Air mata Livy kembali berjatuhan saat ia kembali membaringkan tubuhnya. Ia menyalahkan dirinya atas apa yang sudah dia katakan pada Kay. 'Kenapa hatiku berkata kalau dia benar mengingat kalau aku tidak bisa minum obat? Dan hatiku sedikit senang jika itu benar. Setidaknya dia masih mengingatku.' Hatinya terbolak-balik mengingat Kay. 'Tidak... Apa yang sudah aku pikirkan? Mana mungkin Kay mengingatku. Dia sangat membenciku. Bahkan, aku sudah dianggap mati,' batinnya pilu. Selama Livy sakit, ASI-nya dipompa untuk memenuhi kebutuhan Albern. Bayi Susunya itu juga seakan mengerti kondisinya. Dia tidak rewel selama Livy sakit. Walau Suster Merry tetap harus membawa Albern ke kamar Livy agar Albern bisa tenang setelah mendengar suara ibu susunya. Kay tidak dapat melarang. Anaknya benar-benar sudah ketergantungan dengan Livy. Dia bahkan tidak menyangka walau hanya mendengar suara Livy, anaknya bisa tenang. 'Bagaimana kalau sampai Albern tidak bisa berpisah dengan Livy? Tidak! Tidak b
Kay ingin turun dari mobilnya, mendekati rumah itu dan mencaritahu apa yang terjadi di dalam. Namun, pikirannya sudah telanjur jauh. Dia malah merasa jijik jika harus mendengar percintaan Livy dan David. Tepat saat Kay ingin kembali memajukan mobilnya, dia malah melihat Livy keluar dari rumah itu dan ingin berteriak. Sigap David membekap mulutnya dan memeluk Livy untuk kembali masuk ke dalam rumah. “Lepaskan! Aku ke sini bukan untuk melayanimu! Aku mau kita bercerai!” teriak Livy. Plak! David tak segan-segan menamparnya. “Aku tidak mau! Kau bisa apa?!” bentak David. Kay langsung turun dari mobilnya. Dia mendekati rumah itu. Saat yang bersamaan, Livy kembali berusaha kabur setelah mendorong tubuh David sekuat yang dia mampu. Saat ia lari terbirit, tak sengaja dia menabrak tubuh Kay. “To- tolong aku!” ucap Livy yang panik. Namun, saat itu pula dia terdiam setelah melihat wajah pemilik dada yang bidang itu. Mata Kay menyala menatap Livy. David pun muncul. Dia terkejut setelah mel
Kay tiba-tiba memberhentikan mobilnya. Hingga Livy terguncang dan terkejut. Tatapan Kay semakin tajam padanya. “Di matamu kau hanya menyoroti dendamku saja? Bagaimana dengan kelicikan dan kekejianmu?!” bentak Kay. Livy menatap tepat di mata Kay. Dia memandangnya dengan kelembutan. Dengan mata yang basah. “Arghh!” Kay memukul setir mobilnya. Ia frustrasi sendiri dengan kebenciannya. “Kapan Albern akan tidak membutuhkanmu lagi! Aku benar-benar muak dengan semua aktingmu ini!” Livy menunduk. Dia membuang pandangannya ke sisi kanan jendela. Mencoba mengalihkan wajahnya dari Kay. Ia sedang mengumpulkan keberanian, ingin mengatakan yang sejujurnya. “Kay… sebenarnya…” “Diam!” potong Kay. “Kau tidak perlu berkata apa-apa lagi! Apa masih kurang jelas, aku ini Tuanmu!” Livy menunduk. Tangisannya yang di atahan membuat tubuhnya bergetar. Dia menutup wajahnya. “Maaf Tuan…” ucapnya pula. Kay kembali memajukan mobilnya. ‘Aku tidak akan berusaha menjelaskan apapun lagi, Kay. Memang, aku yan
Sigap Kay meninggalkannya di sofa itu sebelum Livy terbangun. Ia kembali ke samping Albern dan tidur di sana.Tangisan dan rengekan Albern pagi itu membuat Livy terbangun. Saat dia ingin segera beranjak, dia pun sadar ada selimut yang menghalanginya. Dia juga sadar ada bantal di bagian kepalanya. Belum sempat dia bengong dan bertanya-tanya, tangisan Albern langsung mengalihkannya. Livy langsung menggendong anak susunya, menjauhkannya dari Kay, agar pria yang terlihat lelah itu tidak terbangun. Saat yang bersamaan, dia pun menduga, ‘Dia yang memberiku selimut dan bantal?’ batinnya. Ia pun berniat untuk mengucapkan terima kasih nanti.“Iya Sayang… Ibu di sini… Kamu tenang ya? Selamat pagi ganteng…” Livy menimang-nimang Albern untuk menenangkannya. Dia bahkan membawanya jalan-jalan untuk menikmati pagi yang cerah dari teras rumah megah itu.Kay terbangun. Dia langsung terduduk saat menyadari tidak ada Albern di sebelahnya. Dia juga melihat jam dan menyadari kalau dia akan terlambat ke k
Livy baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah. Ia membalutnya dengan handuk. Bahkan ia juga belum sempat memakai bajunya karena Albern tiba-tiba menangis. Saat dia sedang duduk, menyusui Albern dengan penampilan yang sedikit terbuka dan seksi, tiba-tiba Kay sudah pulang. Seperti biasa, pria yang sudah ditinggal mati istrinya itu biasanya akan selalu menengok anaknya di kamar. Saat akan masuk, matanya bertemu dengan mata Livy. Ia pun menyadari penampilan wanita itu yang cukup seksi karena baru selesai mandi. Ia yang sejak tadi uring-uringan mengingat masa lalunya dengan Livy, langsung membalik badan dan menjauhinya. Setelah Livy selesai menyusui Albern, dia menaruh anak itu dengan mainannya di atas tempat tidurnya. Segera dia berlari ke kamarnya di belakang dapur untuk memakai pakaiannya. Ketika selesai, dia kembali lagi ke kamar Albern dan ternyata Kay sudah berada di sana, masih dengan menggunakan pakaian lengkap. “Maaf Tuan, tadi Albern sa
“Ma- maaf, Tuan! Baby Al!” ucap Livy buru-buru menggendong Albern.Kay masih mengumpulkan kesadaran. Dia langsung duduk. Ia bingung. Apa yang baru saja terjadi dan kenapa Livy bisa berada di atasnya?“Sayang… Sayang… tidak apa-apa. Ibu di sini. Kamu tenang ya… Shhhh tidur lagi ya, tidur lagi…” Livy menimang-nimang Albern dan menenangkannya.Kay menoleh pada sisi tempat tidur di mana Albern tadi menangis. Dia pun mulai sadar. ‘Apa aku sudah hampir mencelakai Albern tadi?’ batinnya.Tangis Albern mulai mereda saat Livy menyusuinya.“Apa aku tadi hampir mencelakai Albern?” tanya Kay.Livy menatapnya lalu mengangguk. “Tangan Tuan menimpa kakinya. Membuat Albern sulit bergerak,” jelas Livy.Kay mendengus kesal. Dia mengusap wajahnya dan menyalahkan dirinya sendiri. Untung saja ada Livy. Jika tidak, apa yang akan terjadi pada anaknya? “Ah, terima kasih karena ka
Kay terdiam dengan pertanyaan Livy yang menurutnya semakin berani. Namun beberapa detik kemudian penilaiannya pada Livy pun semakin buruk.“Jadi benar? Ya, aku tidak akan heran. Selain memang sengaja, kau juga tahu mana laki-laki yang memiliki uang.” Kay begitu enteng menyampaikan pemikirannya. “Itu namanya Tommy. Bisnisnya cukup bagus. Statusnya duda, cerai hidup dan dia selalu bergontai-ganti pasangan. Just for your information, siapa tahu kau ingin memasukkan dia ke dalam targetmu selanjutnya. Tentunya dia kaya!” lanjut Kay.Livy terdiam. Ia merasa terhina dengan ucapan Kay. Namun, ia tidak memiliki kekuatan untuk membantahnya. Tetap saja, di mata Kay dia adalah wanita yang sangat buruk.Kay yang masih menggendong Albern, berjalan beriringan dengan Livy yang mendorong troli. Namun, wajah Livy sudah tidak dapat dia kondisikan. Dia menunduk untuk menutupi raut yang bersedih atas hinaan tuannya.“Kenapa? Kenapa kau diam? Aku tahu! Kau pasti sedang menyusun rencana kan? Setelah kontrak
Kay tiba di rumah dengan wajah memar. Ia berjalan masuk sambil mengusap sudut bibirnya yang luka. Saat yang bersamaan, Livy baru saja keluar dari kamar Albern. Awalnya dia ingin minum ke dapur. Namun, melihat penampilan Kay yang kacau, dia langsung terkejut. “Tu- tuan? Ada apa?” tanya Livy. Kay menatapnya. Dia pun tidak mengira kalau Livy belum tidur. Ia masih diam, tak memberi jawaban. “A- apa yang bisa saya bantu, Tuan? I- itu sudut bibir Tuan berdarah…” Livy menunjuknya. “Saya tahu!” bentak Kay. Jawabannya yang tiba-tiba dan dengan nada tinggi membuat tubuh Livy sempat bergidik. “Ini semua karena kau! Ini semua karena kau! Kau selalu membuat masalah dalam hidupku!” bentak Kay. Dia menunjuk Livy dengan tajam. Livy tampak kebingungan. Tetapi jawaban dan bentakan Kay membuatnya memilih diam dan menunduk. ‘Ternyata benci dan dendam saja tidak cukup untuk memuaskanmu karena pengkhianatanku di masa lalu. Sekarang, setiap masalah yang ada di hidupmu, semua kau limpahkan karena kesa
Livy memilih menangis dalam kediaman. Ia yang sejak tadi duduk tegak, mulai merasa lelah.Ia pun menyudahi tangisnya dengan menarik napas yang panjang lalu membuangnya perlahan. Ia masih mengabaikan buku itu.Rumah sakit itu terasa sunyi sebab malam merambat semakin larut. Hanya suara ringan dari mesin di rumah sakit dan detak jam dinding yang mengisi kesepian.Livy mencoba menggapai tuas pengatur sandaran ranjang, tapi tubuhnya belum cukup kuat. Tangannya bergetar, dan tuas itu tak kunjung bergerak.Ia menoleh pelan ke arah pintu. Ia tahu siapa yang sedang berdiri di baliknya. Seperti biasa. Seperti malam-malam sebelumnya. Ia bisa merasakannya. Ada yang diam di sana, menjaga diam-diam. Memantaunya diam-diam.Rasanya tak nyaman di punggungnya sudah tak tertahankan. Tetapi sandaran ranjang tidurnya itu belum juga bergerak. Ia ingin membaringkan tubuhnya segera.Ia menoleh ke arah tombol panggil perawat. Tapi menekannya berarti menunggu, dan ia tidak ingin terlihat menyedihkan. Livy men
Hari berikutnya seperti hari sebelumnya.Kay selalu berharap melihat tanda-tanda bahwa Livy mulai menerima kehadirannya kembali. Meskipun jarak itu tetap ada, dia tahu satu hal, anaknya adalah jembatan yang paling mungkin.Livy duduk di atas ranjangnya pagi itu. Albern yang sudah berusia satu tahun lebih, sekarang lebih aktif berlari-lari di ruangannya, sambil menggenggam mainan kecil yang lucu.Anak itu datang. “Mama!” teriaknya.“Ada apa, sayang?” Livy bertanya lembut, meski bibirnya masih cenderung kaku.Anak itu menatapnya dengan mata penuh antusiasme, ia mencoba naik ke atas kursi untuk bisa menuju ranjangnya. Bibir mungilnya bergetar sejenak. “Naik Ma!” ucapnya.Livy tertawa kecil juga tertegun. Panggilan itu sekarang hanya ‘Mama’ saja. Tidak ‘Mama Livy’ lagi. Mungkin terdengar tidak ada bedanya. Tetapi, panggilannya terasa jauh semakin dekat. Tanpa penyebutan nama yang menekankan kalau dia hanyalah ibu susu yang bernama ‘Livy’. Panggilan Albern padanya, membuatnya merasakan keh
Pintu kembali terbuka. Livy seperti diserang rasa ketakutan mengingat dan melihat Kay. Dia tidak ingin melihatnya.“Pergi!” pekik Livy. Namun, sesaat kemudian dia terdiam.“Nyonya Livy…” Ternyata itu adalah Bibi Eden.Bibi Eden yang sempat terkejut dengan teriakan Livy, langsung mendekatinya dan memeluknya.Tangisan keduanya tumpah. Tak ada yang berbicara. Keduanya saling memeluk dan menguatkan.Richard membuka sedikit pintu ruangan. Ia mengintip bagaimana keadaan di dalam. Hati siapa yang tidak kelu melihat momen itu.Kay juga merasakan hal yang sama. Sungguh, tidak menyangka Livy melewati semua pahitnya sendirian.“Bi…” lirih Livy.“Maafkan Bibi, Nyonya…”“Aku merindukan Bibi…” isak Livy.“Nyonya… tetaplah hidup. Nyonya harus bahagia…” isak si Bibi.Ada banyak pertanyaan yang ingin Livy sampaikan. Tetapi keadaannya terlalu lemah.“Nyonya… ada Albern di depan. Apa Nyonya tidak merindukannya?” tanya Bibi Eden.“Bi… aku sangat menyayanginya. Aku merindukannya,” ucap Livy. Suaranya pata
Samar, cahaya putih menusuk kelopak matanya. Rasanya seperti terapung di antara mimpi dan kenyataan.Livy mendengar teriakan seseorang, berjalan menjauh. Suara anak kecil juga terdengar samar. “Ma Vy..”Livy mengerjapkan mata. Buram. Kemudian perlahan fokus. Ia menatap langit-langit ruangan yang tak asing. Bau menyengat khas rumah sakit, membuatnya sadar di mana ia berada.Tak lama, ia melihat dua orang mendekatinya. Dokter dan Suster. Ia diperiksa dan diajak berbicara untuk memberi respon.Di luar ruangan, Kay menunggu dengan tidak sabarnya. Dia menceritakan apa yang terjadi pada Pak Sopir dan Bibi Eden. Tak lupa pula ia menghubungi Richard, setelah apa yang terjadi.“Iya Pah. Segera ke sini. Dokter sedang memeriksanya,” jelas Kay.Bibi Eden mengambil Albern dari Kay. “Tuan… duduk yang tenang. Mudah-mudahan Ibu Livy benar-benar sadar,” lirihnya.Di dalam ruangan, Livy bertanya lirih. “Dok… apa yang terjadi padaku?”“Ibu Livy tidak mengingat apapun?” tanya dokter. Khawatir Livy mengal
Kay menoleh. Dia menatap Richard yang berjalan mendekatinya. Ia kembali pada kenyataan. Di detik kemudian dia kembali menangis. Melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan harapan yang semakin habis.“Li vy…” lirihnya.“Kay! Kau tidak bisa seperti ini! Kau harus kuat untuk bisa menguatkan Livy!” tegas Richard menelan kekhawatiran.“Livy… bagaimana keadaan Livy, Pa?” Mulutnya bertanya sedang matanya tertutup rapat. Membuat ari yang mengumpul di pelupuknya mengalir begitu saja.Richard tidak bisa menjawab. Sampai setelah dokter tiba dan memeriksanya.“Tuan Kay hanya demam. Sakitnya bukan apa-apa. Tetapi, batinnya sangat jauh terluka. Penyesalannya terlalu dalam.” Begitu dokter menjelaskan keadaan Kay saat itu setelah memeriksanya.Dokter pun hanya memberikan obat penurun demam sesuai keadaan fisik Kay. Sedangkan batinnya, hanya keadaan dan Kay sendiri yang bisa mengobatinya.Seminggu kemudian…Kay berangsur membaik. Alam bawah sadarnya menyemangatinya untuk bangkit. Ia merindukan L
“Tidak, kami hanya ingin memeriksa keadaan terbaru pasien,” jelas Dokter. “Apakah tadi ada respon yang diberikan Ibu Livy?”Kay terdiam kelu. Dia menggeleng pelan.Dokter dan Suster segera masuk ke ruangan untuk memeriksa. Di luar ruangan Kay menunggu. Tentu ia terus berharap agar kiranya Livy segera menunjukkan kalau dia akan bangun.Sayangnya, setelah selesai, dokter justru mengatakan,“Tidak ada respon. Keadaannya tidak menunjukkan tanda-tanda menuju pulih. Kondisinya stagnan. Jika pasien tidak melawan keadaannya, besar kemungkinan pasien tidak dapat bertahan melewati masa kritisnya. Tapi, semoga itu tidak terjadi. Kami akan tetap memantau dan memastikan,” jelas Dokter panjang kali lebar.Perasaan Kay semakin kelu. Nyatanya, harapannya tak terlihat akan terwujud. Ketakutan pun semakin menyelimutinya.“Permisi,” ucap dokter dan suster undur diri.Kay kembali duduk tak berdaya. Dia duduk asal-asalan. Harta, jabatan dan kekuasaannya yang selama ini dia banggakan dan sarkas-kan pada Li
Meski sudah beberapa menit Kay di ruangan itu, Livy tak memberi respon. Tidak sma seperti sebelumnya, di mana jarinya bergerak, memberi tanda bahwa ia akan sadar. Lama juga Kay memandangi Livy dengan diam. Dadanya semakin sesak, membuat air matanya terus jatuh. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Livy yang tidak berdaya, berharap ada balasan darinya. Sayangnya, Livy tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Perlahan pula, Kay melepas tangan itu. Dia beranjak. Tatapannya seakan tidak ingin berhenti dari wajah Livy. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, Kay memeluknya erat. Memeluk tubuh lemah, dingin dan tak bergerak dengan tangisan. Ia bahkan mengecup pipinya. Merapikan rambut wanita itu. Mengelus bawah pelipisnya. Wanita secantik itu, harus mengalami semuanya sendiri. Menerima hinaan dari dendamnya. Semakin berat pula penyesalan Kay saat mengingat bagaimana dia merendahkan Livy. “Aku minta maaf, Sayang…” isaknya, terputus. “Aku mohon… tetaplah kembali… kamu pasti kua
“Tidak hanya sampai di situ, Tuan. Ayah Nyonya Livy kembali mengancam akan menghabisi Tuan kalau sampai Nyonya Livy berani kabur untuk menemui Tuan Kay.”Si Bibi menutup wajahnya. Tangisnya pecah.Tanpa sadar tangan Kay mengepal sampai urat-uratnya itu terlihat jelas. Napasnya berat. Tatapannya tajam namun membendung air.“Papa…” Albern berjalan menghampirinya.Bibi Eden menatap wajah anak kecil yang mirip dengan lawan bicaranya.Kay membuang napas, bersamaan dengan air matanya yang akhirnya menetes. Dia tidak tahu harus berkata seperti apa setelah semua penjelasan Bibi Eden. Ia meraih tangan anaknya dan memeluknya erat.“Tu- Tuan… apa ini anak Tuan?” tanya si Bibi.Kay menatap si Bibi dan mengangguk membenarkan.Kay tidak bisa menyembunyikan penyesalannya lagi. Tangisnya akhirnya pecah. Masih sambil memeluk Albern, dia bertanya dengan suara yang bergetar. “Ke- kenapa Bibi baru mencariku sekarang?” tanyanya. Bahkan seumur hidup Kay tidak pernah menangis hingga terisak sesakit itu. Nam
Sejenak Kay mencoba mengingat nama yang tidak asing tersebut. Ia pun berdiri dan menemui sosok dari nama yang disebutkan di teras rumah. “Al, sebentar ya?” ucap Kay pada anaknya yang sibuk bermain. Mata elang itu mengenali siapa yang kini ada di hadapannya. Wanita tua itu langsung berdiri setelah melihatnya muncul. Ada perasaan seperti tidak menyangka melihat Kay di titik yang sekarang ini. “Tuan Kay?” sapanya lemah. “Bi? Ada apa? Bagaimana Bibi tahu aku tinggal di rumah ini?” “Tuan… saya minta maaf. Harusnya saya datang lebih cepat dari ini. Justru setelah sekian tahun barulah saya bisa mendatangi Tuan.” Bibi Eden langsung bersimpuh di hadapan Kay daan menyatukan kedua telapak tangannya. “Bi? Bibi ada apa?” tanya Kay, pada mantan ART keluarga Baldric, alias sosok yang begitu perhatian pada Livyna dulu. Bibi Eden malah menangis sesenggukan. Karena bingung dan tidak mengerti apa yang terjadi, Kay membungkuk dan mencoba mengarahkannya untuk bangkit dengan menyentuh kedua bahunya.