Share

BAGI ADIL

Author: Reinee
last update Last Updated: 2021-07-04 18:44:48

Seminggu berlalu sejak ibu mertuaku di rawat di rumah sakit. Walaupun rasanya malas, aku ikut menengoknya juga beberapa kali. Sedangkan Mas Daru setiap hari lebih dari 2 kali bolak-balik ke rumah sakit.

 

Siang itu selepas sholat dhuhur, Mas Daru kembali mengajakku bicara tentang ibunya.

 

"Kalau kondisi ibu membaik, dua atau tiga hari lagi sudah boleh pulang, Ris."

 

"Syukurlah," jawabku singkat.

 

"Jadi gimana?"

 

"Gimana apanya, Mas?"

 

"Masalah yang tempo hari kita bicarakan itu, Ris. Nggak papa kan kalau kita pindah ke rumah ibu? Cuma sementara aja kok, Ris, sampai ibu bisa jalan lagi," katanya. Aku mendesah, kenapa Itu lagi - itu lagi yang dibicarakan?

 

"Coba deh kamu rundingin lagi sama adek-adekmu, Mas. Aku sudah terlanjur nyaman dengan hidup seperti ini saja. Kalau aku serumah lagi sama ibumu pasti nanti akan ada masalah kayak dulu," kataku mencoba meyakinkannya.

 

"Inshaallah enggak, Ris. Kondisi ibu sekarang kayak gitu. Nggak mungkin dia akan bersikap buruk sama kamu. Siapa tahu juga dengan ini, ibu bisa lebih bisa menerima kita, bisa lebih baik sikapnya sama kamu, sama anak-anak." 

 

Suamiku memang sungguh berhati lembut, tapi sayangnya tidak begitu saja kuiyakan keinginannya. Aku masih tidak yakin dengan semua yang dia katakan. Rasa traumaku berada di rumah itu pun seolah belum bisa hilang sampai sekarang. 

 

"Gimana?" tanyanya lagi. Aku terdiam, menghela nafas panjang.

 

"Sebelum aku kasih jawaban, aku mau bertemu kedua adikmu dulu, Mas," kataku.

 

"Mau apa, Ris?"

 

"Nanti kamu juga akan tau," kataku.

 

"Baiklah kalau itu maumu. Sekalian saja nanti sore kamu ikut aku ke rumah sakit, Intan sama Rita aku suruh kesana juga nanti."

 

"Ya sudah, oke," jawabku.

 

***

 

Setelah menitipkan Rendra dan Jody ke tetangga kontrakan, Mas Daru mengajakku ke rumah sakit sore harinya. Dan benar saja, Intan dan Rita sudah berada disana dengan suami masing-masing. 

 

Mas Daru meminta suami Intan dan Rita menjaga ibunya, sedangkan dia mengajakku dan adik-adik perempuannya keluar dari kamar perawatan. Kami duduk melingkar di meja taman tak jauh dari kamar mertuaku dirawat. 

 

"Tan, Rit ... Riris belum bisa memberikan jawaban apakah dia mau aku ajak pindah ke rumah ibu atau tidak. Dia bilang ingin bicara dengan kalian berdua dulu," kata Mas Daru membuka pembicaraan.

 

"Mau bicara apa, Mbak?" tanya Intan. Matanya menatapku tajam.

 

"Begini ya, aku bukannya nggak mau merawat ibu kalian," kataku tegas. "Tapi jujur saja, aku nggak mau tinggal di rumah itu lagi. Kalian juga tahu kan bagaimana sikap ibu kalian itu padaku waktu dulu aku pernah tinggal disana? Jika kalian jadi aku, kira-kira apa yang akan kalian lakukan? Apa kalian akan menerima tanggung jawab ini?" tanyaku.

 

Kutatap kedua adik iparku itu bergantian. Kali ini mereka hanya saling pandang dan menunduk.

 

"Dibanding aku, bukankah kalian lebih mampu mengurus ibu? Misalnya kamu Intan, kamu belum memiliki anak, juga tidak bekerja, waktumu sangat banyak di rumah. Sedangkan aku harus mengurus dua anakku. Apa tidak lebih baik jika kamu saja yang merawat ibu?" Kutata hatiku agar kuat mengatakan itu. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan mereka.

 

"Tapi, Mbak." Intan bermaksud protes, tapi tanganku segera memberi isyarat padanya untuk diam.

 

"Sebentar, aku belum selesai bicara," kataku lugas.

 

"Lalu kamu, Rita. Suami kamu orang berada, ekonomi kalian kecukupan. Sementara Aku dan Mas Daru bahkan hanya sekedar untuk makan saja susah." Aku menatap Rita tajam. Dia juga hanya tertunduk. "Apakah kondisi kami yang seperti itu masih akan ditambah dengan harus merawat Ibu? Kenapa tidak kamu saja?" lanjutku sinis.

 

Ya Allah, sebenarnya rasa hatiku ingin menangis mengatakan hal seperti ini. Aku tahu betapa mulia merawat mertuaku. Tapi aku bukan orang suci yang bisa begitu saja melupakan sakit hatiku. Bukan maksudku untuk menolak merawat orang tua suamiku, aku hanya ingin memberikan pelajaran lebih dulu untuk semua orang yang pernah merendahkanku. 

 

Dadaku terasa sesak, mencoba untuk tidak menangis. Berulang kali kuhela nafas dalam agar tak keluar air mata yang sudah sangat mengganjal di pelupuk mata. Teringat perlakuan-perlakuan mereka yang sungguh sangat keterlaluan membuatku mendadak lebih kuat.

 

"Ris, jangan kelewatan!" Mas Daru memegang tanganku seolah ingin menahanku berbicara lebih lanjut.

 

"Jangan mencegahku, Mas. Aku harus mengeluarkan semua apa yang kupendam selama ini," kataku. 

 

"Lalu mbak Riris maunya gimana? Nggak mau pindah ke tempat ibu?" Kali ini Intan angkat bicara. Nada bicaranya agak ketus. Sepertinya dia marah dengan kata-kataku tadi.

 

"Tentu saja!" ujarku tegas. "Aku tidak akan pindah ke rumah ibu lagi, itu hanya akan menyakitkan untukku. Tapi meskipun begitu aku juga tidak akan melarang Mas Daru untuk merawat ibunya." Semuanya terdiam, sepertinya kaget dengan kalimat berani yang baru saja ku ucapkan. 

 

"Maksud Mbak gimana sih? Nggak ngerti aku," tanya Rita. "Kalau Mbak suruh aku yang merawat ibu sendirian, terus terang aku nggak sanggup. Aku punya suami dan anak yang juga harus ku urus. Aku nggak mungkin tinggal di rumah Ibu," kata Rita membela diri. Kutatap adik ipar bungsuku itu dengan senyuman sinis. Sudah kuduga kamu akan bicara seperti itu, batinku. 

 

"Aku juga enggak bisa. Aku memang belum punya anak, tapi aku harus urus suamiku, Mbak. Aku sudah pernah bilang ke Mas Doni untuk tinggal di rumah ibu. Tapi mas Doni melarang kalau aku harus menginap disana." Intan juga mencoba mencari alasan untuk dirinya sendiri.

 

"Ris, tolonglah, mengertilah kondisi adik-adikku." ucap Mas Daru memelas mencoba membujukku. "Aku lihat kita yang paling mampu merawat ibu. Setidaknya kita juga diuntungkan kalau tinggal di rumah ibu, Ris." Aku terkejut. Kutatap suamiku dengan tidak mengerti.

 

"Maksud Mas apa?" tanyaku.

 

"Anggap saja kita bisa berhemat dana kontrakan kalau kita tinggal dirumah ibu. Sebagai gantinya, kita gunakan tenaga kita untuk merawat beliau," katanya menjelaskan.

 

Apa?? Aku tidak menyangka Mas Daru mengatakan itu. Aku tertawa keras sampai aku lupa kalau saat itu sedang berada di rumah sakit. 

 

"Ya Allah, Mas ... lucu sekali perkataanmu. Jadi dalam pikiranmu, aku mengharapkan imbalan untuk merawat ibumu, begitu ya?" Aku kembali terkekeh, kali ini lebih pelan. 

 

Kulihat ketiganya saling pandang bingung. Mungkin saat itu mereka menganggapku gila karena tertawa sendiri, tapi aku tidak peduli, yang kumau hanya semua berjalan sesuai keinginanku. 

 

"Kalian bertiga ini sangat lucu. Selalu menilai semua hal dengan uang, dengan materi. Apa kalian benar benar tidak mengerti dengan maksud ucapanku dari tadi?"

 

"Bicara intinya saja lah Mbak, jangan berbelit-belit." Intan mulai ketus dan tidak sabar.

 

"Oke gini ya, tolong dengarkan baik baik! Dari awal aku sudah bilang, aku bukannya nggak mau merawat ibu, Aku mau tapi dengan syarat."

 

"Syarat apa maksud Mbak?" tanya Rita. Sepertinya dia mulai curiga.

 

"Kalian juga harus ikut merawatnya. Ibu kan punya 3 anak. Jadi kita berbagi tugas biar semuanya adil. Satu orang masing-masing memiliki jatah 2 hari dalam seminggu dan harus menginap disana karena kalian tahu sendiri kan ibu nggak mungkin di tinggalkan sendirian? Sedangkan untuk 1 hari sisanya kita bagi bergiliran. Dengan begini, semuanya jadi adil kan?" jelasku dengan rinci.

 

"Tapi Mbak ..."

 

"Tapi Mbak ..." 

 

Kedua adik iparku itu berucap hampir bersamaan. Wajah mereka berubah sedikit pucat. Nah kan protes? Aku sudah menduganya. Senyum sinisku mengembang

 

"Kalau kalian tidak mau, ya sudah tidak apa-apa, silahkan kalian pikirkan sendiri solusinya karena aku juga tidak mau tinggal di rumah itu lagi." Perlahan bibirku menyunggingkan senyum saat kulihat suamiku dan kedua adiknya benar-benar tak bisa bicara.

Related chapters

  • KARMA MERTUA   KEKERASAN HATI

    "Harusnya kamu nggak ngomong seperti itu sama mereka, Ris," protes Mas Daru saat dia mengantarkanku kembali kerumah."Tapi itu demi kebaikan semua, Mas. Aku nggak mau beban merawat ibu hanya dilimpahkan padamu saja, sedangkan kedua adikmu bisa bebas seenaknya. Itu nggak adil," ujarku.Kulihat Mas Daru mendesah. Entahlah, mungkin dia sekarang berpikir menyesal telah memperistriku, aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin lagi diinjak injak oleh adik-adiknya."Sudahlah aku pusing. Aku balik ke rumah sakit dulu ya. Kita pikirkan lagi besok," katanya dengan muka masam dan ditekuk. Aku tak mau ambil pusing dengan sikap Mas Daru. Biarlah apa kata orang, yang penting mertua dan ipar-iparku tak bisa lagi menindasku.***Pagi itu Mas Daru pulang dengan wajah masih muram. Sepertinya dia belum bis

    Last Updated : 2021-07-04
  • KARMA MERTUA   TUKANG NYINYIR

    "Ibu kenapa, Mas, semalem?" Tak bisa kucegah rasa penasaranku saat suamiku pulang pagi itu dari rumah ibunya."Nggak tau tuh, nangis terus ngeluh sakit. Ditanya sakitnya dimana nggak dijawab. Besok deh kalau pas bawa kontrol coba sekalian aku tanyakan ke dokternya.""Obatnya sudah diminumkan belum?" tanyaku curiga jangan-jangan si Rita lupa belum ngasih obatnya karena kebiasaan anak itu sibuk mainan HP."Kata si Rita udah sih." Mas Daru menguap lebar. "Duuh padahal hari ini kerjaanku dari Wisnu numpuk, tapi malah ngantuk banget," keluhnya."Lha emang tadi nggak tidur di sana?""Mana bisa tidur, Ris. Ibu ngaduh terus kesakitan. Nggak bisa tidur aku jadinya.""Katanya mau gantian jaga sama Rita. Gimana sih?""Dia tidur, aku nggak tega mau bangunin."'Hmmm

    Last Updated : 2021-07-04
  • KARMA MERTUA   IKATAN IBU DAN ANAK

    Hari itu hari kelima Ibu telah berada di rumahnya, dan giliran Mas Daru dan aku yang menjaganya. Pagi pagi benar sudah kusiapkan beberapa pakaian untuk suami dan anak-anakku menginap disana. Bismillah, kutata hatiku untuk bisa menjalani ini dengan ikhlas.Kami langsung menuju rumah Ibu setelah mengantarkan Rendra dan Jody ke sekolah mereka terlebih dahulu. Dan alangkah terkejutnya kami saat tiba disana melihat Intan mondar mandir seperti setrikaan di teras rumah."Lama amat sih, Mas, Mbak. Aku harus buru-buru pulang nih," omelnya."Ini masih jam berapa to, Tan? Belum ada jam 7 juga kok udah dibilang telat," kataku membela diri."Ya sudah sana kalau mau pulang sekarang," kata Mas Daru setelah memarkirkan motornya di teras rumah. "Ibu sudah diberi sarapan kan?" tanya Mas Daru."Belum," sahut Intan."Lha ..

    Last Updated : 2021-07-04
  • KARMA MERTUA   MIMPI BURUK IBU

    Aku sedang menunggui kedua anakku belajar di depan TV ruang tengah ketika Mas Daru menghampiri kami dan ikut duduk di karpet tempatku dan anak-anak berlesehan-ria."Apa sudah tidur? Kok ditinggal?""Sudah barusan. Tadinya nggak mau tidur, takut katanya.""Takut? Takut kenapa, Mas?" tanyaku keheranan."Nggak tau, orang cuma bilang takut, gitu aja. Ditanyain takut apa, diem aja.""Oooh." Aku manggut-manggut. Sejenak kemudian kurasa aku teringat sesuatu. "Eh Mas, jangan-jangan ibumu takut sama aku ya?" ujarku."Takut sama kamu? Memangnya kenapa?""Soalnya tadi tuh gini lho ... " Aku mulai nerocos menceritakan kejadian tadi siang ke suamiku saat dia sedang keluar menjemput anak-anak dari sekolah. Mas Daru kelihatan mengerutkan keningnya."Masa' gitu?" Reaks

    Last Updated : 2021-07-04
  • KARMA MERTUA   MAP USANG

    "Lagi ngapain sih Mas Kok mondar mandir?"tanyaku keheranan saat kulihat Mas Daru siang itu hanya bolak balik dari kamar ibunya ke teras, ke kamar lagi, lalu ke dapur, ke kamar lagi, ke dapur lagi, ke teras hingga membuatku ikutan pusing."Duh, aku lupa, Ris. Gimana ya enaknya?" Dia malah balik bertanya padaku."Apanya yang gimana?" Dahiku mengernyit."Nanti sore waktunya kontrol Ibuk. Ini Rita aku hubungi malah HP nya nggak aktif," katanya. Dari ketiganya, memang hanya suami Rita yang saat ini memiliki mobil, mungkin maksud Mas Daru dia mau minta bantuan Iwan, suaminya Rita, untuk membawa Ibunya kontrol ke rumah sakit."Lha kan kemarin dia sudah bilang katanya ada acara keluarga," kataku mengingatkannya."Iya tapi kan barangkali nggak sampe sore acaranya. Jadi bisa kuminta tolong Iwan buat ngantar Ibuk ke rum

    Last Updated : 2021-07-07
  • KARMA MERTUA   PETUNJUK

    Menjalani hidup bersamanya selama lebih dari 8 tahun membuatku cukup bisa merasakan suasana hatinya saat itu. Sedih dan kecewa sudah pasti. Di usia 35 tahunnya bahkan dia baru mengetahui hal mengenai siapa dirinya yang sebenarnya tanpa sedikitpun dia tahu atau setidaknya ada tanda maupun sedikit petunjuk selama ini.Seharian aku hanya bisa menemaninya dalam diam di kontrakan kami tak berani mengajaknya bicara. Mas Daru pun nampak enggan mengeluarkan suara sejak kami pulang dari rumah ibunya. Bahkan pagi itu saat kami pulang, dia tidak sanggup mengucapkan pamit pada orang tua itu, wanita yang biasanya sangat dia hormati.Seolah ingin sedikit memberikan ruang untuknya sedikit bernafas, aku membiarkannya berdiam diri seharian di kamar. Kusiapkan makan, minum, dan segala kebutuhannya hari itu tanpa bersuara. Anak-anakku pun tak kuijinkan mendekati ayahnya agar dia bisa berpikir dengan tenang.

    Last Updated : 2021-07-10
  • KARMA MERTUA   HILANGNYA UANG IBU

    Di rumah Ibu mertuaku hari itu tak seperti minggu kemarin. Mas Daru terlihat sedikit canggung, lebih banyak diam dan justru banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak dibanding menemani ibunya.Saat sampai disana pagi itu, tak seperti sebelumnya, Mas Daru juga tak langsung ke kamar ibunya. Dia malah memilih untuk berdiam diri di halaman belakang rumah menikmati rokoknya."Biasa aja to Mas, nggak usah begitu sikapnya," tegurku. "Nanti ibumu malah jadi bertanya-tanya," lanjutku."Aku nggak papa kok," katanya."Kuantar makanan ini dulu ke kamar ibu ya?" pamitku menunjukkan senampan bubur dan teh hangat di tanganku."Biar aku saja," cegahnya buru buru berdiri dari kursi kayu tua yang tadi didudukinya."Benar nggak papa?" tanyaku memastikan."Iya nggak papa, kamu

    Last Updated : 2021-07-11
  • KARMA MERTUA   KEMBALINYA ROMANTISME DARU

    Wajah kami berempat terlihat tegang saat ibu mertuaku menjulurkan tangannya ke samping tempat tidur."Tolong ambilkan kunci di bawah kasur ibuk," katanya pada Mas Daru.Mas Daru berjalan lebih mendekat, lalu melakukan apa yang disuruh oleh ibunya. Sebuah kunci kecil berwarna perak yang disembunyikan ibu di bawah tempat tidurnya."Ini buk?" tanya Mas Daru. Ibu mengangguk."Iya, Ru. Kamu buka laci paling bawah di lemari itu. Ibu masih punya beberapa simpanan perhiasan disana."Mas Daru menurut, dia membuka laci lemari dan mengambil sekotak perhiasan yang ternyata disimpan ibu di laci kecil yang terletak tersembunyi di bagian paling bawah lemari pakaiannya.Diserahkannya kotak perhiasan itu pada ibunya. Aku, Intan dan Rita hanya bisa terdiam di tempat masing-masing. Hatiku masih sangat dongkol dengan

    Last Updated : 2021-07-18

Latest chapter

  • KARMA MERTUA   PART 25 (ENDING)

    "Udah dulu ya Kak Daru, Kak Riris. Hari minggu besok kita kesitu, Papa kangen pengen ketemu Rendra sama Jody katanya. See you ..." Shinta melambaikan tangannya pada kami. Lalu perlahan layar laptop Mas Daru menampilkan wajah beberapa orang; Shinta, Dewo, dan anak perempuan semata wayang mereka yang baru berusia 4 tahun, Livia, serta Papa. Kami saling melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan.Saat wajah-wajah itu menghilang dari layar, aku dan Mas Daru saling pandang, lalu direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Senyum bahagianya mengembang. Sementara anak-anak kami, Rendra dan Jody segera berlari menjauhi kami."Yah, Bu, kita main lagi di belakang ya?" kata Rendra sambil berlari menuju kolam renang kecil di belakang rumah kami."Iya, Sayang. Hati-hati lho, jaga adik!" sahut suamiku.

  • KARMA MERTUA   PART 24

    Jody, anak bungsuku menghambur ke pelukanku ketakutan. Sementara Rendra, kakaknya, cepat-cepat merapatkan tubuhnya ke tubuhku."Takut, Bu," rengek si kecil Jody."Nggak papa, Sayang. Itu cuma petir," kataku mencoba menenangkannya."Ayah kenapa belum pulang, Bu?" tanya Rendra sambil mempererat pegangan tangannya pada selimut tebal kami.Malam itu hujan turun sangat lebat, seingatku yang terlebat sepanjang beberapa bulan terakhir. Suara gelegar petir juga seolah ingin memporak-porandakan seisi bumi. Berulang kali kupandangi jam dinding di kamar kami. Ini sudah lewat jam 10 malam dan Mas Daru belum juga sampai di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak pesan terakhirnya sebelum maghrib tadi, dia bilang bahwa sudah dalam perjalanan pulang.

  • KARMA MERTUA   PART 23

    "Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas," kataku sambil kusenggol bahu suamiku saat kami memasuki gang ke rumah Bu Dirga."Nggak tepat gimana?" Nampaknya dia belum menyadari, tapi segera kutunjuk beberapa orang sedang bergerombol di sepanjang gang menuju rumah Bu Dirga itu."Kayaknya lagi ada acara di rumah Bu Dirga," kataku menebak-nebak."Iya ya?" Mas Daru segera menyuruhku turun dari motornya, dan dia sendiri mematikan mesin motor lalu mendorongnya perlahan menuju segerombol orang yang kami temui pertama kali."Assalamu'alaikum ... Maaf Pak, ada acara apa ya?" tanya mas Daru pada salah satu lelaki dalam kelompok itu."Ooh, santunan anak yatim piatu di rumah Bu Dirga, Mas," jawabnya."Oh." Ak

  • KARMA MERTUA   PART 22

    "Apa-apaan ini? Ngapain kalian dirumah ini?!!" Teriakan Intan yang sudah beberapa meter di depanku ke arah orang-orang itu sangat keras hingga aku menghentikan langkah. Aku berusaha mengenali orang-orang yang sedang diteriaki Intan itu, tapi tidak berhasil. Tak pernah kulihat salah satu pun dari mereka sebelumnya."Kamu ini siapa?" Si wanita paruh baya yang tadinya berdiri membelakangi Intan itu menoleh. Wajahnya nampak garang, mungkin dia marah ada orang datang yang tiba-tiba meneriakinya seperti itu."Harusnya aku yang nanya, kalian ini siapa dan ngapain di rumah ibuku?!" teriak Intan lagi tak kalah garang."Ooooo ... kamu pasti Intan kan?" Wanita itu terdengar terkekeh kecil mengulurkan tangannya ke arah Intan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau mau ambil barang-barang ibumu silahkan saja, santai saja, rumah ini belum mau ditempat

  • KARMA MERTUA   PART 21 (FIVE PARTS TO END)

    Pagi itu kususul Mas Daru ke rumah sakit setelah kutitipkan kedua bocahku ke budhe Endar, tetangga kontrakanku. Beruntungnya hari ini adalah hari minggu, jadi mereka libur sekolah. Dia mengirimiku pesan semalam dan bilang kalau aku harus kesana pagi-pagi, ada hal penting yang harus dibicarakannya, dan aku mengira itu pasti tentang ibunya.Saat tiba disana, kulihat Mas Daru sedang duduk menghadapi Intan yang sedang menangis sesenggukan. Mata wanita itu terlihat sangat merah, sepertinya menangisnya sudah lumayan lama. Sementara wajah suamiku terlihat sangat lelah, matanya pun memerah seperti dia tidak tidur semalaman. Kuhampiri Mereka yang duduk di sudut ruangan tunggu tak jauh dari ruang ICU."Ada apa?"Aku meletakkan goodie bag yang kubawa dari rumah untuk menaruh bekal. Pagi tadi kusempatkan memasakkan sarapan untuk suamiku dan a

  • KARMA MERTUA   IBU BUNUH DIRI (DARU P.O.V)

    Tak pernah kurasakan kegelisahan dan kesedihan yang sebesar ini selama hidupku, bahkan tidak saat aku menunggui bapak sakaratul maut beberapa tahun yang lalu. Melihat ibu terbaring kritis di ruang ICU membuatku merasa sepertinya dia akan pergi meninggalkanku. Dia memang bukan ibu kandungku, tapi takkan bisa kupungkiri bahwa aku mencintainya lebih dari diriku sendiri.Walaupun dia bukan wanita yang sempurna, karena memang tak ada manusia sempurna di dunia ini. Namun pengorbanan dan kasih sayangnya telah membawaku tumbuh menjadi sebesar ini tanpa kekurangan membuatku tak bisa menutup mata dengan kondisinya saat ini.Dia mungkin tak memiliki kesempurnaan cinta seorang ibu, tapi setidaknya sepanjang hidupku sebelum aku bertemu dengan Riris, istriku, dialah wanita pertama yang mencintai segala kekurangan dan kelebihanku.

  • KARMA MERTUA   KABAR DARI ANAK BU DIRGA

    "Kamu yakin yang dibeli Rita itu obat tidur, Ris?" tanya Mas Daru tiba-tiba."Nggak tau aku, Mas. Kan yang ngelihat Sri, bukan aku. Tapi Sri sih anaknya bisa dipercaya menurutku, aku udah kenal dia lama, dari SD. Terlepas apa dia ngerti itu obat tidur apa nggak ya," ujarku. Dia terdiam lama."Kenapa sih Mas memangnya? Kok jadi penasaran sama obat tidur?""Nggak. Aku kok kepikiran kalau obat tidur itu buat ibuk ya, bukan untuk Rita sendiri," katanya tiba-tiba dan itu jelas membuatku kaget. Aku bahkan sama sekali tidak punya pikiran ke arah sana."Hah??" Aku pun membelalak. Bagaimana mungkin suamiku berpikiran seperti itu. Dia yang kukenal selama ini jarang memiliki pikiran negatif terhadap orang lain. "Kenapa Mas berpikir begitu?" tanyaku penasaran. Dia nampak berpikir sejenak."Kamu tau kan gimana Rita sama I

  • KARMA MERTUA   OBAT TIDUR

    Malam itu udara sangat dingin, tapi heranku Mas Daru tidur bermandi peluh di sampingku. Aku tidak mendengarnya mengeluh sakit apapun seharian itu, dia nampak sehat dan beraktifitas seperti biasa.Kumiringkan badanku ke arahnya, lalu kutempelkan punggung tanganku ke dahi, wajah serta lehernya. Semuanya normal, tak ada tanda-tanda sakit di badannya. Tubuhnya sedikit menggeliat saat kuberingsut ke bawah untuk memegang telapak kakinya, suhu kakinya juga normal.Kulirik jam dinding di kamar, sudah hampir jam 1 dini hari dan aku berniat segera memejamkan mata agar tak bangun kesiangan.Entah berapa lama aku telah terlelap, ketika tiba-tiba aku mendengar suara orang berteriak-teriak dekat sekali dengan telingaku. Sontak aku membuka mata dan kulihat Mas Daru sedang mengigau memanggil-manggil ibunya. Sigap aku bangun dan ku tepuk-tepuk lembut pipi suamiku itu.

  • KARMA MERTUA   DIUSIR DARI RUMAH IBU

    "Apa kamu akan pergi, Le?"Terdengar sayup suara ibu dari belakang rumah saat aku hendak mengambilkan camilan untuk anak-anakku di dapur sore itu. Mas Daru memang paling senang berada di serambi belakang kala sedang berkutat dengan pekerjaannya di laptop sambil menikmati pemandangan pematang sawah yang terbentang luas. Dan sudah beberapa hari belakangan ibu senang menemaninya bekerja sambil duduk di kursi rodanya."Pergi kemana, Buk?" suara jawaban Mas Daru. Kupelankan aktifitasku di dapur agar tak mengganggu pembicaraan ibu dan anak itu."Ibu mendengar pertengkaranmu dengan adikmu tadi pagi. Istrimu pasti marah sama adikmu, Ru. Apa kalian akan meninggalkan ibu?" Terdengar tawa kecil Mas Daru setelah ibunya menyelesaikan kalimat."Nggak, Buk. Riris nggak papa, Ibu nggak usah khawatir. Nanti kalau Ibuk sudah bisa jalan sendiri seperti biasa, Daru bar

DMCA.com Protection Status