“Kau datang, Kay?” Richard, ayah mertua Kay, menyapa dengan suaranya yang lemah dan putus asa. Tubuhnya yang lemah masih betah berbaring di ranjang rumah sakit. “Papa harus kuat. Albern sudah mendapatkan Ibu Susu. Ayolah, pulih segera!” Kay mendekati ayah mertuanya dan memberikan semangat. Wajah Richard yang selama ini pucat dan tidak bergairah untuk melanjutkan hidup, seketika berubah. Ada harapan dari sorot matanya setelah mendengar pernyataan Kay. “Benarkah? Siapa wanita itu?” Sesaat Kay terdiam. “Dia hanya wanita biasa yang baru saja kehilangan anaknya,” jawabnya singkat. “Jadi, apa Cucuku sudah tidak menangis-nangis lagi?” Richard bertanya penuh harap, menyimpan rasa bahagia jika tebakannya benar. Kay mengangguk. “Aku harus pulang dan melihat Cucuku!” Richard ingin segera bangkit. “Tidak sekarang, Pa." Kay menahan sang mertua yang terlampau bersemangat. "Papa harus benar-benar pulih, tunggu sampai dokter memberi izin untuk pulang.” Kay mengingatkan.Sore hari, keti
Livy pasrah. “Yaa. A-aku. S-sudah. Bosan. Hidup,” jawabnya. Matanya tepat menatap mata Kay yang begitu tajam, menyala dan penuh dendam.Kay melepasnya. Ia membuang wajahnya dan kembali mendecih. “Pergi dari hadapanku sekarang!” Tak ingin memperpanjang keributan, ditambah munculnya rasa tahu diri, Livy pun berbalik dan meninggalkan Kay. Sakit hatinya jangan diukur. Sangat dalam. Benar kata pria berusia 33 tahun itu, dia bukan dirinya yang dulu. Sejak Kay memerintahkannya untuk tinggal di rumah itu, Livy pun mendapat tempat tidur yang setara dengan pembantu. Berada di belakang, melewati lorong dapur. Hal itu bukanlah suatu masalah. Bagi Livy ini adalah cara Tuhan menolongnya agar tidak terlalu berlarut dalam kesedihan di rumahnya sendiri. Meskipun, hinaan harus ia telan dari kearoganan Kay, Sang mantan yang sebenarnya terpaksa harus Livy khianati. Suster Merry yang mendampingi Albern, bahkan iba melihat Livy. Berstatus sebagai Ibu Susu namun diperlakukan bagai pembantu. Meski be
“Bukan apa-apa, Pa.” Kay memberikan gelas itu pada Livy. Ia menghampiri mertuanya dan mengajaknya menjauh dari Livy. “Kau tidak pernah semarah itu pada orang. Ada apa?” Richrd menatap Livy yang menunduk dan duduk mengambil nampan yang jatuh dari tangannya. “Dia Ibu Susunya Albern kan?” tanyanya. Kay mengangguk. Richard malah mendekati Livy. Dia berdiri tepat di hadapannya. “Aku tidak mengenalimu. Aku tidak tahu kau dari keluarga yang bagaimana. Aku tidak peduli. Yang pasti, aku berterima kasih padamu, karena sudah menyusui Cucuku. Terima kasih ya?” Livy tidak menyangka justru kalimat itu yang dia dapatkan dari tuan besar di rumah itu. Ia mengangguk sambil menunduk dengan perasaan sedikit haru. “Sudah menjadi tugas saya, Tuan.” Kay tidak nyaman jika sampai ayah mertuanya merasa Livy berjasa untuk anaknya. Bukankah itu memang sudah menjadi tugasnya? Dia dibayar untuk menjadi Ibu Susu. Bahkan dia yang mengemis untuk mendapat pekerjaan itu. “Permisi, Tuan.” Livy membalik badan dan m
Kay langsung menatap Livy yang menyentuh kakinya dan memohon. Matanya memerah dan sedikit basah. “Jadi benar?” tanyanya tidak menyangka. “Ahh!” Livy terjatuh, terduduk ke belakang, setelah Kay mengayun kakinya, melepas genggaman tangan Livy. Wanita itu terus menangis. Ia ketakutan dan terus meminta maaf. “Aku minta maaf, Kay. Ampuni aku…” Ia menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajah. “Andai anakku tidak membutuhkanmu, aku tidak akan segan-segan membunuhmu detik ini juga! Setelah Albern tidak membutuhkan dirimu lagi, jangan pernah kau menunjukkan wajah di depanku! Atau kau akan menyesal! Seumur hidupku, aku tak akan memaafkanmu!” Wajah tegas dengan mata elang itu, tampak menyimpan kekecewaan yang dalam. Hatinya diselimuti dendam, kebencian dan amarah. Ia membenci takdirnya di masa lampau yang harus jatuh cinta pada wanita yang ternyata adalah iblis. “Takdir yang paling kubenci di hidupku adalah mengenalmu!” Kay berlalu, mengantam kuat pintu kamar itu. Livy menangis se
“Kenapa kau baru muncul sekarang? Apa maksudmu meninggalkan kami?!” Livy langsung mencengkeram kerah baju David dan mengguncang tubuhnya. “Aku frustrasi!” David malah kembali membentak Livy. Dia menangkap lengan Livy. “Mana Fabian?!” “Fabian sudah mati!” teriak Livy di wajah David, sekaligus meluapkan kekesalan dan derita yang dia tanggung sendirian. “A- apa?” David melepas Livy. Dia tampak bingung. Secepat itu pula dia membuka rumah dan menarik Livy masuk ke dalam. Ia menutup kembali pintu. Bersamaan dengan itu, sebuah video sampai pada Kay. Dari jauh, dia melihat ada perseteruan antara Livy dan suaminya. Namun, berakhir, keduanya masuk ke dalam rumah. Hal itu membuat Kay menghubungi anak buahnya. “Tinggalkan tempat itu. Tak perlu kau menyelidikinya lagi!” ujarnya. “Kau jangan berbohong, Livy! Jadi, kau sudah menjualnya?” David menuduh Livy. “GILA! KAU GILA! AKU SUDAH BILANG FABIAN SUDAH TIDAK ADA!” Livy berteriak frustrasi. Dia hampir gila dengan tuduhan tidak masuk akal suami
Hatinya tidak kuat mendengar percakapan mereka. Ia segera menjauh. Livy pun membenarkan ucapan Richard, Kay berhak bahagia. Tangan Albern bergerak-gerak, seakan ingin menyentuh wajah Livy. “Albern… Sayang… Benar kata Kakekmu. Kamu dan Papa kamu berhak bahagia. Iya kan?” Livy mengajak bayi berusia dua bulan itu berbicara. Takdirnya benar-benar malang. Siap atau pun tidak, waktu itu pasti akan datang. Kay pasti akan menikah. Livy percaya semua kepahitan itu, mungkin memang karma untuknya. Ditambah setelah tidak sengaja bertemu suaminya hari ini, Livy menjadi sering melamun, berpikir yang bukan-bukan, hingga ingin mengakhiri hidup. Namun, dia sudah sayang akan Albern. Semua beban batin dan pikirannya itu membuat Livy sakit keesokan harinya. Livy sulit untuk bangkit dari kamarnya. Dia demam. Suhu tubuhnya tinggi. Tak ada yang menyadari. Namun, Livy tahu diri. Dia sadar akan tugas dan statusnya. Perlahan, sambil meraba dinding, ia berjalan keluar kamar. Melewati lorong, berjalan
Air mata Livy kembali berjatuhan saat ia kembali membaringkan tubuhnya. Ia menyalahkan dirinya atas apa yang sudah dia katakan pada Kay. 'Kenapa hatiku berkata kalau dia benar mengingat kalau aku tidak bisa minum obat? Dan hatiku sedikit senang jika itu benar. Setidaknya dia masih mengingatku.' Hatinya terbolak-balik mengingat Kay. 'Tidak... Apa yang sudah aku pikirkan? Mana mungkin Kay mengingatku. Dia sangat membenciku. Bahkan, aku sudah dianggap mati,' batinnya pilu. Selama Livy sakit, ASI-nya dipompa untuk memenuhi kebutuhan Albern. Bayi Susunya itu juga seakan mengerti kondisinya. Dia tidak rewel selama Livy sakit. Walau Suster Merry tetap harus membawa Albern ke kamar Livy agar Albern bisa tenang setelah mendengar suara ibu susunya. Kay tidak dapat melarang. Anaknya benar-benar sudah ketergantungan dengan Livy. Dia bahkan tidak menyangka walau hanya mendengar suara Livy, anaknya bisa tenang. 'Bagaimana kalau sampai Albern tidak bisa berpisah dengan Livy? Tidak! Tidak b
Kay ingin turun dari mobilnya, mendekati rumah itu dan mencaritahu apa yang terjadi di dalam. Namun, pikirannya sudah telanjur jauh. Dia malah merasa jijik jika harus mendengar percintaan Livy dan David. Tepat saat Kay ingin kembali memajukan mobilnya, dia malah melihat Livy keluar dari rumah itu dan ingin berteriak. Sigap David membekap mulutnya dan memeluk Livy untuk kembali masuk ke dalam rumah. “Lepaskan! Aku ke sini bukan untuk melayanimu! Aku mau kita bercerai!” teriak Livy. Plak! David tak segan-segan menamparnya. “Aku tidak mau! Kau bisa apa?!” bentak David. Kay langsung turun dari mobilnya. Dia mendekati rumah itu. Saat yang bersamaan, Livy kembali berusaha kabur setelah mendorong tubuh David sekuat yang dia mampu. Saat ia lari terbirit, tak sengaja dia menabrak tubuh Kay. “To- tolong aku!” ucap Livy yang panik. Namun, saat itu pula dia terdiam setelah melihat wajah pemilik dada yang bidang itu. Mata Kay menyala menatap Livy. David pun muncul. Dia terkejut setelah mel
“Sebentar.” Kay langsung beranjak. Dia keluar dari kamar Albern, meninggalkan Jenna dengan wajah kesal.“Kenapa lama sekali?! Bagaimana?” tanya Kay.“Kami kehilangan jejak, Tuan. Kami tidak punya informasi apa-apa untuk bisa melacak keberadaannya. Tadi, saat kami tiba di pemakaman, dia sudah tidak ada di sana.”Kay berdecak kesal. “Kalau begitu tetap cari tahu keberadaannya.” Tangan kirinya menekan pelipisnya.“Bolehkah kami meminta kontaknya, Tuan? Agar lebih mudah melacaknya.”“Ya, akan aku kirim.” Kay mengakhiri panggilan itu. Tangan dan jarinya pun langsung mengirim kontak Livy pada anak buahnya. Detik berikutnya, ia malah menghela napas panjang. ‘Kenapa aku malah memikirkan dia?! Kenapa aku ini?!’ batin Kay.Jenna kembali mendekati Kay. Dia memeluknya dari belakang.“Kak? Ada apa?” tanyanya, menempelkan kepala di punggung Kay.Kay menoleh dan langsung membalik badan. “Sudah malam… sebaiknya kamu tidur,” ucap Kay lembut.“Bolehkah temani aku tidur?” tanya Jenna terang-terangan.“J
Saat anak buah Kay tiba di pemakaman, ternyata Livy sudah tidak di sana. Mereka kehilangan jejak. Membutuhkan waktu lebih untuk bisa melacak keberadaannya.Ternyata setelah dari pemakaman anaknya, Livy mencari penginapan murah di pinggiran kota. Tak apa sederhana asal dia bisa tenang, tak ada yang mengganggu. Sepanjang perjalanan dari peristirahatan terakhir anaknya itu, dia terpikir untuk meninggalkan kota New York. Pergi entah ke mana saja untuk menata kembali hidupnya.‘Tapi, aku tidak tahu harus pergi ke mana…” batin Livy, saat dia sudah merebahkan diri di atas kasur kecil. Ia mengingat hidupnya yang malang. Tak punya siapa-siapa. Bahkan suaminya pun tak layak untuk disebut sebagai suami.Teringat pada David, Livy merasa dia harus segera menyelesaikan urusan mereka terlebih dahulu agar dia bebas. Tak ada hal yang mengikat dia dan David. Itu adalah langkah awal untuk mendapat ketenangan batin.Saat itu juga Livy menghubungi suaminya.“Halo…” sapa David.“Pekerjaanku sudah selesai.
“Sini Kak… biar aku yang menenangkan Albern…” Jenna mengambil Albern dari Kay. Dia langsung membawanya ke kamar.Kay masih mematung. Seperti ada yang hilang dari hatinya, dari hidupnya. Namun, semua perasaan itu terus dia sangkal. Kebenciannya pada Livy membuatnya menganggap Livy pantas mendapatkan apa yang terjadi tadi malam.‘Aku mengatakan rindu padanya sampai dia rela untuk bercinta denganku. Lalu pagi harinya aku merendahkannya dengan bayaran. Tidak! Tidak ada yang salah. Aku sudah melakukan dendamku!’“Kay? Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Richard, menepuk bahunya.Kay kembali dari lamunan. “Ah, tidak apa-apa, Pa.”“Kalau begitu, kamu lihat Albern. Kamu dan Jenna harus punya chemistry untuk sama-sama merawat Albern,” jelas Richard mengingatkan.Kay mengangguk.Sepanjang perjalanan, Livy menangis.“Ibu Livy? Maaf kalau lancang. Aku mendengar percakapan Ibu dan suami Ibu yang datang membuat keributan hari itu. Jadi, benar Ibu dan Tuan Kay dulunya…”“Pak… tolong rahasiakan ini
Livy terbangun dari tidurnya yang sangat lelap. Dia menoleh ke sebelahnya dan tidak mendapati siapa pun di sana. Ke mana Kay? Apa dia sudah bangun?Menyadari tubuhnya yang masih polos di bawah balutan selimut, membuatnya sadar bahwa apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi. Jantungnya berdebar.Jam sudah menujukkan pukul 8 pagi. Livy benar-benar tidak menyangka dia akan bangun se-siang itu. Cepat-cepat dia beranjak, menghentak selimut untuk turun dari tempat tidur.Detik berikutnya, dia mematung melihat tumpukan uang di atas tempat tidur. Seketika perasaannya tidak tenang. Hatinya hancur. Sebuah kertas menyertai tumpukan uang yang berserakan itu.‘Ini bayaranmu untuk kejadian malam ini. Jika masih kurang, katakan saja berapa kau memberikan tarif untuk permainan satu malam.’ Hati Livy tercabik-cabik membaca pesan tulisan tangan Kay. Semua itu lebih buruk dari mimpi buruk. Ternyata Kay melakukan semuanya hanya dengan nafsu, bukan cinta seperti apa yang Livy rasakan dari apa yang dia
Kay mengusap kepalanya. Dia merasa frustrasi dengan apa yang dia lihat dan dia dengar. Sedangkan akalnya terus menolak Livy. Dia tidak bisa memaafkan wanita itu. Hatinya terlalu sakit. Kebenciannya terlalu dalam. Lalu kenapa dia menitikkan air mata?Malam sudah larut, Livy pun meninggalkan Albern. Itu adalah malam terakhir dia melihat anak susunya. Besok dia akan pergi. Pekerjaannya sudah selesai.Ingin rasanya waktu berhenti agar Livy terus bisa bersama Albern, tetapi apa boleh buat. Dia bukanlah siapa-siapa.Livy berjalan lambat dari kamar Albern menuju kamarnya. Rasanya sangat berat untuk menjalani semuanya. Meski begitu, dia sudah sampai di kamarnya.Semua barang-barangnya yang tidak seberapa sudah dia siapkan dalam sebuah tas. Seperti perintah Kay yang menyuruhnya untuk mengemas semuanya.Livy menghela napas yang sangat berat. Air matanya kembali bercucuran. Ia membuka handphone-nya dan melihat foto kebersamaannya dengan Albern di sana. Bibirnya tersenyum namun suaranya terisak m
Dokter Rico mengangguk.Livy menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia terlihat resah dan bersedih.Sementara Kay, tiba-tiba dia terdiam. Ada perasaan yang dia sendiri tidak dapat mengerti. Apa dia akan merasa kehilangan jika Livy tidak ada lagi? ‘Tidak mungkin!’ batinnya menolak.“Ya sudah Dok, terima kasih,” ucap Kay pada Dokter Rico.Tak lama setelah itu Doter Rico pun pamit.Livy sudah dihantui rasa kehilangan. Hatinya mengatakan tidak siap untuk berpisah dengan Albern, tapi apa daya, dia hanyalah ibu susu yang dikontrak. Selama ini Albern sudah menjadi obat baginya. Tapi setelah beberapa hari ke depan, besar kemungkinan mereka tidak akan bersama lagi alias harus berpisah.“Artinya waktumu di sini hanya satu minggu lagi. Lebih baik kau mulai mengemas barang-barangmu sejak hari ini agar setelah kontrakmu selesai, kau bisa langsung pergi…” Kay menjelaskan pada Livy. “Apa kau mengerti?”Dada Livy sudah teramat sesak. Dia hanya bisa mengangguk. “Tuan… bo- bolehkah selama satu minggu i
Livy menggeleng. “Jangan Tuan. Sadar…” Dia berusaha memalingkan wajahnya saat Kaay mendekatkan dirinya dan menghimpit tubuhnya. “Ingat! Tuan akan menikah dengan Nyonya Jenna,” ucapnya mengingatkan. Seperti baru disadarkan, Kay langsung terdiam. Lalu dia kembali berdiri. “Wanita murahan sepertimu ternyata masih jual mahal!” Ia langsung meninggalkan Livy. Memang sangat aneh. Livy tidak tahu bagaimana menghadapi Kay. Bukan hanya ketakutan, tetapi dia juga merasa rendah mendengar semua perkataan dan hinaannya. Walau sesekali Livy berani melawan, tetap saja sikapnya terlalu kejam. Entah kapan Livy bisa tidur dengan tenang. Tanpa menyimpan rasa sedih dan ketakutan. Lagi, malam ini dia kembali menangis sebelum akhirnya terlelap. Keesokan harinya saat Livy membantu si Bibi menghidang sarapan di meja makan, Richard pun menegur Livy. “Sebenarnya apa yang Ibu Livy pikirkan sampai berani mengubah baju yang saya berikan?” tanyanya dingin, tak seramah sebelumnya. “Tuan… saya benar-benar tidak
“Kalau bukan karena kau sedang menyusui Albern, aku sudah—”“Sudah apa? Sudah mencekikku?” potong Livy. Dia mengusap air matanya.Albern menatap wajah Livy yang basah. Anak berumur satu tahun itu seakan mengerti kalau ibu susunya itu sedang bersedih. Tiba-tiba Albern pun menangis. Tangannya mencoba meraih pipi Livy.“Tidak Sayang… Mama tidak apa-apa. Lanjut mimik ya? Sini sini… Mama baik-baik saja…” bujuk Livy, pada Albern. Dia mencoba menenangkan Albern yang dipangkunya.Kay yang sebenarnya emosi, malah terdiam. Dia memperhatikan bagaimana Livy menenangkan anaknya. Yang paling membuatnya tidak habis pikir adalah reaksi Albern yang ikut menangis melihatnya menangis. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bagaimana mungkin dia meluapkan emosinya di depan anaknya sendiri?Pria matang dengan tatapan tajam itu hanya bisa menghela napas. Ia mengusap mulut dan dagunya.“Ini belum selesai! Aku tidak ingin melanjutkan karena takut terbawa emosi. Aku tidak ingin menunjukkan amarah di depan anakk
Setelah lagu ulang tahun selesai dinyanyikan, Richard memberikan kata sambutan. Ia memperkenalkan cucunya. Sembari menggendongnya, dia menjelaskan kalau selama ini cucunya tidak mungkin bisa sehat dan bahagia tanpa jasa ibu susunya.“Ibu Livy… sini.” Richard memanggil Livy.Livy pun panik. Ia sendiri tidak percaya diri dengan penampilannya yang seksi.Richard pun sebenarnya ragu, tetapi dia tetap harus memperkenalkan wanita yang telah dianggap berjasa.Livy perlahan berjalan mendekati keluarga Wisley. Dia menyatukan kedua telapak tangannya untuk memberi salam pada seluruh undangan.Kay bisa menangkap beragam komentar dari para undangan setelah melihat Livy.“Wah… itu Ibu Susunya? Cantik sekali?”“Tapi bukan dia kan yang akan menjadi calon istri Pak Kay?”“Terlihat seperti wanita tidak benar… Penampilannya saja seperti itu.”“Itu Ibu Susu atau lebih haha…”“Yakin cuma menyusui Baby Albern?”Suara-suara sumbang itu terdengar berbisik-bisik. Bahkan Livy juga mendengarnya. Ia merasa malu.