“Ibu Livy? Sebenarnya anak Ibu sakit apa?”
Livy yang tengah menunggu di depan ruang tindakan mendongak saat mendengar seseorang berhenti di hadapannya. Dokter Rico, pria itu terlihat khawatir ketika menemukan Livy tengah menangis dengan kondisi yang memilukan seorang diri. “Anak saya kritis, Dok….” Livy pun akhirnya bercerita jujur pada Dokter Rico mengenai penyakit Fabian yang didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus. Wajah Dokter Rico terlihat semakin khawatir. Untuk itu, tanpa Livy tahu, Rico mengambil jarak dan melaporkannya pada Kay. Di rumah, Kay sempat terdiam setelah mendengar penjelasan mengerikan dari Rico ‘Jadi, sebenarnya dia membutuhkan uang untuk biaya operasi anaknya?’ batinnya. Kini dia paham, untuk apa Livy mengemis bantuannya berkali-kali. “Temui dokternya dan katakan untuk segera lakukan operasi. Saya akan tanggung biayanya,” jelas Kay mengakhiri panggilan. Tak lama setelah itu, dokter yang memeriksa Fabian keluar dari ruangan. “Fabian harus segera dioperasi, jika tidak, akan semakin fatal,” jelas dokter. Livy masih menangis terisak. Dia benar-benar sudah kehilangan arah. Namun, tepat sebelum Livy mengeluarkan suara, Dokter Rico datang dan berujar, “Lakukan operasinya, Dok. Untuk dana dan administrasi akan segera diselesaikan!” jelas dokter Rico, sesuai perintah Kay. Sementara Livy memutar tubuhnya dan menatap ke arah Rico dengan ekspresi bingung. “Dok? Tapi saya tidak punya uang. Bagaimana saya bisa membayarnya?” “Tuan Kay yang memerintahkan saya, Bu Livy.” Livy menangis. Akhirnya, dia merasa sebongkah batu besar terangkat dari dadanya yang sesak. “Terima kasih, Dokter Rico,” ucap Livy tidak bisa menahan tangis harunya. Dia kemudian menoleh ke arah dokter yang menangani anaknya. “Bolehkah saya menemui Fabian sebelum dia memasuki ruang operasi?” Livy langsung masuk ke dalam ruangan dan kembali memeluk anaknya usai diberikan izin. “Ma?” suara Fabian sangat lemah. Mata bayi laki-lakinya itu sudah tidak kuat membuka. “Iya, Sayang? Ini Mama, Nak….” Livy mencoba tersenyum walau air matanya berurai. Berulang kali bayi kecil yang sedang merasakan sakit itu memanggil Livy dengan sebutan ‘Ma’. Dan setiap kali Fabian memanggilnya, hati Livy terasa semakin sakit. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu untuk anaknya. “Berjuanglah, Sayang. Kamu harus sembuh. Hanya kamu satu-satunya yang berharga di hidup Mama.” Sembari menunggu persiapan operasi, Livy terus berada di sisi sang anak. Wanita itu bahkan tidak henti memberikan kecupan untuk sang anak, mencoba mencegah bayinya tidur. Kondisi Fabian yang sudah sangat lemah membuat dokter melarang sang bayi untuk tertidur. Untuk itu, Livy terus berusaha menjaga kesadaran sang anak. Dia melakukan segala cara… mulai dari menciumi bayinya, hingga inisiatif menyusui Fabian. Mulut mungil Fabian terbuka, menyambut dada Livy yang sudah penuh dengan ASI. Sayangnya, anak itu seolah kehilangan kemampuan untuk mencecap. “Ayo, Nak. Hisap…” ujar Livy, terus berusaha memasukkan bagian payudaranya ke dalam mulut sang anak. Keringat dingin disertai lelehan air mata sudah tidak bisa ditahan lagi. Terlebih, sentuhan Fabian yang berada di atas dadanya perlahan melemah. “Tidak, Fabian!” Livy menegang. Tangan kecil yang tadi memegang dadanya kini terkulai lemah. “Nak, bangun! Jangan tinggalin Mama sendiri, Fabian… Dokter, tolong!” Dokter sigap datang dan mengambil Fabian dari dekapan Livy. Dia meletakkannya di atas ranjang rumah sakit. Livy berdiri dengan perasaan resah. Terlebih, kala dia melihat gelengan kepala dokter usai memeriksa seluruh tanda vital sang anak. Ternyata, hari itu menjadi hari terakhir Livy mendengar Fabian memanggilnya Mama. Dan ternyata, meski hari itu Livy berhasil membuat operasi Fabian dijadwalkan, sang anak sudah lebih dulu berpulang. Tubuh Livy ambruk seketika. Dia kehilangan kesadaran, dengan kalimat terakhir yang memanggil sang anak. “Fabian…” Entah berapa lama Livy pingsan, tetapi setelah sadar… dia terus menangis. Dokter Rico sudah tidak seorang diri. Kay terlihat datang, meski Livy sudah tidak peduli pada apa pun selain rasa penyesalan usai kehilangan Fabian. Livy masih berharap kalau semua hanyalah mimpi. Namun nyatanya, sore itu dia sudah benar-benar berada di pemakaman. Batu nisan bertuliskan nama Fabian, dengan gundukan tanah yang masih basah menjadi jawaban, jika semua adalah kenyataan. Bayi mungilnya telah tiada. Fabian, satu-satunya semangat Livy untuk hidup kini telah berbaring tak bernyawa di bawah liang lahat yang sempit. ‘Maafkan Mama, Fabian… Mama memang gagal menjadi Mama yang baik. Mama payah! Mama tidak bisa apa-apa.' Wanita itu tidak berhenti menyalahkan dirinya. Dia terus meminta maaf seraya memeluk nisan sembari menangis. “Tapi sekarang, Fabian sudah tenang, sudah senang, tidak perlu menderita lagi. Tunggu Mama ya, Nak. Maafin Mama…” “Ibu Livy… mari kami antar pulang,” ucap sopir dan dokter Rico yang masih mendampinginya. Livy menoleh ke belakang. Dia melihat Kay yang juga baru saja pergi. Diantar Rico dan sopir, Livy bergerak menuju rumahnya yang sangat sederhana. Jauh dari kata mewah. “Ibu Livy, ini ada sedikit dari Tuan Kay.” Dokter Rico memberikan sebuah amplop padanya lalu pergi bersama sopir. Tangis yang tadi sudah berhenti langsung pecah lagi usai Livy memasuki rumah seorang diri. Kini, di rumah yang kecil ini… hanya ada Livy yang terus menangisi kematian sang anak, juga ketidakbecusannya sebagai seorang ibu. *** “Siapa yang menyuruhmu datang hari ini?” Suara dingin Kay menyambut kedatangan Livy sehari setelah jenazah Fabian dikebumikan. Wanita itu tahu jika Kay telah memberinya izin dua hari. Akan tetapi, tangisannya tidak mau berhenti jika dia hanya berdiam di rumah. Rumah kecilnya itu mengingatkannya akan Fabian. Berdiam diri di sana lama-lama membuat dada Livy semakin sesak oleh luka kehilangan anak. “Saya yang ingin datang sendiri, Tuan.” Livy menepis air matanya yang mengalir begitu saja. “Karena saya tidak bisa berhenti menangisi anak saya jika hanya berdiam diri di rumah,” jelasnya. Kay membuang wajahnya sembari membuang napas. “Di mana suamimu? Dia harusnya bertanggung jawab untuk semuanya, kan?” Livy terdiam. Dia tidak punya jawaban tepat untuk dibagi dengan Kay. “Di mana lelaki pilihanmu itu?! Kenapa dia membiarkanmu merasakan kehilangan dan sendirian?!” bentak Kay geram. Livy mengangkat wajahnya dengan geram. “Kay, itu sudah dua tahun lebih yang lalu. Aku tidak menyangka kau masih menyimpan dendam—” “Panggil aku Tuan Kay!” potong pria itu arogan. “Maaf, Tuan Kay…” Livy menunduk sembari mengusap air matanya. Mengingat tujuannya kemari bukan hanya untuk membahas masa lalu, dia merogoh sakunya dan mengangsurkan sebuah amplop putih pada Kay. “Ini uang yang Tuan berikan. Saya tidak membutuhkannya lagi,” ucapnya lemah. “Kau akan membutuhkannya. Bukankah kau gila harta dan uang? Tidak perlu jual mahal! Ambil saja!” ujar Kay enteng. Livy langsung menaikkan pandangannya. Wanita itu menatap Kay tepat di manik mata pria itu. Lalu dengan berani, ia melemparkan amplop itu tepat ke wajah Kay, hingga membuat uang di dalamnya berhamburan. “Aku tidak butuh lagi! Anakku sudah mati!” Bersambung…“Jaga sikapmu!” Kay langsung menangkap dan mencengkeram dagu Livy. “Kau lupa, kau siapa?! Mengapa kau menyalahkanku? Dengar! Aku tidak punya kewajiban untuk anakmu!” “Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, apa kau juga lupa kalau hanya aku yang bisa menyusui anakmu?” tanya Livy dengan beraninya. Kay tersenyum miring. Wajahnya terlihat benar-benar bengis. Ia bahkan tidak peduli dengan tatapan pedih Livy dan mata yang sembab. Ia melepas dagu Livy yang dicengkeramnya dengan kasar. “Lalu, kau mau apa?” balas Kay. Ia memperbaiki kerah dan lengan bajunya. “Aku bisa saja meninggalkan pekerjaanku sebagai Ibu Susu anakmu!” ancam Livy. “Oh ya? Sepertinya kau tidak membaca perjanjian kerja itu secara menyeluruh. Kalau bukan dokter Rico yang mengatakan kau sudah tidak bisa menyusui, atau Albern sudah tidak butuh Ibu Susu lagi, maka kau tidak bisa berhenti dari pekerjaan ini. Atau kau akan didenda. Apa kau tidak membaca itu? Dan kalau kau tidak bisa membayar dendanya, kau akan dipenjara!” Wajah Livy
“Kau datang, Kay?” Richard menyapa dengan suaranya yang lemah dan putus asa. Tubuhnya yang lemah masih betah berbaring di ranjang rumah sakit. “Papa tidak perlu berlama-lama lagi di sini. Papa harus kuat. Albern sudah mendapatkan Ibu Susu. Ayolah, pulih segera!” Kay mendekati ayah mertuanya dan memberikan semangat. Wajah Richard yang selama ini pucat dan tidak bergairah untuk melanjutkan hidup, seketika berubah. Ada harapan dari sorot matanya setelah mendengar pernyataan Kay. “Benarkah? Siapa wanita itu?” Sesaat Kay terdiam. “Dia hanya wanita biasa yang baru saja kehilangan anaknya,” jawabnya singkat. “Jadi, apa Cucuku sudah tidak menangis-nangis lagi?” Richard bertanya penuh harap, menyimpan rasa bahagia jika tebakannya benar. Kay mengangguk. “Aku harus pulang dan melihat Cucuku!” Richard ingin segera bangkit. “Papa sabar dulu, Papa harus benar-benar pulih, tunggu sampai dokter memberi izin untuk pulang.” Kay mengingatkan. Ketika tugas Livyna selesai hari itu, dia pun
“Sabar ya Sayang… Mama akan berusaha mendapatkan uang segera. Kamu bertahan ya?”Livyna mengusap jejak airmata ketika melihat kondisi anaknya kian hari kian parah. Bayi tujuh bulan itu didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus, penyempitan saluran di antara lambung dan usus dua belas jari. Hal itu membuat bayinya tidak bisa mencerna makanan dan minuman dengan baik.Dia hanya bisa meminum ASI, yang tentu saja sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi hariannya. Kondisi bayinya bisa makin memburuk jika tidak segera ditangani.“Tuhan… aku harus mendapatkan uang dari mana?” batin Livy menangis. Dia tidak kuat melihat kondisi anaknya.Hidup yang dulunya kaya dan mentereng, kini miskin dan sebatang kara. Perusahaan keluarga bangkrut, dan terlilit hutang. Kedua orang tuanya meninggal dalam jarak satu tahun. Setelah tiga bulan pasca melahirkan, suaminya pun pergi menghilang entah ke mana.Siang harinya, ketika Livy hendak membeli makan, tiba-tiba wanita cantik itu tidak sengaja menginjak brosur
“Maaf Ibu Livy, kami belum bisa memberikan kontrak kerja.”Detik itu, Livy langsung bersimpuh di kaki Kay yang ingin segera berlalu. Pria yang dulu hangat itu kini terlihat begitu angkuh. Bahkan, tidak peduli pada air mata Livy yang kini tengah merengek di bawah kakinya.“Kay… aku mohon! Izinkan aku menyusui Albern. Aku butuh pekerjaan ini. Aku mohon….”Dia sudah berharap akan mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya. Bahkan dia tidak peduli meski dia harus dihinakan oleh mantan kekasihnya itu.“Apa kau pikir aku akan percaya pada perkataan wanita sepertimu?” kata Kai sambil menggerakkan kakinya, melepas cekalan tangan Livy di sana. “Pergi dari sini, Jalang! Aku tidak sudi melihat wajahmu!”Setelah itu, Kay pergi, meninggalkan Livy yang terisak diiringi tatapan kasihan dokter dan perawat. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi. Keputusan Kay adalah mutlak.Dalam perjalanan pulangnya, Livy mengingat kembali bagaimana hubungannya dan Kay di masa lalu. Hubungan yang terjalin selam
“Terima kasih! Terima kasih, Kay!”Karena terlalu senang, Livy sampai melonjak kegirangan usai seorang perawat memberikannya sebuah kontrak kerja.Kay langsung menatap Livy dengan tatapan yang tajam. “Ingat statusmu, dan panggil aku Tuan Kay!”Hal itu membuat Livy seketika terdiam. “Maaf. Ba- baik, Tuan Kay!” Livy menunduk, tanda memahami dan menghormati Kay sebagai majikannya.Pria itu berlalu, sementara Livy masih berhadapan dengan dokter dan suster anak yang menangani Albern secara khusus.Sembari mengantar Livy pulang kembali ke rumah sakit, dokter anak pribadi Albern itu menanyakan sesuatu yang membuat Livy terhenyak sesaat.“Anak Ibu sakit apa?” tanya Dokter Rico.“Anak saya…” Awalnya Livy ingin jujur. Tetapi, dia khawatir jika memberi tahu penyakit anaknya akan berakibat pemutusan kontrak, Livy pun memutuskan untuk berbohong. “Anak saya demam, Dok.”Livy berani berbohong, sebab dia tahu betul penyakit anaknya bukanlah penyakit menular. Sehingga, pun dia menyembunyikan kebenaran
“Kau datang, Kay?” Richard menyapa dengan suaranya yang lemah dan putus asa. Tubuhnya yang lemah masih betah berbaring di ranjang rumah sakit. “Papa tidak perlu berlama-lama lagi di sini. Papa harus kuat. Albern sudah mendapatkan Ibu Susu. Ayolah, pulih segera!” Kay mendekati ayah mertuanya dan memberikan semangat. Wajah Richard yang selama ini pucat dan tidak bergairah untuk melanjutkan hidup, seketika berubah. Ada harapan dari sorot matanya setelah mendengar pernyataan Kay. “Benarkah? Siapa wanita itu?” Sesaat Kay terdiam. “Dia hanya wanita biasa yang baru saja kehilangan anaknya,” jawabnya singkat. “Jadi, apa Cucuku sudah tidak menangis-nangis lagi?” Richard bertanya penuh harap, menyimpan rasa bahagia jika tebakannya benar. Kay mengangguk. “Aku harus pulang dan melihat Cucuku!” Richard ingin segera bangkit. “Papa sabar dulu, Papa harus benar-benar pulih, tunggu sampai dokter memberi izin untuk pulang.” Kay mengingatkan. Ketika tugas Livyna selesai hari itu, dia pun
“Jaga sikapmu!” Kay langsung menangkap dan mencengkeram dagu Livy. “Kau lupa, kau siapa?! Mengapa kau menyalahkanku? Dengar! Aku tidak punya kewajiban untuk anakmu!” “Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, apa kau juga lupa kalau hanya aku yang bisa menyusui anakmu?” tanya Livy dengan beraninya. Kay tersenyum miring. Wajahnya terlihat benar-benar bengis. Ia bahkan tidak peduli dengan tatapan pedih Livy dan mata yang sembab. Ia melepas dagu Livy yang dicengkeramnya dengan kasar. “Lalu, kau mau apa?” balas Kay. Ia memperbaiki kerah dan lengan bajunya. “Aku bisa saja meninggalkan pekerjaanku sebagai Ibu Susu anakmu!” ancam Livy. “Oh ya? Sepertinya kau tidak membaca perjanjian kerja itu secara menyeluruh. Kalau bukan dokter Rico yang mengatakan kau sudah tidak bisa menyusui, atau Albern sudah tidak butuh Ibu Susu lagi, maka kau tidak bisa berhenti dari pekerjaan ini. Atau kau akan didenda. Apa kau tidak membaca itu? Dan kalau kau tidak bisa membayar dendanya, kau akan dipenjara!” Wajah Livy
“Ibu Livy? Sebenarnya anak Ibu sakit apa?” Livy yang tengah menunggu di depan ruang tindakan mendongak saat mendengar seseorang berhenti di hadapannya. Dokter Rico, pria itu terlihat khawatir ketika menemukan Livy tengah menangis dengan kondisi yang memilukan seorang diri. “Anak saya kritis, Dok….” Livy pun akhirnya bercerita jujur pada Dokter Rico mengenai penyakit Fabian yang didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus. Wajah Dokter Rico terlihat semakin khawatir. Untuk itu, tanpa Livy tahu, Rico mengambil jarak dan melaporkannya pada Kay. Di rumah, Kay sempat terdiam setelah mendengar penjelasan mengerikan dari Rico ‘Jadi, sebenarnya dia membutuhkan uang untuk biaya operasi anaknya?’ batinnya. Kini dia paham, untuk apa Livy mengemis bantuannya berkali-kali. “Temui dokternya dan katakan untuk segera lakukan operasi. Saya akan tanggung biayanya,” jelas Kay mengakhiri panggilan. Tak lama setelah itu, dokter yang memeriksa Fabian keluar dari ruangan. “Fabian harus segera dioperasi, j
“Terima kasih! Terima kasih, Kay!”Karena terlalu senang, Livy sampai melonjak kegirangan usai seorang perawat memberikannya sebuah kontrak kerja.Kay langsung menatap Livy dengan tatapan yang tajam. “Ingat statusmu, dan panggil aku Tuan Kay!”Hal itu membuat Livy seketika terdiam. “Maaf. Ba- baik, Tuan Kay!” Livy menunduk, tanda memahami dan menghormati Kay sebagai majikannya.Pria itu berlalu, sementara Livy masih berhadapan dengan dokter dan suster anak yang menangani Albern secara khusus.Sembari mengantar Livy pulang kembali ke rumah sakit, dokter anak pribadi Albern itu menanyakan sesuatu yang membuat Livy terhenyak sesaat.“Anak Ibu sakit apa?” tanya Dokter Rico.“Anak saya…” Awalnya Livy ingin jujur. Tetapi, dia khawatir jika memberi tahu penyakit anaknya akan berakibat pemutusan kontrak, Livy pun memutuskan untuk berbohong. “Anak saya demam, Dok.”Livy berani berbohong, sebab dia tahu betul penyakit anaknya bukanlah penyakit menular. Sehingga, pun dia menyembunyikan kebenaran
“Maaf Ibu Livy, kami belum bisa memberikan kontrak kerja.”Detik itu, Livy langsung bersimpuh di kaki Kay yang ingin segera berlalu. Pria yang dulu hangat itu kini terlihat begitu angkuh. Bahkan, tidak peduli pada air mata Livy yang kini tengah merengek di bawah kakinya.“Kay… aku mohon! Izinkan aku menyusui Albern. Aku butuh pekerjaan ini. Aku mohon….”Dia sudah berharap akan mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya. Bahkan dia tidak peduli meski dia harus dihinakan oleh mantan kekasihnya itu.“Apa kau pikir aku akan percaya pada perkataan wanita sepertimu?” kata Kai sambil menggerakkan kakinya, melepas cekalan tangan Livy di sana. “Pergi dari sini, Jalang! Aku tidak sudi melihat wajahmu!”Setelah itu, Kay pergi, meninggalkan Livy yang terisak diiringi tatapan kasihan dokter dan perawat. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi. Keputusan Kay adalah mutlak.Dalam perjalanan pulangnya, Livy mengingat kembali bagaimana hubungannya dan Kay di masa lalu. Hubungan yang terjalin selam
“Sabar ya Sayang… Mama akan berusaha mendapatkan uang segera. Kamu bertahan ya?”Livyna mengusap jejak airmata ketika melihat kondisi anaknya kian hari kian parah. Bayi tujuh bulan itu didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus, penyempitan saluran di antara lambung dan usus dua belas jari. Hal itu membuat bayinya tidak bisa mencerna makanan dan minuman dengan baik.Dia hanya bisa meminum ASI, yang tentu saja sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi hariannya. Kondisi bayinya bisa makin memburuk jika tidak segera ditangani.“Tuhan… aku harus mendapatkan uang dari mana?” batin Livy menangis. Dia tidak kuat melihat kondisi anaknya.Hidup yang dulunya kaya dan mentereng, kini miskin dan sebatang kara. Perusahaan keluarga bangkrut, dan terlilit hutang. Kedua orang tuanya meninggal dalam jarak satu tahun. Setelah tiga bulan pasca melahirkan, suaminya pun pergi menghilang entah ke mana.Siang harinya, ketika Livy hendak membeli makan, tiba-tiba wanita cantik itu tidak sengaja menginjak brosur