Seusai acara upgrading selesai dua hari setelahnya, Sasa dan Badai sama sekali tak berinteraksi selama obrolan mengenai laporan Kuliah Kerja Lapangan berlangsung. Badai pun memilih untuk menghormati Sasa dengan membiarkannya melakukan apa yang ia mau. "Aku temenin Gio ke Perpus dulu ambil contoh laporan kakak angkatan," pamit Nana yang paham situasi kaku antara Badai dan Sasa sejak mereka datang tadi. Ingin melarang Nana, Sasa takut justru masalah antara dirinya dan Badai semakin terlihat kentara. Jadi, ia tak memiliki pilihan lain selain mengangguk lemah dan membiarkan Nana bergegas masuk ke dalam ruang perpustakaan fakultas. Kini, hanya tinggal dirinya dan Badai yang seperti orang asing, tak saling bicara dan sibuk dengan ponsel masing-masing. "Bapak minta aku buat nganter kamu pulang," celetuk Badai sambil menunjukkan layar ponselnya ke arah Sasa. Sasa tersenyum miring, "Jadi sekarang kamu nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi?" tanyanya sedik
"Permisi, pesenanku udah jadi," ujar Sasa sengaja meninggalkan medan pertempuran yang menjadikannya sebagai piala ini. "Lo bukan siapa-siapanya Sasa, kenapa nggak tau diri banget nyari kesempatan buat sok ngelindungin dia?" ujar Diaz sepeninggal Sasa mengambil pesanannya. "Kenapa jadi lo yang ngurusin peran gue?" sambar Badai siap tempur."Soalnya lo udah keterlaluan nyampurin urusan gue!" gemas Diaz terpaksa menahan diri untuk tidak emosi karena suasana kantin yang cukup ramai. "Dai!" Sasa menahan Badai yang sudah siap mendebat Diaz, "pesenan kamu udah jadi," ujarnya lalu menarik pergelangan tangan Badai menuju kasir. "Kami nggak bakalan baku hantam juga di dalam kantin begini," ucap Badai sambil membayar pesanannya. "Aku cuma nggak mau kamu terlalu menekan dia," jawab Sasa sekenanya. "Ini kali pertama aku ngerasa disukain sama orang, bisa kamu jangan ngerusak momen itu?" "Siapa orang yang kamu maksud? Diaz?"
"Udah lama Dai?" tanya Arleta seraya duduk menghadapi Badai, senyumnya terkembang. Badai mematikan bara rokoknya di asbak. Ia tatap Arleta dengan ekspresi seriusnya yang tak biasa. Melihat wajah tanpa senyum Badai padanya kali ini, Arleta langsung cepat tanggap."Maaf ya, kamu pasti kesel karena hampir 3 minggu kita nggak ketemu dan aku pun jarang bales chat kamu," ungkap Arleta. "Kamu kan tau sendiri aku tipe yang suka ngobrol langsung, minimal telepon gitu," katanya. "Udah berapa kali aku coba telepon kamu tapi nggak diangkat? Terakhir malah ditolak panggilanku," gumam Badai tersenyum miring, ingin marah tapi masih berusaha ia tahan. "Kamu kan tau jabatanku yang sekarang itu udah susah banget buat gerak. Aku harus pegang banyak nasabah VVIP dan kamu tau juga sistem kerjaku kayak gimana," cerita Arleta. "Ta," Badai tak mau mengulur waktu. "Hubungan kita udah nggak sehat, sesibuk apapun kamu ataupun aku, paling nggak kita harus saling kirim kabar. Bukan hubungan searah gini!"Arle
"Dai! Jangan sembarangan ngomong! Aku minta maaf kalau aku salah menilai soal pendapatan kamu, tapi kita masih bisa ngobrol baik-baik kan? Nggak harus pisah. Ini kamu putusin karena kamu emosi, jangan sampe kamu nyesel nantinya!""Nggak akan nyesel karena sejak awal kita pacaran, masalah ini terus yang nggak nemu penyelesaian."Arleta memejamkan matanya sekejap untuk menahan keterkejutan, ini terlalu tiba-tiba. Jika mereka harus putus, seharusnya ia yang memutuskan bukan?"Oke," desis Arleta setelah berpikir beberapa saat. "Kita udahan. Jangan salahin aku karena ini keputusan kamu. Aku terima keputusan ini dan kita jalan masing-masing, aku sadar dengan kondisi kita dan latar belakang kerjaan yang nggak satu bidang pasti bakalan jadi masalah ke depannya," sebutnya. Hening. "Tapi kalau aku sampe tau ini bukan karena itu, jangan salahin aku kalau aku bakalan ngejar kamu!" tegas Arleta bernada ancaman. "Maksud kamu kalau ada orang laen yang mempengaruhi keputusanku? Cewek laen?""Ada?
"Kamu udah yakin sama keputusan ini?" gumam Sasa tanpa menatap Badai. Keduanya akhirnya duduk berdua di ruang tamu samping yang langsung berhadapan dengan taman bunga milik Ran. Damar sengaja membiarkan mereka saling mengobrol dan membicarakan mengenai rencana pernikahan yang tiba-tiba itu. "Apa aku bisa nolak?" tanya Badai balik. Secepat kilat Sasa menoleh Badai yang sudah tentu sedang menatapnya, "Brengsek ya kamu, Dai! Kenapa nggak nolak? Menurutmu, aku maen-maen?" gemasnya."Sa," Badai menghela napas panjang, "aku nggak akan nolak, nggak peduli itu perintah atau bukan," tegasnya. "Kenapa?" "Kamu punya semua material yang diinginkan cowok sebagai pendamping hidup, di luar umur kamu yang masih muda banget. Jangan ngecap aku pedofil ya!" pinta Badai, "kamu cantik, kamu baik, kamu ceria dan dari keluarga yang luar biasa. Mana mungkin aku nolak?""Jangan bersikap seolah kamu emang nggak punya pilihan Dai!""Awalnya aku sempet nolak kok," sahut Badai. "Sebelom aku berinteraksi seca
"Sekarang aku tanya ke kamu, apa ketika kamu bilang pengin segera nikah, itu beneran keegoisan kamu semata?" tanya Badai serius. "Kalau kita nikah, kamu jadi milikku yang sah secara hukum dan agama. Jadi, kamu nggak akan bisa bikin aku ngejauh lagi, bahkan sejengkalpun!""Bukan karena kamu berusaha nyelametin nama baik keluargaku di depan orang-orang kesatuan yang tau soal perjodohan kita?" tebak Badai sangat peka. Sasa tertegun. Bagaimana ini? Dari mana Badai tahu maksud terselebungnya setelah dengan rapatnya ia jaga pikiran itu untuk dirinya sendiri?"Apaan? Aku nggak paham maksud kamu, ih!" elak Sasa berpaling. "Kamu tau banget maksudku apa, Som. Aku tau kalau perjodohan antara kita dibatalin, yang bahagia mungkin kita, tapi kedua orang tua kita belom tentu. Apalagi orang tuaku, bakalan banyak obrolan sumbang soal keluarga kami nantinya. Apa kami ada kesalahan? Atau aku kurang kompeten sebagai suami kamu, itu kan yang melandasi keputusan kamu? Kamu ngejaga keluarga kita dari omo
Dan kemudian, keputusan untuk menikah itu tersampaikan pada kedua pihak keluarga. Meski sempat khawatir, Damar akhirnya legowo dan setuju menikahkan Sasa dengan Badai karena penggagas perjodohan itu adalah dirinya sendiri. Lagipula, di mata Damar, tidak akan ada lagi menantu yang lebih baik dari Badai dalam hal menjaga dan melindungi anak gadis kesayangannya. "Pernah mikir nggak kalau pada akhirnya calon suami kamu itu ternyata aku?" tanya Badai saat ia memiliki kesempatan untuk menjemput Sasa berangkat ke kampus dengan mobilnya. "Enggak sama sekali," jawab Sasa jujur. "Gimana mau mikir sampe ke situ kalau penampilan kamu aja nggak kayak tentara Mas," sebutnya tertawa kecil. Badai ikut tertawa, "Keluarganya Arleta sejauh ini taunya aku dinas di tingkat Koramil, kayak Babinsa dan semacamnya. Mereka nggak tau aku ada di pasukan elite dan apa pangkatku sebenernya," ungkapnya. "Kenapa mereka bisa nggak tau?""Untuk kepentingan klandestin, semua harus dijaga, Som. Termasuk identitas gu
"Kejam banget ya perjodohan kita," desis Sasa. "Egoisnya aku," tambahnya berganti sendu. "Ada di posisiku dan ngejalanin hubungan monoton tanpa restu itu nggak gampang, Som. Setiap kali aku dateng ke rumahnya, selalu yang ditanyain soal kerjaan dan tabungan. Mau jujur itu nggak sesuai SOP, nggak jujur aku makan ati terus. Makanya selama setahun terakhir kami selalu ketemu di luar. Dan lima bulan belakangan, kami bahkan jarang ketemu, saling ngirim kabar aja nggak pernah. Kamu tau alasannya apa? Dia ngejar karir demi kehidupan yang lebih baik kalau besok kami jadi nikah," urai Badai panjang lebar, begitu jujurnya. "Sebagai cowok dan prajurit, rada ngelukain harga diriku kan yang begitu?" tambahnya tersenyum getir. "Mungkin dia ngerasa butuh jaminan, Mas," kata Sasa berusaha ada di posisi netral."Jaminan?" dahi Badai mengerut. "Iya. Semua perempuan pengin hidupnya bahagia sama pasangannya, nggak ada lah yang pengin sengsara. Dengan pemahaman dia soal profesi kamu yang menurut dia ng
Interaksi mesra keduanya, juga candaan Badai yang kini seringkali menghangatkan suasana membuat Sasa tak hanya menikmati bulan madu mereka, tapi juga menyembuhkan semua rasa sakit yang bertubi diterimanya. Badai membuat Sasa tidak pernah menyesali satupun keputusan yang diambil setelah mereka saling mengenal dan berbagi rasa, termasuk kekecewaan saat tahu bahwa Badai pernah dinikmati perempuan lain. Kini, Sasa sudah berlapang dada menerimanya. Ia juga tak mau ambil pusing dengan apapun yang Arleta perbuat untuk meretakkan hubungannya dengan Badai. Semakin lama, ia akan kebal dengan sendirinya."Cari makan di pinggiran danau aja ya Yang?" tawar Badai setelah ia dan Sasa siap untuk menikmati sore hari Luzern yang menawan."Emang ada yang buang Mas?" tanya Sasa polos sekali."Yang buang?" alis Badai bertaut."Lha katanya mau nyari," gumam Sasa."Apa sih Nduk," Badai terbahak. "Maksudku beli, bukan nyari dalam arti yang sebenernya," terangnya."Iya, aku juga cuma bercanda, bukan karena ak
Adalah Luzern, kota kecil dengan pemandangan indah nan romantis di malam hari ini yang akhirnya ditetapkan Sasa dan Badai untuk menghabiskan sisa waktu 8 hari mereka setelah dua hari tinggal di Frankfurt, Jerman. Badai tahu, Luzern adalah kota sempurna bagi ia dan Sasa untuk menumbuhkan cinta, merajut kembali asa pernikahan mereka yang sempat koyak karena perpisahan dan rasa sakit yang sempat melanda. Suasana kota yang tenang, aroma angin yang manis, juga pemandangan alamnya yang menakjubkan langsung membuat Sasa jatuh cinta. "Kota ini adalah pilihan yang tepat banget buat bulan madu," bisik Sasa sambil sesekali menggigiti telinga suaminya sensual. Badai tersenyum simpul, tangannya sudah menangkup kedua dada Sasa yang tanpa balutan. Musim dingin baru saja berlalu, cuaca menghangat, matahari bersinar cerah. Baru siang tadi mereka tiba di hotel dan berniat untuk berjalan-jalan sore harinya. Alih-alih beristirahat, sang pengendali naga tak tahan untuk melakukan aksinya."Aku goyang Mas
"Bentar," Badai menepuk pundak istrinya sebentar dan berjalan mendekati seorang petugas avsec di dekat pintu keberangkatan bandara.Melihat keanehan suaminya dan bagaimana Badai dan dirinya dikawal oleh petugas itu menuju check in counter tentu saja membuat Sasa bingung. Namun, ia tidak banyak bertanya, ia ikuti saja langkah Badai yang melepas genggaman tangannya untuk mengurus dokumen keberangkatan bulan madunya."Kenapa sih Mas? Ada masalah sama dokumen kita?" tanya Sasa sambil melempar senyum dan melambaikan tangan pada beberapa orang wartawan."Enggak, aman aja," jawab Badai."Terus tadi ngapain?" gumam Sasa penasaran."Badai kudu dipisahin sama pacarnya kan kalau lagi naek pesawat?""Hem?" dahi Sasa berkerut, bingung dengan maksud sang suami. "Aku? Kita nggak bisa duduk deketan di pesawat?" tanyanya sedikit panik."Nggak gitu," Badai menahan tawa. Dibawanya Sasa duduk setelah tiba di executive lounge. "Ini kan penerbangan sipil, handgun-ku musti didaftarin dulu dan dititipin, ala
Arleta tercekat, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain lanjut berjalan dan turun dari pelaminan. Hatinya tak menyangka, Badai akan sekejam itu padanya dan keluarga."Siapa Ibuk?" tanya Sasa heran."Mamanya," desis Badai. "Aku biasa manggil Ibuk ke beliau," tambahnya.Sasa mengulum bibir merah meronanya, hatinya tergerak, "Mungkin kita nggak boleh terlalu kejam Mas. Sekedar jenguk pun aku nggak akan keberatan," ujarnya."Aku udah nitip salam, itu udah cukup Nduk," kata Badai mantap. "Aku harus jaga perasaan banyak orang, sedangkan dia justru berusaha menyakiti dirinya sendiri dan mamanya dengan memelihara harapan. Aku sekarang adalah suami orang. Banyak pelajaran yang kuambil setelah kita sama-sama dipisahkan. Jadi, biarin kujaga kamu dan keluargaku sebaik mungkin!" ikrarnya.Sasa tak lagi membantah. Jika ini memang keputusan yang sudah menjadi keyakinan sang suami, ia tinggal mengikuti. Sebenarnya Sasa juga bahagia karena Badai menjadikannya prioritas utama dengan tak lagi memedulik
Akhirnya, apa yang Sasa impi-impikan sebagai pernikahan khayalan masa kecil putri cantik Damar, terlaksana. Berbalut kebaya modern nan elegan, Sasa menuntaskan langkahnya di samping Badai dalam prosesi pedang pora nan sakral. Sebagai tanda jasa karena pengorbanan luar biasa Badai dalam menyelesaikan perlawanan Organisasi Kriminal Bersenjata bersama tim, ia dianugerahi kenaikan pangkat. Kini, Sasa adalah istri seorang Kapten Akai Badai Bagaspati. "Kamu sengaja ngebiarin banyak wartawan yang ngeliput acara kita?" gumam Badai berbisik pada sang istri saat keduanya menyelesaikan prosesi pedang pora dan duduk di pelaminan. Sasa mengangguk, "Iya, biar aku nggak diserang sama rumor jahat lagi. Jadi, nanti kalau aku hamil, aku bisa menikmati kehamilanku dengan bahagia dan tanpa beban. Jujur, aku ngerasa bersalah banget karena selama kehamilanku dulu, aku nggak jaga Gala dengan baik Mas," ungkapnya. "Bukan salah kamu Nduk, semua udah jadi kehendak Allah, gitu kan kata kamu?" "Iya Mas, tapi
Melajukan mobil kesayangan Badai itu meninggalkan halaman rumah, Sasa menemukan jalanan sudah mulai lengang oleh orang-orang yang berangkat menuju tempat kerja. Meski ramai lancar, Badai tetap saja khawatir dan merasa was-was saat sopirnya adalah Sasa, si labil manja nan imut itu."Apa aku perlu nemuin Arleta ya Mas?" tanya Sasa memecah keheningan, setidaknya ia membuat Badai lupa pada ketegangannya."Buat apa?" gumam Badai bingung."Kita nikah udah lama, udah banyak yang terlalui berdua kan ya? Kok dia kayak masih nggak rela ngelepasin Mas Badai gitu.""Terus kamu mau ngomong apa kalau udah ketemu sama dia?" tantang Badai.Sasa mengedikkan bahunya, "Ngobrol sebagai selayaknya perempuan yang udah pernah menikmati Mas Badai," katanya santai sekali."Nduk!" Badai mendesis."Emang bener gitu kan? Setelah dulu nggak berhasil nyerang kepercayaanku ke Mas Badai, sekarang dia nyoba nyerang aku secara mental lewat media sosial," desis Sasa terdengar kesal tapi tak tahu harus bagaimana melampi
Sasa cembetut, matanya tak lepas dari layar ponsel di tangannya. Saat Badai keluar dari kamar mandi seusai mandi pagi, ekspresi yang sama masih ia temui."Something's wrong, Love?" tegur Badai yang langsung menyadari bahwa ada yang aneh di layar ponsel istrinya."Mantan Mas Badai nyebelin deh," sungut Sasa jujur."Kenapa lagi dia?" tanya Badai langsung nyambung."Dia komentar di postingan foto yang aku pasang di Instagram. @arletanyumnyum kan nama akunnya? Childish banget gitu," gerutu Sasa jengah."Kamu emang posting foto apa?""Posting foto Mas Badai. Cuma nggak ngeliatin muka aja sih. Pas kemaren dari rumah sakit itu, aku kan foto punggungnya Mas, lha aku posting pake caption so called him BOJO pake huruf gede semua tulisan bojonya. Lha kok dia tiba-tiba masuk komentar ngatain aku!" lapor Sasa bersungut-sungut."Ngatain apa sih?" tanya Badai sabar."Aku dibilang pelakor! Kan aku kesel, ya emang sih aku pelakor," Sasa tertawa penuh kemenangan, "tapi dia kan war-nya cuma sepihak, aku
Badai menggeleng lemah, "Mereka yang ngarahin senjatanya ke tim langsung kulumpuhin, kubidik tangan dan kakinya. Langsung diamanin sama Raider 2, diobatin, biar tetep selamat. Umur mereka masih muda, ideologi yang tercetak di kepalanya masih bisa diperbaiki. Tapi kalau yang sekiranya bawa bom atau basoka, terpaksa dilumpuhkan selamanya," jawabnya dengan suara bergetar, tersirat penyesalan di sana."Aku paham," kedua tangan Sasa menangkup rahang Badai. "Bukan salah Mas Badai, jangan jadi beban pikiran ya Mas," hiburnya lembut.Senyum Badai terkembang, ia peluk seketika tubuh mungil sang istri dengan sebelah tangannya yang tidak terluka. Ia tenggelamkan wajahnya di ceruk leher Sasa, mencari kenyamanan dan kehangatan di sana."Aku pengin banget melepas rindu, tapi tangan Mas Badai kayaknya lagi nggak bisa diajak enak-enak," bisik Sasa nakal."Hem?" Badai menegakkan kepalanya, melirik wajah cantik istrinya sebentar, "siapa bilang nggak bisa enak-enak? Yang sakit kan tangannya, bukan nagan
"Ehem,"Badai berdehem seraya memejamkan matanya untuk menahan sakit. Setelah Badai pulang dan mendapat banyak hari cuti, Sasa memutuskan untuk kembali ke rumah pribadi mereka dan tidak lagi menginap di rumah sang ayah. Lagipula, dengan tinggal di rumah sendiri, Badai dan Sasa akan lebih bebas melepas rindu."Ada ya orang jago nembak kepala sama dada tapi diobatin lukanya meringis-meringis kesakitan gini," desis Sasa manyun."Gimanapun aku tetep manusia Nduk. Aku punya sisi manjaku sendiri dan itu cuma kutunjukin ke istriku. Lagian, boleh kan manja sama istri yang udah nggak kutemui berbulan-bulan lamanya?" gumam Badai sambil meniup-niup luka robek lebar di lengannya itu."Untung nggak kena tulang ini tu, kalau sampe kena tulang kan bisa berpengaruh ke kemampuan menembak Mas kan?""Iya," Badai membenarkan. "Udah kepalang basah. Aku kudu milih ngorbanin timku atau pasang badan, kupilih pasang badan biar timku bisa keluar dari barak dulu baru aku yang paling terakhir," ceritanya."Mas l