“Sabar ya Sayang… Mama akan berusaha mendapatkan uang segera. Kamu bertahan ya?”
Livyna mengusap jejak airmata ketika melihat kondisi anaknya kian hari kian parah. Bayi tujuh bulan itu didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus, penyempitan saluran di antara lambung dan usus dua belas jari. Hal itu membuat bayinya tidak bisa mencerna makanan dan minuman dengan baik. Dia hanya bisa meminum ASI, yang tentu saja sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi hariannya. Kondisi bayinya bisa makin memburuk jika tidak segera ditangani. “Tuhan… aku harus mendapatkan uang dari mana?” batin Livy menangis. Dia tidak kuat melihat kondisi anaknya. Hidup yang dulunya kaya dan mentereng, kini miskin dan sebatang kara. Perusahaan keluarga bangkrut dan terlilit hutang. Kedua orang tuanya meninggal dalam jarak satu tahun. Setelah tiga bulan pasca melahirkan, suaminya pun pergi menghilang entah ke mana. Siang harinya, ketika Livy hendak membeli makan, tiba-tiba wanita cantik itu tidak sengaja menginjak brosur yang terbang ke arah kakinya. Cuaca di New York memang sedang berangin. ~Dicari seorang ibu susu untuk bayi berusia 1 bulan. Akan diberikan 1000 dolar untuk setiap bulannya. Dan akan terus mendapatkan gaji bulanan sampai bayi berhenti dari ASI.~ “Ya Tuhan, ini keajaiban!” Livy langsung memeluk brosur tersebut dengan penuh harap. Sejak Livy melahirkan, dia memang memiliki kelebihan yaitu air susunya yang melimpah. Ibu satu anak itu segera merogoh sakunya. Dengan harta benda yang satu-satunya dia miliki, handphone, Livy pun melamar pekerjaan tersebut. Livy menghela napas lega saat dia diperbolehkan untuk langsung datang ke alamat yang tertera di brosur. “Fabian… Mama akan usahakan apapun agar kamu segera bisa dioperasi!” ucap Livy dengan penuh harapan. Setelah memastikan sang anak sudah tertidur, Livy pun bergegas menuju alamat tersebut. Rumah mewah dengan pagar tinggi terpampang. Saat mencoba ingin menghubungi kembali contact person di brosur tersebut, tiba-tiba seseorang datang menghampirinya. “Saya ingin melamar menjadi Ibu Susu." Livy langsung menunjukkan brosur yang dia temukan. Pria paruh baya itu, melihatnya dari bawah hingga atas. “Sudah banyak yang mencoba tapi tidak ada satu pun yang cocok untuk Baby Albern.” “Bo- bolehkah saya mencoba?” tanya Livy, meyakinkan pria yang dia yakini adalah penjaga rumah megah itu. Dia melewati serangkaian pemeriksaan sebelum diperbolehkan mencoba menyusui bayi yang dimaksud. Ketika akhirnya dia dinyatakan sehat dan terbebas dari penyakit apa pun, Livy diizinkan menemui calon bayi susunya. ‘Semoga ASI-ku cocok untuknya,’ doa Livy tak henti sepanjang dia menanti pintu kamar Bayi bernama Albern dibuka. “Ini kamar Baby Albern.” Seorang asisten wanita, yang sekaligus perawat mengantarkan Livy ke sebuah kamar bayi dengan fasilitas lengkap. Dari apa yang disediakan untuk bayi Albern, Livy bisa mencerna… seberarti apa kehadiran sosok bayi ini untuk orang tua dan keluarganya. “Ibunya meninggal saat melahirkannya. Sampai hari ini sudah puluhan wanita yang datang untuk menyusuinya, namun belum ada yang cocok,” jelas si perawat lebih lanjut. Livy menganggukkan kepala, dalam hati berempati pada nasib bayi itu. “Suster ini akan mendampingi selama Ibu Livy mencoba menyusui Albern. Sekaligus, untuk memastikan keamanan dan hal-hal yang tidak diinginkan. Dia juga akan menilai kenyamanan Baby Albern, apakah menerima ASI Ibu atau tidak.” Dokter yang masih mendampingi memberikan tambahan penjelasan. Livy mengangguk paham pada penjelasan dokter. Dokter tersebut segera keluar. Pintu kamar segera ditutup, lalu Livy dibawa oleh perawat mendekati ranjang bayi yang juga sangat mewah. Setelah melihat bayi tersebut, hatinya menjadi iba. Anak itu terdengar merengek pelan dan gelisah. Ia tampak tidak nyaman dan merindukan sentuhan. Livy bisa menilai sebab anaknya pun akan seperti itu jika saat terbangun, dia tidak ada di sisinya. “Silakan,” ucap perawat mengangkat bayi itu dan memberikannya pada Livy. Di kursi yang juga sangat empuk dan nyaman, Livy berusaha rileks untuk menyusui. Matanya tidak berhenti menatap wajah bayi yang terasa tidak asing. “Sayang… kelak kamu pasti akan jadi anak yang hebat. Karena Ibu kamu akan meminta Tuhan secara langsung untuk menjaga kamu…” bisik Livy lembut. Karena sudah terbiasa melakukan perlekatan pada mulut bayi untuk menyusui, Livy berhasil menyusui bayi tersebut. Tidak ada tangis, rengekan atau penolakan. Bibir Livy tersenyum ketika merasakan Albern terlihat bisa menerimanya. Dia lega dan haru. “Berhasil!” ucapan perawat yang menjaga terdengar ketika melihat bagaimana Albern terlihat begitu nyaman di pelukan Livy. Bayi itu bahkan bisa tertidur nyenyak usai merasa kenyang. Livy meletakkan bayi kembali ke ranjang tidurnya. Lalu dia berjalan keluar kamar, di mana perawat sudah lebih dulu menjelaskan pada dokter. “Selamat Ibu Livy! Anda akan menyusui Baby Albern sampai berhenti. Kontrak kerja akan segera kami berikan. Ini sedikit uang untuk mengganti biaya transportasi Ibu.” “Terima kasih Dok, Sus…” Livy sangat bahagia. Namun, kebahagiaan Livy rupanya terganggu dengan kehadiran seseorang. Wanita yang baru akan berpamitan dari rumah bayi susunya itu nyaris menabrak pria tinggi tegap dengan pakaian rapi dan sorot mata yang tegas. “Ah, maaf, Tuan. Saya….” “Kau?” Livy mengangkat wajahnya. “Ka-kay?” Wajah wanita itu langsung pias melihat sosok pria dari masa lalunya. “A-apa yang…” Kata-kata Livy tertelan, ketika baru menyadari jika wajah Albern begitu mirip dengan Kay, mantan kekasihnya. Apa benar bayi yang baru saja disusui olehnya adalah anak Kay? “Untuk apa kau di sini?!” tanya Kay geram. “Ibu Livy ini melamar menjadi Ibu Susu untuk Baby Albern, Tuan.” Perawat menjelaskan. Mata Kay semakin menyala menatap Livy. “Tidak! Cari Ibu susu lain! Aku tidak mau anakku meminum ASI dari wanita murahan!” Wajah Livy, dokter dan suter yang tadi bersorak kini terlihat kaget bukan main. Susah payah mereka mencari kandidat terbaik yang cocok, Tuan mereka, Kay, justru menolak kehadiran Livy. “Tapi Tuan, hanya Ibu Livy yang—" “Aku tidak perduli! Cari ibu susu lain, dan usir dia segera dari rumah ini!” Bersambung…“Maaf Ibu Livy, kami belum bisa memberikan kontrak kerja.” Detik itu, Livy langsung bersimpuh di kaki Kay yang ingin segera berlalu. Pria yang dulu hangat itu kini terlihat begitu angkuh. Bahkan, tidak peduli pada air mata Livy yang kini tengah merengek di bawah kakinya. “Kay… aku mohon! Izinkan aku menyusui Albern. Aku butuh pekerjaan ini. Aku mohon….” Dia sudah berharap akan mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya. Bahkan dia tidak peduli meski dia harus dihinakan oleh mantan kekasihnya itu. “Apa kau pikir aku akan percaya pada perkataan wanita sepertimu?” kata Kai sambil menggerakkan kakinya, melepas cekalan tangan Livy di sana. “Pergi dari sini, Jalang! Aku tidak sudi melihat wajahmu!” Setelah itu, Kay pergi, meninggalkan Livy yang terisak diiringi tatapan kasihan dokter dan perawat. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi. Keputusan Kay adalah mutlak. Dalam perjalanan pulangnya, Livy mengingat kembali bagaimana hubungannya dan Kay di masa lalu. Hubungan yang t
“Terima kasih! Terima kasih, Kay!” Karena terlalu senang, Livy sampai melonjak kegirangan usai seorang perawat memberikannya sebuah kontrak kerja. Kay langsung menatap Livy dengan tatapan yang tajam. “Ingat statusmu, dan panggil aku Tuan Kay!” Hal itu membuat Livy seketika terdiam. “Maaf. Ba- baik, Tuan Kay!” Livy menunduk, tanda memahami dan menghormati Kay sebagai majikannya. Pria itu berlalu, sementara Livy masih berhadapan dengan dokter dan suster anak yang menangani Albern secara khusus. Sembari mengantar Livy pulang kembali ke rumah sakit, dokter anak pribadi Albern itu menanyakan sesuatu yang membuat Livy terhenyak sesaat. “Anak Ibu sakit apa?” tanya Dokter Rico. “Anak saya…” Awalnya Livy ingin jujur. Tetapi, dia khawatir jika memberi tahu penyakit anaknya akan berakibat pemutusan kontrak, Livy pun memutuskan untuk berbohong. “Anak saya demam, Dok.” Livy berani berbohong, sebab dia tahu betul penyakit anaknya bukanlah penyakit menular. Sehingga, pun dia menyembunyikan ke
“Ibu Livy? Sebenarnya anak Ibu sakit apa?” Livy yang tengah menunggu di depan ruang tindakan mendongak saat mendengar seseorang berhenti di hadapannya. Dokter Rico, pria itu terlihat khawatir ketika menemukan Livy tengah menangis dengan kondisi yang memilukan seorang diri. “Anak saya kritis, Dok….” Livy pun akhirnya bercerita jujur pada Dokter Rico mengenai penyakit Fabian yang didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus. Wajah Dokter Rico terlihat semakin khawatir. Untuk itu, tanpa Livy tahu, Rico mengambil jarak dan melaporkannya pada Kay. Di rumah, Kay sempat terdiam setelah mendengar penjelasan mengerikan dari Rico ‘Jadi, sebenarnya dia membutuhkan uang untuk biaya operasi anaknya?’ batinnya. Kini dia paham, untuk apa Livy mengemis bantuannya berkali-kali. “Temui dokternya dan katakan untuk segera lakukan operasi. Saya akan tanggung biayanya,” jelas Kay mengakhiri panggilan. Tak lama setelah itu, dokter yang memeriksa Fabian keluar dari ruangan. “Fabian harus segera dioperasi, j
“Jaga sikapmu!” Kay langsung menangkap dan mencengkeram dagu Livy. “Kau lupa, kau siapa?! Mengapa kau menyalahkanku? Dengar! Aku tidak punya kewajiban untuk anakmu!” “Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, apa kau juga lupa kalau hanya aku yang bisa menyusui anakmu?” tanya Livy dengan beraninya. Kay tersenyum miring. Wajahnya terlihat benar-benar bengis. Ia bahkan tidak peduli dengan tatapan pedih Livy dan mata yang sembab. Ia melepas dagu Livy yang dicengkeramnya dengan kasar. “Lalu, kau mau apa?” balas Kay. Ia memperbaiki kerah dan lengan bajunya. “Aku bisa saja meninggalkan pekerjaanku sebagai Ibu Susu anakmu!” ancam Livy. “Oh ya? Sepertinya kau tidak membaca perjanjian kerja itu secara menyeluruh. Kalau bukan dokter Rico yang mengatakan kau sudah tidak bisa menyusui, atau Albern sudah tidak butuh Ibu Susu lagi, maka kau tidak bisa berhenti dari pekerjaan ini. Atau kau akan didenda. Apa kau tidak membaca itu? Dan kalau kau tidak bisa membayar dendanya, kau akan dipenjara!” Wajah
“Kau datang, Kay?” Richard, ayah mertua Kay, menyapa dengan suaranya yang lemah dan putus asa. Tubuhnya yang lemah masih betah berbaring di ranjang rumah sakit. “Papa harus kuat. Albern sudah mendapatkan Ibu Susu. Ayolah, pulih segera!” Kay mendekati ayah mertuanya dan memberikan semangat. Wajah Richard yang selama ini pucat dan tidak bergairah untuk melanjutkan hidup, seketika berubah. Ada harapan dari sorot matanya setelah mendengar pernyataan Kay. “Benarkah? Siapa wanita itu?” Sesaat Kay terdiam. “Dia hanya wanita biasa yang baru saja kehilangan anaknya,” jawabnya singkat. “Jadi, apa Cucuku sudah tidak menangis-nangis lagi?” Richard bertanya penuh harap, menyimpan rasa bahagia jika tebakannya benar. Kay mengangguk. “Aku harus pulang dan melihat Cucuku!” Richard ingin segera bangkit. “Tidak sekarang, Pa." Kay menahan sang mertua yang terlampau bersemangat. "Papa harus benar-benar pulih, tunggu sampai dokter memberi izin untuk pulang.” Kay mengingatkan.Sore hari, keti
Livy pasrah. “Yaa. A-aku. S-sudah. Bosan. Hidup,” jawabnya. Matanya tepat menatap mata Kay yang begitu tajam, menyala dan penuh dendam.Kay melepasnya. Ia membuang wajahnya dan kembali mendecih. “Pergi dari hadapanku sekarang!” Tak ingin memperpanjang keributan, ditambah munculnya rasa tahu diri, Livy pun berbalik dan meninggalkan Kay. Sakit hatinya jangan diukur. Sangat dalam. Benar kata pria berusia 33 tahun itu, dia bukan dirinya yang dulu. Sejak Kay memerintahkannya untuk tinggal di rumah itu, Livy pun mendapat tempat tidur yang setara dengan pembantu. Berada di belakang, melewati lorong dapur. Hal itu bukanlah suatu masalah. Bagi Livy ini adalah cara Tuhan menolongnya agar tidak terlalu berlarut dalam kesedihan di rumahnya sendiri. Meskipun, hinaan harus ia telan dari kearoganan Kay, Sang mantan yang sebenarnya terpaksa harus Livy khianati. Suster Merry yang mendampingi Albern, bahkan iba melihat Livy. Berstatus sebagai Ibu Susu namun diperlakukan bagai pembantu. Meski be
“Bukan apa-apa, Pa.” Kay memberikan gelas itu pada Livy. Ia menghampiri mertuanya dan mengajaknya menjauh dari Livy. “Kau tidak pernah semarah itu pada orang. Ada apa?” Richrd menatap Livy yang menunduk dan duduk mengambil nampan yang jatuh dari tangannya. “Dia Ibu Susunya Albern kan?” tanyanya. Kay mengangguk. Richard malah mendekati Livy. Dia berdiri tepat di hadapannya. “Aku tidak mengenalimu. Aku tidak tahu kau dari keluarga yang bagaimana. Aku tidak peduli. Yang pasti, aku berterima kasih padamu, karena sudah menyusui Cucuku. Terima kasih ya?” Livy tidak menyangka justru kalimat itu yang dia dapatkan dari tuan besar di rumah itu. Ia mengangguk sambil menunduk dengan perasaan sedikit haru. “Sudah menjadi tugas saya, Tuan.” Kay tidak nyaman jika sampai ayah mertuanya merasa Livy berjasa untuk anaknya. Bukankah itu memang sudah menjadi tugasnya? Dia dibayar untuk menjadi Ibu Susu. Bahkan dia yang mengemis untuk mendapat pekerjaan itu. “Permisi, Tuan.” Livy membalik badan dan m
Kay langsung menatap Livy yang menyentuh kakinya dan memohon. Matanya memerah dan sedikit basah. “Jadi benar?” tanyanya tidak menyangka. “Ahh!” Livy terjatuh, terduduk ke belakang, setelah Kay mengayun kakinya, melepas genggaman tangan Livy. Wanita itu terus menangis. Ia ketakutan dan terus meminta maaf. “Aku minta maaf, Kay. Ampuni aku…” Ia menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajah. “Andai anakku tidak membutuhkanmu, aku tidak akan segan-segan membunuhmu detik ini juga! Setelah Albern tidak membutuhkan dirimu lagi, jangan pernah kau menunjukkan wajah di depanku! Atau kau akan menyesal! Seumur hidupku, aku tak akan memaafkanmu!” Wajah tegas dengan mata elang itu, tampak menyimpan kekecewaan yang dalam. Hatinya diselimuti dendam, kebencian dan amarah. Ia membenci takdirnya di masa lampau yang harus jatuh cinta pada wanita yang ternyata adalah iblis. “Takdir yang paling kubenci di hidupku adalah mengenalmu!” Kay berlalu, mengantam kuat pintu kamar itu. Livy menangis se
“Tidak Livy…” Richard mencoba mencegah, tetapi Livy tetap pergi melangkahkan kaki. Pria tua yang panik itu kembali mendekati Kay. “Kay! Livy pergi. Cepat cegah dia, Kay!” suruhnya. Kay malah menatap Richard dingin. “Biarkan dia pergi, Pa. Itu memang keinginannya.” “Albern membutuhkannya, Kay. Bahkan kau… kau juga mencintainya! Kenapa kau tidak mengakui perasaanmu?!” tuduh Richard mengingatkan. “Tidak, Pa. Dari dulu kami sudah selesai. Dia pergi, itu keinginannya. Biarkan dia pergi. Lambat laun dia juga pasti akan pergi. Masalah Albern, lama-lama dia juga pasti terbiasa tanpa Livy,” jelas Kay. Richard geleng kepala mendengar jawaban Kay. Kay beranjak. Dia segera menuju kamar Albern untuk melihat anaknya. Menguatkan dirinya bahwa Albern bisa tanpa wanita itu. Richard menyusul Kay ke dalam kamar Albern. “Kamu yakin, Kay? Kamu sudah lupa bagaimana kamu menanti kesadaran Livy dari koma? Kamu khawatir kan padanya? Kamu tahu kan bagaimana Albern mencarinya? Turunkan egomu, Kay…” Tata
“Kenapa sih Papa harus mengizinkan dia pergi menemui pria yang tidak jelas?” Itu merupakan pertanyaan awal mula Kay dan Richrd berdebat siang itu. Albern baru saja tertidur setelah sebelumnya menangis mencari Livy. Itu pula yang membuat Kay kesal. “Kenapa Papa harus melarang?” balas Richard. “Al butuh dia, Pa.” “Lalu mau sampai kapan Livy harus berada di sekitar kalian terus?” tanya Richard. “Pah?” Kay tidak habis pikir dengan pertanyaan Richard. Namun, dia juga tidak tahu harus berkata apa. “Dia anak angkatku, Kay. Tidak mungkin aku membiarkannya berdiam diri terus di rumah. Dia juga harus punya kehidupan. Dan kehidupannya tidak mungkin hanya berkutat dengan kesibukan menjaga Albern terus-terusan kan?” Kay mengusap wajahnya. “Kenapa? Kau kenapa?” tanya Richard santai, melihat ekspresi Kay yang tidak dapat berbicara. “Pa… dari awal sebenarnya aku juga tidak setuju Papa mengangkat dia jadi anak. Lihat kan? Setelah dia merasa aman, dia berencana akan pergi.” “Lalu di mana leta
“Apa maksudmu? Kamu mengusir Livy?” tanya Richard.Kay terdiam.“Jangan dengarkan apa kata Kay. Kalau kamu mau bertemu dengan teman kamu, ya pergi saja. Dan pulanglah ke rumah. Selama Papa masih hidup, kamu harus pulang.” Begitu Richard memberi nasihat pada Livy.Kay menelan ludahnya. Dia sudah terlalu kesal.Sementara itu, Livy bingung dengan sikap Kay yang terasa posesif. Apakah dia berpikir hidup Livy hanya berputar di sekitarnya saja hanya karena Albern? Kenapa dia begitu egois? Meskipun kesal, Livy tidak ingin berdebat. Dia lebih baik memilih diam dan tenang sebagaimana Richard menenangkannya.Makan malam itu berakhir dingin. Mereka pun pulang dengan keheningan.Sesampainya di rumah, Livy langsung mengurus Albern. Mengganti pakaian, menyiapkan susu dan menidurkannya.Kay masuk ke dalam kamar.Livy menatapnya, lalu kembali menatap Albern.“Biar aku saja yang menidurkan Al,” ujar Kay dingin.Livy beranjak.“Mama!” Albern menarik tangannya.“Al… sama Papa dulu, ya?” bujuk Livy. Dia
Livy seperti tidak percaya siapa yang dia lihat. “Reino?” sapanya. Dia pun berdiri.“Benar kamu Livy?” sapa Reino, mengulurkan tangan menjabat tangannya.“Iya… Astaga Reino!” Livy tersenyum.Reino menatap Albern, Kay dan Richard. “Anak dan suami?” sapa Reino.“Eh bukan… Ini Albern, anak Kay, saudara, ya saudara ku… dan Ini Papa angkatku,” jelas Livy. Reino menjabat tangan Richard begitu juga dengan Kay. Ia mengerutkan kening saat kembali menatap Livy. Ada banyak tanya yang muncul di benaknya. “Suami kamu mana?” tanya Reino.“Ahm, itu… kami sudah bercerai.”“Maaf, aku tidak tahu,” ucap Reino.“Tidak apa-apa. Oh ya Pa, ini Reino, teman SMAku dulu, kami cukup dekat waktu itu.” Livy mengenalkan pada Richard.Tiba-tiba saja raut wajah Kay berubah. Ada rasa tidak suka, tidak terima Livy seramah itu pada orang yang dia anggap asing.“Ohh ya… silakan duduk,” sambut Richard.“Maaf Om, tapi keluarga saya juga sedang menunggu di sana. Ayo Livy, bertemu dengan keluargaku. Sepertinya banyak hal y
Semakin hari Richard semakin sering memperhatikan Livy dan Kay. Ia tahu permasalahan mereka tidak mudah. Tetapi ia sadar cucunya membutuhkan orang tua yang utuh. Sampai kapan Livy dan Kay bisa hidup masing-masih dalam satu atap? Bahkan mereka tidak bisa menjadi saudara. Luka mereka di masa lalu terlalu dalam. Lalu bagaimana ke depannya nanti?Itu sebabnya malam ini adalah malam yang Richard rencanakan. Ia mengajak Livy dan Kay untuk makan malam bersama di restoran bintang lima. Alasannya dia ingin sesekali mereka menikmati kebersamaan makan di luar, sebenarnya lebih dari itu, dia ingin membuat Livy dan Kay bisa menjadi dekat.“Sudah semua?” tanya Richard berjalan ke ruang tengah.Kay terlihat gagah dengan penampilan yang begitu rapi dan necis. Ia sedang memperbaiki jam tangannya.“Wah! Tampan sekali menantu Papa!” puji Richard.Kay tersenyum. “Papa bisa saja,” ucapnya. “Ini tinggal menunggu Livy dan Al, Pa.”Livy pun datang bersama dengan Albern yang ingin berjalan sendiri. Wanita itu
Livy terkejut dengan kehadiran Kay. “Awas!” katanya tegas ingin menutup pintu.“Aku ingin bicara,” ucap Kay.Livy berusaha tetap menutup pintu, tanpa peduli ucapan Kay.“Livy, dengarkan aku dulu. Aku ingin bicara!” Kay masih menahan pintu, mencegah Livy menutupnya.“Apa? Tentang apa lagi?” tanya Kay.“Tentang yang tadi,” jawab Kay.“Tidak penting! Awas! Atau aku akan teriak sampai Papa Richard mendengar?” ancam Livy.“Dengar, aku hanya ingin meminta maaf,” jelas Kay.Livy menatapnya dengan tatapan yang menantang. “Oke, katakan,” suruhnya.“Aku minta maaf,” ucap Kay.“Sudah kan? Jadi, singkirkan tanganmu!”“Apa kau hanya melihat kesalahanku saja dan melupakan kesalahanmu di masa lalu? Kenapa kau begitu keras?” tanya Kay, yang terbawa kesal.Livy melepas tangannya dari pintu. Dia menatap Kay semakin tajam. “Kau sendiri yang sudah membunuhku dengan ego dan dendammu. Livy yang dari masa lalumu sudah mati. Kenapa aku harus meminta maaf padamu sekarang?” tanyanya membentak.Jawabannya itu m
Setelah memastikan Livy dan Albern tertidur lelap di kamarnya, Kay kembali mencoba fokus pada pekerjaannya. Ia terlihat sangat serius di depan komputer. Saat dia duduk menyandarkan punggungnya di kursinya yang empuk, dia baru sadar kalau dia sudah sangat fokus sejak tadi.‘Aku tidak pernah merasa setenang ini dan sefokus ini dalam bekerja. Entah kenapa aku merasa semua ini karena aku melihat Livy yang begitu lelap bersama Albern di kamarku, di dekatku, di sisiku…’ batin Kay.Wajah dan sorot matanya masih ke layar komputer, namun pikirannya malah penuh pada Livy dan anaknya.Kay melihat pergelangan tangan kirinya untuk melihat jam. Waktu sudah berjalan hampir satu jam. Belum ada tanda-tanda kalau Albern akan bangun. Begitu juga dengan Livy.Kay mendongakkan kepalanya. Dia mengusap wajahnya. Ia menghela napas yang panjang lalu membuangnya perlahan.Tiba-tiba Livy mendorong pintu kamar itu. Dia berjalan ke arah toilet.Kay yang sadar langsung mengubah posisi duduknya yang tak karuan. Sep
Livy langsung menggeser bahunya. Dia menatap tajam ke belakang. Melotot pada Kay pertanda tidak suka. “Apa yang kamu lakukan?!” bentak Livy geram. Kay panik. Dia menekan keningnya dan salah tingkah. “Kamu sadar apa yang kamu lakukan itu lancang?” lanjut Livy masih marah. “A- ku tiba-tiba teringat masa lalu,” jawab Kay panik. Dia langsung menghindar dari belakang Livy. “Masa lalu apa yang sedang kamu bahas?” tanya Livy dingin. Kaay bisa merasakan kebencian Livy padanya dan rasa tidak terima atas perbuatannya. Kay menatap mata Livy. Dia bertanya di dalam hati. Tidak mungkin Livy lupa dengan masa lalu dan kebiasaan mereka kan? “Kau pun salah orang. Livy yang dulu sudah mati. Terbunuh oleh kebencian dan dendammu. Lalu masa lalu mana yang kau sedang ingat?” tanya Livy dingin. Kay benar-benar hanya bisa terdiam. Ia merasakan kebencian Livy padanya yang tidak main-main. “Sekali lagi kamu kurang ajar, aku akan bilang ke Papa Richard!” tegas Livy. “Aku tidak mau, besok-besok ada yang
Livy menatap Kay. Entah kenapa hatinya justru mengingat kejahatan pria itu. Membuatnya enggan untuk menuruti ucapannya.Kay terdiam. Bukannya Livy merebahkan diri di sebelah Albern, ia justru membalik badan dan keluar dari kamar itu.Livy kembali duduk di sofa. Ia diam sedang pikirannya begitu berisik. Mengingatkannya akan perlakuan Kay yang mendorongnya, membuatnya pendarahan hingga keguguran, memenjarakannya dan tidak percaya kalau itu adalah anaknya. Rasanya sangat sakit jika dia mengabaikan semua sakit dan pahitnya itu dengan menuruti semua ucapan Kay, meskipun itu demi Albern.‘Aku memang mencintai Albern. Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Tetapi, aku berberat hati jika terus melakukan semua yang diminta olehnya. Laki-laki yang begitu tega dan tidak punya hati.’ Livy membatin.Sementara itu di kamar, Albern masih terus memanggil-manggil Livy. Kay mencoba menenangkannya.“Mungkin Mama Livy sedang ke toilet. Jadi, tidak apa-apa Al dan Papa yang di sini, ya?” bujuknya.Untuk