“Tidak hanya sampai di situ, Tuan. Ayah Nyonya Livy kembali mengancam akan menghabisi Tuan kalau sampai Nyonya Livy berani kabur untuk menemui Tuan Kay.”Si Bibi menutup wajahnya. Tangisnya pecah.Tanpa sadar tangan Kay mengepal sampai urat-uratnya itu terlihat jelas. Napasnya berat. Tatapannya tajam namun membendung air.“Papa…” Albern berjalan menghampirinya.Bibi Eden menatap wajah anak kecil yang mirip dengan lawan bicaranya.Kay membuang napas, bersamaan dengan air matanya yang akhirnya menetes. Dia tidak tahu harus berkata seperti apa setelah semua penjelasan Bibi Eden. Ia meraih tangan anaknya dan memeluknya erat.“Tu- Tuan… apa ini anak Tuan?” tanya si Bibi.Kay menatap si Bibi dan mengangguk membenarkan.Kay tidak bisa menyembunyikan penyesalannya lagi. Tangisnya akhirnya pecah. Masih sambil memeluk Albern, dia bertanya dengan suara yang bergetar. “Ke- kenapa Bibi baru mencariku sekarang?” tanyanya. Bahkan seumur hidup Kay tidak pernah menangis hingga terisak sesakit itu. Nam
Meski sudah beberapa menit Kay di ruangan itu, Livy tak memberi respon. Tidak sma seperti sebelumnya, di mana jarinya bergerak, memberi tanda bahwa ia akan sadar. Lama juga Kay memandangi Livy dengan diam. Dadanya semakin sesak, membuat air matanya terus jatuh. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Livy yang tidak berdaya, berharap ada balasan darinya. Sayangnya, Livy tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Perlahan pula, Kay melepas tangan itu. Dia beranjak. Tatapannya seakan tidak ingin berhenti dari wajah Livy. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, Kay memeluknya erat. Memeluk tubuh lemah, dingin dan tak bergerak dengan tangisan. Ia bahkan mengecup pipinya. Merapikan rambut wanita itu. Mengelus bawah pelipisnya. Wanita secantik itu, harus mengalami semuanya sendiri. Menerima hinaan dari dendamnya. Semakin berat pula penyesalan Kay saat mengingat bagaimana dia merendahkan Livy. “Aku minta maaf, Sayang…” isaknya, terputus. “Aku mohon… tetaplah kembali… kamu pasti kua
“Tidak, kami hanya ingin memeriksa keadaan terbaru pasien,” jelas Dokter. “Apakah tadi ada respon yang diberikan Ibu Livy?”Kay terdiam kelu. Dia menggeleng pelan.Dokter dan Suster segera masuk ke ruangan untuk memeriksa. Di luar ruangan Kay menunggu. Tentu ia terus berharap agar kiranya Livy segera menunjukkan kalau dia akan bangun.Sayangnya, setelah selesai, dokter justru mengatakan,“Tidak ada respon. Keadaannya tidak menunjukkan tanda-tanda menuju pulih. Kondisinya stagnan. Jika pasien tidak melawan keadaannya, besar kemungkinan pasien tidak dapat bertahan melewati masa kritisnya. Tapi, semoga itu tidak terjadi. Kami akan tetap memantau dan memastikan,” jelas Dokter panjang kali lebar.Perasaan Kay semakin kelu. Nyatanya, harapannya tak terlihat akan terwujud. Ketakutan pun semakin menyelimutinya.“Permisi,” ucap dokter dan suster undur diri.Kay kembali duduk tak berdaya. Dia duduk asal-asalan. Harta, jabatan dan kekuasaannya yang selama ini dia banggakan dan sarkas-kan pada Li
Kay menoleh. Dia menatap Richard yang berjalan mendekatinya. Ia kembali pada kenyataan. Di detik kemudian dia kembali menangis. Melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan harapan yang semakin habis.“Li vy…” lirihnya.“Kay! Kau tidak bisa seperti ini! Kau harus kuat untuk bisa menguatkan Livy!” tegas Richard menelan kekhawatiran.“Livy… bagaimana keadaan Livy, Pa?” Mulutnya bertanya sedang matanya tertutup rapat. Membuat ari yang mengumpul di pelupuknya mengalir begitu saja.Richard tidak bisa menjawab. Sampai setelah dokter tiba dan memeriksanya.“Tuan Kay hanya demam. Sakitnya bukan apa-apa. Tetapi, batinnya sangat jauh terluka. Penyesalannya terlalu dalam.” Begitu dokter menjelaskan keadaan Kay saat itu setelah memeriksanya.Dokter pun hanya memberikan obat penurun demam sesuai keadaan fisik Kay. Sedangkan batinnya, hanya keadaan dan Kay sendiri yang bisa mengobatinya.Seminggu kemudian…Kay berangsur membaik. Alam bawah sadarnya menyemangatinya untuk bangkit. Ia merindukan L
Samar, cahaya putih menusuk kelopak matanya. Rasanya seperti terapung di antara mimpi dan kenyataan.Livy mendengar teriakan seseorang, berjalan menjauh. Suara anak kecil juga terdengar samar. “Ma Vy..”Livy mengerjapkan mata. Buram. Kemudian perlahan fokus. Ia menatap langit-langit ruangan yang tak asing. Bau menyengat khas rumah sakit, membuatnya sadar di mana ia berada.Tak lama, ia melihat dua orang mendekatinya. Dokter dan Suster. Ia diperiksa dan diajak berbicara untuk memberi respon.Di luar ruangan, Kay menunggu dengan tidak sabarnya. Dia menceritakan apa yang terjadi pada Pak Sopir dan Bibi Eden. Tak lupa pula ia menghubungi Richard, setelah apa yang terjadi.“Iya Pah. Segera ke sini. Dokter sedang memeriksanya,” jelas Kay.Bibi Eden mengambil Albern dari Kay. “Tuan… duduk yang tenang. Mudah-mudahan Ibu Livy benar-benar sadar,” lirihnya.Di dalam ruangan, Livy bertanya lirih. “Dok… apa yang terjadi padaku?”“Ibu Livy tidak mengingat apapun?” tanya dokter. Khawatir Livy mengal
Pintu kembali terbuka. Livy seperti diserang rasa ketakutan mengingat dan melihat Kay. Dia tidak ingin melihatnya.“Pergi!” pekik Livy. Namun, sesaat kemudian dia terdiam.“Nyonya Livy…” Ternyata itu adalah Bibi Eden.Bibi Eden yang sempat terkejut dengan teriakan Livy, langsung mendekatinya dan memeluknya.Tangisan keduanya tumpah. Tak ada yang berbicara. Keduanya saling memeluk dan menguatkan.Richard membuka sedikit pintu ruangan. Ia mengintip bagaimana keadaan di dalam. Hati siapa yang tidak kelu melihat momen itu.Kay juga merasakan hal yang sama. Sungguh, tidak menyangka Livy melewati semua pahitnya sendirian.“Bi…” lirih Livy.“Maafkan Bibi, Nyonya…”“Aku merindukan Bibi…” isak Livy.“Nyonya… tetaplah hidup. Nyonya harus bahagia…” isak si Bibi.Ada banyak pertanyaan yang ingin Livy sampaikan. Tetapi keadaannya terlalu lemah.“Nyonya… ada Albern di depan. Apa Nyonya tidak merindukannya?” tanya Bibi Eden.“Bi… aku sangat menyayanginya. Aku merindukannya,” ucap Livy. Suaranya pata
Hari berikutnya seperti hari sebelumnya.Kay selalu berharap melihat tanda-tanda bahwa Livy mulai menerima kehadirannya kembali. Meskipun jarak itu tetap ada, dia tahu satu hal, anaknya adalah jembatan yang paling mungkin.Livy duduk di atas ranjangnya pagi itu. Albern yang sudah berusia satu tahun lebih, sekarang lebih aktif berlari-lari di ruangannya, sambil menggenggam mainan kecil yang lucu.Anak itu datang. “Mama!” teriaknya.“Ada apa, sayang?” Livy bertanya lembut, meski bibirnya masih cenderung kaku.Anak itu menatapnya dengan mata penuh antusiasme, ia mencoba naik ke atas kursi untuk bisa menuju ranjangnya. Bibir mungilnya bergetar sejenak. “Naik Ma!” ucapnya.Livy tertawa kecil juga tertegun. Panggilan itu sekarang hanya ‘Mama’ saja. Tidak ‘Mama Livy’ lagi. Mungkin terdengar tidak ada bedanya. Tetapi, panggilannya terasa jauh semakin dekat. Tanpa penyebutan nama yang menekankan kalau dia hanyalah ibu susu yang bernama ‘Livy’. Panggilan Albern padanya, membuatnya merasakan keh
Livy memilih menangis dalam kediaman. Ia yang sejak tadi duduk tegak, mulai merasa lelah.Ia pun menyudahi tangisnya dengan menarik napas yang panjang lalu membuangnya perlahan. Ia masih mengabaikan buku itu.Rumah sakit itu terasa sunyi sebab malam merambat semakin larut. Hanya suara ringan dari mesin di rumah sakit dan detak jam dinding yang mengisi kesepian.Livy mencoba menggapai tuas pengatur sandaran ranjang, tapi tubuhnya belum cukup kuat. Tangannya bergetar, dan tuas itu tak kunjung bergerak.Ia menoleh pelan ke arah pintu. Ia tahu siapa yang sedang berdiri di baliknya. Seperti biasa. Seperti malam-malam sebelumnya. Ia bisa merasakannya. Ada yang diam di sana, menjaga diam-diam. Memantaunya diam-diam.Rasanya tak nyaman di punggungnya sudah tak tertahankan. Tetapi sandaran ranjang tidurnya itu belum juga bergerak. Ia ingin membaringkan tubuhnya segera.Ia menoleh ke arah tombol panggil perawat. Tapi menekannya berarti menunggu, dan ia tidak ingin terlihat menyedihkan. Livy men
“Siapa yang berbicara barusan?” tanya Kay. Suaranya pelan dan datar namun berhasil membuat pegawainya yang berbisik-bisik terdiam, kaku, menunduk tak berkutik.Kay memberikan Albern pada Livy.Livy menggendong Albern. Ia sama sekali tidak tersinggung dengan bisikan itu. Apa yang salah? Semua oran tahu bahwa dia memanglah babu, sebatas ibu susu.“Siapa yang baru saja bicara seperti itu?!” bentak Kay.Semua mereka bergidik takut.“Papa…” Albern memanggilnya lembut. Anak itu tidak pernah melihat ayahnya marah dan membentak tegas seperti itu.Emosi Kay teralihkan. Dia menatap anaknya.“Livy, kamu bisa ke ruanganku. Bawa Albern,” jelas Kay lembut.“Tidak perlu menegur mereka,” ucap Livy dengan tenangnya. Namun, justru ucapannya itu membuat Kay semakin kesal dan emosi pada pegawainya.Kay merangkul Livy. Melanjutkan langkah mereka bersama untuk masuk ke dalam lift.Pegawai biasanya itu langsung menghela napas lega. Mereka saling menyalahkan satu sama lain. Lalu mendesis merasa beruntung kar
Livy menjauhkan tatapannya. “Ya,” jawabnya, menyibukkan diri dengan merapikan body and hair care milik Albern.“Ya sudah, Papa makan dulu ya? Al dan Mama siap-siap,” ucapnya. Kay masih menatap Livy, yang sibuk, atau berpura-pura sibuk agar tidak menatapnya. “Hm, kamu sudah makan?” tanyanya.Livy menatapnya lagi. “Belum,” jawabnya.“Oh. Ka- kalau begitu ayo makan bersama,” ucap Kay.“Ya, duluan saja,” jawab Livy.Kay mengangguk. Ia menggendong Albern dan membawanya keluar kamar. “Ayo temani Papa makan,” ucapnya.Setelah Livy membereskan kamar Albern, dia pun keluar kamar. Baru saja dia menutup pintu, Albern sudah berlari menangkapnya.“Eh Al?” sapa Livy, gemas. Dia langsung menggendong anak itu.“Papa…” ucap Al, menunjuk ke arah dapur.“Mau sama Papa?” tanya Livy.Al mengangguk.Kening Livy mengernyit. Padahal tadi Kay sudah membawanya, dia yang kembali, lalu kenapa meminta untuk kembali pada ayahnya di meja makan? Namun, dia tidak mungkin mendebat anak kecil yang belum mengerti apa-ap
Livy tidak menjawab. Namun, hatinya juga tak marah mendengar ungkapan harap dari Kay.Kay menatap wajah Livy, yang pandangannya tidak membalasnya. Arah pandangannya menunduk, menatap gelas atau meja, yang pasti tak menatap sorot mata Kay yang penuh harap.Kembali hening.Livy meraih gelasnya, lalu kembali minum. Usai ia meletakkan kembali, barulah dia bersuara. “Aku—aku…” Ragu. Tak tahu harus bagaimana menyampaikan. “Aku rasa, sekarang… justru aku—aku tak pantas untukmu.”“Aku yang tak pantas untukmu,” timpal Kay. Ia tidak terima dengan ucapan Livy. “Aku yang tidak pantas untukmu, karena kejahatan dan kekejamanku padamu saat aku tidak tahu semuanya, benar-benar bukan seperti manusia yang punya hati. Aku yang tidak pantas,” potong Kay. “Tidak apa-apa, Livy. Aku mengerti,” sambungnya pelan.Livy terdiam. Dia juga belum bisa memaafkan luka itu jika mengingatnya.“Aku ke kamar Albern dulu,” lirih Livy, lari dari perbincangan dan pembahasan mereka yang dingin dan tak berujung. Ia membawa g
Livy tidak bisa menjawab ucapan Richard. Lagi pula pertanyaan itu tak untuk dijawab, melainkan untuk dirasakan. “Aku ke kamar Al dulu, Pa,” ucapnya pelan. Ia menunduk lalu berjalan, meninggalkan Richard. Ia menuju kamar Albern.Dan begitulah, malam itu tak menunjukkan perubahan besar untuk hubungan keduanya. Tidak ada pelukan, tidak ada amarah yang meledak. Namun, diamnya mereka seakan menyiratkan kalau semua itu adalah permulaan. Mungkin, tak mungkin mengulang masa lalu, tak bisa, tetapi bisa saja menyusun kembali hal yang jauh lebih dalam.Kay tahu, luka yang ditinggalkannya terlalu dalam untuk disembuhkan hanya dengan penyesalan. Ia tidak berharap untuk dimengerti, apalagi dicintai kembali. Tapi malam itu, ucapan maaf Livy saat tiba di rumah, seakan memintanya masuk ke dalam ruang luka, dan membiarkannya melihat dari dekat. Livy pun sangat menyesal tak memberitahu semuanya di masa itu.Di kamar Albern, saat memandangi anak yang sudah lelap itu, tatapannya justru menuju lamunan. Dia
Setelah lama di pemakaman, hening, diam tanpa sanggup membahas semuanya kembali ke belakang, akhirnya Kay beranjak. “Kita pulang?” tanyanya.Suaranya masih serak, khas suara baru selesai menangis, atau memendam kepedihan yang tak terungkapkan.Livy pun beranjak, tanpa menjawab, tanpa menatap Kay. Dia melangkah lebih dulu, meninggalkan Kay beberapa langkah di belakangnya. Ada banyak hal yang disesalkan, tetapi tak berguna untuk diungkapkan kembali. Membuatnya masih menitikkan air mata. Tangannyaa pun sibuk menepisnya.Kay melihat kalau Livy juga tidak dapat membendung air matanya. Andai saja dia bisa memeluk, menenangkannya seperti yang sering dia lakukan dulu. Namun, semua itu tinggal kenangan, bayang-bayang semu yang tak tahu apa mungkin akan terulang. Tangannya serasa tak akan sampai, meski Livy tepat berada di depannya.Livy masuk ke dalam mobil. Tepat setelah Kay bergerak cepat membukakan pintu untuknya. Ia duduk diam dan keheningan kembali menguasai mereka.Perjalanan mereka sama
Livy reflek melangkah mundur. Ia menatap Kay dengan kebingungan dan sedikit tidak percaya. Kay bahkan sudah mencari tahu sejauh itu. Sedalam itu rasa sakit yang dia simpan?“A- aku bahkan tidak tahu kalau mereka mengubur kandunganku. Aku tidak tahu usianya berapa. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa,” isak Livy, menutup mulutnya. Perih di masa lalu membuat tubuhnya sedikit gemetar.Tatapan Kay teduh dan iba. Dia bisa merasakan betapa sakit dan pahit yang Livy alami di masa lalu. Ia pun merasa semakin bersalah karena sudah membenci Livy selama itu.Andai boleh mengikut hati, Kay ingin sekali meraih tangan Livy, menggenggamnya hingga memeluknya erat seakan memberikan kekuatan untuk saling menguatkan. Ia ingin mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Sayangnya, Kay tidak berani melakukan semua itu setelah jahat dan kejam yang dia berikan tanpa henti padanya.Ia pun menunduk. Napasnya sesak. Terdengar saat dia mencoba menghela napas menyembunyikan air matanya. “Aku minta maaf. Tapi, a
“Kay?” Richard tidak menyangka bahwa menantunya itu bahkan akan menghukum dirinya sendiri. “Aku pantas dihukum, Pa. Aku sudah sangat kejam pada Livy. Dia pantas memutuskan ini,” ucap Kay, kelu. Livy menutup mulutnya setelah menjatuhkan kertas yang harusnya dia tandatangani. Dia tidak bisa mengambil langkah itu meski ia belum bisa memaafkan Kay. “Kamu pikir aku akan memaafkanmu dengan menghukummu seperti ini?” lirih Livy sedikit geram walau masih terisak. Kay tidak menjawab. Dia hanya menunduk. Penyesalan di dirinya terlihat amat begitu dalam. Livy menatap pria paruh baya yang terkapar lemah dengan napas satu satu. “Urus apa yang sudah kamu lakukan ini!” ujar Livy, tegas. “Semuanya justru membuatku semakin sakit!” Ia beranjak. Pergi masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya. Ia mengurung diri di sana. Richard menyentuh kedua bahu Kay dan menuntunnya untuk bangkit. “Papa paham. Papa tahu kamu sedang membuktikan penyesalanmu. Papa tahu kamu sedang membalas luka-lukamu. Tapi, lebih baik
Setelah tidak bisa menjelaskan apa-apa pada Pak Sopir sepanjang perjalanan, Livy akhirnya tiba di rumah dengan kepanikan yang luar biasa. Tubuhnya bahkan gemetar. “Nyonya? Nyonya Livy? Ada apa?” pekikan Bibi Eden mengundang Richard keluar dari kamarnya. Livy menggeleng. Dia tidak tahu haru menjelaskan dari mana. Dia menutup wajah, mengusap mukanya dan menutup mulutnya. “Livy? Ada apa? Tenang dulu…” Richard mencoba menenangkan. Ia pun menatap wajah Pak Sopir yang masih dalam kebingungan. “Ada apa? Apa yang terjadi?” tanyanya pula. Pak Sopir hanya bisa menggeleng. Belum sempat jawaban keluar dari mulut Livy, tiba-tiba mobil Kay dan anak buahnya pun tiba di pelataran rumah. Livy semakin panik. Dia reflek berjalan ke arah belakang Richard, bahkan memegang lengan baju pria yang sudah menganggapnya seperti anak. “Livy…” Kay sampai di ruang tengah, setelah berlari menghampiri. “Ada apa sebenarnya?” tanya Richard. Suaranya menjadi tegas. “Bi. Bibi Eden. Tolong awasi Albern.
Hari-hari setelah Livy pulang ke rumah berjalan dengan pola yang hampir sama. Kay hanya terlihat saat pagi hari—menyapa Albern, menggodanya dengan lelucon kecil, lalu pamit dengan ciuman singkat di kening putranya. Kadang ia menoleh ke Livy, kadang tidak. Bila pun iya, tatapannya cepat dialihkan. Kondisi Livy pun sudah baik. Dia sudah bisa beraktifitas seperti biasanya. Memang, dengan jarangnya Kay berada di rumah, bisa meminimalisir sakit hati dan lukanya yang belum sembuh sepenuhnya. Tetapi, dengan sikap Kaay yang seperti itu, datang, pergi seakan hilang, membuat Livy tak percaya dengan upayanya yang meminta maaf. Malam hari Kay akan pulang. Kadang Livy sudah tertidur. Kadang pura-pura. Tapi Kay tak pernah lagi masuk ke kamarnya, apalagi menyapanya. Hanya suara langkah kaki dan suara pintu dari kamar Albern yang terdengar oleh Livy. Ya, setidaknya pria itu tidak benar-benar melupakan anaknya. Livy mulai terbiasa dengan semua itu. Ia tidak mencari. Tidak juga bertanya. Sebab Rich