"Gimana kerjaan Dai? Lancar? Kita jarang saling kirim kabar lewat WA juga ya, abis gimana, aku selesai kerja juga udah sore banget, kamu kalau lagi dinas jarang pegang hape," desis Arleta tersenyum simpul.Badai benar-benar menbuat janji temu dengan Arleta, perempuan yang sudah ia pacari selama hampir 2 tahun lamanya ini. Selain ingin memastikan arah hubungan mereka yang mengambang, Badai perlu melihat reaksi Arleta perihal perjodohannya. Sejak awal, keluarga Arleta yang sekadar tahu Badai adalah seorang prajurit berpangkat kecil dan bergaji tak seberapa memang terkesan tak merestui hubungan keduanya. Selama itu pula Badai berjuang memantaskan diri, merahasiakan pangkat dan posisi aslinya demi kepentingan rahasia negara."Ya gimana? Kamu mau resign aja dan jadi istriku biar gampang ngasih kabar? Malah nggak perlu sering-sering ngasih kabar kalau kita udah serumah," pancing Badai setengah melamar."Akunya sih mau, tapi apa kata Papa sama Mamaku kalau aku nggak kerja. Tau sendiri kan ke
Badai mengangguk pelan, tak lagi memiliki hal lain untuk disampaikan. Diam-diam, pikirannya justru melayang jauh, senyum Sasa melintas tanpa sengaja dan ia segera menggoyangkan kepalanya untuk menepis itu semua. Tidakkah kini ia tengah bermain hati? Bagaimana ia bisa membayangkan wajah perempuan lain saat ia sedang bersama kekasih hatinya?"Aku anter nggak?" tawar Badai setelah ia dan Arleta sama-sama menyelesaikan makan malamnya."Gimana nganternya coba? Kan aku bawa mobil," ucap Arleta heran. "Ya motor kutinggal dulu di sini, nanti aku balik ke sini lagi pake ojek," ujar Badai terdengar ribet."Nggak usah ah, ribet deh kamu harus bolak-balik ke sini. Nanti kabarin aja kalau kamu udah sampe kantor, dinas malam kan kata kamu?" Badai mengangguk, "Iya," jawabnya. "Kamu hati-hati ya," pesannya mengiringi langkah Arleta hingga perempuannya itu masuk ke dalam mobil.Sepeninggal Arleta, Badai masuk kembali ke dalam restoran. Ia habiskan lagi minumannya yang baru berkurang setengah sambil
"Ada kuliah pagi?" tegur Lion yang bertemu Badai di parkiran motor. Lokasi Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Keguruan memang berdampingan sehingga parkiran motor pun hanya berbatas pagar besi pendek. "Kuliah pagi, kamu ngapain pagi-pagi ngampus?" tanya Badai balik."Ketemu anak HIMA, ada seleksi BEM Fakultas, doakan!" sebut Lion selalu penuh semangat."Oke, jurusanku minggu depan baru ada program, TO kita ada pergerakan di tempatmu?" gumam Badai berbisik.Lion menggeleng, "Masih anteng, tapi aku nggak akan lengah, takutnya dia ke fakultasnya Fadil atau ke Anung," lapornya. "Kabar-kabar terus, King," pesan Badai menepuk pundak rekannya pelan. "Kamu batal dinner?" tanya Lion tiba-tiba. "Aman," jawab Badai singkat."Ekspresimu nggak kayak orang abis dinner sama pacar," Lion yang juga memiliki keahlian membaca ekspresi wajah jelas tahu bahwa sedang ada banyak bayangan di dalam pikiran Badai yang menunggu diselesaikan."Nggak ada apa-apa," sangkal Badai langsung memasang ekspresi sed
"Kalian berdua jadi lebih akrab sekarang," tegur Diaz sengaja mencolek lengan Sasa yang berjalan di depannya, membahas Sasa dan Badai yang tadi sebelum perkuliahan dimulai terlibat obrolan berdua. "Mas," senyum Sasa terkembang cantik. "Aku sama siapa?" tanyanya memastikan. "Badai," jawab Diaz cepat. "Aku jadi ngerasa kesaing banget.""Jangan saingan, kayak nggak ada cewek lain aja," kata Sasa cuek sekali, ia berusaha untuk menutupi kenyataan dan identitas asli yang ada dibalik hubungannya dengan Badai."Ada banyak, tapi kamu kan cuma ada satu," sahut Diaz gombal. "Bukannya kamu baru aja putus ya Mas?" tembak Sasa langsung, tak mau berbasi-basi. "Kamu tau dari siapa? Ini alasan kamu diem aja pas aku bilang tertarik sama kamu, Sa?""Enggak, aku nggak mau bahas soal perasaan, Mas. Dan soal putusnya kamu, udah kesebar juga kabarnya. Namanya ketua HIMA, pasti beritanya bakalan cepet keluar dan kesebar," jawab Sasa."Ah," Diaz mengangguk lemah, "iya, nggak ada restu," ujarnya setengah c
"Cari muka nih orang," dumal Badai bergumam sendirian di tempat duduknya. Mengikuti acara upgrading pengurus HIMA demi mengawal Sasa, Badai harus mati-matian menekan rasa kesal dan cemburunya. Sasa jelas terlihat berusaha untuk membuat Badai memanas dengan kedekatannya dan Diaz. Melihat gaya Diaz yang sok keren saat membantu Sasa naik ke atas banana boat di pantai sana, hati Badai terbakar. Semakin diingatkan, Sasa terkesan semakin menunjukkan perlawanan. "Salah satu cara mencari simpati," ucap Danu, seorang sopir bus yang juga adalah tim intelejen khusus. Ia sengaja diatur untuk perjalanan ini mengingat Diaz ada dalam rombongan. "Denger aja lo, Bang," desis Badai kemudian menyulut rokoknya. "Cherry Blossom," desis Danu, "putri cantik komandan yang sedikit menggemaskan," tambahnya. "Dia ditarget sama TO kita, tapi nggak sadar dan justru nantangin tuh," kata Badai sedikit emosi karena Sasa ikut dalam satu kloter banana boat bersama Diaz. "Nggak lo saingin Dai?""Penginnya gitu Ba
"Kamu jadian sama Badai, Sa?" tegur Diaz saat memiliki kesempatan untuk menegur Sasa. Kebetulan, acara resmi upgrading malam baru saja selesai dan Sasa memilih kembali ke kamarnya mendahului yang lain. Ia tidak ikut bersama Nana untuk nongkrong di pinggir pantai karena merasa badannya tidak enak. Melihat kesempatan ini, Diaz tak mau membuangnya sia-sia dan menyusul Sasa untuk mengajaknya mengobrol. "Kabar dari mana itu Mas?" tanya Sasa menahan tawa. "Aku nyimpulin sendiri sih. Dari gerak-gerik kalian yang tadi ngobrol intim pas Badai bawa jetski, aku rasanya udah nggak punya kesempatan buat punya perasaan yang lebih dalam ke kamu," ucap Diaz lemas. "Ehm," Sasa menggeleng, "kami emang keliatan deket, tapi kami nggak pacaran. Nggak tau juga mau disebut apa kami ini. Dia cuma ngajak aku ikut main jetski tapi aku nggak mau. Kami juga ada di satu kelompok KKL yang sama, makanya jadi lebih sering interaksi," urainya sedikit menutupi kenyataan soal identitas Badai."Kebiasaan bisa numbuh
Seusai acara upgrading selesai dua hari setelahnya, Sasa dan Badai sama sekali tak berinteraksi selama obrolan mengenai laporan Kuliah Kerja Lapangan berlangsung. Badai pun memilih untuk menghormati Sasa dengan membiarkannya melakukan apa yang ia mau. "Aku temenin Gio ke Perpus dulu ambil contoh laporan kakak angkatan," pamit Nana yang paham situasi kaku antara Badai dan Sasa sejak mereka datang tadi. Ingin melarang Nana, Sasa takut justru masalah antara dirinya dan Badai semakin terlihat kentara. Jadi, ia tak memiliki pilihan lain selain mengangguk lemah dan membiarkan Nana bergegas masuk ke dalam ruang perpustakaan fakultas. Kini, hanya tinggal dirinya dan Badai yang seperti orang asing, tak saling bicara dan sibuk dengan ponsel masing-masing. "Bapak minta aku buat nganter kamu pulang," celetuk Badai sambil menunjukkan layar ponselnya ke arah Sasa. Sasa tersenyum miring, "Jadi sekarang kamu nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi?" tanyanya sedik
"Permisi, pesenanku udah jadi," ujar Sasa sengaja meninggalkan medan pertempuran yang menjadikannya sebagai piala ini. "Lo bukan siapa-siapanya Sasa, kenapa nggak tau diri banget nyari kesempatan buat sok ngelindungin dia?" ujar Diaz sepeninggal Sasa mengambil pesanannya. "Kenapa jadi lo yang ngurusin peran gue?" sambar Badai siap tempur."Soalnya lo udah keterlaluan nyampurin urusan gue!" gemas Diaz terpaksa menahan diri untuk tidak emosi karena suasana kantin yang cukup ramai. "Dai!" Sasa menahan Badai yang sudah siap mendebat Diaz, "pesenan kamu udah jadi," ujarnya lalu menarik pergelangan tangan Badai menuju kasir. "Kami nggak bakalan baku hantam juga di dalam kantin begini," ucap Badai sambil membayar pesanannya. "Aku cuma nggak mau kamu terlalu menekan dia," jawab Sasa sekenanya. "Ini kali pertama aku ngerasa disukain sama orang, bisa kamu jangan ngerusak momen itu?" "Siapa orang yang kamu maksud? Diaz?"
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
"Aku diminta sama tim buat ikut nanyain Dira and the gang," lapor Badai pada sang istri tepat saat Sasa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ijin untuk menginap di hotel di sebelah gedung karantina sudah didapat, Damar memperbolehkan selama aktivitas di siang hari, Sasa dan Badai tetap mengikuti jadwal. Oleh karena itu, Badai baru bisa mengajak sang istri beristirahat di hotel yang sudah dipesannya di atas pukul 8 malam. "Terus Mas jawab mau?" gumam Sasa langsung meminta bantal pada lengan Badai dan menyusup nyaman di celah ketiak sang suami. Mereka berbaring berdampingan kini. "Aku harus mau. Karena kita kan pernah satu kelas sama Dira dan tim menganggap kalau seenggaknya aku cukup paham karakternya. Di samping itu, kalau aku yang coba nanyain, kecil kemungkinan Dira bakal berkilah," sebut Badai. "Aku sih ngedukung kalau Mas yang nanyain Dira, biar dia tau siapa Mas dan kayak apa pengaruh Mas. Kadang kesel juga kalau ngeliat cara dia mandang Mas, ngeremehin gitu. Mungkin dia mas
"Idih," Sasa berjenggit, "makanya aku minta banget buat nyelidikan dia, bisa aja dia dimanfaatin sama Diaz buat gimana-gimana kan?" "Iya, masuk akal kalau itu sih," Badai manggut-manggut setuju."Mas, kalau boleh tau, jenazah Diaz sama teroris yang laen dibawa ke mana?" tanya Sasa mengubah topik. Meski yang ia tanyakan nampak serius, pandangannya tak lepas dari permainan bola voli receh para mahasiswa yang tengah berlangsung. "Untuk saat ini masih ditahan pihak intelejen buat kepentingan laporan. Nanti bakalan dikirim ke keluarga masing-masing, yang jelas meskipun nama asli mereka dirilis, kita udah minta ke pihak warga sekitar buat tetep menerima jenazahnya dan memperlakukan keluarga mereka sama kayak yang laennya," sebut Badai rinci. "Keluarganya nggak salah sih, menurutku mereka gampang terpengaruh sama ideologi yang menuntut makar begitu karena mereka jauh dari keluarga. Kebanyakan kan mereka anak-anak rantau semuanya," kata Sasa terdengar miris. "Ironis ya Nduk," Badai tersen
Sasa menggaruk bagian belakang kepalanya untuk menghindar dari Dira. Namun, seakan tak terima dengan pengakuan Sasa, Dira menarik lengan Sasa kasar."Kalian baru pacaran, nggak usah ngaku-ngaku sok jadi istrinya, belom tentu nikah juga!" kata Dira geram. "Dia emang istri gue," sambar Badai yang entah sejak kapan mendatangi tempat istrinya diserang oleh Dira dan geng. Lokasi yang seharusnya dijadikan tempat untuk senam pagi justru diubah Dira menjadi spot menggosip ria. Mendengar ucapan Badai, tentu saja Dira and the geng tidak langsung percaya. Apalagi ekspresi kesal Dira makin menjadi saat Badai memeluk pundak Sasa protektif. "Mas, jangan ladenin mereka," pinta Sasa pada suaminya."Harus diladenin yang begini. Sampe kamu todong senjata aja dia nggak kapok. Hatinya udah penuh iri sama dengki," ujar Badai. "Kami udah nikah, sah secara agama dan negara, kalau lo perlu bukti, nanti gue buktiin. Berhenti menekan istri gue dan berusaha mem-bully-nya. Lo nggak akan pernah tau akibat apa
"Kayak Alpha yang dipake Badai sama si Mas Scorpion ya," gumam Nana terlihat benar-benar jatuh cinta pada sosok Ramdan."Penyanderaan berujung kisah asmara," kekeh Karin geleng-geleng kepala. "Ayok, kita juga disuruh ikut senam tuh. Katanya pembina perempuan tadi, kita hari ini full olahraga, biar pikiran kita fresh lagi dan nggak kepikiran soal kemaren," tambahnya. Sasa berdiri malas-malas, ia menggeliat untuk merenggangkan tubuhnya. Saat itulah Badai juga muncul dari dalam barak, langsung mendatanginya. "Udah tau jadwal kegiatan hari ini?" tanya Badai mengembangkan senyumnya. "Olahraga?" gumam Sasa tak berminat."Ketemu sama keluarga juga. Kemaren kan belom puas tuh baru ketemu bentar sama keluarga sandera, makanya sekarang ada sesi pertemuan khusus. Ngasih pengertian ke keluarganya juga soal karantina ini. Apalagi keluarga yang dari universitas kita kan baru pada dateng hari ini," jelas Badai. "Kalian memutuskan buat rilis muka kalian semuanya?" gumam Sasa sudah tak fokus saat
Menunggu ijin dari Damar untuk membawa Sasa ke hotel selama karantina berlangsung, Badai kembali mengajak Sasa ke barak menjelang pagi, setelah ia dan sang istri puas menikmati suasana sibuk perempatan Gondomanan. Beberapa mahasiswa yang ada di barak laki-laki sudah banyak yang bangun, sepertinya tidur mereka sangatlah nyenyak. Sedangkan dari barak perempuan, ada Nana yang duduk-duduk di depan barak bersama Karin dan Wulan. "Dari mana?" tanya Nana saat Sasa mendekat, Badai harus berganti baju olahraga, jadi, mereka berpisah arah."Nongkrong di angkringan depan, nggak bisa tidur aku," jawab Sasa ikut duduk di sebelah Nana. "Nggak nyangka kalau pacar Sasa itu tentara ya," gumam Karin menimbrung. "Gimana emangnya Mbak? Nggak keliatan kalau Badai itu punya postur tentara ya?" kata Sasa berjenggit. "Kalau postur sih dapet banget Dek, cuma kan potongan rambutnya gondrong gitu, ya meskipun tinggi menjulang juga sih dia. Cuma kaget aja. Pas di kolam renang kan kami semua sempat liat tato
Senyum Badai terkembang mendengar pertanyaan Sasa. Ia tahu bahwa dalam hati kecilnya, Sasa pasti khawatir terhadap keselamatannya. Namun, sebagai seorang prajurit yang sudah menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada negara, misi apapun yang dibebankan padanya, wajib bagi Badai untuk menjalaninya."Malah senyum begitu, kan aku jadi penasaran!!" sungut Sasa gemas."Jadi, dengan terbunuhnya semua anggota teroris termasuk Diaz yang tuntutannya adalah memisahkan diri dari Indonesia, para anggota gerakan separatis yang ada di Papua sana pasti juga bakalan bergejolak. Taktik mereka menyusup ke kampus-kampus udah terendus tim intelejen, satu-satunya cara buat lepas dari kejaran negara adalah melakukan serangan balasan. Ayah minta aku sama yang laen buat antisipasi hal ini, makanya Ayah bilang belom selesai," jelas Badai tanpa ada yang ditutup-tutupi."Bentar Mas, biar kucerna pelan-pelan," desis Sasa terlihat cukup syok, "kalau Mas tugas ke Papua, terus aku gimana?" tanyanya mulai panik. Bad