“Kau datang, Kay?” Richard menyapa dengan suaranya yang lemah dan putus asa. Tubuhnya yang lemah masih betah berbaring di ranjang rumah sakit. “Papa tidak perlu berlama-lama lagi di sini. Papa harus kuat. Albern sudah mendapatkan Ibu Susu. Ayolah, pulih segera!” Kay mendekati ayah mertuanya dan memberikan semangat. Wajah Richard yang selama ini pucat dan tidak bergairah untuk melanjutkan hidup, seketika berubah. Ada harapan dari sorot matanya setelah mendengar pernyataan Kay. “Benarkah? Siapa wanita itu?” Sesaat Kay terdiam. “Dia hanya wanita biasa yang baru saja kehilangan anaknya,” jawabnya singkat. “Jadi, apa Cucuku sudah tidak menangis-nangis lagi?” Richard bertanya penuh harap, menyimpan rasa bahagia jika tebakannya benar. Kay mengangguk. “Aku harus pulang dan melihat Cucuku!” Richard ingin segera bangkit. “Papa sabar dulu, Papa harus benar-benar pulih, tunggu sampai dokter memberi izin untuk pulang.” Kay mengingatkan. Ketika tugas Livyna selesai hari itu, dia pun
“Sabar ya Sayang… Mama akan berusaha mendapatkan uang segera. Kamu bertahan ya?”Livyna mengusap jejak airmata ketika melihat kondisi anaknya kian hari kian parah. Bayi tujuh bulan itu didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus, penyempitan saluran di antara lambung dan usus dua belas jari. Hal itu membuat bayinya tidak bisa mencerna makanan dan minuman dengan baik.Dia hanya bisa meminum ASI, yang tentu saja sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi hariannya. Kondisi bayinya bisa makin memburuk jika tidak segera ditangani.“Tuhan… aku harus mendapatkan uang dari mana?” batin Livy menangis. Dia tidak kuat melihat kondisi anaknya.Hidup yang dulunya kaya dan mentereng, kini miskin dan sebatang kara. Perusahaan keluarga bangkrut, dan terlilit hutang. Kedua orang tuanya meninggal dalam jarak satu tahun. Setelah tiga bulan pasca melahirkan, suaminya pun pergi menghilang entah ke mana.Siang harinya, ketika Livy hendak membeli makan, tiba-tiba wanita cantik itu tidak sengaja menginjak brosur
“Maaf Ibu Livy, kami belum bisa memberikan kontrak kerja.”Detik itu, Livy langsung bersimpuh di kaki Kay yang ingin segera berlalu. Pria yang dulu hangat itu kini terlihat begitu angkuh. Bahkan, tidak peduli pada air mata Livy yang kini tengah merengek di bawah kakinya.“Kay… aku mohon! Izinkan aku menyusui Albern. Aku butuh pekerjaan ini. Aku mohon….”Dia sudah berharap akan mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya. Bahkan dia tidak peduli meski dia harus dihinakan oleh mantan kekasihnya itu.“Apa kau pikir aku akan percaya pada perkataan wanita sepertimu?” kata Kai sambil menggerakkan kakinya, melepas cekalan tangan Livy di sana. “Pergi dari sini, Jalang! Aku tidak sudi melihat wajahmu!”Setelah itu, Kay pergi, meninggalkan Livy yang terisak diiringi tatapan kasihan dokter dan perawat. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi. Keputusan Kay adalah mutlak.Dalam perjalanan pulangnya, Livy mengingat kembali bagaimana hubungannya dan Kay di masa lalu. Hubungan yang terjalin selam
“Terima kasih! Terima kasih, Kay!”Karena terlalu senang, Livy sampai melonjak kegirangan usai seorang perawat memberikannya sebuah kontrak kerja.Kay langsung menatap Livy dengan tatapan yang tajam. “Ingat statusmu, dan panggil aku Tuan Kay!”Hal itu membuat Livy seketika terdiam. “Maaf. Ba- baik, Tuan Kay!” Livy menunduk, tanda memahami dan menghormati Kay sebagai majikannya.Pria itu berlalu, sementara Livy masih berhadapan dengan dokter dan suster anak yang menangani Albern secara khusus.Sembari mengantar Livy pulang kembali ke rumah sakit, dokter anak pribadi Albern itu menanyakan sesuatu yang membuat Livy terhenyak sesaat.“Anak Ibu sakit apa?” tanya Dokter Rico.“Anak saya…” Awalnya Livy ingin jujur. Tetapi, dia khawatir jika memberi tahu penyakit anaknya akan berakibat pemutusan kontrak, Livy pun memutuskan untuk berbohong. “Anak saya demam, Dok.”Livy berani berbohong, sebab dia tahu betul penyakit anaknya bukanlah penyakit menular. Sehingga, pun dia menyembunyikan kebenaran
“Ibu Livy? Sebenarnya anak Ibu sakit apa?” Livy yang tengah menunggu di depan ruang tindakan mendongak saat mendengar seseorang berhenti di hadapannya. Dokter Rico, pria itu terlihat khawatir ketika menemukan Livy tengah menangis dengan kondisi yang memilukan seorang diri. “Anak saya kritis, Dok….” Livy pun akhirnya bercerita jujur pada Dokter Rico mengenai penyakit Fabian yang didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus. Wajah Dokter Rico terlihat semakin khawatir. Untuk itu, tanpa Livy tahu, Rico mengambil jarak dan melaporkannya pada Kay. Di rumah, Kay sempat terdiam setelah mendengar penjelasan mengerikan dari Rico ‘Jadi, sebenarnya dia membutuhkan uang untuk biaya operasi anaknya?’ batinnya. Kini dia paham, untuk apa Livy mengemis bantuannya berkali-kali. “Temui dokternya dan katakan untuk segera lakukan operasi. Saya akan tanggung biayanya,” jelas Kay mengakhiri panggilan. Tak lama setelah itu, dokter yang memeriksa Fabian keluar dari ruangan. “Fabian harus segera dioperasi, j
“Kau datang, Kay?” Richard menyapa dengan suaranya yang lemah dan putus asa. Tubuhnya yang lemah masih betah berbaring di ranjang rumah sakit. “Papa tidak perlu berlama-lama lagi di sini. Papa harus kuat. Albern sudah mendapatkan Ibu Susu. Ayolah, pulih segera!” Kay mendekati ayah mertuanya dan memberikan semangat. Wajah Richard yang selama ini pucat dan tidak bergairah untuk melanjutkan hidup, seketika berubah. Ada harapan dari sorot matanya setelah mendengar pernyataan Kay. “Benarkah? Siapa wanita itu?” Sesaat Kay terdiam. “Dia hanya wanita biasa yang baru saja kehilangan anaknya,” jawabnya singkat. “Jadi, apa Cucuku sudah tidak menangis-nangis lagi?” Richard bertanya penuh harap, menyimpan rasa bahagia jika tebakannya benar. Kay mengangguk. “Aku harus pulang dan melihat Cucuku!” Richard ingin segera bangkit. “Papa sabar dulu, Papa harus benar-benar pulih, tunggu sampai dokter memberi izin untuk pulang.” Kay mengingatkan. Ketika tugas Livyna selesai hari itu, dia pun
“Jaga sikapmu!” Kay langsung menangkap dan mencengkeram dagu Livy. “Kau lupa, kau siapa?! Mengapa kau menyalahkanku? Dengar! Aku tidak punya kewajiban untuk anakmu!” “Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, apa kau juga lupa kalau hanya aku yang bisa menyusui anakmu?” tanya Livy dengan beraninya. Kay tersenyum miring. Wajahnya terlihat benar-benar bengis. Ia bahkan tidak peduli dengan tatapan pedih Livy dan mata yang sembab. Ia melepas dagu Livy yang dicengkeramnya dengan kasar. “Lalu, kau mau apa?” balas Kay. Ia memperbaiki kerah dan lengan bajunya. “Aku bisa saja meninggalkan pekerjaanku sebagai Ibu Susu anakmu!” ancam Livy. “Oh ya? Sepertinya kau tidak membaca perjanjian kerja itu secara menyeluruh. Kalau bukan dokter Rico yang mengatakan kau sudah tidak bisa menyusui, atau Albern sudah tidak butuh Ibu Susu lagi, maka kau tidak bisa berhenti dari pekerjaan ini. Atau kau akan didenda. Apa kau tidak membaca itu? Dan kalau kau tidak bisa membayar dendanya, kau akan dipenjara!” Wajah Livy
“Ibu Livy? Sebenarnya anak Ibu sakit apa?” Livy yang tengah menunggu di depan ruang tindakan mendongak saat mendengar seseorang berhenti di hadapannya. Dokter Rico, pria itu terlihat khawatir ketika menemukan Livy tengah menangis dengan kondisi yang memilukan seorang diri. “Anak saya kritis, Dok….” Livy pun akhirnya bercerita jujur pada Dokter Rico mengenai penyakit Fabian yang didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus. Wajah Dokter Rico terlihat semakin khawatir. Untuk itu, tanpa Livy tahu, Rico mengambil jarak dan melaporkannya pada Kay. Di rumah, Kay sempat terdiam setelah mendengar penjelasan mengerikan dari Rico ‘Jadi, sebenarnya dia membutuhkan uang untuk biaya operasi anaknya?’ batinnya. Kini dia paham, untuk apa Livy mengemis bantuannya berkali-kali. “Temui dokternya dan katakan untuk segera lakukan operasi. Saya akan tanggung biayanya,” jelas Kay mengakhiri panggilan. Tak lama setelah itu, dokter yang memeriksa Fabian keluar dari ruangan. “Fabian harus segera dioperasi, j
“Terima kasih! Terima kasih, Kay!”Karena terlalu senang, Livy sampai melonjak kegirangan usai seorang perawat memberikannya sebuah kontrak kerja.Kay langsung menatap Livy dengan tatapan yang tajam. “Ingat statusmu, dan panggil aku Tuan Kay!”Hal itu membuat Livy seketika terdiam. “Maaf. Ba- baik, Tuan Kay!” Livy menunduk, tanda memahami dan menghormati Kay sebagai majikannya.Pria itu berlalu, sementara Livy masih berhadapan dengan dokter dan suster anak yang menangani Albern secara khusus.Sembari mengantar Livy pulang kembali ke rumah sakit, dokter anak pribadi Albern itu menanyakan sesuatu yang membuat Livy terhenyak sesaat.“Anak Ibu sakit apa?” tanya Dokter Rico.“Anak saya…” Awalnya Livy ingin jujur. Tetapi, dia khawatir jika memberi tahu penyakit anaknya akan berakibat pemutusan kontrak, Livy pun memutuskan untuk berbohong. “Anak saya demam, Dok.”Livy berani berbohong, sebab dia tahu betul penyakit anaknya bukanlah penyakit menular. Sehingga, pun dia menyembunyikan kebenaran
“Maaf Ibu Livy, kami belum bisa memberikan kontrak kerja.”Detik itu, Livy langsung bersimpuh di kaki Kay yang ingin segera berlalu. Pria yang dulu hangat itu kini terlihat begitu angkuh. Bahkan, tidak peduli pada air mata Livy yang kini tengah merengek di bawah kakinya.“Kay… aku mohon! Izinkan aku menyusui Albern. Aku butuh pekerjaan ini. Aku mohon….”Dia sudah berharap akan mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya. Bahkan dia tidak peduli meski dia harus dihinakan oleh mantan kekasihnya itu.“Apa kau pikir aku akan percaya pada perkataan wanita sepertimu?” kata Kai sambil menggerakkan kakinya, melepas cekalan tangan Livy di sana. “Pergi dari sini, Jalang! Aku tidak sudi melihat wajahmu!”Setelah itu, Kay pergi, meninggalkan Livy yang terisak diiringi tatapan kasihan dokter dan perawat. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi. Keputusan Kay adalah mutlak.Dalam perjalanan pulangnya, Livy mengingat kembali bagaimana hubungannya dan Kay di masa lalu. Hubungan yang terjalin selam
“Sabar ya Sayang… Mama akan berusaha mendapatkan uang segera. Kamu bertahan ya?”Livyna mengusap jejak airmata ketika melihat kondisi anaknya kian hari kian parah. Bayi tujuh bulan itu didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus, penyempitan saluran di antara lambung dan usus dua belas jari. Hal itu membuat bayinya tidak bisa mencerna makanan dan minuman dengan baik.Dia hanya bisa meminum ASI, yang tentu saja sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi hariannya. Kondisi bayinya bisa makin memburuk jika tidak segera ditangani.“Tuhan… aku harus mendapatkan uang dari mana?” batin Livy menangis. Dia tidak kuat melihat kondisi anaknya.Hidup yang dulunya kaya dan mentereng, kini miskin dan sebatang kara. Perusahaan keluarga bangkrut, dan terlilit hutang. Kedua orang tuanya meninggal dalam jarak satu tahun. Setelah tiga bulan pasca melahirkan, suaminya pun pergi menghilang entah ke mana.Siang harinya, ketika Livy hendak membeli makan, tiba-tiba wanita cantik itu tidak sengaja menginjak brosur