffany menarik tangannya dari sentuhan Dimas. Ia kemudian memegang segelas teh hangat yang diberikan Dimas, lantas mengusap-ngusapkan telapak tangannya pada gelas itu. Dimas hanya tersenyum dengan mata yang sayu. “Nama baik aku jadi rusak, aku dibuat malu di depan banyak orang … image aku bener-bener udah hancur
Dengan begitu frustrasi, Tiffany menjambaki rambutnya hingga berantakan. Ia duduk di sudut kamarnya dengan lutut yang menekuk. Wanita itu tampak seperti orang yang depresi setelah melihat sejumlah clickbait dengan redaksi negatif mengenai skandalnya. Bagaimana ia tidak pusing melihatnya, tentu saja clickbait itu akan semakin menggiring opini publik untuk menjustifikasinya sebagai wanita yang benar-benar kotor. Belum lagi dengan sejumlah caption ambigu yang ada pada sejumlah postingan pemberitaan di media sosial. Pastinya warganet yang telah tercecoki stigma negatif tentang Tiffany akan langsung meninggalkan kata-kata jahat pada kolom komentar postingan-postingan itu, termasuk pada postingan media sosialnya Tiffany. Dug dug dug. Suara ketukan pintu yang hampir mirip dengan debukan itu tiba-tiba memenuhi seisi kamar. Tanpa sedikit pun suara yang menyeru nama Tiffany, suara ketukan itu terus berlanjut tanpa sesaat pun berhenti. Perhatian Tiffany pun sontak teralihkan. Namun, bukannya
[Flashback]Langit tak kunjung berhenti menangis. Derai airmatanya terus membasahi tanah, menggenangi jalan, membanjiri hati seorang gadis jelita yang saat ini tengah bermenung di depan jendela kamarnya.Ia tampak begitu nyaman dalam posisinya yang tengah memangku wajah. Bibirnya yang pucat tak sedikit pun melunturkan keindahan garis senyumnya.Tuk ... Tuk ..."Fan." Terdengar suara lelaki yang memanggil namanya di depan kamar.Tiffany spontan menoleh ke belakang. Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan ke arah pintu. "Iya, tunggu."Cklek."Kakak," ucap Tiffany dengan lirih sambil menyimpulkan kebahagiaan. Ia begitu girang saat berjumpa dengan kakaknya.Arga membalas sambutan adiknya dengan reaksi yang jauh lebih antusias. Ia melebarkan senyumnya dengan riang sambil memeluk Tiffany. Tangannya meraih kepala sang adik dan membelainya dengan penuh kehangatan.Arga mengecup puncak kepala adik satu-satunya itu. "Udah makan?"Tiffany mengangguk dengan girang. "Udah. Kakak gimana?""Udah,
"Berkunjung ke rumah keluarga, Pak?"Itulah pertanyaan kesekian kalinya yang terlontar dari mulut sopir yang kini tengah mengantarkan Kevin ke Bandung. Pertanyaan yang lagi-lagi memaksa Kevin untuk berbicara ketika suasana hatinya sama sekali tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."Iya," sahutnya singkat."Wah, seneng banget saya kalau lewat jalanan di sana." Sang sopir meneruskan pembicaraannya tanpa mencoba memahami kondisi kliennya. "Romantis banget itu suasananya."Kevin tersenyum pahit. Kata-kata yang diucapkan oleh sopir itu seketika kian membuatnya cemas. Setiap ingatan yang muncul tentang kota legendaris dalam hidupnya itu kini membuatnya berkeringat dingin."Nggak kebayang sih untuk saya, harga rumah di sana. Pasti miliaran, ya," ucap sang sopir.Kevin sama sekali tak menyahut sopir. Pikirannya berantakan. Banyak hal yang kini berkeliaran dalam benaknya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa tujuannya pergi ke Bandung.Untuk menyusul Tiffany? Rasanya mustahil untuk saat ini.
"Aduuuuh, La! Pelan-pelan atuuuh!"Tiffany menjerit sambil mencengkeram bajunya. Sementara itu, Damar dan istrinya terus terkekeh saat melihat tingkah konyol Tiffany yang terilihat tidak lagi memedulikan wibawanya sebagai seorang figur publik. Wanita itu malah terlihat seperti gadis kecil yang mengaduh menggemaskan."Aduuuh! Sakiit, Lala!""Lalaaa!""Damar! Lo jangan ngetawain gue! Ini sakit!"Wanita itu tidak berhenti mengoceh hingga bulir airmata terus mendarat di wajahnya. Tingkah wanita itu membuat Damar dan istrinya kian cekikikan sampai wajahnya memerah."Bentar, Fan," ujar Lala sambil merapikan perban yang telah disiapkannya.Bohong sekali jika sebelumnya Tiffany mengaku-ngaku bahwa luka yang ada di dahinya sama sekali tidak berarti apa-apa untuk dirinya. Nyatanya, setelah luka itu dibersihkan oleh Lala, rasa sakitnya bukan main.Tiffany memang benar-benar membenci luka yang menyakiti tubuhnya. Namun, kali ini, ia mengaduh kesakitan bukan semata-mata hanya karena luka yang ada p
Kim Shin menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja. Sejak Heru memulai presentasinya terkait bisnis Stars Peach Cafe, pria oriental itu memang tampak gelisah. Ia bahkan tidak terlihat benar-benar menyimak apa yang telah dipaparkan oleh Heru. Perasaannya begitu buncah dengan pikiran yang tidak karuan."Sudah?" tanyanya singkat setelah Heru kembali duduk di kursinya.Heru menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul. Ia sejenak melirik pada Dine. "Sudah, Pak."Pertemuan mereka memang terjadi sangat mendadak. Kim Shin tiba-tiba datang ke kafe dan mendesak Heru untuk mempresentasikan bisnis Stars Peach Cafe. Tidak banyak alasan yang dapat membuat Heru menolak permintaan itu, terlebih lagi dengan kondisi keuangan kafe yang memang tengah membutuhkan suntikan dana investor. Alhasil, meskipun Heru belum mendapatkan tanggapan dari Tiffany terkait permintaan Kim Shin yang begitu mendadak, Heru memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Ia menyanggupi permintaan Kim Shin.Kim Shin merapatkan
"Lu baik-baik aja, Fan?" tanya Geza setelah Tiffany masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok penumpang depan.Wanita itu terus saja menundukkan pandangannya. Tidak ada kehangatan yang biasanya terpancar dari wajah orientalnya itu. Bibirnya terus saja melengkung ke bawah dengan mata yang sayu.Tiffany tersenyum tipis. "Gue nggak mungkin baik-baik aja, Gez."Geza menarik napas dengan wajah gamam. "Tadi keliatannya Teh Yuna serius banget."Geza menelan ludahnya. Ia merasa gugup untuk memancing Tiffany agar ia mau menceritakan sesuatu tentang perbincangannya dengan Yuna barusan. Meskipun tidak begitu akrab, entah mengapa hatinya tergerak untuk memastikan agar Tiffany baik-baik saja. Geza tahu persis kalau Dimas sangat menyayangi Tiffany dan tidak ingin wanita itu terluka sedikit pun. Mungkin ini salah satu upaya yang dapat ia lakukan sebagai teman dari pria malang yang harus kehilangan nyawanya dalam insiden kecelakaan itu."Jadi ke DU-nya?" tanya Geza
Tiffany dan Yuna masuk ke dalam mobil kepunyaan kerabat Dimas. Keduanya tampak bersitegang. Yuna terus bersikap dingin dengan raut wajahnya yang sama sekali tidak memberikan ketenangan kepada Tiffany. Sementara itu, Tiffany terus menundukkan pandangannya sambil menahan tangis dan perasaan khawatir. "Jidat kamu kenapa?" tanya Yuna dengan datar. Tiffany refleks memegang perban pada keningnya. Ia menelan ludahnya sebelum melirik pada Yuna. Tiffany bingung harus menjawab apa. Mungkinkah Yuna belum membaca berita soal skandal terbarunya dengan ibu dan mertuanya Satria? "I—ini, kejeduk, Teh," balas Tiffany dengan gugup. "Gara-gara Dimas?" celetuk Yuna. Tiffany membulatkan matanya. Ia spontan bergumam kebingungan. "Bukan, Teh." Otaknya berupaya menemukan alasan yang tepat, Tiffany diam dengan ken
Dua puluh meter dari makam Dimas, Tiffany duduk sendirian di atas kursi kayu yang reyot. Kondisinya tampak begitu terpuruk. Air matanya belum juga surut menangisi kepergian Dimas yang begitu mendadak. Segunduk penyesalan dan perasaan bersalah begitu menguliti perasaannya. Ia terus dibayang-bayangi wajah Dimas. Wajah mantan kekasihnya yang terlihat begitu kecewa atas sikap abainya saat di rumah sakit. Wajah Dimas yang malang, yang tidak sempat berbicara dengannya untuk sebuah perpisahan. "Maafin aku, Dim ..." batinnya terus menjeritkan kata-kata itu. Kata-kata yang mungkin hanya akan memekakkan telinga Dimas. Tiba-tiba Geza dan Hesti datang menghampiri Tiffany. "Alhamdulillah pemakamannya berjalan lancar, Fan," ucap Geza sebelum duduk di samping Tiffany. Tiffany sontak mendelik kesal menanggapi pernyataan Geza. Sorot matanya begitu dingin seperti ingin membekap mulut salah satu kru Dimas Talkshow itu. "Husss!" bisik Hesti sambil menepuk lengan
Tiffany melamun di depan jendela kamar inap Kevin. Ia menyandarkan kepalanya pada bingkai jendela dengan tatapan yang kosong. Perasaan sedihnya yang sudah terlampau menyayat hati, membuat air matanya kering. Di belakangnya, Kevin menatap punggung wanita itu sambil beberapa kali memaksakan makanan agar masuk ke dalam mulutnya. Ia duduk di kasurnya dengan bahu menunduk. Pria itu benar-benar kehilangan nafsu makannya, apalagi dengan keadaan Tiffany yang kini sudah hampir dua jam tidak berbicara. "Fan, gue nggak tau seharusnya gue diem aja atau ngasih tau lo. Tapi daritadi hp lo nyala terus, ada yang nelpon tuh," ujar Juna dengan bimbang. "Siapa?" tanya Kevin tanpa bersuara saat Juna melirik kepadanya. Juna mengangkat bahu. "Gatau," jawabnya yang juga tanpa suara. Sementara itu, Reyhan yang baru saja datang sekitar setengah jam yang lalu benar-benar dibuat bingung akan situasi yang tengah terjadi. Ia merasa bimbang dengan setiap pergerakan yang dilakukannya. Apalagi saat melihat keada
[Flashback] "Fany! Sayang!" panggil Satria setelah membuka pintu rumah Tiffany. Pria itu berjalan dengan gontai. Kepalanya terasa begitu pusing, seperti ada gempa bumi yang mengguncangkannya. Beberapa kali tangannya pun mendarat di kening untuk memijiti kepalanya yang begitu sakit. "Fan! Lu di mana?" seru Satria dengan suara yang lebih kencang. Ia lantas berhenti di depan pintu kamar Tiffany. Pria itu tengah kehilangan kesadarannya. Ia mengalami halusinasi sejak mengonsumsi narkoba sekitar enam jam yang lalu. Hal bodoh itu dilakukannya karena ia merasa depresi setelah bertengkar hebat dengan Tiffany usai mengetahui bahwa wanita itu baru pulang dari rumah ibunya Dimas di Bandung. Satria tidak suka kalau Tiffany masih berhubungan dengan Dimas. Yang Satria tahu, Dimas hanyalah pelarian bagi Tiffany untuk mengecoh Rina, Carina, dan Lia atas hubungan terlarang yang masih dijalani Tiffany dengan dirinya. Namun, Satria tidak mengetahui bahwa sebenarnya itu hanyalah akal-akalan Tiffany s