KARMA MERTUA

KARMA MERTUA

last updateTerakhir Diperbarui : 2021-08-09
Oleh:  Reinee  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
25Bab
11.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Ketulusan cinta seorang menantu diuji ketika mertua yang dulu pernah berbuat jahat padanya membutuhkan uluran tangannya.Akankah Riris tetap bertahan di tengah ulah para iparnya yang juga selalu saja menyusahkannya?

Lihat lebih banyak

Bab terbaru

Pratinjau Gratis

SAKITNYA IBU MERTUA

"Kenapa, Mas? Siapa yang nelpon?" Kuhampiri Mas Daru yang wajahnya nampak pucat usai menerima telpon dari seseorang."Ibu, Ris. Ibu masuk rumah sakit, jatuh di kamar mandi katanya. Doni tadi yang nelpon." Ada nada kekhawatiran dalam kalimatnya."Ooooh." Hanya itu yang ku ucapkan, tidak ingin tau lebih lanjut tentang hal itu. Sama sekali tidak ada perasaan cemas atau simpati di hatiku pada orang tua yang telah berkali-kali menorehkan luka di hati itu."Aku mau ke rumah sakit. Kamu ikut nggak?" tanya suamiku."Nggak ah, aku di rumah aja, Mas, nemenin Rendra sama Jody. Kabari saja gimana kondisi ibumu nanti kalau sudah disana," kataku cuek, lalu kembali ke kesibukanku membereskan rumah.Kulihat Mas Daru masih mondar mandir tak segera pergi. Bahasa tubuhnya manggambarkan kebingungan dalam hati."Kok belum be

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
25 Bab

SAKITNYA IBU MERTUA

"Kenapa, Mas? Siapa yang nelpon?" Kuhampiri Mas Daru yang wajahnya nampak pucat usai menerima telpon dari seseorang. "Ibu, Ris. Ibu masuk rumah sakit, jatuh di kamar mandi katanya. Doni tadi yang nelpon." Ada nada kekhawatiran dalam kalimatnya. "Ooooh." Hanya itu yang ku ucapkan, tidak ingin tau lebih lanjut tentang hal itu. Sama sekali tidak ada perasaan cemas atau simpati di hatiku pada orang tua yang telah berkali-kali menorehkan luka di hati itu.  "Aku mau ke rumah sakit. Kamu ikut nggak?" tanya suamiku. "Nggak ah, aku di rumah aja, Mas, nemenin Rendra sama Jody. Kabari saja gimana kondisi ibumu nanti kalau sudah disana," kataku cuek, lalu kembali ke kesibukanku membereskan rumah. Kulihat Mas Daru masih mondar mandir tak segera pergi. Bahasa tubuhnya manggambarkan kebingungan dalam hati. "Kok belum be
Baca selengkapnya

BAGI ADIL

Seminggu berlalu sejak ibu mertuaku di rawat di rumah sakit. Walaupun rasanya malas, aku ikut menengoknya juga beberapa kali. Sedangkan Mas Daru setiap hari lebih dari 2 kali bolak-balik ke rumah sakit. Siang itu selepas sholat dhuhur, Mas Daru kembali mengajakku bicara tentang ibunya. "Kalau kondisi ibu membaik, dua atau tiga hari lagi sudah boleh pulang, Ris." "Syukurlah," jawabku singkat. "Jadi gimana?" "Gimana apanya, Mas?" "Masalah yang tempo hari kita bicarakan itu, Ris. Nggak papa kan kalau kita pindah ke rumah ibu? Cuma sementara aja kok, Ris, sampai ibu bisa jalan lagi," katanya. Aku mendesah, kenapa Itu lagi - itu lagi yang dibicarakan? "Coba deh kamu rundingin lagi sama adek-adekmu, Mas. Aku sudah terlanjur nyaman dengan hidup seperti ini saja. Kalau aku serumah lagi sam
Baca selengkapnya

KEKERASAN HATI

"Harusnya kamu nggak ngomong seperti itu sama mereka, Ris," protes Mas Daru saat dia mengantarkanku kembali kerumah.  "Tapi itu demi kebaikan semua, Mas. Aku nggak mau beban merawat ibu hanya dilimpahkan padamu saja, sedangkan kedua adikmu bisa bebas seenaknya. Itu nggak adil," ujarku.  Kulihat Mas Daru mendesah. Entahlah, mungkin dia sekarang berpikir menyesal telah memperistriku, aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin lagi diinjak injak oleh adik-adiknya.  "Sudahlah aku pusing. Aku balik ke rumah sakit dulu ya. Kita pikirkan lagi besok," katanya dengan muka masam dan ditekuk. Aku tak mau ambil pusing dengan sikap Mas Daru. Biarlah apa kata orang, yang penting mertua dan ipar-iparku tak bisa lagi menindasku. *** Pagi itu Mas Daru pulang dengan wajah masih muram. Sepertinya dia belum bis
Baca selengkapnya

TUKANG NYINYIR

"Ibu kenapa, Mas, semalem?" Tak bisa kucegah rasa penasaranku saat suamiku pulang pagi itu dari rumah ibunya. "Nggak tau tuh, nangis terus ngeluh sakit. Ditanya sakitnya dimana nggak dijawab. Besok deh kalau pas bawa kontrol coba sekalian aku tanyakan ke dokternya." "Obatnya sudah diminumkan belum?" tanyaku curiga jangan-jangan si Rita lupa belum ngasih obatnya karena kebiasaan anak itu sibuk mainan HP. "Kata si Rita udah sih." Mas Daru menguap lebar. "Duuh padahal hari ini kerjaanku dari Wisnu numpuk, tapi malah ngantuk banget," keluhnya. "Lha emang tadi nggak tidur di sana?" "Mana bisa tidur, Ris. Ibu ngaduh terus kesakitan. Nggak bisa tidur aku jadinya." "Katanya mau gantian jaga sama Rita. Gimana sih?" "Dia tidur, aku nggak tega mau bangunin." 'Hmmm
Baca selengkapnya

IKATAN IBU DAN ANAK

Hari itu hari kelima Ibu telah berada di rumahnya, dan giliran Mas Daru dan aku yang menjaganya. Pagi pagi benar sudah kusiapkan beberapa pakaian untuk suami dan anak-anakku menginap disana. Bismillah, kutata hatiku untuk bisa menjalani ini dengan ikhlas.  Kami langsung menuju rumah Ibu setelah mengantarkan Rendra dan Jody ke sekolah mereka terlebih dahulu. Dan alangkah terkejutnya kami saat tiba disana melihat Intan mondar mandir seperti setrikaan di teras rumah. "Lama amat sih, Mas, Mbak. Aku harus buru-buru pulang nih," omelnya. "Ini masih jam berapa to, Tan? Belum ada jam 7 juga kok udah dibilang telat," kataku membela diri. "Ya sudah sana kalau mau pulang sekarang," kata Mas Daru setelah memarkirkan motornya di teras rumah. "Ibu sudah diberi sarapan kan?" tanya Mas Daru. "Belum," sahut Intan. "Lha ..
Baca selengkapnya

MIMPI BURUK IBU

Aku sedang menunggui kedua anakku belajar di depan TV ruang tengah ketika Mas Daru menghampiri kami dan ikut duduk di karpet tempatku dan anak-anak berlesehan-ria. "Apa sudah tidur? Kok ditinggal?" "Sudah barusan. Tadinya nggak mau tidur, takut katanya." "Takut? Takut kenapa, Mas?" tanyaku keheranan. "Nggak tau, orang cuma bilang takut, gitu aja. Ditanyain takut apa, diem aja." "Oooh." Aku manggut-manggut. Sejenak kemudian kurasa aku teringat sesuatu. "Eh Mas, jangan-jangan ibumu takut sama aku ya?" ujarku. "Takut sama kamu? Memangnya kenapa?" "Soalnya tadi tuh gini lho ... " Aku mulai nerocos menceritakan kejadian tadi siang ke suamiku saat dia sedang keluar menjemput anak-anak dari sekolah. Mas Daru kelihatan mengerutkan keningnya. "Masa' gitu?" Reaks
Baca selengkapnya

MAP USANG

"Lagi ngapain sih Mas Kok mondar mandir?" tanyaku keheranan saat kulihat Mas Daru siang itu hanya bolak balik dari kamar ibunya ke teras, ke kamar lagi, lalu ke dapur, ke kamar lagi, ke dapur lagi, ke teras hingga membuatku ikutan pusing. "Duh, aku lupa, Ris. Gimana ya enaknya?" Dia malah balik bertanya padaku. "Apanya yang gimana?" Dahiku mengernyit. "Nanti sore waktunya kontrol Ibuk. Ini Rita aku hubungi malah HP nya nggak aktif," katanya. Dari ketiganya, memang hanya suami Rita yang saat ini memiliki mobil, mungkin maksud Mas Daru dia mau minta bantuan Iwan, suaminya Rita, untuk membawa Ibunya kontrol ke rumah sakit.  "Lha kan kemarin dia sudah bilang katanya ada acara keluarga," kataku mengingatkannya.  "Iya tapi kan barangkali nggak sampe sore acaranya. Jadi bisa kuminta tolong Iwan buat ngantar Ibuk ke rum
Baca selengkapnya

PETUNJUK

Menjalani hidup bersamanya selama lebih dari 8 tahun membuatku cukup bisa merasakan suasana hatinya saat itu. Sedih dan kecewa sudah pasti. Di usia 35 tahunnya bahkan dia baru mengetahui hal mengenai siapa dirinya yang sebenarnya tanpa sedikitpun dia tahu atau setidaknya ada tanda maupun sedikit petunjuk selama ini.  Seharian aku hanya bisa menemaninya dalam diam di kontrakan kami tak berani mengajaknya bicara. Mas Daru pun nampak enggan mengeluarkan suara sejak kami pulang dari rumah ibunya. Bahkan pagi itu saat kami pulang, dia tidak sanggup mengucapkan pamit pada orang tua itu, wanita yang biasanya sangat dia hormati.  Seolah ingin sedikit memberikan ruang untuknya sedikit bernafas, aku membiarkannya berdiam diri seharian di kamar. Kusiapkan makan, minum, dan segala kebutuhannya hari itu tanpa bersuara. Anak-anakku pun tak kuijinkan mendekati ayahnya agar dia bisa berpikir dengan tenang.  
Baca selengkapnya

HILANGNYA UANG IBU

Di rumah Ibu mertuaku hari itu tak seperti minggu kemarin. Mas Daru terlihat sedikit canggung, lebih banyak diam dan justru banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak dibanding menemani ibunya. Saat sampai disana pagi itu, tak seperti sebelumnya, Mas Daru juga tak langsung ke kamar ibunya. Dia malah memilih untuk berdiam diri di halaman belakang rumah menikmati rokoknya.  "Biasa aja to Mas, nggak usah begitu sikapnya," tegurku. "Nanti ibumu malah jadi bertanya-tanya," lanjutku.  "Aku nggak papa kok," katanya.  "Kuantar makanan ini dulu ke kamar ibu ya?" pamitku menunjukkan senampan bubur dan teh hangat di tanganku. "Biar aku saja," cegahnya buru buru berdiri dari kursi kayu tua yang tadi didudukinya. "Benar nggak papa?" tanyaku memastikan.  "Iya nggak papa, kamu
Baca selengkapnya

KEMBALINYA ROMANTISME DARU

Wajah kami berempat terlihat tegang saat ibu mertuaku menjulurkan tangannya ke samping tempat tidur.  "Tolong ambilkan kunci di bawah kasur ibuk," katanya pada Mas Daru. Mas Daru berjalan lebih mendekat, lalu melakukan apa yang disuruh oleh ibunya. Sebuah kunci kecil berwarna perak yang disembunyikan ibu di bawah tempat tidurnya. "Ini buk?" tanya Mas Daru. Ibu mengangguk. "Iya, Ru. Kamu buka laci paling bawah di lemari itu. Ibu masih punya beberapa simpanan perhiasan disana."  Mas Daru menurut, dia membuka laci lemari dan mengambil sekotak perhiasan yang ternyata disimpan ibu di laci kecil yang terletak tersembunyi di bagian paling bawah lemari pakaiannya. Diserahkannya kotak perhiasan itu pada ibunya. Aku, Intan dan Rita hanya bisa terdiam di tempat masing-masing. Hatiku masih sangat dongkol dengan
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status