Menjadi bidan bukanlah cita-citaku. Dalam pikiranku, bidan adalah profesi yang identik dengan wajah judes. Namun saat ini, bidan adalah profesi yang kujalani. Suka duka pekerjaan telah kulalui hingga akhirnya aku jatuh cinta dengan pekerjaan ini, dan tak sadar usiaku sudah seperempat abad. Mama menuntutku segera mencari jodoh sesegera mungkin. Andai saja ada toko yang menyediakannya. Lebih memalukan lagi, beliau meminta pertolongan sahabatku. Menyebalkan buka ? Tapi mau bagaimana lagi? Dengan jam kerja seperti ini, membuatku sulit dan tak sempat mengenal lelaki lebih banyak selain suami pasien. Ough! Hingga akhirnya aku bertemu dia, pria yang pesonanya selalu membuatku terlihat clumsy dan memalukan. Perjalanan cinta dan pekerjaanku sepertinya akan sedikit lebih berwarna dengan latar tempat yang tak melulu Puskesmas. - Mima -
Lihat lebih banyakGambar yang ditampilkan oleh benda pipih berukuran tiga puluh dua inchi di hadapanku seketika berubah saat tombol pada remotenya kutekan. Hujan deras di luar, ditambah petir yang menggelegar dan saling bersahutan, membuatku mulai menguap dan mata menjadi berat.
"Ga ada yang seru ih acara tivi. Garing semua!" gerutuku sambil mengangkat tubuh menuju ruang jaga.
"Bu Bidan... tolong!" Terdengar suara teriakan yang menggema dari arah lorong Puskesmas.Tiba - tiba seorang pria paruh baya masuk ke ruangan bersalin saat aku baru saja akan merebahkan diri di ruang istirahat.
"Kenapa, Pak?" tanyaku dengan mata yang sempat redup, mendadak terang benderang dan segera bangkit mencari sendal.
"Penumpang bajaj saya anaknya keluar, Bu!" Bapak supir bajaj berkata dengan nada panik dan wajah yang pucat.
"Memey, siapin partus set, APD, bedong!" teriakku pada bidan magang. Aku pun berlari mengambil alat pelindung diri dan memakai handscoon, alias sarung tangan karet.
"Siap kak!" Ia segera berlari menghampiri sterilizer, membukanya, mengambil partus set, kassa, lalu jarum suntik dan ampul berisi oksitosin yang kemudian disimpan dalam tempat alat persalinan. Berlari ke arah lemari bedong bayi, menyambar salah satu kainnya, lalu mengikutiku di belakang dengan secepat kilat memakai Alat Perlindungan Diri sambil berjalan. Semua dilakukan dengan gesit.
Kami mengayunkan kaki lebih cepat hingga tiba di depan bajaj tak sampai lima menit.
Saat pintu bajaj dibuka oleh sang supir, kepala dan separuh bahu bayi sudah menjuntai. Sang ibu terlihat kepayahan dan banjir keringat. Aku segera masuk ke tempat supir bajaj dan menghadap ke belakang.
"Mey, partus set buka. Taruh di jok sebelah ibunya. Duk nya kesiniin!" Aku mengadahkan tangan kanan meminta alat yang kusebut.
Memey bergerak cepat meletakkan partus set dan memberikan duk, berupa kain hijau padaku.
Tangan kananku segera menahan perineum agar tak robek terlalu besar. Tangan kiri berusaha menangkap bayi saat meluncur.
"Ibu ikuti aba-aba saya, ya. Tarik nafas, dorong!" Aku memberi instruksi seraya mempraktikkan. "Tarik napasnya yang dalam, ya, bu. Mata lihat ke perut, lalu dorongnya dari perut kayak mau buang air besar, jangan dari leher."
Sang Ibu mengarahkan pandangannya ke perut dan mulai mengejan dengan sekuat tenaga.
"UHHH,,, AHHHH!!!"
Bayi mungil itu perlahan meluncur, memperlihatkan tali panjangnya di bagian perut, lalu kelaminnya disusul kakinya.
Syuut!
Tangan kananku menangkap dadanya, tangan kiri mengapit kedua paha si bayi. Aku menariknya dan segera memberikannya pada Memey yang sudah bersiap dengan bedong terbuka di sebelah kananku. Di belakang Memey, sang supir bajaj memayunginya agar terlindung dari hujan.
Aku tetap fokus pada si ibu, segera memasang klem dan memotong tali pusatnya. Memey berlari masuk ke dalam puskesmas dan meninggalkan si ibu yang mulai tampak kelelahan dengan nafas terengah.
Tangan kananku memegang tali pusat yang sudah putus, tangan kiri meraba perut si ibu. Setelah dipastikan bahwa tak ada bayi kedua, aku langsung menyambar jarum suntik yang telah diisi cairan oksitosin dan menyuntikkannya di paha bagian dalam ibu.
"Ibu, jangan tidur ya!" Aku berusaha mengajaknya berbicara agar tidak terlelap.
"Pak, tolong kasih si ibu minum,donk," ujarku pada supir bajaj yang berdiri di sebelah kanan.
"Ba.. baik bu!" jawabnya terbata.
Aku memutar tali pusatnya perlahan dengan tangan kananku. Beberapa detik kemudian seluruh bagian tali pusatnya keluar utuh. Segera kuletakkan di atas duk tadi. Aku bernafas lega.
"Alhamdulillah.." Aku mengucap syukur dalam hati.
Si ibu mulai menyeruput air mineral ukuran gelas yang disodorkan supir bajaj dan menghabiskannya. Wajahnya mulai terlihat sedikit segar.
"Pak, bantu saya gotong ibunya ke dalam, ya," pintaku pada supir bajaj.
"Iya bu," Ia segera meraih tangan kiri si Ibu dan memapahnya. Aku keluar dari ruang supir di dalam bajaj. Beruntung hujan sudah berhenti. Kami segera memapahnya ke dalam ruangan bersalin. Daster yang dikenakan si ibu telah basah oleh darah di bagian pinggang ke bawah.
"Naik ke atas tempat tidur bisa, Bu?" tanyaku padanya setengah melirik.
"Bisa, Bu Bidan." Ia menjawab dengan suara yang lebih santai.
Aku mulai memeriksa tanda vitalnya setelah memasangkan alas bokong dan melepaskan sarung tangan penuh darah yang tadi kukenakan.
"Ibu cuma sendirian? Suaminya mana?" tanyaku mencoba mengumpulkan data pasien pada formulir rekam medis miliknya.
"Suami tadi masih di jalan dari tempat kerja, Bu Bidan. Jadi tadi saya berangkat duluan." Ia mencoba menceritakan kronologis.
"Gak ada keluarga yang nemenin?" aku meliriknya sekilas, pandangan tetap pada formulir yang harus segera diselesaikan pengisiannya.
"Gak ada, Bu. Kami sendirian di sini. Keluarga jauh di Sukabumi." Kulihat ia menenggak minuman yang baru saja diberikan oleh Mey.
Aku terdiam. Berkosentrasi pada indikator tensi meter di hadapanku. Normal. Kuraba nadi di pergelangan tangannya selama satu menit. Terhitung normal juga. Termometer yang kupasang pada ketiaknyapun ikut berbunyi, kulihat angka di layar menunjukkan bahwa suhunya juga normal.
"Ibu, selama dua jam ke depan jangan tidur dulu, ya. Saya masih observasi dulu," ujarku pada si Ibu yang mulai menguap.
"Observasi itu apa Bu Bidan?" Ia berhenti menguap dan memandangku penuh tanya."Observasi itu pemantauan. Jadi saya harus memantau kondisi Ibu dalam dua jam ke depan. Baik keadaan umu, seperti pucat atau tidak, lalu tekanan darah, suhu, pernapasan, denyut nadi, dan kondisi darah paska persalinannya." Aku mencoba menjelaskan dengan bahasa yang bisa lebih dimengerti oleh orang awam.
"Oh begitu. Oke Bu Bidan. Saya juga mau nungguin suami saya datang dulu, kok." jawabnya.
"Siap, Bu. Saya ijin nengok bayi Ibu dulu di sebelah, ya." Aku berpamitan.
"Iya Bu Bidan, silakan."
Aku pun meninggalkan si ibu demi melihat bayinya.
"Gimana Mey?" tanyaku oada Memey yang tengah mengisi lembar rekam medis milik si bayi baru lahir.
"All is fine kak. Apgar Scorenya bagus," jawabnya santai seraya mengarahkan telunjuk dan ibu jari yang membulat, padaku.
"Cewek ya?" Aku kembali bertanya saat hendak menyingkap selimut bayinya.
"Cowok, Kak!" Ia protes.
"Eh, cowok? Ealah, gak merhatiin." Kututup selimut bayi tadi dan melangkah ke luar ruangan.
"Hihi." Memey terkekeh.
"Udah disuntik vit.K, Mey?" Langkahku terhenti, dan kembali bertanya padanya.
"Udah, Kakakku.." Memey menjawab dengan nada setengah lelah dan nyinyir.
"Ya udah, jangan lupa observasi, ya. Kakak mau rebahan sebentar dulu." Aku menitip pesan padanya. Mata sudah semakin berat.
"Siap!" Ia menjawab dengan gaya memberi hormat ketika mendekatiku.
"Haish, lebay!" Akupun menurunkan tangan kirinya yang ia letakkan di sebelah alis.
"Dek..." suara pria dari arah ujung lorong menghentikan langkahku yang hendak menuju ruang istirahat.
Aku membalikkan badan. Di hadapanku muncul sosok yang sangat aku kenal sepuluh tahun lalu.
"Baik, sila mempelai pria menjabat tangan wali." Penghulu memberi intruksi untuk diikuti oleh Eki"Bismillahhirohmanirrahim. Saudara Reiki Savian Altezza bin Kuncoro Adi Kusumo. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan keponakan saya yang bernama Elmima Kamaniai Izdihar binti Nelson Izdihar dengan mas kawinnya berupa dua puluh gram logam mulis, seperangkat alat shalat dan mushaf wanita dibayar tunai," ucap om Kenzi dengan suara berat seolah menahan tangis."Saya terima nikah dan kawinnya Elmima Kamaniai Izdihar binti Nelson Izdihar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai." Eki mengucapkan janjinya dengan lantang tanpa ada kesalahan sedikitpun."Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu ke arah saksi, juga para tamu yang hadir."Sah!" Seluruh yang hadir mengucapkan satu kalimat yang kami nanti."Alhamdulillah..."Seisi ruangan mengucap hamdalah. Pertanda aku telah sah menyandang gelar nyonya Eki.Aku mengusap wajah. Menutup wajah
Aku duduk sendiri di kamar, membiarkan penata rias melakukan aksinya. Puluhan tetes kecil foundation cair ia berikan pada wajahku, lalu diratakan menggunakan spons. Kembali ia membubuhkan foundation berbentuk stick berwarna sedikit lebih terang pada wajahku, diratakan kembali. Ia menambahkan shading berwarma coklat pada bagian bawah tulang pipiku di kanan dan kiri, meratakannya dengan kuas. Setelah itu ia menepuk-nepuk mukaku dengan bedak tabur bewarna natural. Lalu membubuhkan blush on berwarma pink pada pipi.Aku memperhatikannya dengan mata mengintip. Ia masih asyik membubuhkan warna pada kelopak mataku. Memberikan garis hitam pada tepinya. Memasangkan maskara yang kemudian ditimpa bulu mata palsu, lalu alis yang simetris."Akhirnya sahabat gue mau married juga. Gimana rasanya, Mim?"Suara Tri yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mengagetkanku."Eh lo, baru dateng sih. Tapi syukur deh lo dateng sekarang. Deg-deg-an nih gue..""Udah, bismillah." I
Akankah semua akan berakhir seperti sebelumnya? Bahkan membayangkannya saja aku tak sanggup walau telah berserah.Aku mencoba menekan panggilan suara dari aplikasi pesan instan. Berharap pemilik telepon yang aku tuju menerima panggilan. Mehempaskan keresahan.Tuut.... nada panggilan tersambung namun tak ada jawaban.Tuut... kembali nada panggilan tersambung.[Halo assalammualaikum] sapa di seberang.[Allahuakbar, waalaikumsalam. Kamu dimana? Gimana pesawatnya?] Tanyaku beruntun.[Aku masih di Muscat International Airport. Pesawat gak ada yang bergerak karena badai.] terangnya.Aku mulai sesegukan.[Mima, aku ga akan menggagalkan pernikahan ini. Aku berusaha sekuat tenaga agar tetap sesuai jadwal. Kalau tidak, enggak mungkin aku membersamai kamu sejak enam bulan lalu.] Ia mencoba menenangkanku.[Iya, tapi... aku enggak bisa membohongi diri kalau aku khawatir. Khawatir kita sebetulnya tidak berjodoh. Menyesakkannya lagi, sem
"Mim..." Suara tante Rita saat mendekatiku yang sedang duduk di ruang tamu."Ya Tante," jawabku buru-buru meletakkan telepon."Gimana persiapan pernikahan kalian?" Ia bertanya seolah tahu apa yang tengah terjadi."Barusan telepon mama Inen. Ternyata Mama Inen belum dapat bahan tile untuk kebaya Mima. Mana waktu tinggal empat belas hari lagi," curhatku. Entah kenapa hatiku tak tenang. Kepalaku mendadak pening."Trus saran mama Inen bagaimana?" Tante Rita yang tahu aku selalu mudah cemas dengan kondisi seperti inipun terdengar khawatir."Mima disuruh ke toko tempat Mima beli kain. Barangkali di sana ada." Aku memberi tahu tante Rita solusi dari mama Inen tadi sambil memijat kedua sudut keningku."Kapan Mima mau ke sana?" Ia kembali bertanya, wajahnya ikut khawatir dan tak tahu harus melakukan apa."Hari ini mungkin Tante. Mumpung Mima libur." Aku menjelaskan rencanaku pada tante Rita."Seserahan sudah selesai? Sudah dibeli semua?
Aku memesan taksi online, menantinya dengan rasa gusar. Sudah jam empat sore, dan sebentar lagi jalanan ibu kota akan ramai. Beruntung taksi tiba dalam lima belas menit. Setidaknya aku berangkat sebelum jam pulang kantor.[Kamu sudah dimana?] Chat Eki terdengar resah.[Di jalan, baru keluar jatinegara.][Lewat tol aja ya, biar cepat. Aku udah mau sampai.] balasnya.[Oke. See you then]Klik!Aku mengunci gawai, pandangan kuedarkan ke luar jendela. Dalam beberapa menit ke depan, Eki akan meninggalkan Indonesia. Itu berarti tidak akan ada lagi lelaki penuh kejutan yang datang ke puskesmas, rumah mama, atau kostanku. Tanpa sadar, aku menyukai kejutan yang dibuatnya. Mungkin akan merindukannya beberapa saat, hingga nanti penghulu menyatukan kami dalam akad.Perjalanan ke bandara memakan waktu sembilan puluh menit. Aku tiba di terminal yang dimaksud, tiga puluh menit sebelum jadwal check-in. Eki sudah berdiri disana. Dengan celana chino war
"KUDA disini, singkatan dari Kendaraan, Uang, dan DArah. Pastikan ada kendaraan yang mudah dijangkau untuk kondisi darurat, lalu uang, atau tabungan persalinan. Biaya bersalin cukup mahal. Paling murah itu satu juta. Itu pun jika normal tanpa komplikasi. Kalau ada komplikasi atau malah operasi, biayanya bisa sepuluh kali lipat dari itu Pak. Jadi mulai menabung ya Pak. Biar nanti gak bingung dana kalau kondisi darurat. Yang terakhir ialah darah. Di Indonesia yang penduduknya padat, sangat sedikit stok darah. Karena itu, biar gak pusing cari donor, bapak siapkan dari sekarang calon pendonornya. Ibu golongan darahnya A kan? Bapak apa?""Saya A juga Bu Bidan," jawab si suami."Nah Bapak bisa jadi donor, keluarga yang golongan darahnya A juga dimintai tolong jadi donor jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Tapi bilangnya dari sekarang, jangan pas butuh. Biar mereka juga standby.""Baik Bu Bidan. Lalu kalau isteri sendiri, apa yang harus dipantang?" Ia kembali bertanya. Aku
HeyHavana, ooh na-na (ay)Half of my heart is in Havana, ooh-na-na (ay, ay)He took me back to East Atlanta, na-na-naOh, but my heart is in Havana (ay)There's somethin' 'bout his manners (uh huh)Havana, ooh na-na (uh)Aku yang tengah bersiap untuk berangkat kerja, mengambil gawai yang tergeletak di atas meja.[Halo Assalammualaikum] salamku menjawab telepon.[Waalaikumsalam. Kamu udah mau berangkat?] tanya Eki di seberang.[Iya, ini lagi mau pakai sepatu. Kamu pesawat jam berapa?][Malam jam tujuh, jadi mau anter ke bandara? Kalau capek gak usah.] Ia memberi saran.[Insya Allah iya. Aku pulang dinas jam tiga. Semoga gak ada halangan. Nanti aku kabari, ya.][Iya, ya sudah. Aku packing dulu, ya. Hati-hati berangkatnya. Wassalammualaikum.][Iya. Waalaikumsalam]Tit!Panggilan terputus. Aku bergegas memakai sepatu dan meninggalkan kamar kost menuju parkiran."Pak Jaja?" Aku m
Aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu dengan jantung berdebar. Ada rasa takut menghinggapi. Bukan, bukan karena penyakit mama yang memungkinkan ia kumat. Tapi keberadaan Kellan. Aku takut ia bersikap menjengkelkan ketika prosesi berlangsung.Mama dan tante Rita tiba di ruang keluarga lebih dulu. Menyapa Eki dan keluarganya, bersalaman, dan tersenyum manis, tenang. Ketika mama melirik ke arah Kellan yang tersenyum, ia sempat terdiam, lalu... Histeris!"Kamu mau ngapain disini?? Kamu mau apa? Kenapa kamu ada dirumah saya? Pergi kamu penjahat! Pergiii!!!" pekiknya dengan wajah merah padam dan nafas terengah menahan emosi yang meluap tak beraturan."Mama, tenang Ma.." Aku menepuk pundaknya."Uni, saba uni...," Tante Rita ikut menenangkan."Pergii, kamu pembunuh! Pergiii!" Kembali mama histeris seraya mengambil makanan dan melemparnya ke arah Kellan. Tak lama memegang kepalanya dan ambruk!"Mamaaa.." teriakku.Baru aku akan menopang bada
"Silakan dicicipi menunya," ucap staff Adhiyakti Wedding Organizer.Aku dan Eki mencoba aneka menu yang dihidangkan bergantian untuk dipilih sebagai sajian saat resepsi. Appetizer, main course, dessert, pondokan, semua terasa sangat enak di lidahku. Tak terasa perutku menjadi penuh."Bagaimana, Mba?" tanya staff tadi."Saya pesan yang ini saja. Jika undangan saya sebar seratus, berasa porsi harus kami siapkan?" Aku meminta pendapat."Tiga ratus saja, Mba. Pamali kalau kurang. Mending berlebih," tukasnya."Baiklah. Kami menurut saja," balas Eki.Setelah sesi mencoba makanan, kami beralih memilih desain undangan, dekorasi, baju adat, dan paket foto plus video. Semua bagus-bagus, sebanding dengan harga yang mereka bandrol dalam masing-masing paket.Sesi diskusi saat mengunjungi WO biasanya mencuatkan intrik antar pasangan. Di mana ada selera dan kemauan yang tak seiring sejalan. Bersyukur, aku dan Eki tidak mengalami hal tersebut.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen