Praktis, setelah pertemuan mengejutkan dua hari sebelumnya dengan Badai yang berseragam sangat tampan, Sasa mendiamkan Damar dan Ran. Tidak ada satupun orang di dalam rumah yang diajaknya bicara. Ia marah sekali, tapi tak tega jika harus mengomeli sang Ayah di situasi yang tidak menguntungkan seperti ini.
"Kamu udah sehat Sa? Nggak mau istirahat barang sehari atau dua hari lagi?" tanya Ran saat melihat anak gadisnya keluar kamar sudah dengan setelan siap berangkat kuliahnya. "Iya," jawab Sasa singkat. "Masih ngambek sama Ayah?" tanya Damar yang juga sedang menikmati sarapannya. "Masih," sahut Sasa lagi, cuek sekali. "Alpha itu pasukan khusus Sa, unit intelejen yang sistem kerjanya adalah klandestin, Sasa tau itu kan?" tanya Damar. "Bunda," Sasa justru berpaling pada Ran. "Aku nggak sarapan," pamitnya melengos. "Sakura Kadita Rumi!!" seru Damar keras-keras. Mau tidak mau, Sasa menghentikan langkahnya. Tak menoleh, ia mematung, menunggu kalimat Damar selanjutnya. "Alpha sengaja Ayah tugaskan untuk jagain kamu karena latar belakang kampus yang kamu pilih itu masuk dalam level berbahaya. Bisa kamu pahami kekhawatiran Ayah?" gumam Damar berusaha berbicara tenang. "Dan nyembunyiin identitasnya dariku, iya Yah? Kalau Ayah nggak minta aku buat nikah sama dia, bakalan beda ceritanya! Ini Ayah ngejodohin aku sama dia, selama ini aku ditipu sama semua orang dan aku nggak tau?" jerit Sasa tak terkendali. "Ini soal perasaan asal Ayah tau! Tanya ke Bunda, sakit nggak rasanya dibohongin kayak gitu? Dan apa? Ayah nggak minta maaf sama sekali ke aku! Bunda juga!" Hening. Ran memilih untuk tidak ikut campur dan membiarkan Damar berhadapan langsung dengan sang putri kesayangan. "Ayah minta maaf, iya Ayah tau sampai di sini semua yang tau soal misi Alpha ikut bertanggungjawab," kata Damar. "Tapi kalau kamu marah begini dan ngediemin Ayah sama Bunda, masalah nggak akan selesai. Kamu juga nggak mau bicara sama Alpha lagi, apa kalian nggak pengin ngobrol berdua?" "Nggak perlu. Batalin perjodohan kami, Yah," kata Sasa tegas. "Badai punya pacar dan perjodohan ini cuma nyakitin satu sama lain!" pintanya tanpa pikir panjang. "Oke," Damar langsung setuju. "Perjodohan kalian nggak perlu dilanjutin," sebutnya mengejutkan. Sasa mengangguk lemah, "Aku berangkat. Assalamualaikum," pamitnya bergegas pergi, memesan taksi online melalui aplikasi. Begitu ia naik ke dalam taksi yang tanpa pengawalan itu, tangis Sasa pecah. Ia gamang, bingung, kecewa dan marah bukan hanya pada semua orang, tapi juga pada dirinya sendiri. Kenapa di saat sang Ayah setuju untuk membatalkan perjodohan, ia justru merasa tak rela dan menyesal sudah asal berbicara dan meminta? "Udah baekan kamu, Sa?" tegur Nana, sahabat sekaligus teman satu kelas Sasa, ia menyambut senang saat sang putri jenderal masuk ke dalam kelas. Sasa hanya mengangguk ringan, senyum tipis ia kembangkan. Matanya mengitar dan ia menemukan sosok Badai tengah duduk di pojok ruangan dengan tatapan yang juga mengarah teduh padanya. Seketika Sasa mencari fokus lain, pura-pura meneliti kursi kosong yang bisa ia tempati. "Beneran kecapean ya?" gumam Nana, "Mas Diaz nyariin kamu tuh," ujarnya. "Terus kamu jawab gimana?" tanya Sasa tertarik. "Aku bilang jujur kalau kamu sakit dan perlu istirahat. Dan dia nggak nanya lagi. Sa, beneran dia nembak kamu? Kok aku denger rumor gitu ya dari geng si Dira." "Nggak tau lah Na," Sasa mengedikkan bahunya. "Aku nggak ngerti juga sama tu orang, yang satunya juga lebih brengsek ternyata," katanya. "Siapa? Angin ribut? Si Badai?" tebak Nana tepat sekali. Sasa segera mengangguk, "Rumit banget serius Na, sampe tepar aku mikir perasaanku sendiri. Dahlah, Pak Solihin dateng," katanya mengakhiri obrolan ringannya dengan Nana. Sepanjang perkuliahan berlangsung, Sasa tak banyak bicara. Ia yang biasanya aktif bertanya, hari ini tampak murung dan tanpa semangat. Di tempat duduknya, Badai tak melepas tatapan sama sekali dari punggung Sasa. Jauh di lubuk hatinya ia cukup khawatir pada kondisi Sasa yang memang sempat meliburkan diri selama dua hari setelah pertemuan resmi mereka. Badai hanya mendapat kabar mengenai kesehatan Sasa dari Ran yang memang menaruh banyak harapan padanya. ###"Nggak bakalan ilang juga kalau lo tinggal ngedip, Dai," kata Choki, teman satu kelas Badai dan Sasa yang menjadi akrab dengan Badai karena satu kamar saat menginap di Bali. "Sialan," sungut Badai bak terpergok tengah mengagumi keindahan tubuh Sasa. "Saingan lo ketua HIMA, Men," ucap Choki. "Kalau cuma Diaz gue nggak peduli," gumam Badai songong. "Nggak penting juga mikirin mereka." "Lo bilang nggak penting tapi mata lo sampe mau copot ngeliatin dia mulu." "Sok tau," sahut Badai tersenyum miring. "Gue ngeliatin presentasinya Pak Solihin," ujarnya mencari alasan. "Ya, ya, ya, serah lo deh," ujar Choki tak mau terlalu peduli juga dengan masalah pribadi Badai. Kebekuan panjang yang tercipta antara Badai dan Sasa sejauh ini sebenarnya menyiksa mereka masing-masing. Badai tidak memiliki keberanian untuk datang ke rumah Sasa karena Damar memang mencegahnya. Sementara Sasa baru hari ini berangkat ke kampus dan mereka bertemu mata, tapi tak saling bicara. "Langsung pulang Sa? Ki
"Aku belom coba masuk ke Unit Kegiatan Mahasiswa, ada yang udah masuk dari masing-masing fakultas?" Badai menatap satu per satu anggota tim elite-nya, sebagai seorang leader Indonesian Special Force, ia memang rutin mengadakan pertemuan khusus dengan keempat anggotanya."Aku udah bisa masuk ke Himpunan Mahasiswa Bang," ucap Fadil, prajurit dari korps Angkatan Laut berpangkat Letda yang ditugaskan untuk posisi intelejen Fakultas Seni dan Budaya, sandi nama Hades."Yang lain?" gumam Badai menyisir satu per satu wajah rekan satu timnya. "Fakultas Ekonomi rada susah, tapi aku nunggu ada penjaringan untuk Himpunan Mahasiswa. Harapannya, aku bisa masuk Dewan Pertimbangan atau BEM Fakultas, tapi seleksinya masih lama dan kita perlu gerak cepet," sahut Lion, si tampan ceria dari korps Angkatan Darat, berpangkat sama dengan Badai, sandi nama King. "Kamu, ada perkembangan apa Romeo?" tanya Badai beralih pada Anung, si pendiam yang terampil dari korps Angkatan Udara berpangkat Letda, dengan sa
"Aku nggak peduli sama misi apa yang kamu emban sampe harus menyusup sebagai mahasiswa di kelasku dan aku nggak mau tau itu," tembak Sasa tanpa memberi Badai kesempatan bertanya, ia baru berbicara setelah Lion dan yang lainnya pergi. "Kuanggap aku nggak pernah tau identitas aslimu dan jangan pernah ngajak aku interaksi lagi!" tegasnya. "Kamu boleh marah dan membenciku, Sa, tapi kumohon, untuk satu hal ini, turutin permintaanku. Ini soal Diaz," desah Badai lirih. "Kenapa Mas Diaz?" tantang Sasa sinis. "Aku udah minta Ayah buat batalin perjodohan. Nggak ada alasan kamu buat ngelarang aku deket sama siapapun!" "Menurutku, dia bukan orang baik-baik, Sa.""Terus apa kamu orang baik-baik?" sambar Sasa tak disangka. "Dari tampang dan penampilan, bukannya justru kamu yang keliatan bukan orang baik-baik? Apa karena kamu seorang leader tim khusus jadi kamu ngerasa Diaz nggak baik?" tegasnya. Badai tertawa sengak, "Yang menurutmu berbahaya berarti malah aku?" tanyanya. "Iya bukan? Seenaknya
"Gimana kerjaan Dai? Lancar? Kita jarang saling kirim kabar lewat WA juga ya, abis gimana, aku selesai kerja juga udah sore banget, kamu kalau lagi dinas jarang pegang hape," desis Arleta tersenyum simpul.Badai benar-benar menbuat janji temu dengan Arleta, perempuan yang sudah ia pacari selama hampir 2 tahun lamanya ini. Selain ingin memastikan arah hubungan mereka yang mengambang, Badai perlu melihat reaksi Arleta perihal perjodohannya. Sejak awal, keluarga Arleta yang sekadar tahu Badai adalah seorang prajurit berpangkat kecil dan bergaji tak seberapa memang terkesan tak merestui hubungan keduanya. Selama itu pula Badai berjuang memantaskan diri, merahasiakan pangkat dan posisi aslinya demi kepentingan rahasia negara."Ya gimana? Kamu mau resign aja dan jadi istriku biar gampang ngasih kabar? Malah nggak perlu sering-sering ngasih kabar kalau kita udah serumah," pancing Badai setengah melamar."Akunya sih mau, tapi apa kata Papa sama Mamaku kalau aku nggak kerja. Tau sendiri kan ke
Badai mengangguk pelan, tak lagi memiliki hal lain untuk disampaikan. Diam-diam, pikirannya justru melayang jauh, senyum Sasa melintas tanpa sengaja dan ia segera menggoyangkan kepalanya untuk menepis itu semua. Tidakkah kini ia tengah bermain hati? Bagaimana ia bisa membayangkan wajah perempuan lain saat ia sedang bersama kekasih hatinya?"Aku anter nggak?" tawar Badai setelah ia dan Arleta sama-sama menyelesaikan makan malamnya."Gimana nganternya coba? Kan aku bawa mobil," ucap Arleta heran. "Ya motor kutinggal dulu di sini, nanti aku balik ke sini lagi pake ojek," ujar Badai terdengar ribet."Nggak usah ah, ribet deh kamu harus bolak-balik ke sini. Nanti kabarin aja kalau kamu udah sampe kantor, dinas malam kan kata kamu?" Badai mengangguk, "Iya," jawabnya. "Kamu hati-hati ya," pesannya mengiringi langkah Arleta hingga perempuannya itu masuk ke dalam mobil.Sepeninggal Arleta, Badai masuk kembali ke dalam restoran. Ia habiskan lagi minumannya yang baru berkurang setengah sambil
"Ada kuliah pagi?" tegur Lion yang bertemu Badai di parkiran motor. Lokasi Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Keguruan memang berdampingan sehingga parkiran motor pun hanya berbatas pagar besi pendek. "Kuliah pagi, kamu ngapain pagi-pagi ngampus?" tanya Badai balik."Ketemu anak HIMA, ada seleksi BEM Fakultas, doakan!" sebut Lion selalu penuh semangat."Oke, jurusanku minggu depan baru ada program, TO kita ada pergerakan di tempatmu?" gumam Badai berbisik.Lion menggeleng, "Masih anteng, tapi aku nggak akan lengah, takutnya dia ke fakultasnya Fadil atau ke Anung," lapornya. "Kabar-kabar terus, King," pesan Badai menepuk pundak rekannya pelan. "Kamu batal dinner?" tanya Lion tiba-tiba. "Aman," jawab Badai singkat."Ekspresimu nggak kayak orang abis dinner sama pacar," Lion yang juga memiliki keahlian membaca ekspresi wajah jelas tahu bahwa sedang ada banyak bayangan di dalam pikiran Badai yang menunggu diselesaikan."Nggak ada apa-apa," sangkal Badai langsung memasang ekspresi sed
"Kalian berdua jadi lebih akrab sekarang," tegur Diaz sengaja mencolek lengan Sasa yang berjalan di depannya, membahas Sasa dan Badai yang tadi sebelum perkuliahan dimulai terlibat obrolan berdua. "Mas," senyum Sasa terkembang cantik. "Aku sama siapa?" tanyanya memastikan. "Badai," jawab Diaz cepat. "Aku jadi ngerasa kesaing banget.""Jangan saingan, kayak nggak ada cewek lain aja," kata Sasa cuek sekali, ia berusaha untuk menutupi kenyataan dan identitas asli yang ada dibalik hubungannya dengan Badai."Ada banyak, tapi kamu kan cuma ada satu," sahut Diaz gombal. "Bukannya kamu baru aja putus ya Mas?" tembak Sasa langsung, tak mau berbasi-basi. "Kamu tau dari siapa? Ini alasan kamu diem aja pas aku bilang tertarik sama kamu, Sa?""Enggak, aku nggak mau bahas soal perasaan, Mas. Dan soal putusnya kamu, udah kesebar juga kabarnya. Namanya ketua HIMA, pasti beritanya bakalan cepet keluar dan kesebar," jawab Sasa."Ah," Diaz mengangguk lemah, "iya, nggak ada restu," ujarnya setengah c
"Cari muka nih orang," dumal Badai bergumam sendirian di tempat duduknya. Mengikuti acara upgrading pengurus HIMA demi mengawal Sasa, Badai harus mati-matian menekan rasa kesal dan cemburunya. Sasa jelas terlihat berusaha untuk membuat Badai memanas dengan kedekatannya dan Diaz. Melihat gaya Diaz yang sok keren saat membantu Sasa naik ke atas banana boat di pantai sana, hati Badai terbakar. Semakin diingatkan, Sasa terkesan semakin menunjukkan perlawanan. "Salah satu cara mencari simpati," ucap Danu, seorang sopir bus yang juga adalah tim intelejen khusus. Ia sengaja diatur untuk perjalanan ini mengingat Diaz ada dalam rombongan. "Denger aja lo, Bang," desis Badai kemudian menyulut rokoknya. "Cherry Blossom," desis Danu, "putri cantik komandan yang sedikit menggemaskan," tambahnya. "Dia ditarget sama TO kita, tapi nggak sadar dan justru nantangin tuh," kata Badai sedikit emosi karena Sasa ikut dalam satu kloter banana boat bersama Diaz. "Nggak lo saingin Dai?""Penginnya gitu Ba
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
"Aku diminta sama tim buat ikut nanyain Dira and the gang," lapor Badai pada sang istri tepat saat Sasa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ijin untuk menginap di hotel di sebelah gedung karantina sudah didapat, Damar memperbolehkan selama aktivitas di siang hari, Sasa dan Badai tetap mengikuti jadwal. Oleh karena itu, Badai baru bisa mengajak sang istri beristirahat di hotel yang sudah dipesannya di atas pukul 8 malam. "Terus Mas jawab mau?" gumam Sasa langsung meminta bantal pada lengan Badai dan menyusup nyaman di celah ketiak sang suami. Mereka berbaring berdampingan kini. "Aku harus mau. Karena kita kan pernah satu kelas sama Dira dan tim menganggap kalau seenggaknya aku cukup paham karakternya. Di samping itu, kalau aku yang coba nanyain, kecil kemungkinan Dira bakal berkilah," sebut Badai. "Aku sih ngedukung kalau Mas yang nanyain Dira, biar dia tau siapa Mas dan kayak apa pengaruh Mas. Kadang kesel juga kalau ngeliat cara dia mandang Mas, ngeremehin gitu. Mungkin dia mas
"Idih," Sasa berjenggit, "makanya aku minta banget buat nyelidikan dia, bisa aja dia dimanfaatin sama Diaz buat gimana-gimana kan?" "Iya, masuk akal kalau itu sih," Badai manggut-manggut setuju."Mas, kalau boleh tau, jenazah Diaz sama teroris yang laen dibawa ke mana?" tanya Sasa mengubah topik. Meski yang ia tanyakan nampak serius, pandangannya tak lepas dari permainan bola voli receh para mahasiswa yang tengah berlangsung. "Untuk saat ini masih ditahan pihak intelejen buat kepentingan laporan. Nanti bakalan dikirim ke keluarga masing-masing, yang jelas meskipun nama asli mereka dirilis, kita udah minta ke pihak warga sekitar buat tetep menerima jenazahnya dan memperlakukan keluarga mereka sama kayak yang laennya," sebut Badai rinci. "Keluarganya nggak salah sih, menurutku mereka gampang terpengaruh sama ideologi yang menuntut makar begitu karena mereka jauh dari keluarga. Kebanyakan kan mereka anak-anak rantau semuanya," kata Sasa terdengar miris. "Ironis ya Nduk," Badai tersen
Sasa menggaruk bagian belakang kepalanya untuk menghindar dari Dira. Namun, seakan tak terima dengan pengakuan Sasa, Dira menarik lengan Sasa kasar."Kalian baru pacaran, nggak usah ngaku-ngaku sok jadi istrinya, belom tentu nikah juga!" kata Dira geram. "Dia emang istri gue," sambar Badai yang entah sejak kapan mendatangi tempat istrinya diserang oleh Dira dan geng. Lokasi yang seharusnya dijadikan tempat untuk senam pagi justru diubah Dira menjadi spot menggosip ria. Mendengar ucapan Badai, tentu saja Dira and the geng tidak langsung percaya. Apalagi ekspresi kesal Dira makin menjadi saat Badai memeluk pundak Sasa protektif. "Mas, jangan ladenin mereka," pinta Sasa pada suaminya."Harus diladenin yang begini. Sampe kamu todong senjata aja dia nggak kapok. Hatinya udah penuh iri sama dengki," ujar Badai. "Kami udah nikah, sah secara agama dan negara, kalau lo perlu bukti, nanti gue buktiin. Berhenti menekan istri gue dan berusaha mem-bully-nya. Lo nggak akan pernah tau akibat apa
"Kayak Alpha yang dipake Badai sama si Mas Scorpion ya," gumam Nana terlihat benar-benar jatuh cinta pada sosok Ramdan."Penyanderaan berujung kisah asmara," kekeh Karin geleng-geleng kepala. "Ayok, kita juga disuruh ikut senam tuh. Katanya pembina perempuan tadi, kita hari ini full olahraga, biar pikiran kita fresh lagi dan nggak kepikiran soal kemaren," tambahnya. Sasa berdiri malas-malas, ia menggeliat untuk merenggangkan tubuhnya. Saat itulah Badai juga muncul dari dalam barak, langsung mendatanginya. "Udah tau jadwal kegiatan hari ini?" tanya Badai mengembangkan senyumnya. "Olahraga?" gumam Sasa tak berminat."Ketemu sama keluarga juga. Kemaren kan belom puas tuh baru ketemu bentar sama keluarga sandera, makanya sekarang ada sesi pertemuan khusus. Ngasih pengertian ke keluarganya juga soal karantina ini. Apalagi keluarga yang dari universitas kita kan baru pada dateng hari ini," jelas Badai. "Kalian memutuskan buat rilis muka kalian semuanya?" gumam Sasa sudah tak fokus saat
Menunggu ijin dari Damar untuk membawa Sasa ke hotel selama karantina berlangsung, Badai kembali mengajak Sasa ke barak menjelang pagi, setelah ia dan sang istri puas menikmati suasana sibuk perempatan Gondomanan. Beberapa mahasiswa yang ada di barak laki-laki sudah banyak yang bangun, sepertinya tidur mereka sangatlah nyenyak. Sedangkan dari barak perempuan, ada Nana yang duduk-duduk di depan barak bersama Karin dan Wulan. "Dari mana?" tanya Nana saat Sasa mendekat, Badai harus berganti baju olahraga, jadi, mereka berpisah arah."Nongkrong di angkringan depan, nggak bisa tidur aku," jawab Sasa ikut duduk di sebelah Nana. "Nggak nyangka kalau pacar Sasa itu tentara ya," gumam Karin menimbrung. "Gimana emangnya Mbak? Nggak keliatan kalau Badai itu punya postur tentara ya?" kata Sasa berjenggit. "Kalau postur sih dapet banget Dek, cuma kan potongan rambutnya gondrong gitu, ya meskipun tinggi menjulang juga sih dia. Cuma kaget aja. Pas di kolam renang kan kami semua sempat liat tato
Senyum Badai terkembang mendengar pertanyaan Sasa. Ia tahu bahwa dalam hati kecilnya, Sasa pasti khawatir terhadap keselamatannya. Namun, sebagai seorang prajurit yang sudah menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada negara, misi apapun yang dibebankan padanya, wajib bagi Badai untuk menjalaninya."Malah senyum begitu, kan aku jadi penasaran!!" sungut Sasa gemas."Jadi, dengan terbunuhnya semua anggota teroris termasuk Diaz yang tuntutannya adalah memisahkan diri dari Indonesia, para anggota gerakan separatis yang ada di Papua sana pasti juga bakalan bergejolak. Taktik mereka menyusup ke kampus-kampus udah terendus tim intelejen, satu-satunya cara buat lepas dari kejaran negara adalah melakukan serangan balasan. Ayah minta aku sama yang laen buat antisipasi hal ini, makanya Ayah bilang belom selesai," jelas Badai tanpa ada yang ditutup-tutupi."Bentar Mas, biar kucerna pelan-pelan," desis Sasa terlihat cukup syok, "kalau Mas tugas ke Papua, terus aku gimana?" tanyanya mulai panik. Bad