Di salah satu meja yang ada di sudut lantai satu Stars Peach Cafe, seorang pria bertopi oranye dan bermasker duckbill putih dengan pakaian kemeja putih tulangnya duduk membelakangi pengunjung dan panggung kafe.
Jika sekilas melihatnya, maka akan terbesit di dalam pikiran bahwa pria bertubuh cukup atletis itu adalah seorang pujangga yang sedang patah hati. Ia hanya duduk dengan kepala menunduk dan mata yang berselancar pada layar ponselnya.
Tampak foto wanita pemilik Stars Peach Cafe yang tengah berpose dengan elegan di layar ponselnya itu.
'Dia itu perempuan nggak tau malu! Artis murahan yang bisanya cuma ngerayu suami saya!'
Itulah sepatah kalimat dari Rina yang masih ia ingat. Kalimat yang lantas membuat perasaan pria di sudut kafe itu cemas tak menentu.
Dengan penuh kehati-hatian, pria berkelopak mata indah itu pun mulai membaca panel info yang muncul setelah ia melakukan pencarian dengan keywords “Tiffany Adhara”—nama dari seorang gadis remaja yang ia kenal.
[Tiffany Adhara adalah seorang pengusaha muda sekaligus penyanyi berkebangsaan Indonesia yang juga merupakan vokalis Bumantara Band; kelahiran: 15 Maret 1993 (usia 28 tahun), Bandung; tinggi: 1,67 m.]
Pria pemilik nama Kevin Lee itu sontak tergemap. Seketika pula dadanya terasa begitu tersentak. Tangannya bergetar ketika mulai menggulir sejumlah clickbait yang muncul pada pencarian internetnya.
[Profil Tiffany Adhara, Selebgram, Pengusaha, dan Vokalis Cantik Asal Bandung]
[Masa Lalu Tiffany Rintis Karir bersama Mantan Kekasih, Satria: Dia Satu-satunya …]
[Selalu Kompak, Inilah 9 Potret Kedekatan Tiffany dengan Personel Band-nya]
[Persahabatan Tiffany dengan Kim Shin, Warganet: Mereka Serasi Banget, Semoga Jadi …]
[Telah Lama Pisah, Tiffany dan Satria Masih Kompak Bermusik di Bumantara …]
[Warganet Sebut Dirinya Jatuh Cinta pada Tiffany, Lee Yul: Siapapun Akan …]
[Tiffany Diisukan Dekat dengan Artis Korea, Ini Pendapat Dimas Soal Mantan Kekasihnya]
[Sukses Bangun Kerajaan Bisnisnya, Siapa Sangka Tiffany Pernah Rela Tidak Makan …]
Mata Kevin mulai berkaca-kaca setelah membaca setiap clickbait yang muncul pada penelusuran internet. Dadanya naik turun tak beraturan dengan mulut yang sedikit terbuka. Namun, tak satu pun dari clickbait itu yang ia sentuh.
Sementara itu, wanita yang bernama Tiffany Adhara masih berjalan mondar-mandir dengan penuh kekhawatiran di ruangan pribadinya.
“Kamu nggak salah liat, Her?” tanya Tiffany pada Heru yang saat ini hanya diam tak berkutik.
Heru menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“Tidak, Bu. Salah satu barista yang memberitahu saya, dia kan tidak mungkin berani bercanda dalam situasi seperti ini.”
Tiffany tiba-tiba berjongkok sambil menutupi wajah.
“Her, sumpah saya malu banget!” rintihnya yang mulai terisak pilu.
“Apa lebih baik saya sampaikan permintaan maaf kita secara pribadi saja, Bu? M—maksudnya saya datangi langsung ke mejanya, gitu,” ujar Heru.
“Saya pikir dia sedang tidak ingin dikenali di tempat ini,” tambahnya setelah ia ikut berjongkok di depan Tiffany yang merasa frustrasi karena kehadiran Kevin Lee di kafenya.
“Nggak usah!”
Tiffany spontan membuka wajahnya yang memerah dan langsung menampik inisiatif manajernya itu.
“Kamu nggak usah sampe nyamperin dia juga kali, Her!”
“Saya nggak kenal sama dia. Jadi kita nggak perlu minta maaf secara personal,” sanggah Tiffany dengan suara bergetar sambil mengusap pipinya yang basah.
“B—baik, Bu,” balas Heru. “Lalu kita harus bagaimana, Bu?”
Tiffany menjentik bibirnya. Matanya berkeliling sambil berpikir.
Ia mendengkus kesal. “Nggak tau,” lirihnya dengan memelas.
Heru menarik napasnya dalam-dalam. Ia tidak mengerti dengan apa yang telah membuat bosnya itu tampak begitu merasa cemas dengan kehadiran Kevin.
“Tapi tadi nggak ada yang cari perhatian ke dia, kan? Barista kita nggak nunjukkin ke dia kalau mereka tuh kenal sama—”
“Tidak, Bu. Lagi pula dia pakai masker, jadi kita tau kalau dia memang tidak ingin dikenali oleh orang-orang yang ada di kafe,” tukas Heru.
Barista dan seluruh karyawan di Stars Peach Caffe memang terbiasa untuk bersikap profesional, sekalipun jika pengunjungnya adalah artis idolanya.
Tiffany membuang napasnya dengan kasar. Ia lantas duduk di lantai dengan pasrah.
“Kenapa dia bisa datang ke sini ya, Her?” gumamnya tanpa melepaskan kegundahan dari wajahnya.
Heru tersenyum kecut. Jelas saja ia tidak tahu alasannya.
“Mungkin karena tempat ini hits di kalangan artis, Bu?” Heru bergumam sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Tanpa aba-aba, Tiffany tiba-tiba membelalak dengan ekspresi yang penuh keterkejutan.
Heru menyeringai keheranan, lagi-lagi ia dibuat bingung oleh reaksi bosnya yang tidak bisa ditebak.
“Apa ada artis lain yang dateng?”
“Tidak, Bu. Sore ini kebetulan belum ada artis lain yang ke sini.”
Tiffany mengusap dadanya sambil menghela napas lega.
“Kamera?” Sekali lagi matanya membulat.
“Saya dan yang lain sudah memastikan kalau mereka tidak ada yang mengarahkan kameranya,” balas Heru.
“Dan beberapa orang, termasuk saya juga tadi berdiri merapat menutupi keributan,” tambahnya.
Jawaban melegakan itu spontan dibalas dengan anggukan oleh Tiffany. Namun, bukan berarti kekhawatirannya akan kehadiran Kevin hilang begitu saja. Tiffany masih tak habis pikir dengan apa yang akan ada di benak Kevin setelah melihat dirinya yang baru saja dipermalukan di kafe.
“Berarti muka saya nggak keliatan sama pengunjung ya, Her?” tanya Tiffany dengan tatapan penuh harapan.
Heru tergemap. Ia membisu dengan bola matanya yang sedikit berputar.
“Eheum,” gumam Heru sambil mengangguk ragu. Sebenarnya ia tidak begitu yakin.
“Yang bener, Her.” Tiffany kembali kehilangan harapan.
Heru tersenyum canggung. “Mungkin terlihat dari sudut pandang tertentu, Bu.”
Tiffany mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia mengerucutkan bibirnya dengan wajah lesu.
“Memangnya Kevin duduk di sebelah mana sih, Her?”
“Di pojok, Bu.”
“Pojok?” gumamnya sambil mengerling. “Di pojok tuh, pojok sebelah mana sih?”
“Di deket pintu masuk, Bu.”
Tiffany sontak membulatkan matanya sambil menelan ludah. “Serius kamu?”
“Berarti literally dia sejajar sama panggung, dong?” Tangan Tiffany bergerak sambil memeragakan posisi tempat duduk Kevin dengan panggung.
“I—iya, Bu.”
“Mampus lo, Fan!” gerutu Tiffany dalam hati.
***
“Lu cari masalah ya sama gua! Berani-beraninya lu malu-maluin Fany di depan banyak orang! Lu masih waras?” gerutu Satria sambil menyetir mobilnya.
Rina membungkam. Ia terus terisak di jok belakang sementara suaminya tak henti merutuk dengan emosi yang tidak kunjung mereda.
“Udah gua bilang, jangan sedikit pun ngusik hubungan gua sama Fany!”
“Mau sekeras apa pun usaha lu buat misahin gua sama Fany, lu nggak akan pernah bisa Rin!”
“Lagian kenapa sih lu ribet-ribet ngurusin hubungan gua sama Fany! Toh transferan pun lancar, kan? Gua kasih lu jatah bulanan, duit buat anak-anak juga lancar! Lu kagak usah khawatir soal urusan duit!” Satria kian mengeraskan suaranya memenuhi kepenatan di mobil.
“Lagian hampir semua duit gua, gua gelontorin buat urusan rumah! Kagak ada tuh sepeser pun yang gua pake buat Fany! Jadi lu kagak usah bertingkah aneh-aneh!”
Sekilas ia menyempatkan dirinya untuk melihat Rina melalui spion dalam. “Ini tuh masalah hati, lu kagak usah ikut campur!”
“Justru karena masalah hati, Mas! Aku itu istri kamu! Seharusnya kamu bisa jaga perasaan aku!” balas Rina dengan suara yang bergetar.
Satria menyeringai kesal. Wajahnya memerah disertai urat-urat pada pelipisnya tampak menonjol.
“Jangan pernah lu bahas-bahas soal urusan perasaan di antara kita!”
“Tapi kan ak—”
“Gua nggak pernah minta lu buat punya perasaan sama gua!”
***
Tiffany mengerutkan keningnya di depan jendela sambil mengintip parkiran kafe dari sela-sela gorden.
“Dia pake baju apa, Her?” tanya Tiffany untuk yang ke sekian kalinya tanpa mengalihkan pandangannya ke arah parkiran.
“Saya lupa, Bu. Pokoknya dia pake topi sama masker.”
Heru ikut mengintip dari sisi jendela yang satu lagi.
Tiffany menjentik bibir. Sebenarnya ia merasa enggan untuk melakukan hal konyol ini. Namun, rasa penasarannya untuk melihat Kevin secara langsung mengalahkan segala perasaan getirnya.
Bagaimanapun, ia merasa penasaran dengan keadaan pria yang sudah belasan tahun tidak dijumpainya itu.
“Oooh, itu Her?” seru Tiffany dengan mata membulat.
“Nah, itu Bu.” Heru mengangguk tanpa melepaskan pandangan.
“Eumm,” gumam Tiffany sambil mengangguk kecil. Beberapa kali ia menelan ludahnya menahan perasaan tegang. Hingga tak lama setelah itu ia pun segera menutup gordennya rapat-rapat dan berlalu dari jendela.
“Ibu penggemarnya, ya?” celetuk Heru setelah Tiffany kembali duduk di depan mejanya.
Tiffany sontak menyeringai terkejut.
“Enggak,” balasnya menunjukkan keengganan.
“Memangnya kenapa?” tanya Tiffany penasaran.
“Oh, tidak apa-apa Bu. Saya hanya menebak saja.” Heru tersenyum kecil sambil menggaruk tengkuknya.
“Enggak kok, saya nggak ngefans sama dia. Saya juga nggak kenal sama karya-karyanya,” ketus Tiffany dengan sinis.
Heru mengangguk dengan segan sementara Tiffany tampak tengah menimbang-nimbang sesuatu.
“Kamu nggak perlu kasih tau siapa-siapa ya soal Kevin yang dateng ke sini.”
“M—maksudnya jangan dikasih tau kepada siapa, Bu?”
Tiffany menggerakkan bola matanya dengan canggung. “Ya siapa pun itu. Apalagi Satria.”
Heru bergeming, benaknya spontan bertanya-tanya akan kaitan Kevin dan Satria.
Tiffany melirik Heru dengan ekor matanya. “Urusannya bakalan ribet kalau Satria sampe tau ada artis yang liat kejadian tadi. Apalagi artis Korea,” tambah Tiffany sebelum ia menelan ludahnya lagi.
“Ooooh, iya-iya Bu. Siap,” balas Heru sambil mengangguk-angguk paham.
Usai menghabiskan waktu petangnya di Stars Peach Caffe, Kevin segera beranjak ke sebuah restoran mewah yang ada di kawasan Jakarta Selatan untuk menghadiri meeting dengan dua manajer barunya. “Jadi, apa yang harus saya lakukan besok?” tanya Kevin dengan datar. Baru saja dirinya duduk di kursi restoran, ia langsung melontarkan pertanyaan serius itu dengan sepihak. Kedua manajer dan asisten barunya pun hanya bisa mengehela napas pasrah. Watak Kevin yang begitu apatis dan keras kepala akan membuat siapa pun terpaksa memakluminya, bahkan CEO dari agensinya sekalipun. “Untuk besok pagi kamu akan syuting sebagai bintang tamu di program talkshow yang tayang di channel youtube milik Dimas Prasetya.” Juna, majaner pribadi baru Kevin yang berusia satu tahun lebih muda darinya menjawab pertanyaan Kevin dengan tak kalah ketus. Sesekali ia melirikkan matanya menuju salindia yang diproyeksikan pada layar proyektor di salah satu meeting room restoran itu. “Program talkshow ini dipandu oleh Dima
Suasana di dalam studio seketika tergugah ketika Kevin baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat itu. Para kru wanita dari program Dimas Talkshow pun sejurus memberikan senyum malunya.Beberapa kali Kevin membungkukkan badannya saat berpapasan dengan para kru program talkshow tersebut.Setelah sampai di ruang tunggu, akhirnya ia pun bertemu dengan pemilik acara sekaligus kanal youtube-nya, Dimas Prasetya.Pria berwajah kecil dengan kacamata metal round yang bertengger di hidungnya itu segera bangkit dari kursinya dan menyambut kedatangan Kevin. Ia membungkukkan badannya mengikuti Kevin sebelum akhirnya keduanya mengulurkan tangan untuk saling berjabatan.“Dimas,” ujar sang pemilik acara saat memperkenalkan dirinya dengan senyum ramah khasnya.“Kevin.” Kevin mengangguk kecil.Dimas segera mempersilakan Kevin untuk duduk di salah satu bangku yang masih kosong, sementara seorang kru
Tiffany memangku wajahnya dengan siku yang bertumpu pada meja. Dengan perasaan yang penuh akan penyesalan, beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah.Di sampingnya, Lauren duduk berhadapan dengan Satria, keduanya tampak begitu bersitegang.“Lu jangan terlalu banyak ikut campur deh soal hubungan gua sama Fany! Lu tuh nggak tau apa-apa!” Satria menyeringai sambil menunjukkan telunjuknya.“Ya, okei! Gue emang nggak tau apa-apa! Tapi mestinya lo tuh mikir, gimana dampaknya atas sikap lo itu buat Fany!” Lauren tak mau kalah menggerutu dengan Satria.“Lo liat kan sekarang? Cuma butuh waktu beberapa jam aja nama Fany udah jelek! Lo liat dong trending sosmed! Apa lo tega liat si Fany disebut-sebut jadi pelakor?”Satria sejenak menoleh pada Tiffany.“Lu gila, ya? Ya mana ada gua tega!” balasnya dengan penuh emosi kepada Lauren.“Ya terus sekarang lo mau apa, hah? Lo bakalan ngelakuin apa
Tiffany bergeming sambil menatap ponselnya yang sedari kemarin sore belum dinyalakan. Bola matanya berputar menjelajah ke berbagai arah sambil kedua jemarinya menjentik bibir, seperti biasanya.Jika ia mengaktifkan ponselnya, maka ia harus siap untuk menerima segala pesan yang masuk ke media sosialnya, yang tentunya akan menyinggung skandal yang tengah menyeret namanya saat ini.“Gapapa, lu bales aja singkat-singkat. Tapi nggak perlu dibales juga gapapa sih.” Satria tiba-tiba bersuara setelah keluar dari kamar mandi.Tiffany melirik pria berwajah blasteran itu sebelum akhirnya ia memutarkan bola matanya dengan sinis. Ia pun segera melepaskan jemari dari bibinya dan sedikit mengangkat dagunya setelah membuang mukanya dari Satria.“Lu masih marah ya sama gua?” tanya Satria dengan lirih setelah ia duduk bersimpuh di samping Tiffany.Tiffany mengerucutkan bibirnya yang bergetar. “Ya iyalah!”“Iya maaf, gua salah … gua janji bakalan secepatnya selesain masalah ini.” Satria mengusap kepala
“Lo serius nggak bakalan ada wartawan di sana?” tanya Tiffany dengan skeptis sambil mengaplikasikan eyeshadow berwarna nude pada kelopak matanya. “Nggak ada, udah gue pastiin nggak bakalan ada wartawan yang ke sana,” sahut Lauren sambil menoleh ke kursi belakang. “Udah, lo tenang aja, udah gue atur semuanya. Mereka nggak bakalan dateng ke restoran, palingan juga ke kafe.” Tiffany hanya bergumam menanggapi penegasan Lauren. Ia tengah fokus pada riasan wajahnya. Jarang-jarang sekali Tiffany berdandan dengan make-up bold seperti saat ini. Ia sendiri pun merasa begitu geli saat melihat dirinya dari pantulan cermin, tampak lebih tua dari biasanya. “Pokoknya entar lo diem aja di ruangan lo, jangan ke mana-mana lagi. Kelar deh,” tegas Lauren. *** Di salah satu meja restoran berarsitektur khas Belanda, Kevin duduk bersama dengan ketiga pria lainnya. Seorang waiter berseragam rapi pun segera menyambut kedatangan mereka dan memberikan buku menu pada masing-masing orang. Namun, tak sepert
“Lu tuh ngapa, sih? Udahlah, lu nggak usah belaga peduli lagi sama dia! Lagian percuma, lu nggak bakalan mungkin balik lagi sama Fany!” “Yang ada juga elo! Lo masih nggak nyadar ya udah bikin Tiffany terlibat skandal?” Dimas mengarahkan telunjuknya pada Satria. “Lo kapan sih sadarnya? Lo udah beristri, tapi lo masih aja nggak bisa ngelepas Fany! Hasrat lo sama sekali nggak ngebuat Fany bahagia, justru bikin dia semakin terbebani!” Satria berdecak sambil tersenyum sinis menangkis telunjuk Dimas dari hadapan wajahnya. “Lu juga sama aja! Lu semakin membebani Fany kalau lu terus nguntit dia!" "Lu lupa? Kalian itu beda agama! Dan Fany nggak akan mungkin abai sama perbedaan itu!” pungkas Satria dengan senyum liciknya. Dimas mendengkus seraya membuang wajah. "Terserah lo mau bilang apa! Yang jelas Fany nggak akan pernah balik sama lo!" "Nggak akan pernah?" gumam Satria sambil menyeringai. Ia lantas cekikikan kecil dengan pikirannya sendiri. “Lo jangan pernah macem-macem lagi ya sama Fa
Lauren agak mendorong kedua wanita paruh baya itu untuk masuk ke dalam ruangan Tiffany. “Heh! Kamu nggak usah pegang-pegang saya, ya!” erang wanita bule. “Saya bisa masuk sendiri tanpa kamu dorong-dorong!” Lauren menyeringai dengan memutarkan bola matanya. Pintu ruangan pun segera ditutup rapat-rapat setelah kedua wanita paruh baya itu masuk. Keduanya tanpa henti merutuki Tiffany. Sambil memegangi salah satu pipinya, Tiffany berdiri tepat di hadapan mereka. Ia melirik kedua wanita paruh baya itu dengan sorot mata yang berapi-api. Sementara itu, Kevin dengan setia mendampingi Tiffany, bahkan Kevin pun tampak jauh lebih murka. “Saya nggak pernah nampar anak Ibu loh, Bu! Tapi Ibu dengan entengnya mendaratkan tangan Ibu di pipi saya?” ujar Tiffany dengan halus namun penuh penekanan. Suaranya terdengar begitu bergetar. “Halah, dasar wanita jalang!” Sekali lagi wanita bule itu melayangkan tangannya menuju pipi Tiffany, tetapi Kevin dengan gesit menahannya dan segera menyingkirkan ta
“Apa? Ibunya Satria sama ibunya Rina ngelabrak Fany?” tanya Dimas dengan suara yang geram. “Apa?” gumam Satria yang menguping percakapan Dimas dengan Lauren di telepon. “Iya, Dim. Barusan banget mereka berdua dateng ke restoran, terus marah-marah. Mana pake nampar segala lagi,” sahut Lauren sambil melirik ke arah Tiffany yang kini tengah duduk di sofa dengan Kevin, Juna, dan Reyhan. Tiffany membalas lirikannya dengan sinis. Ia kesal lantaran Lauren begitu bersikeras untuk memberitahu Dimas soal keributan yang baru saja terjadi di ruangannya. Keputusan Lauren hanya akan membuat citranya semakin jelek di hadapan Kevin. “Hah? Fany ditampar? Sama ibunya Satria?” tanya Dimas yang kian menaikkan suaranya. “Iya, Dim.” “Lo bener-bener, ya! Lo tau kan apa akibatnya sekarang!” umpat Dimas pada Satria. Lauren mengerutkan keningnya. “Loh, kok lo malah nyalahin gue sih, Dim?” Dimas tak menjawab Lauren. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan berdebat dengan Satria. “Dim! Dim, lo kok malah
[Flashback]Langit tak kunjung berhenti menangis. Derai airmatanya terus membasahi tanah, menggenangi jalan, membanjiri hati seorang gadis jelita yang saat ini tengah bermenung di depan jendela kamarnya.Ia tampak begitu nyaman dalam posisinya yang tengah memangku wajah. Bibirnya yang pucat tak sedikit pun melunturkan keindahan garis senyumnya.Tuk ... Tuk ..."Fan." Terdengar suara lelaki yang memanggil namanya di depan kamar.Tiffany spontan menoleh ke belakang. Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan ke arah pintu. "Iya, tunggu."Cklek."Kakak," ucap Tiffany dengan lirih sambil menyimpulkan kebahagiaan. Ia begitu girang saat berjumpa dengan kakaknya.Arga membalas sambutan adiknya dengan reaksi yang jauh lebih antusias. Ia melebarkan senyumnya dengan riang sambil memeluk Tiffany. Tangannya meraih kepala sang adik dan membelainya dengan penuh kehangatan.Arga mengecup puncak kepala adik satu-satunya itu. "Udah makan?"Tiffany mengangguk dengan girang. "Udah. Kakak gimana?""Udah,
"Berkunjung ke rumah keluarga, Pak?"Itulah pertanyaan kesekian kalinya yang terlontar dari mulut sopir yang kini tengah mengantarkan Kevin ke Bandung. Pertanyaan yang lagi-lagi memaksa Kevin untuk berbicara ketika suasana hatinya sama sekali tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."Iya," sahutnya singkat."Wah, seneng banget saya kalau lewat jalanan di sana." Sang sopir meneruskan pembicaraannya tanpa mencoba memahami kondisi kliennya. "Romantis banget itu suasananya."Kevin tersenyum pahit. Kata-kata yang diucapkan oleh sopir itu seketika kian membuatnya cemas. Setiap ingatan yang muncul tentang kota legendaris dalam hidupnya itu kini membuatnya berkeringat dingin."Nggak kebayang sih untuk saya, harga rumah di sana. Pasti miliaran, ya," ucap sang sopir.Kevin sama sekali tak menyahut sopir. Pikirannya berantakan. Banyak hal yang kini berkeliaran dalam benaknya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa tujuannya pergi ke Bandung.Untuk menyusul Tiffany? Rasanya mustahil untuk saat ini.
"Aduuuuh, La! Pelan-pelan atuuuh!"Tiffany menjerit sambil mencengkeram bajunya. Sementara itu, Damar dan istrinya terus terkekeh saat melihat tingkah konyol Tiffany yang terilihat tidak lagi memedulikan wibawanya sebagai seorang figur publik. Wanita itu malah terlihat seperti gadis kecil yang mengaduh menggemaskan."Aduuuh! Sakiit, Lala!""Lalaaa!""Damar! Lo jangan ngetawain gue! Ini sakit!"Wanita itu tidak berhenti mengoceh hingga bulir airmata terus mendarat di wajahnya. Tingkah wanita itu membuat Damar dan istrinya kian cekikikan sampai wajahnya memerah."Bentar, Fan," ujar Lala sambil merapikan perban yang telah disiapkannya.Bohong sekali jika sebelumnya Tiffany mengaku-ngaku bahwa luka yang ada di dahinya sama sekali tidak berarti apa-apa untuk dirinya. Nyatanya, setelah luka itu dibersihkan oleh Lala, rasa sakitnya bukan main.Tiffany memang benar-benar membenci luka yang menyakiti tubuhnya. Namun, kali ini, ia mengaduh kesakitan bukan semata-mata hanya karena luka yang ada p
Kim Shin menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja. Sejak Heru memulai presentasinya terkait bisnis Stars Peach Cafe, pria oriental itu memang tampak gelisah. Ia bahkan tidak terlihat benar-benar menyimak apa yang telah dipaparkan oleh Heru. Perasaannya begitu buncah dengan pikiran yang tidak karuan."Sudah?" tanyanya singkat setelah Heru kembali duduk di kursinya.Heru menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul. Ia sejenak melirik pada Dine. "Sudah, Pak."Pertemuan mereka memang terjadi sangat mendadak. Kim Shin tiba-tiba datang ke kafe dan mendesak Heru untuk mempresentasikan bisnis Stars Peach Cafe. Tidak banyak alasan yang dapat membuat Heru menolak permintaan itu, terlebih lagi dengan kondisi keuangan kafe yang memang tengah membutuhkan suntikan dana investor. Alhasil, meskipun Heru belum mendapatkan tanggapan dari Tiffany terkait permintaan Kim Shin yang begitu mendadak, Heru memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Ia menyanggupi permintaan Kim Shin.Kim Shin merapatkan
"Lu baik-baik aja, Fan?" tanya Geza setelah Tiffany masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok penumpang depan.Wanita itu terus saja menundukkan pandangannya. Tidak ada kehangatan yang biasanya terpancar dari wajah orientalnya itu. Bibirnya terus saja melengkung ke bawah dengan mata yang sayu.Tiffany tersenyum tipis. "Gue nggak mungkin baik-baik aja, Gez."Geza menarik napas dengan wajah gamam. "Tadi keliatannya Teh Yuna serius banget."Geza menelan ludahnya. Ia merasa gugup untuk memancing Tiffany agar ia mau menceritakan sesuatu tentang perbincangannya dengan Yuna barusan. Meskipun tidak begitu akrab, entah mengapa hatinya tergerak untuk memastikan agar Tiffany baik-baik saja. Geza tahu persis kalau Dimas sangat menyayangi Tiffany dan tidak ingin wanita itu terluka sedikit pun. Mungkin ini salah satu upaya yang dapat ia lakukan sebagai teman dari pria malang yang harus kehilangan nyawanya dalam insiden kecelakaan itu."Jadi ke DU-nya?" tanya Geza
Tiffany dan Yuna masuk ke dalam mobil kepunyaan kerabat Dimas. Keduanya tampak bersitegang. Yuna terus bersikap dingin dengan raut wajahnya yang sama sekali tidak memberikan ketenangan kepada Tiffany. Sementara itu, Tiffany terus menundukkan pandangannya sambil menahan tangis dan perasaan khawatir. "Jidat kamu kenapa?" tanya Yuna dengan datar. Tiffany refleks memegang perban pada keningnya. Ia menelan ludahnya sebelum melirik pada Yuna. Tiffany bingung harus menjawab apa. Mungkinkah Yuna belum membaca berita soal skandal terbarunya dengan ibu dan mertuanya Satria? "I—ini, kejeduk, Teh," balas Tiffany dengan gugup. "Gara-gara Dimas?" celetuk Yuna. Tiffany membulatkan matanya. Ia spontan bergumam kebingungan. "Bukan, Teh." Otaknya berupaya menemukan alasan yang tepat, Tiffany diam dengan ken
Dua puluh meter dari makam Dimas, Tiffany duduk sendirian di atas kursi kayu yang reyot. Kondisinya tampak begitu terpuruk. Air matanya belum juga surut menangisi kepergian Dimas yang begitu mendadak. Segunduk penyesalan dan perasaan bersalah begitu menguliti perasaannya. Ia terus dibayang-bayangi wajah Dimas. Wajah mantan kekasihnya yang terlihat begitu kecewa atas sikap abainya saat di rumah sakit. Wajah Dimas yang malang, yang tidak sempat berbicara dengannya untuk sebuah perpisahan. "Maafin aku, Dim ..." batinnya terus menjeritkan kata-kata itu. Kata-kata yang mungkin hanya akan memekakkan telinga Dimas. Tiba-tiba Geza dan Hesti datang menghampiri Tiffany. "Alhamdulillah pemakamannya berjalan lancar, Fan," ucap Geza sebelum duduk di samping Tiffany. Tiffany sontak mendelik kesal menanggapi pernyataan Geza. Sorot matanya begitu dingin seperti ingin membekap mulut salah satu kru Dimas Talkshow itu. "Husss!" bisik Hesti sambil menepuk lengan
Tiffany melamun di depan jendela kamar inap Kevin. Ia menyandarkan kepalanya pada bingkai jendela dengan tatapan yang kosong. Perasaan sedihnya yang sudah terlampau menyayat hati, membuat air matanya kering. Di belakangnya, Kevin menatap punggung wanita itu sambil beberapa kali memaksakan makanan agar masuk ke dalam mulutnya. Ia duduk di kasurnya dengan bahu menunduk. Pria itu benar-benar kehilangan nafsu makannya, apalagi dengan keadaan Tiffany yang kini sudah hampir dua jam tidak berbicara. "Fan, gue nggak tau seharusnya gue diem aja atau ngasih tau lo. Tapi daritadi hp lo nyala terus, ada yang nelpon tuh," ujar Juna dengan bimbang. "Siapa?" tanya Kevin tanpa bersuara saat Juna melirik kepadanya. Juna mengangkat bahu. "Gatau," jawabnya yang juga tanpa suara. Sementara itu, Reyhan yang baru saja datang sekitar setengah jam yang lalu benar-benar dibuat bingung akan situasi yang tengah terjadi. Ia merasa bimbang dengan setiap pergerakan yang dilakukannya. Apalagi saat melihat keada
[Flashback] "Fany! Sayang!" panggil Satria setelah membuka pintu rumah Tiffany. Pria itu berjalan dengan gontai. Kepalanya terasa begitu pusing, seperti ada gempa bumi yang mengguncangkannya. Beberapa kali tangannya pun mendarat di kening untuk memijiti kepalanya yang begitu sakit. "Fan! Lu di mana?" seru Satria dengan suara yang lebih kencang. Ia lantas berhenti di depan pintu kamar Tiffany. Pria itu tengah kehilangan kesadarannya. Ia mengalami halusinasi sejak mengonsumsi narkoba sekitar enam jam yang lalu. Hal bodoh itu dilakukannya karena ia merasa depresi setelah bertengkar hebat dengan Tiffany usai mengetahui bahwa wanita itu baru pulang dari rumah ibunya Dimas di Bandung. Satria tidak suka kalau Tiffany masih berhubungan dengan Dimas. Yang Satria tahu, Dimas hanyalah pelarian bagi Tiffany untuk mengecoh Rina, Carina, dan Lia atas hubungan terlarang yang masih dijalani Tiffany dengan dirinya. Namun, Satria tidak mengetahui bahwa sebenarnya itu hanyalah akal-akalan Tiffany s