Bidan Mima

Bidan Mima

last updateTerakhir Diperbarui : 2022-07-06
Oleh:  cicilia.coprinaOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
34Bab
3.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sinopsis

Menjadi bidan bukanlah cita-citaku. Dalam pikiranku, bidan adalah profesi yang identik dengan wajah judes. Namun saat ini, bidan adalah profesi yang kujalani. Suka duka pekerjaan telah kulalui hingga akhirnya aku jatuh cinta dengan pekerjaan ini, dan tak sadar usiaku sudah seperempat abad. Mama menuntutku segera mencari jodoh sesegera mungkin. Andai saja ada toko yang menyediakannya. Lebih memalukan lagi, beliau meminta pertolongan sahabatku. Menyebalkan buka ? Tapi mau bagaimana lagi? Dengan jam kerja seperti ini, membuatku sulit dan tak sempat mengenal lelaki lebih banyak selain suami pasien. Ough! Hingga akhirnya aku bertemu dia, pria yang pesonanya selalu membuatku terlihat clumsy dan memalukan. Perjalanan cinta dan pekerjaanku sepertinya akan sedikit lebih berwarna dengan latar tempat yang tak melulu Puskesmas. - Mima -

Lihat lebih banyak

Bab 1

Penumpang Bajaj

Gambar yang ditampilkan oleh benda pipih berukuran tiga puluh dua inchi di hadapanku seketika berubah saat tombol pada remotenya kutekan. Hujan deras di luar, ditambah petir yang menggelegar dan saling bersahutan, membuatku mulai menguap dan mata menjadi berat.

"Ga ada yang seru ih acara tivi. Garing semua!" gerutuku sambil mengangkat tubuh menuju ruang jaga.

"Bu Bidan... tolong!" Terdengar suara teriakan yang menggema dari arah lorong Puskesmas.

Tiba - tiba seorang pria paruh baya masuk ke ruangan bersalin saat aku baru saja akan merebahkan diri di ruang istirahat.

"Kenapa, Pak?" tanyaku dengan mata yang sempat redup, mendadak terang benderang dan segera bangkit mencari sendal.

"Penumpang bajaj saya anaknya keluar, Bu!" Bapak supir bajaj berkata dengan nada panik dan wajah yang pucat.

"Memey, siapin partus set, APD, bedong!" teriakku pada bidan magang. Aku pun berlari mengambil alat pelindung diri dan memakai handscoon, alias sarung tangan karet.

"Siap kak!" Ia segera berlari menghampiri sterilizer, membukanya, mengambil partus set, kassa, lalu jarum suntik dan ampul berisi oksitosin yang kemudian disimpan dalam tempat alat persalinan. Berlari ke arah lemari bedong bayi, menyambar salah satu kainnya, lalu mengikutiku di belakang dengan secepat kilat memakai Alat Perlindungan Diri sambil berjalan. Semua dilakukan dengan gesit.

Kami mengayunkan kaki lebih cepat hingga tiba di depan bajaj tak sampai lima menit.

Saat pintu bajaj dibuka oleh sang supir, kepala dan separuh bahu bayi sudah menjuntai. Sang ibu terlihat kepayahan dan banjir keringat. Aku segera masuk ke tempat supir bajaj dan menghadap ke belakang.

"Mey, partus set buka. Taruh di jok sebelah ibunya. Duk nya kesiniin!" Aku mengadahkan tangan kanan meminta alat yang kusebut.

Memey bergerak cepat meletakkan partus set dan memberikan duk, berupa kain hijau padaku.

Tangan kananku segera menahan perineum agar tak robek terlalu besar. Tangan kiri berusaha menangkap bayi saat meluncur.

"Ibu ikuti aba-aba saya, ya. Tarik nafas, dorong!" Aku memberi instruksi seraya mempraktikkan. "Tarik napasnya yang dalam, ya, bu. Mata lihat ke perut, lalu dorongnya dari perut kayak mau buang air besar, jangan dari leher." 

Sang Ibu mengarahkan pandangannya ke perut dan mulai mengejan dengan sekuat tenaga.

"UHHH,,, AHHHH!!!" 

Bayi mungil itu perlahan meluncur, memperlihatkan tali panjangnya di bagian perut, lalu kelaminnya disusul kakinya.

Syuut!

Tangan kananku menangkap dadanya, tangan kiri mengapit kedua paha si bayi. Aku menariknya dan segera memberikannya pada Memey yang sudah bersiap dengan bedong terbuka di sebelah kananku. Di belakang Memey, sang supir bajaj memayunginya agar terlindung dari hujan.

Aku tetap fokus pada si ibu, segera memasang klem dan memotong tali pusatnya. Memey berlari masuk ke dalam puskesmas dan meninggalkan si ibu yang mulai tampak kelelahan dengan nafas terengah.

Tangan kananku memegang tali pusat yang sudah putus, tangan kiri meraba perut si ibu. Setelah dipastikan bahwa tak ada bayi kedua, aku langsung menyambar jarum suntik yang telah diisi cairan oksitosin dan menyuntikkannya di paha bagian dalam ibu.

"Ibu, jangan tidur ya!" Aku berusaha mengajaknya berbicara agar tidak terlelap.

"Pak, tolong kasih si ibu minum,donk," ujarku pada supir bajaj yang berdiri di sebelah kanan.

"Ba.. baik bu!" jawabnya terbata.

Aku memutar tali pusatnya perlahan dengan tangan kananku. Beberapa detik kemudian seluruh bagian tali pusatnya keluar utuh. Segera kuletakkan di atas duk tadi. Aku bernafas lega.

"Alhamdulillah.." Aku mengucap syukur dalam hati.

Si ibu mulai menyeruput air mineral ukuran gelas yang disodorkan supir bajaj dan menghabiskannya. Wajahnya mulai terlihat sedikit segar.

"Pak, bantu saya gotong ibunya ke dalam, ya," pintaku pada supir bajaj.

"Iya bu," Ia segera meraih tangan kiri si Ibu dan memapahnya. Aku keluar dari ruang supir di dalam bajaj. Beruntung hujan sudah berhenti. Kami segera memapahnya ke dalam ruangan bersalin. Daster yang dikenakan si ibu telah basah oleh darah di bagian pinggang ke bawah.

"Naik ke atas tempat tidur bisa, Bu?" tanyaku padanya setengah melirik.

"Bisa, Bu Bidan." Ia menjawab dengan suara yang lebih santai.

Aku mulai memeriksa tanda vitalnya setelah memasangkan alas bokong dan melepaskan sarung tangan  penuh darah yang tadi kukenakan.

"Ibu cuma sendirian? Suaminya mana?" tanyaku mencoba mengumpulkan data pasien pada formulir rekam medis miliknya.

"Suami tadi masih di jalan dari tempat kerja, Bu Bidan. Jadi tadi saya berangkat duluan." Ia mencoba menceritakan kronologis.

"Gak ada keluarga yang nemenin?" aku meliriknya sekilas, pandangan tetap pada formulir yang harus segera diselesaikan pengisiannya.

"Gak ada, Bu. Kami sendirian di sini. Keluarga jauh di Sukabumi." Kulihat ia menenggak minuman yang baru saja diberikan oleh Mey.

Aku terdiam. Berkosentrasi pada indikator tensi meter di hadapanku. Normal. Kuraba nadi di pergelangan tangannya selama satu menit. Terhitung normal juga. Termometer yang kupasang pada ketiaknyapun ikut berbunyi, kulihat angka di layar menunjukkan bahwa suhunya juga normal.

"Ibu, selama dua jam ke depan jangan tidur dulu, ya. Saya masih observasi dulu," ujarku pada si Ibu yang mulai menguap.

"Observasi itu apa Bu Bidan?" Ia berhenti menguap dan memandangku penuh tanya.

"Observasi itu pemantauan. Jadi saya harus memantau kondisi Ibu dalam dua jam ke depan. Baik keadaan umu, seperti pucat atau tidak, lalu tekanan darah, suhu, pernapasan, denyut nadi, dan kondisi darah paska persalinannya." Aku mencoba menjelaskan dengan bahasa yang bisa lebih dimengerti oleh orang awam.

"Oh begitu. Oke Bu Bidan. Saya juga mau nungguin suami saya datang dulu, kok." jawabnya.

"Siap, Bu. Saya ijin nengok bayi Ibu dulu di sebelah, ya." Aku berpamitan.

"Iya Bu Bidan, silakan."

Aku pun meninggalkan si ibu demi melihat bayinya.

"Gimana Mey?" tanyaku oada Memey yang tengah mengisi lembar rekam medis milik si bayi baru lahir.

"All is fine kak. Apgar Scorenya bagus," jawabnya santai seraya mengarahkan telunjuk dan ibu jari yang membulat, padaku.

"Cewek ya?" Aku kembali bertanya saat hendak menyingkap selimut bayinya.

"Cowok, Kak!" Ia protes.

"Eh, cowok? Ealah, gak merhatiin." Kututup selimut bayi tadi dan melangkah ke luar ruangan.

"Hihi." Memey terkekeh.

"Udah disuntik vit.K, Mey?" Langkahku terhenti, dan kembali bertanya padanya.

"Udah, Kakakku.." Memey menjawab dengan nada setengah lelah dan nyinyir.

"Ya udah, jangan lupa observasi, ya. Kakak mau rebahan sebentar dulu." Aku menitip pesan padanya. Mata sudah semakin berat.

"Siap!" Ia menjawab dengan gaya memberi hormat ketika mendekatiku.

"Haish, lebay!" Akupun menurunkan tangan kirinya yang ia letakkan di sebelah alis.

"Dek..." suara pria dari arah ujung lorong menghentikan langkahku yang hendak menuju ruang istirahat.

Aku membalikkan badan. Di hadapanku muncul sosok yang sangat aku kenal sepuluh tahun lalu.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
34 Bab
Penumpang Bajaj
Gambar yang ditampilkan oleh benda pipih berukuran tiga puluh dua inchi di hadapanku seketika berubah saat tombol pada remotenya kutekan. Hujan deras di luar, ditambah petir yang menggelegar dan saling bersahutan, membuatku mulai menguap dan mata menjadi berat."Ga ada yang seru ih acara tivi. Garing semua!" gerutuku sambil mengangkat tubuh menuju ruang jaga."Bu Bidan... tolong!" Terdengar suara teriakan yang menggema dari arah lorong Puskesmas.Tiba - tiba seorang pria paruh baya masuk ke ruangan bersalin saat aku baru saja akan merebahkan diri di ruang istirahat."Kenapa, Pak?" tanyaku dengan mata yang sempat redup, mendadak terang benderang dan segera bangkit mencari sendal."Penumpang bajaj saya anaknya keluar, Bu!" Bapak supir bajaj berkata dengan nada panik dan wajah yang pucat."Memey, siapin partus set, APD, bedong!" teriakku pada bidan magang. Aku pun berlari mengambil alat pelindung diri dan memakai handscoon, alias sarung tangan karet."Siap kak!" Ia segera berlari mengham
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-01
Baca selengkapnya
Double Date
Aku membalikkan badan. Di hadapanku muncul sosok yang sangat aku kenal sepuluh tahun lalu. "Loh, Ujang? Ngapain disini?" tanyaku keheranan. "Eh Mima? Uhm, kerja di sini?" Ia juga bertanya. "Iya, Bidan disini. Kamu ngapain di sini?" Aku mengulang pertanyaan yang belum dijawabnya. "Aku nyari isteriku, tadi dia bilang mau ke puskesmas sini. Jadi aku segera menyusul." Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling lorong. "Isterinya sakit apa? Di sini ga ada ruang perawatan umum," ujarku menjelaskan. "Isteriku hamil." Ia menjawab dengan pandangan tak lepas pada sekeliling ruangan. "Eh, jangan - jangan yang barusan aku tolong lahiran di bajaj?" Mataku melirik ruang bersalin, "Di dalam situ sih pasiennya." "Aku boleh lihat, Mim?" Tanyanya hati-hati menunggu persetujuan. "Iya, boleh, silakan." Aku menunjukkan jari ke ruangan yang kumaksud. Ujang menghampiri ruangan yang kutunjuk tadi. Aku mengikutinya. Ia segera memeluk pasien tadi dan menyiuminya berkali-kali di bagian kepala dan pipi.
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-02
Baca selengkapnya
Aib
"Saya pesan nasi sapi lada hitam sama lemon squash ya, Mba." ucap Tri sambil mengangkat telunjuknya."Saya ifumie sama sweet ice tea." susul Eki."Saya bakso aja." ucap teman di sebelahnya.Hening.Semua melirikku."Lo diet? Lama bener milih menunya?" Kembali Tri mengejekku dengan wajah menyebalkannya itu.Uh! Ingin rasanya kutelan ia bulat-bulat."Iya sebentar, Uhm, saya mie siram seafood aja, Mba," ujarku."Minumnya apa, Bu? Pak?" sang pelayan mengarahkan jempolnya ke arahku dan teman Eki."Saya es teh tawar.""Saya es teh tawar." ucap kami berbarengan"Weits, kompak bener," Tri tertawa puas sekali dengan ketidaksengajaan yang terjadi tanpa skenario itu.Aku melirik ke arah Eki, kulihat air mukanya berubah.*"Jadi kamu nyuruh aku bawa teman karena mau ngejodohin Mima sama temenku?" tanya Eki ke arah Tri. Kulihat Tri mengangguk.Aku yang sedang menyuap mie dan mendengarnya, sontak terbatuk."Uhukk! Uhukk!" Mie yang baru kusuap masuk ke hidung.Sial!Seketika itu, Eki yang duduk dih
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-02
Baca selengkapnya
Pre Eklampsia
"Pagiii," sapaku ketika baru saja memasuki ruang bersalin."Pagi kak Mima, ceria amat!" Balas Memey, rupanya jadwal jaga kami sama lagi."Biar pasien ANC (Ante Natal Care - periksa hamil) pada semangat, Mey, jadi kita kudu semangat," ucapku mengangkat kepalan ke arah samping telinga. "Ada berapa pasien?" Aku melirik list pendaftaran dan status yang tersusun di meja."Ada delapan, Kak. Padahal baru jam tujuh pagi. Udah banyak aja yang datang." Ia menguap."Oke deh. Jam delapan kita mulai, ya." Aku menepuk pundaknya, membuyarkan sesi menguapnya dan mengerling."Ih kak Mima, mah. Ilang deh hasrat nguapnya." Ia mengerucutkan bibirnya ke arahku.Aku cekikikan, suka sekali mengerjai mahasiswa magang satu ini. Ekspresif.**"Ibu Asri, saya periksa perutnya dulu ya, Bu" Aku memegang metlin alias meteran untuk mengukur perut ibu hamil, memanjangkannya dari fundus (puncak perut di bawah dada) ke symphisis pubis (bawah tulang pinggul atau kelamin). Lalu melakukan palpasi (perabaan), mencari bagi
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-02
Baca selengkapnya
Rujuk
"Bapak ngapain, sih? Mau saya laporin, menghalangi ambulan jalan? Bukannya Bapak yang bohong, ya? PNS (-Pegawai Negeri Sipil) aja ngaku polisi!" Aku membentak pengemudi kurang ajar tadi dari arah kursi penumpang. Pak Dayat, supir ambulan kami kaget dengan bogem mentah yang dilayangkan tiba-tiba. Ia meraba pipinya yang memerah dan sedikit darah yang keluar dari hidung. Aku segera menghambur keluar, menghampiri pengemudi tadi. "Bapak pinggirin, gak, mobilnya? Jangan sampai saya foto muka dan mobil bapak, lalu saya viralkan di social media, ya!" Ancamku yang bersiap mengambil gawai dan membuat wajah si pengemudi tak tahu diri tadi pucat pasi. "Kamu berani sama saya?" Ia menantangku. "Saya bilang pinggiran mobilnya SE-KA-RANG!" Aku menekankan ucapanku seraya membuat video dengan kalimat pembuka, "Guys, aku lagi bawa pasien darurat nih. Eh ada bapak sok hebat yang ngaku polisi, ngehalangin jalan, ini mukanya. Ada yang kenal gak?" Kuarahkan kamera ke wajahnya yang tadi begitu sombong.
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-02
Baca selengkapnya
Pingsan
"Mas Ryan?.." Aku berusaha menyembunyikan rasa terkejutku."Mi-Mima??" Ia tak kalah terkejut, hingga tergagap, "Ka-kamu kerja di-di sini?" tanyanya kikuk."Uhm.. Iya, kan, aku Bidan di sini. Mas Ryan ngapain?" Aku bertanya, pura-pura tidak tahu apa-apa."A-aku, aku, Uhmm ...." jawabnya menggantung."Ya udah, Mas, aku duluan, ya. Capek banget soalnya tadi banyak pasien. " Aku memotong kalimatnya, berpamitan."Ah, oh iya. Oke! Hati-hati, ya." balasnya.Aku berlalu meninggalkan mas Ryan dan mengucap istighfar tanpa henti. Aku tidak siap atas pernyataannya, begitupun ia yang belum siap untuk menjawab pertanyaanku. Biarlah ia dan Ayu selesaikan sendiri. Itu urusan rumah tangga mereka. Bukan kapasitasku untuk mengorek lebih jauh. Aku harus membentengi diri agar tidak takut menikah.**"Hoammm.." Aku merentangkan tangan, menarik seluruh uratku agar lebih siap bekerja.Sinar mentari menyusup dari balik gordyn kamar kostku hingga sedikit menerpa sisi tempat tidur.Ah iya, hari ini aku dinas s
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-04
Baca selengkapnya
Kontrasepsi (1)
"Ah akhirnya selesai!" Aku tersenyum lega, "Adek bayinya udah bisa nyusu, Bu?" tanyaku melirik ke arah si ibu dari posisi menjahit perineum (-otot, kulit, dan jaringan yang ada diantara kelamin dan anus)."Dikit lagi, Bu Bidan, gak boleh dibantu, ya, ini?" "Gak boleh bu, biar dia berusaha. Lebih dari satu jam juga ga apa-apa," ucapku tegas."Dia gak kehausan memang, Bu Bidan?""Ga kok. Bayi baru lahir sanggup gak menyusu sampai 72 jam setelah lahir. Mereka masih punya cadangan cairan dari pas dalam kandungan." Aku berusaha menjelaskan.Si ibu tak menghiraukanku. Kulihat ia memandang bayi merahnya sambil sesekali tangan kanannya mengelus kepala si bayi yang masih lengket dengan lemak dan bekas darah dengan lembut. Tatapannya yang mesra, penuh sayang dan penuh kasih. Begitu intim hingga membuatku iri dan membuat senyum simpul."By the way, saya dapat berapa jahitan, Bu Bidan?" tanya si ibu tiba-tiba."Ga usah ditanyalah, Bu. Yang penting saya bikin cantik dan sippp! Berasa perawan lagi
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-05
Baca selengkapnya
Ante Natal Care
Sudah lima hari Eki istiqomah tidak menghubungiku. Aku cukup takjub dengan komitmennya. Tak menyangka ia akan menuruti permintaan anehku ini, atau mungkin ia memang hanya iseng mendekati? Entahlah.Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Seperti pagi ini."Pagi semua.." Aku menyapa kepala ruangan yang sedang mengisi kohort, dan Lita."Eh Mim, baru datang, kamu?" Tanya KaRu (-Kepala Ruangan)."Iya, Kak. Ada kohort yang belum diisi?" Aku menawarkan diri sebelulm menaruh tas dan berganti baju dinas."Udah dikerjakan Lita, barusan. Kamu standby pasien ANC aja di depan, gih." ucap KaRu."Oke, Kak."
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-06
Baca selengkapnya
Kencan
"Kok malah nunduk? Malu, ya?" Ia menarik daguku."Udah sih, Ki, jangan bercanda begitu lagi. Udah tau aku risih. Yang normal aja. Udah tua juga." Aku mengangkat kepalaku, masih dengan mata enggan melihatnya."Iya, deh.. Maaf. Kalau ketemu kamu, tuh, bawaannya berasa masih SMA. Lupa kalau umur udah seperempat abad lebih," seringainya."Jadi, kenapa kita ke sini?" Aku bertanya kembali."Oh iya soal itu. Maaf, ya, aku bukannya cowok yang gak bisa komit. Cuma ada kondisi mendesak yang bikin aku harus ketemu sama kamu.""Mendesak? Contohnya?" Alisku naik sebelah."Uhm.. Dua hari lalu aku dapat surat tugas ke Oman. Kontrak lima tahun?"Deg!Ada rasa menghimpit di dalam dada."Oh.. Kirain apaan." Aku berusaha tetap terdengar santai"Aku punya jatah cuti dua bulan dalam setahun. Jadi bisa aku pakai untuk pulang selama seminggu setiap tiga bulan," terangnya."Tapi tetap aja, Oman itu jauh Ki.." Suaraku memelan.
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-07
Baca selengkapnya
Operasi
"Jadi dari kapan, Kakak praktek di sini?" tanyaku."Hampir tiga tahun, lah." Kak Rifki menarik kursi di meja dekatnya."I see.. ." Aku mengikutinya, menarik kursi di sebelahnya."Dinas di mana sekarang?" tanyanya."Puskesmas, Kak.""Hoo enak, ya, gak megang yang resti?" (-Resiko Tinggi)"Iya, lah, udah gak boleh, sekarang. Banyak batasan. Lumayanlah, ngeringanin kerjaan dan stress. Haha," gelakku."Suami udah berapa, Mim?" tanyanya entah meledek atau mencibir."Astaghfirullah, emang boleh banyak, Kak? Eh," Aku cepat-cepat menutup mulut dan melihat kanan kiri, takut ada yang mendengar."Haha, pengen, ya? Gak boleh!" Ia tertawa."Dih, si Kakak. Kakak kali, tuh, yang pengen. Baru berapa emang, sekarang?" Aku menggodanya dengan memicingkan mata."Satu aja, gak kuat banyak-banyak!""Haha, dasar renta!" Aku balik mencibirnya."Biarin, yang penting udah merasakan nikmatnya dunia. Gak kayak bidan yang
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-08
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status