Bertemu dengan Akai Badai Bagaspati membuat Sakura Kadita Rumi memiliki pandangan lain akan lelaki idaman menurut versinya. Sasa, begitulah Sakura akrab dipanggil, lahir dalam keluarga dengan aturan militer dan protokoler yang ketat. Sebagai anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, Sasa dijaga oleh pasukan berani mati. Sang ayah memiliki kekhawatiran tersendiri pada masa depan Sasa hingga mencetuskan ide untuk menjodohkan Sasa dengan lelaki pilihannya, seorang prajurit muda yang rela mati demi negara. Berontak, Sasa memilih kuliah ketimbang masuk ke militer seperti harapan keluarga hingga ia bertemu Badai di awal pertama dan jatuh cinta. Pesona tsundere Badai tak dapat ditolak Sasa yang memang tak pernah bertemu dengan lelaki setipe Badai nan dingin dan angkuh. Tanpa Sasa sadari, Badai adalah lelaki yang dikirim takdir untuk melengkapinya. Sasa tak sadar, lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta di pandangan pertama adalah lelaki yang dijodohkan dengannya. Benar, dua misi yang harus Badai kerjakan, menjaga Sasa dan menjaga negaranya.
View MoreKediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
"Aku diminta sama tim buat ikut nanyain Dira and the gang," lapor Badai pada sang istri tepat saat Sasa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ijin untuk menginap di hotel di sebelah gedung karantina sudah didapat, Damar memperbolehkan selama aktivitas di siang hari, Sasa dan Badai tetap mengikuti jadwal. Oleh karena itu, Badai baru bisa mengajak sang istri beristirahat di hotel yang sudah dipesannya di atas pukul 8 malam. "Terus Mas jawab mau?" gumam Sasa langsung meminta bantal pada lengan Badai dan menyusup nyaman di celah ketiak sang suami. Mereka berbaring berdampingan kini. "Aku harus mau. Karena kita kan pernah satu kelas sama Dira dan tim menganggap kalau seenggaknya aku cukup paham karakternya. Di samping itu, kalau aku yang coba nanyain, kecil kemungkinan Dira bakal berkilah," sebut Badai. "Aku sih ngedukung kalau Mas yang nanyain Dira, biar dia tau siapa Mas dan kayak apa pengaruh Mas. Kadang kesel juga kalau ngeliat cara dia mandang Mas, ngeremehin gitu. Mungkin dia mas
"Idih," Sasa berjenggit, "makanya aku minta banget buat nyelidikan dia, bisa aja dia dimanfaatin sama Diaz buat gimana-gimana kan?" "Iya, masuk akal kalau itu sih," Badai manggut-manggut setuju."Mas, kalau boleh tau, jenazah Diaz sama teroris yang laen dibawa ke mana?" tanya Sasa mengubah topik. Meski yang ia tanyakan nampak serius, pandangannya tak lepas dari permainan bola voli receh para mahasiswa yang tengah berlangsung. "Untuk saat ini masih ditahan pihak intelejen buat kepentingan laporan. Nanti bakalan dikirim ke keluarga masing-masing, yang jelas meskipun nama asli mereka dirilis, kita udah minta ke pihak warga sekitar buat tetep menerima jenazahnya dan memperlakukan keluarga mereka sama kayak yang laennya," sebut Badai rinci. "Keluarganya nggak salah sih, menurutku mereka gampang terpengaruh sama ideologi yang menuntut makar begitu karena mereka jauh dari keluarga. Kebanyakan kan mereka anak-anak rantau semuanya," kata Sasa terdengar miris. "Ironis ya Nduk," Badai tersen
Sasa menggaruk bagian belakang kepalanya untuk menghindar dari Dira. Namun, seakan tak terima dengan pengakuan Sasa, Dira menarik lengan Sasa kasar."Kalian baru pacaran, nggak usah ngaku-ngaku sok jadi istrinya, belom tentu nikah juga!" kata Dira geram. "Dia emang istri gue," sambar Badai yang entah sejak kapan mendatangi tempat istrinya diserang oleh Dira dan geng. Lokasi yang seharusnya dijadikan tempat untuk senam pagi justru diubah Dira menjadi spot menggosip ria. Mendengar ucapan Badai, tentu saja Dira and the geng tidak langsung percaya. Apalagi ekspresi kesal Dira makin menjadi saat Badai memeluk pundak Sasa protektif. "Mas, jangan ladenin mereka," pinta Sasa pada suaminya."Harus diladenin yang begini. Sampe kamu todong senjata aja dia nggak kapok. Hatinya udah penuh iri sama dengki," ujar Badai. "Kami udah nikah, sah secara agama dan negara, kalau lo perlu bukti, nanti gue buktiin. Berhenti menekan istri gue dan berusaha mem-bully-nya. Lo nggak akan pernah tau akibat apa
"Kayak Alpha yang dipake Badai sama si Mas Scorpion ya," gumam Nana terlihat benar-benar jatuh cinta pada sosok Ramdan."Penyanderaan berujung kisah asmara," kekeh Karin geleng-geleng kepala. "Ayok, kita juga disuruh ikut senam tuh. Katanya pembina perempuan tadi, kita hari ini full olahraga, biar pikiran kita fresh lagi dan nggak kepikiran soal kemaren," tambahnya. Sasa berdiri malas-malas, ia menggeliat untuk merenggangkan tubuhnya. Saat itulah Badai juga muncul dari dalam barak, langsung mendatanginya. "Udah tau jadwal kegiatan hari ini?" tanya Badai mengembangkan senyumnya. "Olahraga?" gumam Sasa tak berminat."Ketemu sama keluarga juga. Kemaren kan belom puas tuh baru ketemu bentar sama keluarga sandera, makanya sekarang ada sesi pertemuan khusus. Ngasih pengertian ke keluarganya juga soal karantina ini. Apalagi keluarga yang dari universitas kita kan baru pada dateng hari ini," jelas Badai. "Kalian memutuskan buat rilis muka kalian semuanya?" gumam Sasa sudah tak fokus saat
Menunggu ijin dari Damar untuk membawa Sasa ke hotel selama karantina berlangsung, Badai kembali mengajak Sasa ke barak menjelang pagi, setelah ia dan sang istri puas menikmati suasana sibuk perempatan Gondomanan. Beberapa mahasiswa yang ada di barak laki-laki sudah banyak yang bangun, sepertinya tidur mereka sangatlah nyenyak. Sedangkan dari barak perempuan, ada Nana yang duduk-duduk di depan barak bersama Karin dan Wulan. "Dari mana?" tanya Nana saat Sasa mendekat, Badai harus berganti baju olahraga, jadi, mereka berpisah arah."Nongkrong di angkringan depan, nggak bisa tidur aku," jawab Sasa ikut duduk di sebelah Nana. "Nggak nyangka kalau pacar Sasa itu tentara ya," gumam Karin menimbrung. "Gimana emangnya Mbak? Nggak keliatan kalau Badai itu punya postur tentara ya?" kata Sasa berjenggit. "Kalau postur sih dapet banget Dek, cuma kan potongan rambutnya gondrong gitu, ya meskipun tinggi menjulang juga sih dia. Cuma kaget aja. Pas di kolam renang kan kami semua sempat liat tato
Senyum Badai terkembang mendengar pertanyaan Sasa. Ia tahu bahwa dalam hati kecilnya, Sasa pasti khawatir terhadap keselamatannya. Namun, sebagai seorang prajurit yang sudah menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada negara, misi apapun yang dibebankan padanya, wajib bagi Badai untuk menjalaninya."Malah senyum begitu, kan aku jadi penasaran!!" sungut Sasa gemas."Jadi, dengan terbunuhnya semua anggota teroris termasuk Diaz yang tuntutannya adalah memisahkan diri dari Indonesia, para anggota gerakan separatis yang ada di Papua sana pasti juga bakalan bergejolak. Taktik mereka menyusup ke kampus-kampus udah terendus tim intelejen, satu-satunya cara buat lepas dari kejaran negara adalah melakukan serangan balasan. Ayah minta aku sama yang laen buat antisipasi hal ini, makanya Ayah bilang belom selesai," jelas Badai tanpa ada yang ditutup-tutupi."Bentar Mas, biar kucerna pelan-pelan," desis Sasa terlihat cukup syok, "kalau Mas tugas ke Papua, terus aku gimana?" tanyanya mulai panik. Bad
Hari hampir pagi dan Sasa masih belum bisa memejamkan mata di ranjangnya. Ia bangun dalam posisi duduk, mengitarkan pandangannya ke sekeliling. Mungkin karena energi semua orang tersita akibat serangan yang dipimpin oleh Diaz seharian tadi, mereka tertidur lelap. Meski Sasa acapkali masih mendengar beberapa dari mereka mengigau meminta ampun dan meminta agar diselamatkan. Perlahan Sasa turun dari ranjangnya. Ponselnya rusak parah dan tidak bisa digunakan akibat terlempar saat baku tembak tak terelakkan, bersama milik sandera lain. Jadi, ia mengandalkan jam dinding kecil di dalam barak sebagai penunjuk waktunya. Baru pukul 3 pagi, rasanya matahari masih lama terbit untuk menemaninya menyambut pagi. Banyak yang berputar di kepala Sasa, termasuk pikiran tentang perkataan Damar sang ayah pada suaminya. "Le ..., udah tau ini baru awal kan ya? Masih ada tanggung jawab besar menantimu dan juga tim," sebut Damar malam tadi, terngiang terus-menerus di telinga Sasa. Rasa penasaran yang meny
"Akai Badai Bagaspati, nama kamu kan?" tegur Sasa berdiri angkuh sambil melipat kedua tangannya di depan dada, menunjukkan superioritasnya sebagai ketua kelas terpilih. Lelaki yang tengah menelungkupkan wajahnya di meja deretan paling belakang itu tak bereaksi. Sejak kelas di mulai pertama kali dua hari yang lalu, lelaki ini sudah masuk dan menempati kursi yang selalu sama, kursi pojok kanan belakang. "Excuse me, permisi, kulo nuwun, punten, sampurasun, annyeong!!" ulang Sasa mengeraskan lagi suaranya agar lelaki yang masih tenang tak bereaksi ini mendengarnya. Sepi. Sasa tak lagi bersedekap, ia berganti gaya dengan berkacak pinggang, lama-lama lelaki aneh bin ajaib ini benar-benar menguji kesabarannya. "Kamu nggak denger apa yang aku bilang ya?" ulang Sasa sengaja mengambil satu kursi dan duduk di deretan depan sambil menghadap pada lelaki yang ia sebut namanya tadi. "Kenapa?" Badai, sosok tampan yang ditegur oleh Sasa membuka suara, merilis nada bariton itu dari bibir mungi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments