Share

MAP USANG

Penulis: Reinee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Lagi ngapain sih Mas Kok mondar mandir?" 

tanyaku keheranan saat kulihat Mas Daru siang itu hanya bolak balik dari kamar ibunya ke teras, ke kamar lagi, lalu ke dapur, ke kamar lagi, ke dapur lagi, ke teras hingga membuatku ikutan pusing.

 

"Duh, aku lupa, Ris. Gimana ya enaknya?" Dia malah balik bertanya padaku.

 

"Apanya yang gimana?" Dahiku mengernyit.

 

"Nanti sore waktunya kontrol Ibuk. Ini Rita aku hubungi malah HP nya nggak aktif," katanya. Dari ketiganya, memang hanya suami Rita yang saat ini memiliki mobil, mungkin maksud Mas Daru dia mau minta bantuan Iwan, suaminya Rita, untuk membawa Ibunya kontrol ke rumah sakit. 

 

"Lha kan kemarin dia sudah bilang katanya ada acara keluarga," kataku mengingatkannya. 

 

"Iya tapi kan barangkali nggak sampe sore acaranya. Jadi bisa kuminta tolong Iwan buat ngantar Ibuk ke rumah sakit nanti." 

 

"Coba ditelpon ulang bentar lagi, Mas. Mungkin baru di charge handphonenya," kataku

 

"Iya." Dia mengangguk.

 

Namun nihil, bahkan sampai sekitar jam 3 sore pun ponsel Rita tetep tak bisa dihubungi, begitupun ponsel suaminya. Akhirnya Mas Daru berinisiatif menelpon Intan.

 

"Tan? Kamu bisa ke rumah Rita sekarang nggak? Iya, aku hubungi dari siang nggak bisa. HP nya mati semua, punya si Iwan juga. Coba kamu kesana, mungkin dia sudah pulang, minta tolong Iwan suruh nganterin Ibu ke rumah sakit dengan mobilnya. Ya? Ya sudah cepet ya, Tan, aku tunggu. Soalnya udah jam segini takutnya nanti dokternya keburu pulang kalau telat datang. Cepet lho ya?" 

 

Setengah jam kemudian Intan memberi kabar bahwa Rita dan keluarganya tidak ada di rumah. Itu artinya mereka belum pulang. 

 

"Duh, ini anak-anak kenapa nggak pada mikir sih kalau hari ini Ibuk harus kontrol." Mas Daru mulai mengomel. 

 

"Pake taksi online aja, Mas," usulku.

 

"Nggak bisa, Ris, susah bawanya. Ibu kan belum bisa duduk. Kalo bawa mobil sendiri kan lebih enak. Coba mobil kita dulu masih ada yaa." Mas Daru nampak tertegun sebentar. Aku ikutan ngenes mengingat masa-masa itu.

 

"Habisnya gimana lagi, yang punya mobil malah pergi gitu kok," ucapku ikutan jengkel.

 

"Apa kita sewa mobil aja ya, Ris?" 

 

"Ada uangnya?"tanyaku.

 

"Tinggal ini." Mas Daru mengeluarkan selembar uang 100 ribuan dari dompetnya yang baru saja diambilnya dari saku celana.

 

"Sewa mobil berapa emang sekarang bayarnya?" tanyaku.

 

"Kalo sama nungguin antri periksa ya nggak cukup kalau cuma segini. Paling nggak 200 ribuan mungkin," kata suamiku. 

 

Kutaruh tangan kananku di dagu, berpikir. Mas Daru pun nampak melakukan hal yang sama.

 

"Kalau uang itu dipake sewa mobil, brarti besok kita nggak bisa beli lauk buat makan dong," kataku berguman ke Mas Daru. Dia pun mengangguk. Nampak dia termenung lagi.

 

"Sebenarnya ibuk punya simpanan sih, tapi aku nggak berani bilangnya," katanya tiba-tiba. 

 

"Simpanan apa?"

 

"Uang. Tadi nggak sengaja aku lihat dompet dia di lemari pas ngambilin baju ganti." 

 

"Ya pake itu aja," usulku.

 

"Ngomongnya gimana? Masa' iya pake uang ibuk? Nggak enak aku, Ris."

 

"Ya mau gimana lagi, Mas. Uang kita juga nggak cukup ini. Udah biar aku yang ngomong," tegasku.

 

"Eh Jangan, Ris!" Mas Daru nampak panik saat kubilang begitu.

 

"Udaaah nggak papa," kataku meyakinkannya.

 

Bergegasku ke kamar ibu diikuti Mas Daru di belakangku. Ibu yang sedang terjaga di atas ranjangnya nampak kaget melihatku tiba-tiba masuk. Lagi-lagi kulihat air mukanya nampak sedikit cemas menatapku, namun berangsur normal setelah melihat Mas Daru berjalan di belakangku. 

 

"Bu ..." panggilku. Mas Daru yang agak khawatir menowel lenganku, mungkin dia bermaksud mencegahku, tapi aku sudah bertekad.

 

"Ibu punya uang simpanan?" tanyaku tanpa basa-basi. Dia menoleh ke arah Mas Daru berdiri. Wajahnya kembali memucat. 

 

"Bu, nggak usah khawatir. Aku bukan mau ngambil uang Ibu. Gini lho ..." Aku duduk di pinggir tempat tidur, mencoba menjelaskan padanya. "Nanti sore Ibu harus kontrol. Rita dan suaminya dihubungi belum bisa, sedangkan kita butuh mobil untuk bawa Ibu ke rumah sakit. Mas Daru uangnya nggak cukup, Bu. Jadi, kalau Ibu nggak keberatan, uang Ibu dipakai dulu buat bayar sewa mobil ya. Gimana?" tanyaku di ujung kalimat.

 

Lagi-lagi dia tidak menjawab, hanya tetap menatap ke arah suamiku. 

 

"Maaf ya Buk, uang Daru nggak cukup. Cuma tinggal 100 ribu buat persiapan makan anak-anak besok," jelasnya. Kulirik wajah orang tua itu terlihat seperti kecewa, tapi dia mengangguk.

 

"Ada disana," katanya lirih menunjuk ke arah lemari. Mas Daru berniat beranjak tapi tanganku reflek mencegahnya. Aku bangkit lalu beranjak ke lemari yang dimaksud. Entah kenapa kulakukan itu, aku hanya berpikir Ibu pasti akan panik kalau aku yang mengambil uangnya, bukannya Mas Daru. Dan dengan jahilnya aku sengaja melakukan itu. (Ya Allah jahatnya aku)

 

Kuambil dompet berwarna pink milik ibu dari dalam lemari. Lumayan tebal, pasti isinya banyak, pikirku. Sambil berjalan kembali ke tempat tidur aku memperhatikan wajah panik ibu mertuaku dengan menyungging senyum. Gendheng!! Kok aku malah merasa puas bisa melihat itu. 

 

"Ini, Mas." Kuserahkan dompet itu ke Mas Daru. 

 

"Aku ambil 200 ribu ya, Buk. Nanti kalau sisa aku kembalikan lagi," kata suamiku. Wanita itu mengangguk pelan.

 

***

 

Akhirnya Mas Daru membawa Ibu kontrol dengan meminta bantuan seorang temannya yang memiliki persewaan mobil. Dia baru kembali malam hari karena katanya banyak sekali antrian pasien. Dalam hati kukutuki kedua adik iparku itu. 'Benar-benar manusia tidak ada tanggung jawabnya. Awas saja besok kalau ketemu,' ancamku. 

 

Ibu tertidur pulas setelah minum obatnya malam itu. Tepat jam 10 malam sebuah mobil berhenti di depan rumah. Mas Daru bergegas ke depan saat pintu diketuk seseorang. Rita dan suaminya datang. Penampilan mereka nampak seperti baru pulang dari bepergian jauh. 

 

"Ya allah, dari mana saja sih kalian ini?" Mas Daru nampak kesal dan sedikit emosi.

 

"Maaf Mas aku lupa e kalau hari ini jadwal Ibu kontrol," kata Rita yang lalu di-iya-kan oleh anggukan suaminya. 

 

"Emangnya kalian dari mana?" 

 

"Dari Solo, Mas, ada teman yang menikah," jawab Iwan.

 

"Lah, cuma teman to? Kemarin bilangnya saudara," celetukku. 

 

"Teman atau saudara kan sama aja, Mbak. Namanya diundang ya wajib datang," kata Rita membela diri dengan sinisnya.

 

"Tapi kalau ada yang lebih penting ya harusnya diutamakan yang lebih penting dong. Ini Ibu sendiri lho," nyinyirku kambuh.

 

"Sudah, Ris, sudah. Nggak usah diributkan lagi," ujar Mas Daru.

 

"Iya, Mbak, lagipula ini mobil saya, ya terserah saya mau saya bawa kemana," kata Iwan dengan nada sangat menyebalkan. Jadi pengen muntah aku dengarnya. 

 

"Ya terserah kalian lah. Terutama kamu Rit. Ini Ibumu, mau kamu urus atau ndak ya itu urusanmu sama Yang Di Atas," kataku sebal sambil berlalu meninggalkan mereka di ruang tamu. Mendingan kutemani anak-anakku tidur. Dia sama suaminya sebelas duabelas, sama saja sablengnya. Dasar sudah jodoh, gerutuku jengkel.

 

***

 

"Udah pulang mereka, Mas? Tanyaku

 

"Udah, Ris." 

 

"Kayak begitu tuh kelakuan adikmu, Mas. Bahkan nengokin Ibunya ke kamarnya aja enggak. Datang pergi begitu saja nggak ada rasa bersalahnya sama sekali." Aku mulai mengomel.

 

"Wis lah, udah yang sabar saja," kata Mas Daru. "Oya, tadi si Topik cuma mau dibayar 150 ribu, yang 50 ribu dibalikin lagi. Sebentar aku balikin dulu ke ibuk," pamit Mas Daru kemudian berlalu ke kamar ibunya berniat mengambalikan sisa uang yang tadi diambilnya. 

 

Aku kembali menyibukkan diri dengan anak-anakku yang sudah tertidur pulas di depan TV. Kuamati wajah mereka satu persatu dan kupegang kepala mereka sambil kuucapkan doa-doa seperti biasanya.

 

Semoga kelak kalian memiliki hati selembut ayah kalian. Sabar dan ikhlas merawat ibu saat ibu tua nanti, kataku dalam doa. Ku usap rambut kedua anakku berulang-ulang sampai sepertinya aku ketiduran.

 

Beberapa saat kemudian aku dikagetkan dengan suara debuman lumayan keras di kasur samping tempatku tertidur. Mataku mengerjap sebentar dan terbelalak melihat suamiku tengah duduk meringkuk di dekatku. Wajahnya ditekuk ke lututnya, aku segera duduk.

 

"Mas, ngapain?" tanyaku. Tak ada sahutan. Mas Daru pun tak mengangkat wajahnya yang terbenam ke lututnya yang ditekuk. Aku makin penasaran.

 

"Mas, kenapa sih?" Tetap tak ada sahutan darinya, tapi justru isakan lemah darinya yang kudengar di telingaku.

 

Mas Daru menangis? Suamiku menangis? Ada apa? Aku mulai panik. 

 

"Mas, ada apa sih? Jangan membuatku takut!" kataku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya berusaha untuk tidak berteriak karena takut anak anakku terbangun. 

 

"Mas!" Aku terus menggoyangkan tubuhnya hingga dia akhirnya mendongakkan wajahnya. Pemandangan yang tampak di wajahnya itu benar benar membuatku sakit. Wajahnya memerah, matanya berair, suamiku benar-benar sedang menangis. 

 

Aku ingat selama hidup bersamanya belum pernah kulihat dia seperti itu. Satu-satunya hal yang pernah membuatnya menitikkan air mata hanya saat anak pertama kami, Rendra, lahir. 

 

"Ada apa?" tanyaku lirih sambil kupegang lembut wajahnya dengan kedua telapak tanganku. Dan aku sangat terkejut saat dia menggerakkan tangan tangannya yang sedari tadi ternyata tak kusadari sedang memegang sebuah map berwarna biru. Map berukuran kertas folio yang terlihat sudah agak usang dan pudar warnanya. 

 

"Ini apa?" tanyaku. Mas Daru menatapku dengan pandangan yang tak kumengerti. Dia tidak mengatakan apapun, tapi malah meletakkan tubuhnya ke pelukanku. Dia kembali terisak di dadaku. 

 

Bab terkait

  • KARMA MERTUA   PETUNJUK

    Menjalani hidup bersamanya selama lebih dari 8 tahun membuatku cukup bisa merasakan suasana hatinya saat itu. Sedih dan kecewa sudah pasti. Di usia 35 tahunnya bahkan dia baru mengetahui hal mengenai siapa dirinya yang sebenarnya tanpa sedikitpun dia tahu atau setidaknya ada tanda maupun sedikit petunjuk selama ini.Seharian aku hanya bisa menemaninya dalam diam di kontrakan kami tak berani mengajaknya bicara. Mas Daru pun nampak enggan mengeluarkan suara sejak kami pulang dari rumah ibunya. Bahkan pagi itu saat kami pulang, dia tidak sanggup mengucapkan pamit pada orang tua itu, wanita yang biasanya sangat dia hormati.Seolah ingin sedikit memberikan ruang untuknya sedikit bernafas, aku membiarkannya berdiam diri seharian di kamar. Kusiapkan makan, minum, dan segala kebutuhannya hari itu tanpa bersuara. Anak-anakku pun tak kuijinkan mendekati ayahnya agar dia bisa berpikir dengan tenang.

  • KARMA MERTUA   HILANGNYA UANG IBU

    Di rumah Ibu mertuaku hari itu tak seperti minggu kemarin. Mas Daru terlihat sedikit canggung, lebih banyak diam dan justru banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak dibanding menemani ibunya.Saat sampai disana pagi itu, tak seperti sebelumnya, Mas Daru juga tak langsung ke kamar ibunya. Dia malah memilih untuk berdiam diri di halaman belakang rumah menikmati rokoknya."Biasa aja to Mas, nggak usah begitu sikapnya," tegurku. "Nanti ibumu malah jadi bertanya-tanya," lanjutku."Aku nggak papa kok," katanya."Kuantar makanan ini dulu ke kamar ibu ya?" pamitku menunjukkan senampan bubur dan teh hangat di tanganku."Biar aku saja," cegahnya buru buru berdiri dari kursi kayu tua yang tadi didudukinya."Benar nggak papa?" tanyaku memastikan."Iya nggak papa, kamu

  • KARMA MERTUA   KEMBALINYA ROMANTISME DARU

    Wajah kami berempat terlihat tegang saat ibu mertuaku menjulurkan tangannya ke samping tempat tidur."Tolong ambilkan kunci di bawah kasur ibuk," katanya pada Mas Daru.Mas Daru berjalan lebih mendekat, lalu melakukan apa yang disuruh oleh ibunya. Sebuah kunci kecil berwarna perak yang disembunyikan ibu di bawah tempat tidurnya."Ini buk?" tanya Mas Daru. Ibu mengangguk."Iya, Ru. Kamu buka laci paling bawah di lemari itu. Ibu masih punya beberapa simpanan perhiasan disana."Mas Daru menurut, dia membuka laci lemari dan mengambil sekotak perhiasan yang ternyata disimpan ibu di laci kecil yang terletak tersembunyi di bagian paling bawah lemari pakaiannya.Diserahkannya kotak perhiasan itu pada ibunya. Aku, Intan dan Rita hanya bisa terdiam di tempat masing-masing. Hatiku masih sangat dongkol dengan

  • KARMA MERTUA   BU DIRGA

    "Ada perlu apa dengan ibu saya?" kata pemuda yang sepertinya sepantaran dengan Mas Daru itu pada kami setelah mempersilahkan kami duduk di teras rumahnya yang kecil namun asri.Mas Daru nampak bingung. Mungkin dia tak tahu harus bicara apa."Gini, Mas, kami datang ingin menanyakan tentang panti asuhan Mutiara Bunda pada beliau," jelasku hati-hati."Tapi ibu saya sudah lama tidak bekerja disana, Bu.""Panggil saja saya Riris, Mas," ucapku padanya karena tidak nyaman dia memanggilku dengan sebutan 'Bu'. "Ini suami saya, Mas Daru." Aku memperkenalkan suamiku juga padanya."Oh ya, Saya Eko, Mbak, Mas," katanya memperkenalkan diri."Ngomong-ngomong saya sudah tahu, Mas, kalau Bu Dirga sudah tidak bekerja di panti lagi. Kemarin kami sempat ke alamat panti itu dan ternyata sekarang

  • KARMA MERTUA   BOGEM MENTAH DARU

    Mas Daru mengajakku ke rumah Rita pagi itu setelah mengantarkan anak-anak kami sekolah.Rumah adik iparku itu banyak perubahan, lebih mewah dan terlihat sudah banyak renovasi dimana-mana. Jauh lebih bagus dari terkahir kali kami berkunjung ke sini saat anaknya, Diva, lahir.Rita nampak kaget melihat kedatangan kami yang tiba-tiba. Raut mukanya terlihat agak gugup, berulang kali meninggalkan kami berdua sebelum Mas Daru sempat berbicara apapun padanya.Dan untuk kesekian kalinya dia baru menampakkan diri lagi setelah beberapa menit masuk ke dalam rumah. Waktu kami datang, dia mempersilahkan aku dan Mas Daru duduk di kursi tamu di teras rumah.Tak lama berselang setelah Rita muncul dari balik pintu kamar tamunya, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Dan aku mengenali mobil itu adalah milik Iwan, suami Rita. Iwan turun dari mobil dengan me

  • KARMA MERTUA   DERITA INTAN

    "Halo, Mas, Rita nggak kesini, ditelpon nggak diangkat. Ni aku masih di rumah ibuk. Gimana ini, Mas?" Aku mendengarkan suara ocehan dari seberang itu dengan sedikit kesal. Intan menelpon ke ponsel Mas Daru dengan nada panik, langsung ngoceh padahal belum sempat ku ucapkan salam."Mas Daru nya lagi mandi, Tan," ucapku sok anteng."Oooh, maaf Mbak," katanya."Nanti aku sampaikan ke Mas Daru," responku. Kukira sekarang dia pasti sedang kebingungan di seberang sana, tak ada kepastian. Rita sepertinya memang tidak akan datang ke tempat ibu setelah kejadian kemarin."Siapa, Ris?" Mas Daru muncul dari kamar mandi kontrakan kami yang sempit dengan balutan handuk dipinggangnya dan rambut yang masih basah."Kata Intan, Rita nggak datang ke tempat ibu," jawabku. Kulihat dia menghela nafas."Aku su

  • KARMA MERTUA   AKUN SOSMED RITA

    "Gimana, Ris? Kamu mau kan?" Mas Daru menunduk memegang kedua telapak tanganku dengan erat seolah sedang mengharapkanku untuk mengatakan 'iya'.Ini berat, luka itu sebenarnya belum sepenuhnya hilang. Tapi melihat kenyataan yang terjadi saat ini, akankah aku tega membiarkan wanita tua itu menjalani sisa hidupnya dengan penderitaan? Tega kah aku melakukan itu?"Tapi untuk sementara saja ya Mas?" kataku meminta."Maksudnya sementara?""Sampai ibu sembuh, kita kembali ke kontrakan. Atau kalau Rita apa Intan sudah mau merawat ibu lagi, aku mau kita kembali ke kontrakan lagi, Mas," kataku penuh harap. Mas Daru tersenyum, lalu mencium kedua punggung tanganku dengan lembut."Terima kasih, Ris. Aku janji kali ini nggak akan ada hal buruk apapun yang bisa menimpamu dan anak-anak selama kita berada di tempat ibu. Aku akan menjaga kalian,

  • KARMA MERTUA   MADU UNTUK INTAN

    Kedua anakku terbangun, kaget oleh suara ketukan sangat keras di pintu depan. Baru setengah jam yang lalu aku berhasil membuat mereka memejamkan mata, dan kini mereka sudah terbangun kembali. Aku bergegas keluar dari kamar dan berjalan ke kamar tamu. Disana sudah kulihat Mas Daru sedang berhadapan dengan Intan yang berdiri di ambang pintu rumah dengan wajah sangat menyedihkan."Kenapa kamu, Tan?" tanya Mas Daru dengan nada cemas. Tak ada jawaban, hanya tangis sesenggukan Intan yang memecah kesunyian malam. Dia berjalan sempoyongan ambruk di kursi kamar tamu."Ada apa, Ru? Siapa yang datang?" Teriakan suara ibu terdengar dari kamarnya."Intan, Buk," sahut suamiku dan kami berdua berjalan hampir bersamaan menghampiri wanita yang keadaannya sangat berantakan itu. Rambut acak-acakan, mata sembab, dan sangat memprihatinkan.

Bab terbaru

  • KARMA MERTUA   PART 25 (ENDING)

    "Udah dulu ya Kak Daru, Kak Riris. Hari minggu besok kita kesitu, Papa kangen pengen ketemu Rendra sama Jody katanya. See you ..." Shinta melambaikan tangannya pada kami. Lalu perlahan layar laptop Mas Daru menampilkan wajah beberapa orang; Shinta, Dewo, dan anak perempuan semata wayang mereka yang baru berusia 4 tahun, Livia, serta Papa. Kami saling melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan.Saat wajah-wajah itu menghilang dari layar, aku dan Mas Daru saling pandang, lalu direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Senyum bahagianya mengembang. Sementara anak-anak kami, Rendra dan Jody segera berlari menjauhi kami."Yah, Bu, kita main lagi di belakang ya?" kata Rendra sambil berlari menuju kolam renang kecil di belakang rumah kami."Iya, Sayang. Hati-hati lho, jaga adik!" sahut suamiku.

  • KARMA MERTUA   PART 24

    Jody, anak bungsuku menghambur ke pelukanku ketakutan. Sementara Rendra, kakaknya, cepat-cepat merapatkan tubuhnya ke tubuhku."Takut, Bu," rengek si kecil Jody."Nggak papa, Sayang. Itu cuma petir," kataku mencoba menenangkannya."Ayah kenapa belum pulang, Bu?" tanya Rendra sambil mempererat pegangan tangannya pada selimut tebal kami.Malam itu hujan turun sangat lebat, seingatku yang terlebat sepanjang beberapa bulan terakhir. Suara gelegar petir juga seolah ingin memporak-porandakan seisi bumi. Berulang kali kupandangi jam dinding di kamar kami. Ini sudah lewat jam 10 malam dan Mas Daru belum juga sampai di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak pesan terakhirnya sebelum maghrib tadi, dia bilang bahwa sudah dalam perjalanan pulang.

  • KARMA MERTUA   PART 23

    "Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas," kataku sambil kusenggol bahu suamiku saat kami memasuki gang ke rumah Bu Dirga."Nggak tepat gimana?" Nampaknya dia belum menyadari, tapi segera kutunjuk beberapa orang sedang bergerombol di sepanjang gang menuju rumah Bu Dirga itu."Kayaknya lagi ada acara di rumah Bu Dirga," kataku menebak-nebak."Iya ya?" Mas Daru segera menyuruhku turun dari motornya, dan dia sendiri mematikan mesin motor lalu mendorongnya perlahan menuju segerombol orang yang kami temui pertama kali."Assalamu'alaikum ... Maaf Pak, ada acara apa ya?" tanya mas Daru pada salah satu lelaki dalam kelompok itu."Ooh, santunan anak yatim piatu di rumah Bu Dirga, Mas," jawabnya."Oh." Ak

  • KARMA MERTUA   PART 22

    "Apa-apaan ini? Ngapain kalian dirumah ini?!!" Teriakan Intan yang sudah beberapa meter di depanku ke arah orang-orang itu sangat keras hingga aku menghentikan langkah. Aku berusaha mengenali orang-orang yang sedang diteriaki Intan itu, tapi tidak berhasil. Tak pernah kulihat salah satu pun dari mereka sebelumnya."Kamu ini siapa?" Si wanita paruh baya yang tadinya berdiri membelakangi Intan itu menoleh. Wajahnya nampak garang, mungkin dia marah ada orang datang yang tiba-tiba meneriakinya seperti itu."Harusnya aku yang nanya, kalian ini siapa dan ngapain di rumah ibuku?!" teriak Intan lagi tak kalah garang."Ooooo ... kamu pasti Intan kan?" Wanita itu terdengar terkekeh kecil mengulurkan tangannya ke arah Intan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau mau ambil barang-barang ibumu silahkan saja, santai saja, rumah ini belum mau ditempat

  • KARMA MERTUA   PART 21 (FIVE PARTS TO END)

    Pagi itu kususul Mas Daru ke rumah sakit setelah kutitipkan kedua bocahku ke budhe Endar, tetangga kontrakanku. Beruntungnya hari ini adalah hari minggu, jadi mereka libur sekolah. Dia mengirimiku pesan semalam dan bilang kalau aku harus kesana pagi-pagi, ada hal penting yang harus dibicarakannya, dan aku mengira itu pasti tentang ibunya.Saat tiba disana, kulihat Mas Daru sedang duduk menghadapi Intan yang sedang menangis sesenggukan. Mata wanita itu terlihat sangat merah, sepertinya menangisnya sudah lumayan lama. Sementara wajah suamiku terlihat sangat lelah, matanya pun memerah seperti dia tidak tidur semalaman. Kuhampiri Mereka yang duduk di sudut ruangan tunggu tak jauh dari ruang ICU."Ada apa?"Aku meletakkan goodie bag yang kubawa dari rumah untuk menaruh bekal. Pagi tadi kusempatkan memasakkan sarapan untuk suamiku dan a

  • KARMA MERTUA   IBU BUNUH DIRI (DARU P.O.V)

    Tak pernah kurasakan kegelisahan dan kesedihan yang sebesar ini selama hidupku, bahkan tidak saat aku menunggui bapak sakaratul maut beberapa tahun yang lalu. Melihat ibu terbaring kritis di ruang ICU membuatku merasa sepertinya dia akan pergi meninggalkanku. Dia memang bukan ibu kandungku, tapi takkan bisa kupungkiri bahwa aku mencintainya lebih dari diriku sendiri.Walaupun dia bukan wanita yang sempurna, karena memang tak ada manusia sempurna di dunia ini. Namun pengorbanan dan kasih sayangnya telah membawaku tumbuh menjadi sebesar ini tanpa kekurangan membuatku tak bisa menutup mata dengan kondisinya saat ini.Dia mungkin tak memiliki kesempurnaan cinta seorang ibu, tapi setidaknya sepanjang hidupku sebelum aku bertemu dengan Riris, istriku, dialah wanita pertama yang mencintai segala kekurangan dan kelebihanku.

  • KARMA MERTUA   KABAR DARI ANAK BU DIRGA

    "Kamu yakin yang dibeli Rita itu obat tidur, Ris?" tanya Mas Daru tiba-tiba."Nggak tau aku, Mas. Kan yang ngelihat Sri, bukan aku. Tapi Sri sih anaknya bisa dipercaya menurutku, aku udah kenal dia lama, dari SD. Terlepas apa dia ngerti itu obat tidur apa nggak ya," ujarku. Dia terdiam lama."Kenapa sih Mas memangnya? Kok jadi penasaran sama obat tidur?""Nggak. Aku kok kepikiran kalau obat tidur itu buat ibuk ya, bukan untuk Rita sendiri," katanya tiba-tiba dan itu jelas membuatku kaget. Aku bahkan sama sekali tidak punya pikiran ke arah sana."Hah??" Aku pun membelalak. Bagaimana mungkin suamiku berpikiran seperti itu. Dia yang kukenal selama ini jarang memiliki pikiran negatif terhadap orang lain. "Kenapa Mas berpikir begitu?" tanyaku penasaran. Dia nampak berpikir sejenak."Kamu tau kan gimana Rita sama I

  • KARMA MERTUA   OBAT TIDUR

    Malam itu udara sangat dingin, tapi heranku Mas Daru tidur bermandi peluh di sampingku. Aku tidak mendengarnya mengeluh sakit apapun seharian itu, dia nampak sehat dan beraktifitas seperti biasa.Kumiringkan badanku ke arahnya, lalu kutempelkan punggung tanganku ke dahi, wajah serta lehernya. Semuanya normal, tak ada tanda-tanda sakit di badannya. Tubuhnya sedikit menggeliat saat kuberingsut ke bawah untuk memegang telapak kakinya, suhu kakinya juga normal.Kulirik jam dinding di kamar, sudah hampir jam 1 dini hari dan aku berniat segera memejamkan mata agar tak bangun kesiangan.Entah berapa lama aku telah terlelap, ketika tiba-tiba aku mendengar suara orang berteriak-teriak dekat sekali dengan telingaku. Sontak aku membuka mata dan kulihat Mas Daru sedang mengigau memanggil-manggil ibunya. Sigap aku bangun dan ku tepuk-tepuk lembut pipi suamiku itu.

  • KARMA MERTUA   DIUSIR DARI RUMAH IBU

    "Apa kamu akan pergi, Le?"Terdengar sayup suara ibu dari belakang rumah saat aku hendak mengambilkan camilan untuk anak-anakku di dapur sore itu. Mas Daru memang paling senang berada di serambi belakang kala sedang berkutat dengan pekerjaannya di laptop sambil menikmati pemandangan pematang sawah yang terbentang luas. Dan sudah beberapa hari belakangan ibu senang menemaninya bekerja sambil duduk di kursi rodanya."Pergi kemana, Buk?" suara jawaban Mas Daru. Kupelankan aktifitasku di dapur agar tak mengganggu pembicaraan ibu dan anak itu."Ibu mendengar pertengkaranmu dengan adikmu tadi pagi. Istrimu pasti marah sama adikmu, Ru. Apa kalian akan meninggalkan ibu?" Terdengar tawa kecil Mas Daru setelah ibunya menyelesaikan kalimat."Nggak, Buk. Riris nggak papa, Ibu nggak usah khawatir. Nanti kalau Ibuk sudah bisa jalan sendiri seperti biasa, Daru bar

DMCA.com Protection Status