Usai menghabiskan waktu petangnya di Stars Peach Caffe, Kevin segera beranjak ke sebuah restoran mewah yang ada di kawasan Jakarta Selatan untuk menghadiri meeting dengan dua manajer barunya.
“Jadi, apa yang harus saya lakukan besok?” tanya Kevin dengan datar.
Baru saja dirinya duduk di kursi restoran, ia langsung melontarkan pertanyaan serius itu dengan sepihak. Kedua manajer dan asisten barunya pun hanya bisa mengehela napas pasrah.
Watak Kevin yang begitu apatis dan keras kepala akan membuat siapa pun terpaksa memakluminya, bahkan CEO dari agensinya sekalipun.
“Untuk besok pagi kamu akan syuting sebagai bintang tamu di program talkshow yang tayang di channel youtube milik Dimas Prasetya.”
Juna, majaner pribadi baru Kevin yang berusia satu tahun lebih muda darinya menjawab pertanyaan Kevin dengan tak kalah ketus. Sesekali ia melirikkan matanya menuju salindia yang diproyeksikan pada layar proyektor di salah satu meeting room restoran itu.
“Program talkshow ini dipandu oleh Dimas Prasetya sendiri.”
“Dalam satu episodenya, hanya ada satu bintang tamu. Biasanya, perbincangannya mengupas mengenai karir dan kehidupan pribadi para bintang tamunya. Di akhir segmen, ada kesempatan bagi bintang tamunya untuk mempromosikan karyanya. Dan ini sangat bisa kamu manfaatkan untuk itu.”
Pada salindia yang tengah diproyeksikan tampak halaman beranda kanal Youtube milik Dimas Prasetya dengan jumlah subscriber yang sudah mencapai tujuh juta.
“Malamnya, kamu harus memandu perekaman single terbarunya Brian,” sambung Juna sambil menggeserkan selembar kertas kepada Kevin.
“Secara garis besar, ini yang akan kamu bicarakan di program talkshow Dimas. Silakan dibaca-baca dulu,” pungkasnya.
Kevin meraih kertas yang tak lain adalah skrip dari program talkshow yang akan dibintanginya besok. Dengan gerakan mata malas, ia mulai membaca skrip itu.
Ketika sampai di pertengahan halaman, tiba-tiba keningnya berkerut. Juna yang menyadari hal itu pun segera bereaksi.
“Apa ada yang kurang dimengerti?”
Kevin menggelengkan kepalanya. “Tidak,” sahutnya membantah dugaan Juna.
“Tapi, apa bagian yang ini penting untuk di bahas?” tanya Kevin setelah kembali menggeserkan kertasnya pada Juna dan menunjuk salah satu bagian skrip yang ia maksud.
Juna memicingkan matanya, membaca dan memahami bagian yang ditunjuk oleh Kevin sebelum akhirnya ia mengangkat salah satu sudut bibirnya.
“Kamu hanya perlu sedikit membahas mengenai kisah percintaan yang pernah kamu alami. Bebas, bahkan kisah ketika kamu sekolah pun boleh.”
Juna meraih kertasnya dan sedikit menggerakkannya saat memberi penjelasan pada Kevin.
“Apa kamu begitu sensitif untuk membicarakan hal ini?” tanya Juna tanpa menunggu respons Kevin.
“Bukannya agensi kita tidak terlalu banyak ikut campur untuk pesoalan ini, ya? Jadi kamu bisa bebas untuk membicarakannya, asalkan kamu bisa menjaga nama baik.” Juna menyimpulkan senyum irit.
“Lagi pula sekarang kan kamu bekerja di Indonesia dan saat ini kamu dilirik oleh banyak pasang mata masyarakat Indonesia, sehingga lingkungan pekerjaan kamu pun akan berbeda dari yang sebelumnya.”
“Di sini penggemar kamu akan cenderung mendukung kamu untuk menjalin hubungan dengan wanita yang kamu cintai, bukannya akan menjauhi kamu,” pungkasnya.
Kevin berdecak. “Yang saya maksud bukan persoalan didukung atau tidak didukung. Tapi, yang saya tekankan adalah penting atau tidak pentingnya.”
“Saya berdedikasi di dunia hiburan ini untuk menjual karya dan kemampuan yang saya miliki. Bukan untuk kisah percintaan seperti yang Anda maksud,” tambahnya.
Kevin dan Juna yang duduk berhadapan itu saling melemparkan tatapan yang sengit. Sontak perdebatan yang terjadi di antara mereka membuat sang asisten dan road manager Kevin yang duduk di samping kanan dan kiri mereka merasa tegang.
Reyhan, asisten baru Kevin sudah sekitar satu bulan bekerja dengannya hanya bisa bergeming sambil berdoa agar Kevin segera menyudahi ketegangan itu. Ia sudah cukup mengenali watak bosnya yang begitu angkuh dan apatis.
Sementara itu, Rian, road manager baru Kevin hanya menyilangkan tangannya di depan dada, mengamati perselisihan di antara kedua pria yang sama-sama berwatak keras itu.
“Lain kali tidak usah terima pekerjaan yang membahas masalah tidak penting seperti ini.”
Kevin mengalihkan pandangannya pada layar proyektor sambil menyilangkan kedua tangannya.
“Bagaimanapun juga ini adalah konsekuensi yang harus kamu tanggung jika akan seterusnya berkarir di sini,” balas Juna.
“Saya penasaran, sebenarnya sudah berapa lama Anda bekerja sebagai manager di Seon Ju Entertainment? Apa sebelumnya Anda pernah bekerja sebagai paparazi?” tanya Kevin dengan senyum sinisnya.
“Yang saya ketahui, manajer yang baik itu adalah manajer yang mampu menjaga kehidupan privasi artisnya,” sambungnya.
“Saya tidak menyuruh kamu untuk membongkar kehidupan privasi kamu secara blak-blakan.” Juna mengangkat skrip talkshow dan menunjukkannya pada Kevin.
“Dan saya juga tidak melarang kamu untuk menjawab bahwa kamu tidak memiliki kisah asmara yang menarik untuk diceritakan. Yang terpenting adalah kamu tidak menghindari dan membuat pertanyaan ini terkesan mengambang.”
Kevin memicingkan matanya dengan tajam kepada Juna. Ia cukup merasa tersinggung olehnya. Namun, ia pun tidak dapat membantah kebenaran dari pernyataan itu.
Memang benar jika saat ini dirinya belum terbiasa untuk bekerja di lingkungan pekerjaannya yang baru, terutama dengan manajer dan asisten barunya.
Bahkan, lebih jauh lagi, ia tidak yakin jika dirinya mampu terbiasa dan bertahan di Indonesia. Terutama setelah menyaksikan keributan yang terjadi di Stars Peach Cafe sore tadi.
“Seharusnya Anda sebagai manajer bisa memfilter dan menolak pekerjaan yang sekiranya membuat artisnya merasa tidak nyaman,” pungkas Kevin sebelum pelayan restoran menyajikan hidangan ke atas meja.
***
“Fany!”
“Tiffany!”
“Tiffany Adhara! Bangun, lo! Buruan!”
Dug dug dug!
“Tiffany, buruan bangun!”
“Keluar sini lo!”
“Iya bentar, berisik banget sih lo!” teriak Tiffany sambil turun dari kasurnya dengan perasaan kesal.
Ckleek.
“Apa sih, lo? Ganggu banget, sumpah!” gerutu Tiffany sambil mengucek matanya yang masih lengket. Tangannya menjelajahi kepalanya saat merapikan rambutnya yang masih berantakan.
Tanpa banyak berkata-kata, wanita yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi geram segera menunjukkan layar ponselnya tepat di depan wajah Tiffany.
“Gila ya, lo!” seru wanita itu, Lauren.
Tiffany menyeringai kebingungan. Ia lantas memicingkan matanya saat mencoba membaca tulisan yang ada pada layar ponsel Lauren.
Beberapa kali ia mengedipkan matanya dengan cepat lantaran penglihatannya masih cukup kabur usai tidur semalaman.
“What?” Tiffany membelalak terkejut.
“Nggak nggak nggak, nggak mungkin! Gila! Karyawan-karyawan gue udah mastiin kalau nggak ada yang rekam, kok!”
Tiffany merampas ponselnya sebelum ibu jari kanannya menggulirkan layar ponsel itu dengan tempo cepat, membaca seluruh clickbait yang muncul.
Pemilik sorot mata berwarna kecoklatan itu dengan jelinya membaca setiap clickbait yang menyeret nama dirinya dengan Satria. Ia pun tak tanggung-tanggung membuka video amatir atas keributan yang terjadi di kafenya kemarin.
Dengan tangannya yang bergetar saat memegang ponsel, kepalanya bergerak berusaha menyangkal apa yang telah ia lihat di video itu.
Tiffany mengerutkan keningnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Mengapa wajahnya tampak begitu jelas muncul di video itu?
Ia kembali menoleh pada Lauren yang kini sudah menatapnya dengan begitu tajam. Manajer pribadinya itu berkacak pinggang seperti sudah bersiap hendak memarahinya.
Tiffany begitu gelisah. Ia mulai merintih sambil memegangi kepalanya. Ketakutan dan kecemasannya akan peristiwa yang ia alami kemarin menyambut paginya dengan begitu intim. Ia bahkan tak bisa berpikir apa-apa lagi sekarang selain hanya menangis dan mengeluh pada Lauren.
“Lo kenapa kagak ngasih tau gue, hah? Kalau gue nggak ngecek hp, lantas gue dengan begonya nggak bakalan update soal ulah lo itu, gitu?” seru Lauren yang bersungut-sungut.
“Gue harus gimana, Lau? Gue nggak seperti apa yang dituduh di artikel ini. Lo percaya sama gue, kan?” tanya Tiffany mencari pembelaan sambil mengacungkan ponsel Lauren.
“Kagak! Gue seratus persen percaya sama artikel-artikel itu! Udah jelas-jelas tuh muka lo ada di video!” tegasnya sambil melotot.
“Lagian kan gue udah berkali-kali bilang sama lo, jaga jarak sama Satria! Lo tuh cantik, Fan. Kenapa sih lo masih aja lengket sama cowok beristri itu!”
Lauren menyeringai kesal mengamati penampilan Tiffany dari bawah hingga atas. Dilihatnya seorang Tiffany yang saat ini tampak begitu menyedihkan, dengan rambutnya yang begitu berantakan dan juga masih memakai baju yang dipakainya kemarin.
“Lo tuh susah banget sih kalau dikasih tau! Jauhin Satria! Lo cari masalah mulu, deh!”
Lauren memicing kesal saat melihat mata sembap Tiffany dan wajah memelasnya.
Ia berdecak. “Ya oke, gue percaya sama lo! Tapi sekarang ini masalahnya gimana cara kita ngatasin semua ini? Kita harus cepet-cepet mikirin tindakan apa yang harus kita ambil, ini skandal yang paling dibenci sama publik!”
Tiffany mengangguk dengan cepat. “G—gue telpon Satria dulu.”
“Astagaaaa, Tiffany Adhara!” pekik Lauren hingga membuat tubuh Tiffany tersentak dan spontan menjentik bibirnya.
“Nggak usah!” sentaknya.
“Ngapain sih lu pake nelpon Satria segala? Jelas-jelas dia yang udah bikin lo jadi terjerumus ke dalem masalah kayak gini!”
Lauren merampas ponselnya dari tangan Tiffany. “Lo tuh kapan sih sadarnya, Fan? Sadar dong, Fan!”
Tiffany tergemap menatap Lauren dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan tangis sekaligus keinginannya untuk memaki wanita yang ada di hadapannya itu.
Suasana di dalam studio seketika tergugah ketika Kevin baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat itu. Para kru wanita dari program Dimas Talkshow pun sejurus memberikan senyum malunya.Beberapa kali Kevin membungkukkan badannya saat berpapasan dengan para kru program talkshow tersebut.Setelah sampai di ruang tunggu, akhirnya ia pun bertemu dengan pemilik acara sekaligus kanal youtube-nya, Dimas Prasetya.Pria berwajah kecil dengan kacamata metal round yang bertengger di hidungnya itu segera bangkit dari kursinya dan menyambut kedatangan Kevin. Ia membungkukkan badannya mengikuti Kevin sebelum akhirnya keduanya mengulurkan tangan untuk saling berjabatan.“Dimas,” ujar sang pemilik acara saat memperkenalkan dirinya dengan senyum ramah khasnya.“Kevin.” Kevin mengangguk kecil.Dimas segera mempersilakan Kevin untuk duduk di salah satu bangku yang masih kosong, sementara seorang kru
Tiffany memangku wajahnya dengan siku yang bertumpu pada meja. Dengan perasaan yang penuh akan penyesalan, beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah.Di sampingnya, Lauren duduk berhadapan dengan Satria, keduanya tampak begitu bersitegang.“Lu jangan terlalu banyak ikut campur deh soal hubungan gua sama Fany! Lu tuh nggak tau apa-apa!” Satria menyeringai sambil menunjukkan telunjuknya.“Ya, okei! Gue emang nggak tau apa-apa! Tapi mestinya lo tuh mikir, gimana dampaknya atas sikap lo itu buat Fany!” Lauren tak mau kalah menggerutu dengan Satria.“Lo liat kan sekarang? Cuma butuh waktu beberapa jam aja nama Fany udah jelek! Lo liat dong trending sosmed! Apa lo tega liat si Fany disebut-sebut jadi pelakor?”Satria sejenak menoleh pada Tiffany.“Lu gila, ya? Ya mana ada gua tega!” balasnya dengan penuh emosi kepada Lauren.“Ya terus sekarang lo mau apa, hah? Lo bakalan ngelakuin apa
Tiffany bergeming sambil menatap ponselnya yang sedari kemarin sore belum dinyalakan. Bola matanya berputar menjelajah ke berbagai arah sambil kedua jemarinya menjentik bibir, seperti biasanya.Jika ia mengaktifkan ponselnya, maka ia harus siap untuk menerima segala pesan yang masuk ke media sosialnya, yang tentunya akan menyinggung skandal yang tengah menyeret namanya saat ini.“Gapapa, lu bales aja singkat-singkat. Tapi nggak perlu dibales juga gapapa sih.” Satria tiba-tiba bersuara setelah keluar dari kamar mandi.Tiffany melirik pria berwajah blasteran itu sebelum akhirnya ia memutarkan bola matanya dengan sinis. Ia pun segera melepaskan jemari dari bibinya dan sedikit mengangkat dagunya setelah membuang mukanya dari Satria.“Lu masih marah ya sama gua?” tanya Satria dengan lirih setelah ia duduk bersimpuh di samping Tiffany.Tiffany mengerucutkan bibirnya yang bergetar. “Ya iyalah!”“Iya maaf, gua salah … gua janji bakalan secepatnya selesain masalah ini.” Satria mengusap kepala
“Lo serius nggak bakalan ada wartawan di sana?” tanya Tiffany dengan skeptis sambil mengaplikasikan eyeshadow berwarna nude pada kelopak matanya. “Nggak ada, udah gue pastiin nggak bakalan ada wartawan yang ke sana,” sahut Lauren sambil menoleh ke kursi belakang. “Udah, lo tenang aja, udah gue atur semuanya. Mereka nggak bakalan dateng ke restoran, palingan juga ke kafe.” Tiffany hanya bergumam menanggapi penegasan Lauren. Ia tengah fokus pada riasan wajahnya. Jarang-jarang sekali Tiffany berdandan dengan make-up bold seperti saat ini. Ia sendiri pun merasa begitu geli saat melihat dirinya dari pantulan cermin, tampak lebih tua dari biasanya. “Pokoknya entar lo diem aja di ruangan lo, jangan ke mana-mana lagi. Kelar deh,” tegas Lauren. *** Di salah satu meja restoran berarsitektur khas Belanda, Kevin duduk bersama dengan ketiga pria lainnya. Seorang waiter berseragam rapi pun segera menyambut kedatangan mereka dan memberikan buku menu pada masing-masing orang. Namun, tak sepert
“Lu tuh ngapa, sih? Udahlah, lu nggak usah belaga peduli lagi sama dia! Lagian percuma, lu nggak bakalan mungkin balik lagi sama Fany!” “Yang ada juga elo! Lo masih nggak nyadar ya udah bikin Tiffany terlibat skandal?” Dimas mengarahkan telunjuknya pada Satria. “Lo kapan sih sadarnya? Lo udah beristri, tapi lo masih aja nggak bisa ngelepas Fany! Hasrat lo sama sekali nggak ngebuat Fany bahagia, justru bikin dia semakin terbebani!” Satria berdecak sambil tersenyum sinis menangkis telunjuk Dimas dari hadapan wajahnya. “Lu juga sama aja! Lu semakin membebani Fany kalau lu terus nguntit dia!" "Lu lupa? Kalian itu beda agama! Dan Fany nggak akan mungkin abai sama perbedaan itu!” pungkas Satria dengan senyum liciknya. Dimas mendengkus seraya membuang wajah. "Terserah lo mau bilang apa! Yang jelas Fany nggak akan pernah balik sama lo!" "Nggak akan pernah?" gumam Satria sambil menyeringai. Ia lantas cekikikan kecil dengan pikirannya sendiri. “Lo jangan pernah macem-macem lagi ya sama Fa
Lauren agak mendorong kedua wanita paruh baya itu untuk masuk ke dalam ruangan Tiffany. “Heh! Kamu nggak usah pegang-pegang saya, ya!” erang wanita bule. “Saya bisa masuk sendiri tanpa kamu dorong-dorong!” Lauren menyeringai dengan memutarkan bola matanya. Pintu ruangan pun segera ditutup rapat-rapat setelah kedua wanita paruh baya itu masuk. Keduanya tanpa henti merutuki Tiffany. Sambil memegangi salah satu pipinya, Tiffany berdiri tepat di hadapan mereka. Ia melirik kedua wanita paruh baya itu dengan sorot mata yang berapi-api. Sementara itu, Kevin dengan setia mendampingi Tiffany, bahkan Kevin pun tampak jauh lebih murka. “Saya nggak pernah nampar anak Ibu loh, Bu! Tapi Ibu dengan entengnya mendaratkan tangan Ibu di pipi saya?” ujar Tiffany dengan halus namun penuh penekanan. Suaranya terdengar begitu bergetar. “Halah, dasar wanita jalang!” Sekali lagi wanita bule itu melayangkan tangannya menuju pipi Tiffany, tetapi Kevin dengan gesit menahannya dan segera menyingkirkan ta
“Apa? Ibunya Satria sama ibunya Rina ngelabrak Fany?” tanya Dimas dengan suara yang geram. “Apa?” gumam Satria yang menguping percakapan Dimas dengan Lauren di telepon. “Iya, Dim. Barusan banget mereka berdua dateng ke restoran, terus marah-marah. Mana pake nampar segala lagi,” sahut Lauren sambil melirik ke arah Tiffany yang kini tengah duduk di sofa dengan Kevin, Juna, dan Reyhan. Tiffany membalas lirikannya dengan sinis. Ia kesal lantaran Lauren begitu bersikeras untuk memberitahu Dimas soal keributan yang baru saja terjadi di ruangannya. Keputusan Lauren hanya akan membuat citranya semakin jelek di hadapan Kevin. “Hah? Fany ditampar? Sama ibunya Satria?” tanya Dimas yang kian menaikkan suaranya. “Iya, Dim.” “Lo bener-bener, ya! Lo tau kan apa akibatnya sekarang!” umpat Dimas pada Satria. Lauren mengerutkan keningnya. “Loh, kok lo malah nyalahin gue sih, Dim?” Dimas tak menjawab Lauren. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan berdebat dengan Satria. “Dim! Dim, lo kok malah
"Diminum," ujar Dimas saat menyuguhkan segelas teh hangat buatannya kepada Tiffany. "Eum," balas Tiffany, disertai anggukan kecil. Dimas lantas duduk di depan Tiffany yang sudah hampir satu jam melamun di meja makannya. Ia memandangi wajah wanita itu yang kini terlihat begitu sendu. “Jangan keseringan minum minuman beralkohol, nggak baik buat kesehatan kamu,” tutur Dimas dengan begitu halus. Pria berwajah kecil dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu kemudian memegang salah satu punggung tangan Tiffany. Dimas membelainya dengan begitu lembut sampai sorot mata Tiffany yang kosong akhirnya bergerak mengarah kepadanya. “Masalahnya jadi merembet ke mana-mana, Dim.” Tiffany menarik tangannya dari sentuhan Dimas. Ia kemudian memegang segelas teh hangat yang diberikan Dimas, lantas mengusap-ngusapkan telapak tangannya pada gelas itu. Dimas hanya tersenyum dengan mata yang sayu. “Nama baik aku jadi rusak, aku dibuat malu di depan banyak orang … image aku bener-bener udah hancur
[Flashback]Langit tak kunjung berhenti menangis. Derai airmatanya terus membasahi tanah, menggenangi jalan, membanjiri hati seorang gadis jelita yang saat ini tengah bermenung di depan jendela kamarnya.Ia tampak begitu nyaman dalam posisinya yang tengah memangku wajah. Bibirnya yang pucat tak sedikit pun melunturkan keindahan garis senyumnya.Tuk ... Tuk ..."Fan." Terdengar suara lelaki yang memanggil namanya di depan kamar.Tiffany spontan menoleh ke belakang. Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan ke arah pintu. "Iya, tunggu."Cklek."Kakak," ucap Tiffany dengan lirih sambil menyimpulkan kebahagiaan. Ia begitu girang saat berjumpa dengan kakaknya.Arga membalas sambutan adiknya dengan reaksi yang jauh lebih antusias. Ia melebarkan senyumnya dengan riang sambil memeluk Tiffany. Tangannya meraih kepala sang adik dan membelainya dengan penuh kehangatan.Arga mengecup puncak kepala adik satu-satunya itu. "Udah makan?"Tiffany mengangguk dengan girang. "Udah. Kakak gimana?""Udah,
"Berkunjung ke rumah keluarga, Pak?"Itulah pertanyaan kesekian kalinya yang terlontar dari mulut sopir yang kini tengah mengantarkan Kevin ke Bandung. Pertanyaan yang lagi-lagi memaksa Kevin untuk berbicara ketika suasana hatinya sama sekali tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."Iya," sahutnya singkat."Wah, seneng banget saya kalau lewat jalanan di sana." Sang sopir meneruskan pembicaraannya tanpa mencoba memahami kondisi kliennya. "Romantis banget itu suasananya."Kevin tersenyum pahit. Kata-kata yang diucapkan oleh sopir itu seketika kian membuatnya cemas. Setiap ingatan yang muncul tentang kota legendaris dalam hidupnya itu kini membuatnya berkeringat dingin."Nggak kebayang sih untuk saya, harga rumah di sana. Pasti miliaran, ya," ucap sang sopir.Kevin sama sekali tak menyahut sopir. Pikirannya berantakan. Banyak hal yang kini berkeliaran dalam benaknya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa tujuannya pergi ke Bandung.Untuk menyusul Tiffany? Rasanya mustahil untuk saat ini.
"Aduuuuh, La! Pelan-pelan atuuuh!"Tiffany menjerit sambil mencengkeram bajunya. Sementara itu, Damar dan istrinya terus terkekeh saat melihat tingkah konyol Tiffany yang terilihat tidak lagi memedulikan wibawanya sebagai seorang figur publik. Wanita itu malah terlihat seperti gadis kecil yang mengaduh menggemaskan."Aduuuh! Sakiit, Lala!""Lalaaa!""Damar! Lo jangan ngetawain gue! Ini sakit!"Wanita itu tidak berhenti mengoceh hingga bulir airmata terus mendarat di wajahnya. Tingkah wanita itu membuat Damar dan istrinya kian cekikikan sampai wajahnya memerah."Bentar, Fan," ujar Lala sambil merapikan perban yang telah disiapkannya.Bohong sekali jika sebelumnya Tiffany mengaku-ngaku bahwa luka yang ada di dahinya sama sekali tidak berarti apa-apa untuk dirinya. Nyatanya, setelah luka itu dibersihkan oleh Lala, rasa sakitnya bukan main.Tiffany memang benar-benar membenci luka yang menyakiti tubuhnya. Namun, kali ini, ia mengaduh kesakitan bukan semata-mata hanya karena luka yang ada p
Kim Shin menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja. Sejak Heru memulai presentasinya terkait bisnis Stars Peach Cafe, pria oriental itu memang tampak gelisah. Ia bahkan tidak terlihat benar-benar menyimak apa yang telah dipaparkan oleh Heru. Perasaannya begitu buncah dengan pikiran yang tidak karuan."Sudah?" tanyanya singkat setelah Heru kembali duduk di kursinya.Heru menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul. Ia sejenak melirik pada Dine. "Sudah, Pak."Pertemuan mereka memang terjadi sangat mendadak. Kim Shin tiba-tiba datang ke kafe dan mendesak Heru untuk mempresentasikan bisnis Stars Peach Cafe. Tidak banyak alasan yang dapat membuat Heru menolak permintaan itu, terlebih lagi dengan kondisi keuangan kafe yang memang tengah membutuhkan suntikan dana investor. Alhasil, meskipun Heru belum mendapatkan tanggapan dari Tiffany terkait permintaan Kim Shin yang begitu mendadak, Heru memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Ia menyanggupi permintaan Kim Shin.Kim Shin merapatkan
"Lu baik-baik aja, Fan?" tanya Geza setelah Tiffany masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok penumpang depan.Wanita itu terus saja menundukkan pandangannya. Tidak ada kehangatan yang biasanya terpancar dari wajah orientalnya itu. Bibirnya terus saja melengkung ke bawah dengan mata yang sayu.Tiffany tersenyum tipis. "Gue nggak mungkin baik-baik aja, Gez."Geza menarik napas dengan wajah gamam. "Tadi keliatannya Teh Yuna serius banget."Geza menelan ludahnya. Ia merasa gugup untuk memancing Tiffany agar ia mau menceritakan sesuatu tentang perbincangannya dengan Yuna barusan. Meskipun tidak begitu akrab, entah mengapa hatinya tergerak untuk memastikan agar Tiffany baik-baik saja. Geza tahu persis kalau Dimas sangat menyayangi Tiffany dan tidak ingin wanita itu terluka sedikit pun. Mungkin ini salah satu upaya yang dapat ia lakukan sebagai teman dari pria malang yang harus kehilangan nyawanya dalam insiden kecelakaan itu."Jadi ke DU-nya?" tanya Geza
Tiffany dan Yuna masuk ke dalam mobil kepunyaan kerabat Dimas. Keduanya tampak bersitegang. Yuna terus bersikap dingin dengan raut wajahnya yang sama sekali tidak memberikan ketenangan kepada Tiffany. Sementara itu, Tiffany terus menundukkan pandangannya sambil menahan tangis dan perasaan khawatir. "Jidat kamu kenapa?" tanya Yuna dengan datar. Tiffany refleks memegang perban pada keningnya. Ia menelan ludahnya sebelum melirik pada Yuna. Tiffany bingung harus menjawab apa. Mungkinkah Yuna belum membaca berita soal skandal terbarunya dengan ibu dan mertuanya Satria? "I—ini, kejeduk, Teh," balas Tiffany dengan gugup. "Gara-gara Dimas?" celetuk Yuna. Tiffany membulatkan matanya. Ia spontan bergumam kebingungan. "Bukan, Teh." Otaknya berupaya menemukan alasan yang tepat, Tiffany diam dengan ken
Dua puluh meter dari makam Dimas, Tiffany duduk sendirian di atas kursi kayu yang reyot. Kondisinya tampak begitu terpuruk. Air matanya belum juga surut menangisi kepergian Dimas yang begitu mendadak. Segunduk penyesalan dan perasaan bersalah begitu menguliti perasaannya. Ia terus dibayang-bayangi wajah Dimas. Wajah mantan kekasihnya yang terlihat begitu kecewa atas sikap abainya saat di rumah sakit. Wajah Dimas yang malang, yang tidak sempat berbicara dengannya untuk sebuah perpisahan. "Maafin aku, Dim ..." batinnya terus menjeritkan kata-kata itu. Kata-kata yang mungkin hanya akan memekakkan telinga Dimas. Tiba-tiba Geza dan Hesti datang menghampiri Tiffany. "Alhamdulillah pemakamannya berjalan lancar, Fan," ucap Geza sebelum duduk di samping Tiffany. Tiffany sontak mendelik kesal menanggapi pernyataan Geza. Sorot matanya begitu dingin seperti ingin membekap mulut salah satu kru Dimas Talkshow itu. "Husss!" bisik Hesti sambil menepuk lengan
Tiffany melamun di depan jendela kamar inap Kevin. Ia menyandarkan kepalanya pada bingkai jendela dengan tatapan yang kosong. Perasaan sedihnya yang sudah terlampau menyayat hati, membuat air matanya kering. Di belakangnya, Kevin menatap punggung wanita itu sambil beberapa kali memaksakan makanan agar masuk ke dalam mulutnya. Ia duduk di kasurnya dengan bahu menunduk. Pria itu benar-benar kehilangan nafsu makannya, apalagi dengan keadaan Tiffany yang kini sudah hampir dua jam tidak berbicara. "Fan, gue nggak tau seharusnya gue diem aja atau ngasih tau lo. Tapi daritadi hp lo nyala terus, ada yang nelpon tuh," ujar Juna dengan bimbang. "Siapa?" tanya Kevin tanpa bersuara saat Juna melirik kepadanya. Juna mengangkat bahu. "Gatau," jawabnya yang juga tanpa suara. Sementara itu, Reyhan yang baru saja datang sekitar setengah jam yang lalu benar-benar dibuat bingung akan situasi yang tengah terjadi. Ia merasa bimbang dengan setiap pergerakan yang dilakukannya. Apalagi saat melihat keada
[Flashback] "Fany! Sayang!" panggil Satria setelah membuka pintu rumah Tiffany. Pria itu berjalan dengan gontai. Kepalanya terasa begitu pusing, seperti ada gempa bumi yang mengguncangkannya. Beberapa kali tangannya pun mendarat di kening untuk memijiti kepalanya yang begitu sakit. "Fan! Lu di mana?" seru Satria dengan suara yang lebih kencang. Ia lantas berhenti di depan pintu kamar Tiffany. Pria itu tengah kehilangan kesadarannya. Ia mengalami halusinasi sejak mengonsumsi narkoba sekitar enam jam yang lalu. Hal bodoh itu dilakukannya karena ia merasa depresi setelah bertengkar hebat dengan Tiffany usai mengetahui bahwa wanita itu baru pulang dari rumah ibunya Dimas di Bandung. Satria tidak suka kalau Tiffany masih berhubungan dengan Dimas. Yang Satria tahu, Dimas hanyalah pelarian bagi Tiffany untuk mengecoh Rina, Carina, dan Lia atas hubungan terlarang yang masih dijalani Tiffany dengan dirinya. Namun, Satria tidak mengetahui bahwa sebenarnya itu hanyalah akal-akalan Tiffany s