Share

4. Anakku Sudah Mati!

Penulis: desafrida
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-10 15:57:48

“Ibu Livy? Sebenarnya anak Ibu sakit apa?”

Livy yang tengah menunggu di depan ruang tindakan mendongak saat mendengar seseorang berhenti di hadapannya.

Dokter Rico, pria itu terlihat khawatir ketika menemukan Livy tengah menangis dengan kondisi yang memilukan seorang diri.

“Anak saya kritis, Dok….”

Livy pun akhirnya bercerita jujur pada Dokter Rico mengenai penyakit Fabian yang didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus.

Wajah Dokter Rico terlihat semakin khawatir. Untuk itu, tanpa Livy tahu, Rico mengambil jarak dan melaporkannya pada Kay.

Di rumah, Kay sempat terdiam setelah mendengar penjelasan mengerikan dari Rico

‘Jadi, sebenarnya dia membutuhkan uang untuk biaya operasi anaknya?’ batinnya. Kini dia paham, untuk apa Livy mengemis bantuannya berkali-kali.

“Temui dokternya dan katakan untuk segera lakukan operasi. Saya akan tanggung biayanya,” jelas Kay mengakhiri panggilan.

Tak lama setelah itu, dokter yang memeriksa Fabian keluar dari ruangan. “Fabian harus segera dioperasi, jika tidak, akan semakin fatal,” jelas dokter.

Livy masih menangis terisak. Dia benar-benar sudah kehilangan arah. Namun, tepat sebelum Livy mengeluarkan suara, Dokter Rico datang dan berujar, “Lakukan operasinya, Dok. Untuk dana dan administrasi akan segera diselesaikan!” jelas dokter Rico, sesuai perintah Kay.

Sementara Livy memutar tubuhnya dan menatap ke arah Rico dengan ekspresi bingung. “Dok? Tapi saya tidak punya uang. Bagaimana saya bisa membayarnya?”

“Tuan Kay yang memerintahkan saya, Bu Livy.”

Livy menangis. Akhirnya, dia merasa sebongkah batu besar terangkat dari dadanya yang sesak.

“Terima kasih, Dokter Rico,” ucap Livy tidak bisa menahan tangis harunya. Dia kemudian menoleh ke arah dokter yang menangani anaknya. “Bolehkah saya menemui Fabian sebelum dia memasuki ruang operasi?”

Livy langsung masuk ke dalam ruangan dan kembali memeluk anaknya usai diberikan izin.

“Ma?” suara Fabian sangat lemah. Mata bayi laki-lakinya itu sudah tidak kuat membuka.

“Iya, Sayang? Ini Mama, Nak….” Livy mencoba tersenyum walau air matanya berurai.

Berulang kali bayi kecil yang sedang merasakan sakit itu memanggil Livy dengan sebutan ‘Ma’. Dan setiap kali Fabian memanggilnya, hati Livy terasa semakin sakit. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu untuk anaknya.

“Berjuanglah, Sayang. Kamu harus sembuh. Hanya kamu satu-satunya yang berharga di hidup Mama.”

Sembari menunggu persiapan operasi, Livy terus berada di sisi sang anak. Wanita itu bahkan tidak henti memberikan kecupan untuk sang anak, mencoba mencegah bayinya tidur.

Kondisi Fabian yang sudah sangat lemah membuat dokter melarang sang bayi untuk tertidur. Untuk itu, Livy terus berusaha menjaga kesadaran sang anak. Dia melakukan segala cara… mulai dari menciumi bayinya, hingga inisiatif menyusui Fabian.

Mulut mungil Fabian terbuka, menyambut dada Livy yang sudah penuh dengan ASI. Sayangnya, anak itu seolah kehilangan kemampuan untuk mencecap.

“Ayo, Nak. Hisap…” ujar Livy, terus berusaha memasukkan bagian payudaranya ke dalam mulut sang anak.

Keringat dingin disertai lelehan air mata sudah tidak bisa ditahan lagi. Terlebih, sentuhan Fabian yang berada di atas dadanya perlahan melemah.

“Tidak, Fabian!” Livy menegang. Tangan kecil yang tadi memegang dadanya kini terkulai lemah. “Nak, bangun! Jangan tinggalin Mama sendiri, Fabian… Dokter, tolong!”

Dokter sigap datang dan mengambil Fabian dari dekapan Livy. Dia meletakkannya di atas ranjang rumah sakit.

Livy berdiri dengan perasaan resah. Terlebih, kala dia melihat gelengan kepala dokter usai memeriksa seluruh tanda vital sang anak.

Ternyata, hari itu menjadi hari terakhir Livy mendengar Fabian memanggilnya Mama. Dan ternyata, meski hari itu Livy berhasil membuat operasi Fabian dijadwalkan, sang anak sudah lebih dulu berpulang.

Tubuh Livy ambruk seketika. Dia kehilangan kesadaran, dengan kalimat terakhir yang memanggil sang anak. “Fabian…”

Entah berapa lama Livy pingsan, tetapi setelah sadar… dia terus menangis. Dokter Rico sudah tidak seorang diri. Kay terlihat datang, meski Livy sudah tidak peduli pada apa pun selain rasa penyesalan usai kehilangan Fabian.

Livy masih berharap kalau semua hanyalah mimpi. Namun nyatanya, sore itu dia sudah benar-benar berada di pemakaman. Batu nisan bertuliskan nama Fabian, dengan gundukan tanah yang masih basah menjadi jawaban, jika semua adalah kenyataan.

Bayi mungilnya telah tiada. Fabian, satu-satunya semangat Livy untuk hidup kini telah berbaring tak bernyawa di bawah liang lahat yang sempit.

‘Maafkan Mama, Fabian… Mama memang gagal menjadi Mama yang baik. Mama payah! Mama tidak bisa apa-apa.'

Wanita itu tidak berhenti menyalahkan dirinya. Dia terus meminta maaf seraya memeluk nisan sembari menangis. “Tapi sekarang, Fabian sudah tenang, sudah senang, tidak perlu menderita lagi. Tunggu Mama ya, Nak. Maafin Mama…”

“Ibu Livy… mari kami antar pulang,” ucap sopir dan dokter Rico yang masih mendampinginya.

Livy menoleh ke belakang. Dia melihat Kay yang juga baru saja pergi.

Diantar Rico dan sopir, Livy bergerak menuju rumahnya yang sangat sederhana. Jauh dari kata mewah.

“Ibu Livy, ini ada sedikit dari Tuan Kay.” Dokter Rico memberikan sebuah amplop padanya lalu pergi bersama sopir.

Tangis yang tadi sudah berhenti langsung pecah lagi usai Livy memasuki rumah seorang diri. Kini, di rumah yang kecil ini… hanya ada Livy yang terus menangisi kematian sang anak, juga ketidakbecusannya sebagai seorang ibu.

***

“Siapa yang menyuruhmu datang hari ini?”

Suara dingin Kay menyambut kedatangan Livy sehari setelah jenazah Fabian dikebumikan. Wanita itu tahu jika Kay telah memberinya izin dua hari. Akan tetapi, tangisannya tidak mau berhenti jika dia hanya berdiam di rumah.

Rumah kecilnya itu mengingatkannya akan Fabian. Berdiam diri di sana lama-lama membuat dada Livy semakin sesak oleh luka kehilangan anak.

“Saya yang ingin datang sendiri, Tuan.” Livy menepis air matanya yang mengalir begitu saja.

“Karena saya tidak bisa berhenti menangisi anak saya jika hanya berdiam diri di rumah,” jelasnya.

Kay membuang wajahnya sembari membuang napas. “Di mana suamimu? Dia harusnya bertanggung jawab untuk semuanya, kan?”

Livy terdiam. Dia tidak punya jawaban tepat untuk dibagi dengan Kay.

“Di mana lelaki pilihanmu itu?! Kenapa dia membiarkanmu merasakan kehilangan dan sendirian?!” bentak Kay geram.

Livy mengangkat wajahnya dengan geram. “Kay, itu sudah dua tahun lebih yang lalu. Aku tidak menyangka kau masih menyimpan dendam—”

“Panggil aku Tuan Kay!” potong pria itu arogan.

“Maaf, Tuan Kay…” Livy menunduk sembari mengusap air matanya. Mengingat tujuannya kemari bukan hanya untuk membahas masa lalu, dia merogoh sakunya dan mengangsurkan sebuah amplop putih pada Kay. “Ini uang yang Tuan berikan. Saya tidak membutuhkannya lagi,” ucapnya lemah.

“Kau akan membutuhkannya. Bukankah kau gila harta dan uang? Tidak perlu jual mahal! Ambil saja!” ujar Kay enteng.

Livy langsung menaikkan pandangannya. Wanita itu menatap Kay tepat di manik mata pria itu. Lalu dengan berani, ia melemparkan amplop itu tepat ke wajah Kay, hingga membuat uang di dalamnya berhamburan.

“Aku tidak butuh lagi! Anakku sudah mati!”

Bersambung…

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
kasian bgd livy ... hancur bgd lihat anak sakit, apalagi sampe kaya Fabian gini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   5. Selidiki Keluarganya!

    “Jaga sikapmu!” Kay langsung menangkap dan mencengkeram dagu Livy. “Kau lupa, kau siapa?! Mengapa kau menyalahkanku? Dengar! Aku tidak punya kewajiban untuk anakmu!” “Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, apa kau juga lupa kalau hanya aku yang bisa menyusui anakmu?” tanya Livy dengan beraninya. Kay tersenyum miring. Wajahnya terlihat benar-benar bengis. Ia bahkan tidak peduli dengan tatapan pedih Livy dan mata yang sembab. Ia melepas dagu Livy yang dicengkeramnya dengan kasar. “Lalu, kau mau apa?” balas Kay. Ia memperbaiki kerah dan lengan bajunya. “Aku bisa saja meninggalkan pekerjaanku sebagai Ibu Susu anakmu!” ancam Livy. “Oh ya? Sepertinya kau tidak membaca perjanjian kerja itu secara menyeluruh. Kalau bukan dokter Rico yang mengatakan kau sudah tidak bisa menyusui, atau Albern sudah tidak butuh Ibu Susu lagi, maka kau tidak bisa berhenti dari pekerjaan ini. Atau kau akan didenda. Apa kau tidak membaca itu? Dan kalau kau tidak bisa membayar dendanya, kau akan dipenjara!” Wajah

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-10
  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   6. Sudah Bosan Hidup

    “Kau datang, Kay?” Richard, ayah mertua Kay, menyapa dengan suaranya yang lemah dan putus asa. Tubuhnya yang lemah masih betah berbaring di ranjang rumah sakit. “Papa harus kuat. Albern sudah mendapatkan Ibu Susu. Ayolah, pulih segera!” Kay mendekati ayah mertuanya dan memberikan semangat. Wajah Richard yang selama ini pucat dan tidak bergairah untuk melanjutkan hidup, seketika berubah. Ada harapan dari sorot matanya setelah mendengar pernyataan Kay. “Benarkah? Siapa wanita itu?” Sesaat Kay terdiam. “Dia hanya wanita biasa yang baru saja kehilangan anaknya,” jawabnya singkat. “Jadi, apa Cucuku sudah tidak menangis-nangis lagi?” Richard bertanya penuh harap, menyimpan rasa bahagia jika tebakannya benar. Kay mengangguk. “Aku harus pulang dan melihat Cucuku!” Richard ingin segera bangkit. “Tidak sekarang, Pa." Kay menahan sang mertua yang terlampau bersemangat. "Papa harus benar-benar pulih, tunggu sampai dokter memberi izin untuk pulang.” Kay mengingatkan.Sore hari, keti

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-22
  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   7. Merangkap jadi Pembantu

    Livy pasrah. “Yaa. A-aku. S-sudah. Bosan. Hidup,” jawabnya. Matanya tepat menatap mata Kay yang begitu tajam, menyala dan penuh dendam.Kay melepasnya. Ia membuang wajahnya dan kembali mendecih. “Pergi dari hadapanku sekarang!” Tak ingin memperpanjang keributan, ditambah munculnya rasa tahu diri, Livy pun berbalik dan meninggalkan Kay. Sakit hatinya jangan diukur. Sangat dalam. Benar kata pria berusia 33 tahun itu, dia bukan dirinya yang dulu. Sejak Kay memerintahkannya untuk tinggal di rumah itu, Livy pun mendapat tempat tidur yang setara dengan pembantu. Berada di belakang, melewati lorong dapur. Hal itu bukanlah suatu masalah. Bagi Livy ini adalah cara Tuhan menolongnya agar tidak terlalu berlarut dalam kesedihan di rumahnya sendiri. Meskipun, hinaan harus ia telan dari kearoganan Kay, Sang mantan yang sebenarnya terpaksa harus Livy khianati. Suster Merry yang mendampingi Albern, bahkan iba melihat Livy. Berstatus sebagai Ibu Susu namun diperlakukan bagai pembantu. Meski be

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   8. Fakta Pernah Menggugurkan

    “Bukan apa-apa, Pa.” Kay memberikan gelas itu pada Livy. Ia menghampiri mertuanya dan mengajaknya menjauh dari Livy. “Kau tidak pernah semarah itu pada orang. Ada apa?” Richrd menatap Livy yang menunduk dan duduk mengambil nampan yang jatuh dari tangannya. “Dia Ibu Susunya Albern kan?” tanyanya. Kay mengangguk. Richard malah mendekati Livy. Dia berdiri tepat di hadapannya. “Aku tidak mengenalimu. Aku tidak tahu kau dari keluarga yang bagaimana. Aku tidak peduli. Yang pasti, aku berterima kasih padamu, karena sudah menyusui Cucuku. Terima kasih ya?” Livy tidak menyangka justru kalimat itu yang dia dapatkan dari tuan besar di rumah itu. Ia mengangguk sambil menunduk dengan perasaan sedikit haru. “Sudah menjadi tugas saya, Tuan.” Kay tidak nyaman jika sampai ayah mertuanya merasa Livy berjasa untuk anaknya. Bukankah itu memang sudah menjadi tugasnya? Dia dibayar untuk menjadi Ibu Susu. Bahkan dia yang mengemis untuk mendapat pekerjaan itu. “Permisi, Tuan.” Livy membalik badan dan m

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-24
  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   9. Tiba-Tiba Bertemu Suami

    Kay langsung menatap Livy yang menyentuh kakinya dan memohon. Matanya memerah dan sedikit basah. “Jadi benar?” tanyanya tidak menyangka. “Ahh!” Livy terjatuh, terduduk ke belakang, setelah Kay mengayun kakinya, melepas genggaman tangan Livy. Wanita itu terus menangis. Ia ketakutan dan terus meminta maaf. “Aku minta maaf, Kay. Ampuni aku…” Ia menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajah. “Andai anakku tidak membutuhkanmu, aku tidak akan segan-segan membunuhmu detik ini juga! Setelah Albern tidak membutuhkan dirimu lagi, jangan pernah kau menunjukkan wajah di depanku! Atau kau akan menyesal! Seumur hidupku, aku tak akan memaafkanmu!” Wajah tegas dengan mata elang itu, tampak menyimpan kekecewaan yang dalam. Hatinya diselimuti dendam, kebencian dan amarah. Ia membenci takdirnya di masa lampau yang harus jatuh cinta pada wanita yang ternyata adalah iblis. “Takdir yang paling kubenci di hidupku adalah mengenalmu!” Kay berlalu, mengantam kuat pintu kamar itu. Livy menangis se

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-25
  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   10. Kay Akan Menikah

    “Kenapa kau baru muncul sekarang? Apa maksudmu meninggalkan kami?!” Livy langsung mencengkeram kerah baju David dan mengguncang tubuhnya. “Aku frustrasi!” David malah kembali membentak Livy. Dia menangkap lengan Livy. “Mana Fabian?!” “Fabian sudah mati!” teriak Livy di wajah David, sekaligus meluapkan kekesalan dan derita yang dia tanggung sendirian. “A- apa?” David melepas Livy. Dia tampak bingung. Secepat itu pula dia membuka rumah dan menarik Livy masuk ke dalam. Ia menutup kembali pintu. Bersamaan dengan itu, sebuah video sampai pada Kay. Dari jauh, dia melihat ada perseteruan antara Livy dan suaminya. Namun, berakhir, keduanya masuk ke dalam rumah. Hal itu membuat Kay menghubungi anak buahnya. “Tinggalkan tempat itu. Tak perlu kau menyelidikinya lagi!” ujarnya. “Kau jangan berbohong, Livy! Jadi, kau sudah menjualnya?” David menuduh Livy. “GILA! KAU GILA! AKU SUDAH BILANG FABIAN SUDAH TIDAK ADA!” Livy berteriak frustrasi. Dia hampir gila dengan tuduhan tidak masuk akal suami

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   11. Tiba-Tiba Sakit

    Hatinya tidak kuat mendengar percakapan mereka. Ia segera menjauh. Livy pun membenarkan ucapan Richard, Kay berhak bahagia. Tangan Albern bergerak-gerak, seakan ingin menyentuh wajah Livy. “Albern… Sayang… Benar kata Kakekmu. Kamu dan Papa kamu berhak bahagia. Iya kan?” Livy mengajak bayi berusia dua bulan itu berbicara. Takdirnya benar-benar malang. Siap atau pun tidak, waktu itu pasti akan datang. Kay pasti akan menikah. Livy percaya semua kepahitan itu, mungkin memang karma untuknya. Ditambah setelah tidak sengaja bertemu suaminya hari ini, Livy menjadi sering melamun, berpikir yang bukan-bukan, hingga ingin mengakhiri hidup. Namun, dia sudah sayang akan Albern. Semua beban batin dan pikirannya itu membuat Livy sakit keesokan harinya. Livy sulit untuk bangkit dari kamarnya. Dia demam. Suhu tubuhnya tinggi. Tak ada yang menyadari. Namun, Livy tahu diri. Dia sadar akan tugas dan statusnya. Perlahan, sambil meraba dinding, ia berjalan keluar kamar. Melewati lorong, berjalan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-27
  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   12. Diam-Diam Memperhatikan Livy

    Air mata Livy kembali berjatuhan saat ia kembali membaringkan tubuhnya. Ia menyalahkan dirinya atas apa yang sudah dia katakan pada Kay. 'Kenapa hatiku berkata kalau dia benar mengingat kalau aku tidak bisa minum obat? Dan hatiku sedikit senang jika itu benar. Setidaknya dia masih mengingatku.' Hatinya terbolak-balik mengingat Kay. 'Tidak... Apa yang sudah aku pikirkan? Mana mungkin Kay mengingatku. Dia sangat membenciku. Bahkan, aku sudah dianggap mati,' batinnya pilu. Selama Livy sakit, ASI-nya dipompa untuk memenuhi kebutuhan Albern. Bayi Susunya itu juga seakan mengerti kondisinya. Dia tidak rewel selama Livy sakit. Walau Suster Merry tetap harus membawa Albern ke kamar Livy agar Albern bisa tenang setelah mendengar suara ibu susunya. Kay tidak dapat melarang. Anaknya benar-benar sudah ketergantungan dengan Livy. Dia bahkan tidak menyangka walau hanya mendengar suara Livy, anaknya bisa tenang. 'Bagaimana kalau sampai Albern tidak bisa berpisah dengan Livy? Tidak! Tidak b

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28

Bab terbaru

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   68. Bibi Eden dari Masa Lalu

    “Tidak Livy…” Richard mencoba mencegah, tetapi Livy tetap pergi melangkahkan kaki. Pria tua yang panik itu kembali mendekati Kay. “Kay! Livy pergi. Cepat cegah dia, Kay!” suruhnya. Kay malah menatap Richard dingin. “Biarkan dia pergi, Pa. Itu memang keinginannya.” “Albern membutuhkannya, Kay. Bahkan kau… kau juga mencintainya! Kenapa kau tidak mengakui perasaanmu?!” tuduh Richard mengingatkan. “Tidak, Pa. Dari dulu kami sudah selesai. Dia pergi, itu keinginannya. Biarkan dia pergi. Lambat laun dia juga pasti akan pergi. Masalah Albern, lama-lama dia juga pasti terbiasa tanpa Livy,” jelas Kay. Richard geleng kepala mendengar jawaban Kay. Kay beranjak. Dia segera menuju kamar Albern untuk melihat anaknya. Menguatkan dirinya bahwa Albern bisa tanpa wanita itu. Richard menyusul Kay ke dalam kamar Albern. “Kamu yakin, Kay? Kamu sudah lupa bagaimana kamu menanti kesadaran Livy dari koma? Kamu khawatir kan padanya? Kamu tahu kan bagaimana Albern mencarinya? Turunkan egomu, Kay…” Tata

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   67. Pergi Meninggalkan Rumah

    “Kenapa sih Papa harus mengizinkan dia pergi menemui pria yang tidak jelas?” Itu merupakan pertanyaan awal mula Kay dan Richrd berdebat siang itu. Albern baru saja tertidur setelah sebelumnya menangis mencari Livy. Itu pula yang membuat Kay kesal. “Kenapa Papa harus melarang?” balas Richard. “Al butuh dia, Pa.” “Lalu mau sampai kapan Livy harus berada di sekitar kalian terus?” tanya Richard. “Pah?” Kay tidak habis pikir dengan pertanyaan Richard. Namun, dia juga tidak tahu harus berkata apa. “Dia anak angkatku, Kay. Tidak mungkin aku membiarkannya berdiam diri terus di rumah. Dia juga harus punya kehidupan. Dan kehidupannya tidak mungkin hanya berkutat dengan kesibukan menjaga Albern terus-terusan kan?” Kay mengusap wajahnya. “Kenapa? Kau kenapa?” tanya Richard santai, melihat ekspresi Kay yang tidak dapat berbicara. “Pa… dari awal sebenarnya aku juga tidak setuju Papa mengangkat dia jadi anak. Lihat kan? Setelah dia merasa aman, dia berencana akan pergi.” “Lalu di mana leta

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   66. Maukah Kamu Menjadi Istriku?

    “Apa maksudmu? Kamu mengusir Livy?” tanya Richard.Kay terdiam.“Jangan dengarkan apa kata Kay. Kalau kamu mau bertemu dengan teman kamu, ya pergi saja. Dan pulanglah ke rumah. Selama Papa masih hidup, kamu harus pulang.” Begitu Richard memberi nasihat pada Livy.Kay menelan ludahnya. Dia sudah terlalu kesal.Sementara itu, Livy bingung dengan sikap Kay yang terasa posesif. Apakah dia berpikir hidup Livy hanya berputar di sekitarnya saja hanya karena Albern? Kenapa dia begitu egois? Meskipun kesal, Livy tidak ingin berdebat. Dia lebih baik memilih diam dan tenang sebagaimana Richard menenangkannya.Makan malam itu berakhir dingin. Mereka pun pulang dengan keheningan.Sesampainya di rumah, Livy langsung mengurus Albern. Mengganti pakaian, menyiapkan susu dan menidurkannya.Kay masuk ke dalam kamar.Livy menatapnya, lalu kembali menatap Albern.“Biar aku saja yang menidurkan Al,” ujar Kay dingin.Livy beranjak.“Mama!” Albern menarik tangannya.“Al… sama Papa dulu, ya?” bujuk Livy. Dia

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   65. Pergi Saja Bersamanya

    Livy seperti tidak percaya siapa yang dia lihat. “Reino?” sapanya. Dia pun berdiri.“Benar kamu Livy?” sapa Reino, mengulurkan tangan menjabat tangannya.“Iya… Astaga Reino!” Livy tersenyum.Reino menatap Albern, Kay dan Richard. “Anak dan suami?” sapa Reino.“Eh bukan… Ini Albern, anak Kay, saudara, ya saudara ku… dan Ini Papa angkatku,” jelas Livy. Reino menjabat tangan Richard begitu juga dengan Kay. Ia mengerutkan kening saat kembali menatap Livy. Ada banyak tanya yang muncul di benaknya. “Suami kamu mana?” tanya Reino.“Ahm, itu… kami sudah bercerai.”“Maaf, aku tidak tahu,” ucap Reino.“Tidak apa-apa. Oh ya Pa, ini Reino, teman SMAku dulu, kami cukup dekat waktu itu.” Livy mengenalkan pada Richard.Tiba-tiba saja raut wajah Kay berubah. Ada rasa tidak suka, tidak terima Livy seramah itu pada orang yang dia anggap asing.“Ohh ya… silakan duduk,” sambut Richard.“Maaf Om, tapi keluarga saya juga sedang menunggu di sana. Ayo Livy, bertemu dengan keluargaku. Sepertinya banyak hal y

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   64. Kehadiran Pria Gagah

    Semakin hari Richard semakin sering memperhatikan Livy dan Kay. Ia tahu permasalahan mereka tidak mudah. Tetapi ia sadar cucunya membutuhkan orang tua yang utuh. Sampai kapan Livy dan Kay bisa hidup masing-masih dalam satu atap? Bahkan mereka tidak bisa menjadi saudara. Luka mereka di masa lalu terlalu dalam. Lalu bagaimana ke depannya nanti?Itu sebabnya malam ini adalah malam yang Richard rencanakan. Ia mengajak Livy dan Kay untuk makan malam bersama di restoran bintang lima. Alasannya dia ingin sesekali mereka menikmati kebersamaan makan di luar, sebenarnya lebih dari itu, dia ingin membuat Livy dan Kay bisa menjadi dekat.“Sudah semua?” tanya Richard berjalan ke ruang tengah.Kay terlihat gagah dengan penampilan yang begitu rapi dan necis. Ia sedang memperbaiki jam tangannya.“Wah! Tampan sekali menantu Papa!” puji Richard.Kay tersenyum. “Papa bisa saja,” ucapnya. “Ini tinggal menunggu Livy dan Al, Pa.”Livy pun datang bersama dengan Albern yang ingin berjalan sendiri. Wanita itu

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   63. Terduduk di Pangkuan

    Livy terkejut dengan kehadiran Kay. “Awas!” katanya tegas ingin menutup pintu.“Aku ingin bicara,” ucap Kay.Livy berusaha tetap menutup pintu, tanpa peduli ucapan Kay.“Livy, dengarkan aku dulu. Aku ingin bicara!” Kay masih menahan pintu, mencegah Livy menutupnya.“Apa? Tentang apa lagi?” tanya Kay.“Tentang yang tadi,” jawab Kay.“Tidak penting! Awas! Atau aku akan teriak sampai Papa Richard mendengar?” ancam Livy.“Dengar, aku hanya ingin meminta maaf,” jelas Kay.Livy menatapnya dengan tatapan yang menantang. “Oke, katakan,” suruhnya.“Aku minta maaf,” ucap Kay.“Sudah kan? Jadi, singkirkan tanganmu!”“Apa kau hanya melihat kesalahanku saja dan melupakan kesalahanmu di masa lalu? Kenapa kau begitu keras?” tanya Kay, yang terbawa kesal.Livy melepas tangannya dari pintu. Dia menatap Kay semakin tajam. “Kau sendiri yang sudah membunuhku dengan ego dan dendammu. Livy yang dari masa lalumu sudah mati. Kenapa aku harus meminta maaf padamu sekarang?” tanyanya membentak.Jawabannya itu m

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   62. Sikap Dingin Livy

    Setelah memastikan Livy dan Albern tertidur lelap di kamarnya, Kay kembali mencoba fokus pada pekerjaannya. Ia terlihat sangat serius di depan komputer. Saat dia duduk menyandarkan punggungnya di kursinya yang empuk, dia baru sadar kalau dia sudah sangat fokus sejak tadi.‘Aku tidak pernah merasa setenang ini dan sefokus ini dalam bekerja. Entah kenapa aku merasa semua ini karena aku melihat Livy yang begitu lelap bersama Albern di kamarku, di dekatku, di sisiku…’ batin Kay.Wajah dan sorot matanya masih ke layar komputer, namun pikirannya malah penuh pada Livy dan anaknya.Kay melihat pergelangan tangan kirinya untuk melihat jam. Waktu sudah berjalan hampir satu jam. Belum ada tanda-tanda kalau Albern akan bangun. Begitu juga dengan Livy.Kay mendongakkan kepalanya. Dia mengusap wajahnya. Ia menghela napas yang panjang lalu membuangnya perlahan.Tiba-tiba Livy mendorong pintu kamar itu. Dia berjalan ke arah toilet.Kay yang sadar langsung mengubah posisi duduknya yang tak karuan. Sep

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   61. Masih Cinta?

    Livy langsung menggeser bahunya. Dia menatap tajam ke belakang. Melotot pada Kay pertanda tidak suka. “Apa yang kamu lakukan?!” bentak Livy geram. Kay panik. Dia menekan keningnya dan salah tingkah. “Kamu sadar apa yang kamu lakukan itu lancang?” lanjut Livy masih marah. “A- ku tiba-tiba teringat masa lalu,” jawab Kay panik. Dia langsung menghindar dari belakang Livy. “Masa lalu apa yang sedang kamu bahas?” tanya Livy dingin. Kaay bisa merasakan kebencian Livy padanya dan rasa tidak terima atas perbuatannya. Kay menatap mata Livy. Dia bertanya di dalam hati. Tidak mungkin Livy lupa dengan masa lalu dan kebiasaan mereka kan? “Kau pun salah orang. Livy yang dulu sudah mati. Terbunuh oleh kebencian dan dendammu. Lalu masa lalu mana yang kau sedang ingat?” tanya Livy dingin. Kay benar-benar hanya bisa terdiam. Ia merasakan kebencian Livy padanya yang tidak main-main. “Sekali lagi kamu kurang ajar, aku akan bilang ke Papa Richard!” tegas Livy. “Aku tidak mau, besok-besok ada yang

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   60. Mengecup Lehernya

    Livy menatap Kay. Entah kenapa hatinya justru mengingat kejahatan pria itu. Membuatnya enggan untuk menuruti ucapannya.Kay terdiam. Bukannya Livy merebahkan diri di sebelah Albern, ia justru membalik badan dan keluar dari kamar itu.Livy kembali duduk di sofa. Ia diam sedang pikirannya begitu berisik. Mengingatkannya akan perlakuan Kay yang mendorongnya, membuatnya pendarahan hingga keguguran, memenjarakannya dan tidak percaya kalau itu adalah anaknya. Rasanya sangat sakit jika dia mengabaikan semua sakit dan pahitnya itu dengan menuruti semua ucapan Kay, meskipun itu demi Albern.‘Aku memang mencintai Albern. Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Tetapi, aku berberat hati jika terus melakukan semua yang diminta olehnya. Laki-laki yang begitu tega dan tidak punya hati.’ Livy membatin.Sementara itu di kamar, Albern masih terus memanggil-manggil Livy. Kay mencoba menenangkannya.“Mungkin Mama Livy sedang ke toilet. Jadi, tidak apa-apa Al dan Papa yang di sini, ya?” bujuknya.Untuk

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status