Share

#BAB 7

Author: Amaya Ratisani
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Lo serius nggak bakalan ada wartawan di sana?” tanya Tiffany dengan skeptis sambil mengaplikasikan eyeshadow berwarna nude pada kelopak matanya.

“Nggak ada, udah gue pastiin nggak bakalan ada wartawan yang ke sana,” sahut Lauren sambil menoleh ke kursi belakang.

“Udah, lo tenang aja, udah gue atur semuanya. Mereka nggak bakalan dateng ke restoran, palingan juga ke kafe.”

Tiffany hanya bergumam menanggapi penegasan Lauren. Ia tengah fokus pada riasan wajahnya. Jarang-jarang sekali Tiffany berdandan dengan make-up bold seperti saat ini. Ia sendiri pun merasa begitu geli saat melihat dirinya dari pantulan cermin, tampak lebih tua dari biasanya.

“Pokoknya entar lo diem aja di ruangan lo, jangan ke mana-mana lagi. Kelar deh,” tegas Lauren.

***

Di salah satu meja restoran berarsitektur khas Belanda, Kevin duduk bersama dengan ketiga pria lainnya. Seorang waiter berseragam rapi pun segera menyambut kedatangan mereka dan memberikan buku menu pada masing-masing orang.  Namun, tak seperti yang lain, Kevin tidak mengambil buku menu itu. Ia hanya melamun dengan salah satu tangannya mencengkeram ujung dudukan kursi, sementara yang satunya memegangi dada.

Keringat dingin kembali mengucur pada pelipisnya. Kevin terus mencoba bernapas dengan tenang. Akan tetapi, lama-kelamaan napasnya berbunyi dan membuat ketiga pria yang ada di meja itu menyadari bahwa Kevin tengah kepayahan dengan tubuhnya.

“Kamu kenapa?” tanya Reyhan.

“Vin?” Juna ikut bertanya dengan raut di dahi.

Kevin benar-benar kesulitan bernapas sehingga ia hanya dapat berisyarat dengan menggerakkan mulutnya. Dengan gerak-gerik tangannya pula Kevin meminta segelas air minum.

Hilman sang bodyguard bertubuh tegap pun segera mengikuti waiter yang lekas berlalu mengambilkan air minum dari dapur.

Tak lama setelah itu, tiba-tiba dua orang wanita datang dari arah pintu utama. Yang satu terlihat sederhana dengan dengan pakaian kasualnya, sedangkan yang satunya lagi begitu elegan layaknya seorang wanita karir dengan kemeja blouse dan riasan mata tegas yang makin memperindah almond eyes-nya. Ditambah pula dengan warna lisptik merahnya yang membuat kesan seksi dan dewasa pada bibirnya.

“Eh, siapa tuh? Kenapa, ya?” gumam Lauren saat melihat dua pria yang berdiri dengan cemas di samping Kevin yang duduk membelakanginya.

Tiffany melongo dan menggelengkan kepalanya. Perhatiannya langsung tertuju pada bahu Kevin yang naik turun seperti kehabisan napas.

“Juna?” gumam Tiffany sambil memicingkan matanya.

Dengan langkah yang lebar, Tiffany pun langsung menghampiri meja itu, disusul oleh Lauren. Kedatangannya di meja itu bersamaan dengan bodyguard yang mengambilkan air putih untuk Kevin.

“Juna?” gumam Tiffany sebelum ia sampai di meja itu.

“Fany?” sahut Juna.

Juna tampak begitu lega setelah melihat Tiffany.

“Kenap—”

Tiffany sontak terkejut saat melihat wajah Kevin yang tengah duduk dan sesak napas di samping Juna. Jantungnya hampir saja copot.

Begitu pula dengan Kevin, pria itu bahkan nyaris tersedak saat melihat sosok Tiffany yang berdiri tepat di hadapannya.

Kedua pasang mata itu pun akhirnya saling bertemu. Kevin kehilangan kesanggupan untuk menahan kesedihan di matanya, sementara Tiffany melongo dengan perasaan cemas dan gugup.

“K—kevin?” gumam Tiffany dengan begitu lirih.

Tiffany sontak mengalihkan pandangannya pada Juna.

“Kevin?” gumamnya dengan suara yang gemetar, meminta penegasan dari Juna.

“Kita baru datang ke sini, tapi tiba-tiba dia sesak napas kayak gitu,” tandas Juna dengan kerutan di dahi.

Tiffany kembali melirik Kevin dengan sorot mata yang begitu khawatir. Perasaan marah sekaligus cemas seketika bergelut saat itu juga.

“Kursi roda? Tolong cepet bawa ke sini,” pinta Tiffany pada waiter yang segera berlalu untuk mengambilkan kursi roda.

“Di ruangan gue ada oksigen, ke sana aja, ya? Takutnya—”

"I—iya, Fan," jawab Juna.

Beberapa kali Tiffany melirik Kevin yang rupanya belum juga melepaskan tatapan pada dirinya.

Kesedihan kian terpancar dari mata Kevin, namun tak ada yang menyadari jika kesedihan itu bukan semata-mata muncul atas rasa sesak yang ia rasakan.

Kevin pun segera dibopong untuk duduk di kursi roda yang dibawakan oleh waiter. Mereka segera beranjak ke ruangan yang dimaksud oleh Tiffany.

Sementara itu, Lauren tak ikut mengantarkan Kevin dan yang lainnya. Ia memilih untuk menunggunya di bawah sambil membuka ponsel. Memang sebaiknya orang yang sedang mengalami sesak napas itu berada di ruangan yang tidak ditempati oleh banyak orang, bukan?

Setelah sampai di ruangan pribadinya, Tiffany segera mengambilkan masker oksigen dari laci mejanya. Dengan gerakan tangan yang gesit ia pun segera memasangkannya pada tabung oksigen. Jemarinya begitu lihai saat menyalakan tabung oksigen layaknya seorang perawat.

“It’s okay, Fan,” gumam Tiffany dalam batinnya sebelum ia melangkah mendekati Kevin dan memasangkan masker oksigen itu pada hidung Kevin.

Tiffany, sang pemilik restoran itu pun merendahkan posisi tubuhnya di hadapan Kevin yang kini sudah duduk di sofa. Ia lantas menaikturunkan tangannya, memberikan aba-aba kepada Kevin untuk bernapas mengikuti tempo gerakan tangannya.

“Tarik napas lewat pernapasan perut, keluarin lewat mulut. Oke?” ucap Fany sambil menggerakkan tangannya, sementara Kevin mengangguk mengiyakan.

Kedua pasang matanya lagi-lagi bertemu. Ada banyak makna yang bersembunyi di balik tatapan itu. Terutama Kevin, matanya seolah tersihir dan hanya mampu berkedip beberapa kali saja. Ia benar-benar jatuh pada sorot mata Tiffany. Bahkan, di antara sekian banyak wanita Korea Selatan yang ia temui, tak ada satu pun yang dapat membuatnya seperti itu.

Beberapa lama setelah itu, akhirnya Kevin mulai bisa bernapas dengan stabil dengan memberikan anggukan pada Tiffany.

Tiffany membuang napas lega dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Sontak Kevin pun kian dibuat terpesona olehnya, lantas ia membalas senyum wanita itu dengan ragu-ragu.

Kevin masih tak menyangka jika sosok wanita yang ada di hadapannya saat ini adalah Tiffany, wanita yang kini memperlakukannya dengan begitu baik. Bahkan tanpa ragu duduk bersimpuh di hadapannya.

“Pake aja dulu, jangan langsung dilepas,” ujar Tiffany menunjuk masker oksigennya.

Kevin mengangguk. “Makasih"

“Thanks banget, Fan. Gue nggak tau gimana jadinya kalau tadi lo nggak dateng,” sambung Juna yang berdiri di samping sofa.

Tiffany tersenyum menanggapi keduanya.

“Gue curiga lo kuliah ngambil dua prodi,” gurau Juna yang mencoba mencairkan suasana.

Tiffany tertawa sambil menggelengkan kepalanya, “Ajaib banget kalau gue double degree, satu aja udah kayak anak ilang."

“Haha, gue yakin sih kalau lo punya gelar sarjana keperawatan,” lanjut Juna.

Reyhan ikut tertawa, sementara Kevin bergeming mencoba memahami perbincangan mereka.

Tiffany melirik Kevin, tiba-tiba rasa cemas dan malunya kembali, membuatnya merasa ciut di hadapan Kevin. Tatapan pria itu membuatnya teringat pada sosok Kevin yang begitu dingin dan kaku.

Seperti kebetulan yang menyelematkan, Reyhan mendekati Kevin dan memberikannya segelas air minum sehingga Tiffany bisa sementara keluar dari rasa canggungnya pada tatapan Kevin.

“By the way, lo ke mana aja sih Jun? Sombong banget perasaan,” gurau Tiffany saat berjalan menuju mejanya.

Kevin dibuat terkejut oleh ucapan itu. Lebih tepatnya, mengapa bukan dia yang ditanya seperti itu?

“Yeh … Bukannya gue sombong. Tapi emang waktunya aja yang suka bentrok. Waktu gue bisa, lo yang malah nggak bisa.”

“Ih emang sih lo tuh orang sibuk banget ya,” olok Tiffany sambil terkekeh saat ia duduk di meja kerjanya.

“Lo juga sama aja kali.” Juna berjalan menuju salah satu kursi meja makan yang ada di seberang Tiffany.

“Eh, kok lo nyimpen tabung oksigen, sih? Lo punya—” Juna mengipaskan tangannya di depan dada.

Tiffany terkekeh. “Enggak!"

“Kenapa, ya …” gumamnya, “ya gue jaga-jaga aja, sih. Takutnya kan ada sesuatu yang nggak terduga. Kayak sekarang?”

Juna mengangguk-angguk, sementara Kevin tetap bergeming sambil mengamati wajah Tiffany yang tak banyak berubah setelah belasan tahun lamanya tak bertemu.

Sementara itu, Reyhan ikut duduk di samping Kevin. Asisten itu merasa begitu gugup untuk berada di sana, lantaran ia adalah penggemar berat Tiffany dan band-nya.

“Iya juga yah … Tadi juga tiba-tiba sih dia sesak.” Juna dan Tiffany sama-sama melihat ke arah Kevin.

“Oh ya, Vin. Kenalin, dia Tiffany. Teman yang saya maksud tadi,” ucap Juna.

Mendengar ucapan Juna, Tiffany sontak tergemap. Jangan-jangan Juna sudah mengetahui skandal yang baru saja menimpa dirinya dan memberitahu Kevin soal itu.

Tiffany benar-benar malu hingga rasanya ingin bersembunyi dari orang-orang yang ada di sana. Ia hanya bisa tersenyum, meskipun sebenarnya ia begitu cemas dan tak berani lagi melihat ke arah Kevin.

Kevin melihat Tiffany dengan canggung. Ia bingung dengan apa yang harus dikatakannya. Berjabat tangan kah? Namun, dia kan memang sudah mengenali Tiffany, bahkan sejak belasan tahun silam.

Sementara itu, Tiffany sama sekali tak memikirkan apa yang tengah ada di pikiran Kevin. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah harga dirinya di hadapan Kevin atas skandal yang ia buat kemarin.

Related chapters

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 8

    “Lu tuh ngapa, sih? Udahlah, lu nggak usah belaga peduli lagi sama dia! Lagian percuma, lu nggak bakalan mungkin balik lagi sama Fany!” “Yang ada juga elo! Lo masih nggak nyadar ya udah bikin Tiffany terlibat skandal?” Dimas mengarahkan telunjuknya pada Satria. “Lo kapan sih sadarnya? Lo udah beristri, tapi lo masih aja nggak bisa ngelepas Fany! Hasrat lo sama sekali nggak ngebuat Fany bahagia, justru bikin dia semakin terbebani!” Satria berdecak sambil tersenyum sinis menangkis telunjuk Dimas dari hadapan wajahnya. “Lu juga sama aja! Lu semakin membebani Fany kalau lu terus nguntit dia!" "Lu lupa? Kalian itu beda agama! Dan Fany nggak akan mungkin abai sama perbedaan itu!” pungkas Satria dengan senyum liciknya. Dimas mendengkus seraya membuang wajah. "Terserah lo mau bilang apa! Yang jelas Fany nggak akan pernah balik sama lo!" "Nggak akan pernah?" gumam Satria sambil menyeringai. Ia lantas cekikikan kecil dengan pikirannya sendiri. “Lo jangan pernah macem-macem lagi ya sama Fa

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 9

    Lauren agak mendorong kedua wanita paruh baya itu untuk masuk ke dalam ruangan Tiffany. “Heh! Kamu nggak usah pegang-pegang saya, ya!” erang wanita bule. “Saya bisa masuk sendiri tanpa kamu dorong-dorong!” Lauren menyeringai dengan memutarkan bola matanya. Pintu ruangan pun segera ditutup rapat-rapat setelah kedua wanita paruh baya itu masuk. Keduanya tanpa henti merutuki Tiffany. Sambil memegangi salah satu pipinya, Tiffany berdiri tepat di hadapan mereka. Ia melirik kedua wanita paruh baya itu dengan sorot mata yang berapi-api. Sementara itu, Kevin dengan setia mendampingi Tiffany, bahkan Kevin pun tampak jauh lebih murka. “Saya nggak pernah nampar anak Ibu loh, Bu! Tapi Ibu dengan entengnya mendaratkan tangan Ibu di pipi saya?” ujar Tiffany dengan halus namun penuh penekanan. Suaranya terdengar begitu bergetar. “Halah, dasar wanita jalang!” Sekali lagi wanita bule itu melayangkan tangannya menuju pipi Tiffany, tetapi Kevin dengan gesit menahannya dan segera menyingkirkan ta

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 10

    “Apa? Ibunya Satria sama ibunya Rina ngelabrak Fany?” tanya Dimas dengan suara yang geram. “Apa?” gumam Satria yang menguping percakapan Dimas dengan Lauren di telepon. “Iya, Dim. Barusan banget mereka berdua dateng ke restoran, terus marah-marah. Mana pake nampar segala lagi,” sahut Lauren sambil melirik ke arah Tiffany yang kini tengah duduk di sofa dengan Kevin, Juna, dan Reyhan. Tiffany membalas lirikannya dengan sinis. Ia kesal lantaran Lauren begitu bersikeras untuk memberitahu Dimas soal keributan yang baru saja terjadi di ruangannya. Keputusan Lauren hanya akan membuat citranya semakin jelek di hadapan Kevin. “Hah? Fany ditampar? Sama ibunya Satria?” tanya Dimas yang kian menaikkan suaranya. “Iya, Dim.” “Lo bener-bener, ya! Lo tau kan apa akibatnya sekarang!” umpat Dimas pada Satria. Lauren mengerutkan keningnya. “Loh, kok lo malah nyalahin gue sih, Dim?” Dimas tak menjawab Lauren. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan berdebat dengan Satria. “Dim! Dim, lo kok malah

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 11

    "Diminum," ujar Dimas saat menyuguhkan segelas teh hangat buatannya kepada Tiffany. "Eum," balas Tiffany, disertai anggukan kecil. Dimas lantas duduk di depan Tiffany yang sudah hampir satu jam melamun di meja makannya. Ia memandangi wajah wanita itu yang kini terlihat begitu sendu. “Jangan keseringan minum minuman beralkohol, nggak baik buat kesehatan kamu,” tutur Dimas dengan begitu halus. Pria berwajah kecil dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu kemudian memegang salah satu punggung tangan Tiffany. Dimas membelainya dengan begitu lembut sampai sorot mata Tiffany yang kosong akhirnya bergerak mengarah kepadanya. “Masalahnya jadi merembet ke mana-mana, Dim.” Tiffany menarik tangannya dari sentuhan Dimas. Ia kemudian memegang segelas teh hangat yang diberikan Dimas, lantas mengusap-ngusapkan telapak tangannya pada gelas itu. Dimas hanya tersenyum dengan mata yang sayu. “Nama baik aku jadi rusak, aku dibuat malu di depan banyak orang … image aku bener-bener udah hancur

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 12

    Dengan begitu frustrasi, Tiffany menjambaki rambutnya hingga berantakan. Ia duduk di sudut kamarnya dengan lutut yang menekuk. Wanita itu tampak seperti orang yang depresi setelah melihat sejumlah clickbait dengan redaksi negatif mengenai skandalnya. Bagaimana ia tidak pusing melihatnya, tentu saja clickbait itu akan semakin menggiring opini publik untuk menjustifikasinya sebagai wanita yang benar-benar kotor. Belum lagi dengan sejumlah caption ambigu yang ada pada sejumlah postingan pemberitaan di media sosial. Pastinya warganet yang telah tercecoki stigma negatif tentang Tiffany akan langsung meninggalkan kata-kata jahat pada kolom komentar postingan-postingan itu, termasuk pada postingan media sosialnya Tiffany. Dug dug dug. Suara ketukan pintu yang hampir mirip dengan debukan itu tiba-tiba memenuhi seisi kamar. Tanpa sedikit pun suara yang menyeru nama Tiffany, suara ketukan itu terus berlanjut tanpa sesaat pun berhenti. Perhatian Tiffany pun sontak teralihkan. Namun, bukannya

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 13

    “Kalau seperti ini terus, kita harus segera check up,” tegas Juna. Ia berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di samping Kevin yang tengah duduk di kursi kerjanya. Kevin memijiti tengkuknya. “Tidak perlu. Saya hanya kelelahan, bukan apa-apa.” Juna mendengkus seraya menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Kamu nggak usah berdalih lagi. Saya sudah tau dari Reyhan, kalau kamu itu memang sering muntah-muntah seperti tadi.” Kevin mati kutu, ia tidak dapat berkutik membalas ucapan Juna. Memang benar jika selama berada di Indonesia, Reyhan kerap mendapati Kevin sedang kepayahan mengeluarkan isi perutnya. Pada awalnya, Reyhan mengira bahwa Kevin hanya sedang kelelahan atau mabuk alkohol. Namun, setelah ia menyadari bahwa hal itu terjadi berulang dengan frekuensi yang cukup tinggi, akhirnya Reyhan memutuskan untuk memberitahu Juna. “Kamu sakit apa? Maag?” Kevin terdiam, ia cukup terkejut dengan pertanyaan Juna. Sejenak Kevin berpikir keras untuk mendapatkan jawaban yang tepat, hingga a

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 14

    “Loh, kok seperti itu ya, Bu? Kita kan sudah beberapa kali melakukan pertemuan untuk membicarakan kontrak kerjasamanya,” protes Heru.Ia berusaha untuk tetap berbicara dengan santun, meskipun sebenarnya sudah begitu kesal pada wanita yang kini tengah mengibas-ngibaskan kipas di depannya.“Iya, saya juga sebenarnya jadi merasa tidak enak sama Bapak.”“Ya kalau begitu kenapa Ibu harus membatalkan kerjasamanya dengan sebelah pihak seperti ini?”“Maaf, tapi kita masih dalam tahap perencanaan Pak, belum sampai pada kesepakatannya.” Angela, sosialita berpenampilan glamour yang lengkap dengan kalung dan cincin berliannya itu dengan elegan menginterupsi pernyataan Heru.Heru mengangguk dan menarik napas panjang. “Ya, saya salah berbicara.”“Jadi apa yang sudah membuat Ibu berubah pikiran terhadap rencana kerjasama ini?”Angela menyimpan kipasnya di atas meja. Sosialita itu tidak langsung menjawab pertanyaan Heru. Ia tampak berpikir beberapa saat.“Bos kamu.”Heru agak menarik kepalanya ke bel

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 15

    “Tadi pagi si Juna nelpon soal apa, Fan?” tanya Satria yang tengah mengemudikan mobilnya sambil mengunyah dimsum di dalam mulutnya.Tiffany tertegun dengan mulut yang melongo.“Eum?” Ia berlagak tidak menangkap suara Satria dengan jelas.“Tadi Juna nelpon soal apa?”“Oooh,” sahut Tiffany sebelum membuang mukanya ke jendela sambil mengerutkan dahinya.“Itu … dia lagi ngurusin artisnya.”“Artis? Lu artisnya?” tanya Satria bersandiwara tidak mengetahui apa-apa.“Ya bukan lah. Gue kan nggak ikut agensi gitu-gitu, Sat. Lo ngaco deh nanyanya.”Satria tertawa kecil. “Ya terus kenapa nelpon lu? Kan lu nggak ada kaitannya sama agensi-agensi begituan.”Tiffany melirik Satria dengan tajam sambil menyidik raut wajahnya.“Kenapa?” Satria bertanya.Tiffany menggelengkan kepalanya dan kembali menyuapi Satria. Beberapa detik kemudian, keduanya sama-sama membisu sebelum akhirnya Tiffany selesai dengan pikirannya.“Lo beneran nggak tau? Apa lagi pura-pura nggak tau?” tanya Tiffany sambil menahan perasaa

Latest chapter

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 69

    [Flashback]Langit tak kunjung berhenti menangis. Derai airmatanya terus membasahi tanah, menggenangi jalan, membanjiri hati seorang gadis jelita yang saat ini tengah bermenung di depan jendela kamarnya.Ia tampak begitu nyaman dalam posisinya yang tengah memangku wajah. Bibirnya yang pucat tak sedikit pun melunturkan keindahan garis senyumnya.Tuk ... Tuk ..."Fan." Terdengar suara lelaki yang memanggil namanya di depan kamar.Tiffany spontan menoleh ke belakang. Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan ke arah pintu. "Iya, tunggu."Cklek."Kakak," ucap Tiffany dengan lirih sambil menyimpulkan kebahagiaan. Ia begitu girang saat berjumpa dengan kakaknya.Arga membalas sambutan adiknya dengan reaksi yang jauh lebih antusias. Ia melebarkan senyumnya dengan riang sambil memeluk Tiffany. Tangannya meraih kepala sang adik dan membelainya dengan penuh kehangatan.Arga mengecup puncak kepala adik satu-satunya itu. "Udah makan?"Tiffany mengangguk dengan girang. "Udah. Kakak gimana?""Udah,

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 68

    "Berkunjung ke rumah keluarga, Pak?"Itulah pertanyaan kesekian kalinya yang terlontar dari mulut sopir yang kini tengah mengantarkan Kevin ke Bandung. Pertanyaan yang lagi-lagi memaksa Kevin untuk berbicara ketika suasana hatinya sama sekali tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."Iya," sahutnya singkat."Wah, seneng banget saya kalau lewat jalanan di sana." Sang sopir meneruskan pembicaraannya tanpa mencoba memahami kondisi kliennya. "Romantis banget itu suasananya."Kevin tersenyum pahit. Kata-kata yang diucapkan oleh sopir itu seketika kian membuatnya cemas. Setiap ingatan yang muncul tentang kota legendaris dalam hidupnya itu kini membuatnya berkeringat dingin."Nggak kebayang sih untuk saya, harga rumah di sana. Pasti miliaran, ya," ucap sang sopir.Kevin sama sekali tak menyahut sopir. Pikirannya berantakan. Banyak hal yang kini berkeliaran dalam benaknya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa tujuannya pergi ke Bandung.Untuk menyusul Tiffany? Rasanya mustahil untuk saat ini.

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 67

    "Aduuuuh, La! Pelan-pelan atuuuh!"Tiffany menjerit sambil mencengkeram bajunya. Sementara itu, Damar dan istrinya terus terkekeh saat melihat tingkah konyol Tiffany yang terilihat tidak lagi memedulikan wibawanya sebagai seorang figur publik. Wanita itu malah terlihat seperti gadis kecil yang mengaduh menggemaskan."Aduuuh! Sakiit, Lala!""Lalaaa!""Damar! Lo jangan ngetawain gue! Ini sakit!"Wanita itu tidak berhenti mengoceh hingga bulir airmata terus mendarat di wajahnya. Tingkah wanita itu membuat Damar dan istrinya kian cekikikan sampai wajahnya memerah."Bentar, Fan," ujar Lala sambil merapikan perban yang telah disiapkannya.Bohong sekali jika sebelumnya Tiffany mengaku-ngaku bahwa luka yang ada di dahinya sama sekali tidak berarti apa-apa untuk dirinya. Nyatanya, setelah luka itu dibersihkan oleh Lala, rasa sakitnya bukan main.Tiffany memang benar-benar membenci luka yang menyakiti tubuhnya. Namun, kali ini, ia mengaduh kesakitan bukan semata-mata hanya karena luka yang ada p

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 66

    Kim Shin menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja. Sejak Heru memulai presentasinya terkait bisnis Stars Peach Cafe, pria oriental itu memang tampak gelisah. Ia bahkan tidak terlihat benar-benar menyimak apa yang telah dipaparkan oleh Heru. Perasaannya begitu buncah dengan pikiran yang tidak karuan."Sudah?" tanyanya singkat setelah Heru kembali duduk di kursinya.Heru menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul. Ia sejenak melirik pada Dine. "Sudah, Pak."Pertemuan mereka memang terjadi sangat mendadak. Kim Shin tiba-tiba datang ke kafe dan mendesak Heru untuk mempresentasikan bisnis Stars Peach Cafe. Tidak banyak alasan yang dapat membuat Heru menolak permintaan itu, terlebih lagi dengan kondisi keuangan kafe yang memang tengah membutuhkan suntikan dana investor. Alhasil, meskipun Heru belum mendapatkan tanggapan dari Tiffany terkait permintaan Kim Shin yang begitu mendadak, Heru memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Ia menyanggupi permintaan Kim Shin.Kim Shin merapatkan

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 65

    "Lu baik-baik aja, Fan?" tanya Geza setelah Tiffany masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok penumpang depan.Wanita itu terus saja menundukkan pandangannya. Tidak ada kehangatan yang biasanya terpancar dari wajah orientalnya itu. Bibirnya terus saja melengkung ke bawah dengan mata yang sayu.Tiffany tersenyum tipis. "Gue nggak mungkin baik-baik aja, Gez."Geza menarik napas dengan wajah gamam. "Tadi keliatannya Teh Yuna serius banget."Geza menelan ludahnya. Ia merasa gugup untuk memancing Tiffany agar ia mau menceritakan sesuatu tentang perbincangannya dengan Yuna barusan. Meskipun tidak begitu akrab, entah mengapa hatinya tergerak untuk memastikan agar Tiffany baik-baik saja. Geza tahu persis kalau Dimas sangat menyayangi Tiffany dan tidak ingin wanita itu terluka sedikit pun. Mungkin ini salah satu upaya yang dapat ia lakukan sebagai teman dari pria malang yang harus kehilangan nyawanya dalam insiden kecelakaan itu."Jadi ke DU-nya?" tanya Geza

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 64

    Tiffany dan Yuna masuk ke dalam mobil kepunyaan kerabat Dimas. Keduanya tampak bersitegang. Yuna terus bersikap dingin dengan raut wajahnya yang sama sekali tidak memberikan ketenangan kepada Tiffany. Sementara itu, Tiffany terus menundukkan pandangannya sambil menahan tangis dan perasaan khawatir. "Jidat kamu kenapa?" tanya Yuna dengan datar. Tiffany refleks memegang perban pada keningnya. Ia menelan ludahnya sebelum melirik pada Yuna. Tiffany bingung harus menjawab apa. Mungkinkah Yuna belum membaca berita soal skandal terbarunya dengan ibu dan mertuanya Satria? "I—ini, kejeduk, Teh," balas Tiffany dengan gugup. "Gara-gara Dimas?" celetuk Yuna. Tiffany membulatkan matanya. Ia spontan bergumam kebingungan. "Bukan, Teh." Otaknya berupaya menemukan alasan yang tepat, Tiffany diam dengan ken

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 63

    Dua puluh meter dari makam Dimas, Tiffany duduk sendirian di atas kursi kayu yang reyot. Kondisinya tampak begitu terpuruk. Air matanya belum juga surut menangisi kepergian Dimas yang begitu mendadak. Segunduk penyesalan dan perasaan bersalah begitu menguliti perasaannya. Ia terus dibayang-bayangi wajah Dimas. Wajah mantan kekasihnya yang terlihat begitu kecewa atas sikap abainya saat di rumah sakit. Wajah Dimas yang malang, yang tidak sempat berbicara dengannya untuk sebuah perpisahan. "Maafin aku, Dim ..." batinnya terus menjeritkan kata-kata itu. Kata-kata yang mungkin hanya akan memekakkan telinga Dimas. Tiba-tiba Geza dan Hesti datang menghampiri Tiffany. "Alhamdulillah pemakamannya berjalan lancar, Fan," ucap Geza sebelum duduk di samping Tiffany. Tiffany sontak mendelik kesal menanggapi pernyataan Geza. Sorot matanya begitu dingin seperti ingin membekap mulut salah satu kru Dimas Talkshow itu. "Husss!" bisik Hesti sambil menepuk lengan

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 62

    Tiffany melamun di depan jendela kamar inap Kevin. Ia menyandarkan kepalanya pada bingkai jendela dengan tatapan yang kosong. Perasaan sedihnya yang sudah terlampau menyayat hati, membuat air matanya kering. Di belakangnya, Kevin menatap punggung wanita itu sambil beberapa kali memaksakan makanan agar masuk ke dalam mulutnya. Ia duduk di kasurnya dengan bahu menunduk. Pria itu benar-benar kehilangan nafsu makannya, apalagi dengan keadaan Tiffany yang kini sudah hampir dua jam tidak berbicara. "Fan, gue nggak tau seharusnya gue diem aja atau ngasih tau lo. Tapi daritadi hp lo nyala terus, ada yang nelpon tuh," ujar Juna dengan bimbang. "Siapa?" tanya Kevin tanpa bersuara saat Juna melirik kepadanya. Juna mengangkat bahu. "Gatau," jawabnya yang juga tanpa suara. Sementara itu, Reyhan yang baru saja datang sekitar setengah jam yang lalu benar-benar dibuat bingung akan situasi yang tengah terjadi. Ia merasa bimbang dengan setiap pergerakan yang dilakukannya. Apalagi saat melihat keada

  • Wanita Pecandu Luka   #BAB 61

    [Flashback] "Fany! Sayang!" panggil Satria setelah membuka pintu rumah Tiffany. Pria itu berjalan dengan gontai. Kepalanya terasa begitu pusing, seperti ada gempa bumi yang mengguncangkannya. Beberapa kali tangannya pun mendarat di kening untuk memijiti kepalanya yang begitu sakit. "Fan! Lu di mana?" seru Satria dengan suara yang lebih kencang. Ia lantas berhenti di depan pintu kamar Tiffany. Pria itu tengah kehilangan kesadarannya. Ia mengalami halusinasi sejak mengonsumsi narkoba sekitar enam jam yang lalu. Hal bodoh itu dilakukannya karena ia merasa depresi setelah bertengkar hebat dengan Tiffany usai mengetahui bahwa wanita itu baru pulang dari rumah ibunya Dimas di Bandung. Satria tidak suka kalau Tiffany masih berhubungan dengan Dimas. Yang Satria tahu, Dimas hanyalah pelarian bagi Tiffany untuk mengecoh Rina, Carina, dan Lia atas hubungan terlarang yang masih dijalani Tiffany dengan dirinya. Namun, Satria tidak mengetahui bahwa sebenarnya itu hanyalah akal-akalan Tiffany s

DMCA.com Protection Status